Avery Street, Detroit, 21st January 2019
Grace masih belum mendapatkan bus yang akan membawanya ke tempat kerja, tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel tebal, bibirnya membentuk bulatan, kepulan asap mengepul dari bibir. Musim dingin masih belum berakhir, dan dia sadar, keuangannya mulai menipis, bahan makanan pun berkurang, sedangkan kedua orang tua Grace tidak memiliki pekerjaan tetap.
“Grace!”
Mendengar namanya dipanggil, Grace menoleh.
Seorang gadis berlari-lari kecil menghampirinya, dia itu Natalie, sahabat dari kecil Grace. Sama-sama orang susah yang tinggal di tempat kumuh, tak jauh dari sebuah klub malam di mana para pelacur-pelacur mengais rejeki tiap malamnya
“Aha, kukira kau sudah berangkat lebih dulu.” Grace menyambut tepukan tangan Natalie. Toss.
“Sepertinya ... aku akan berhenti bekerja di toko kue, aku ingin melamar bekerja di sebuah coffee shop, mereka bilang gajinya lebih besar dari toko kue itu. Bagaimana menurutmu, G?”
‘G’ itu adalah panggilan kesayangan Natalie pada Grace.
Sebetulnya Natalie sedang berbohong, dia bukannya ingin melamar kerja di sebuah coffee shop, melainkan ada seorang lelaki tua yang ingin menjadikannya seorang simpanan dengan syarat Natalie harus mampu melayani syahwatnya.
Laki-laki tua itu bersedia membelikannya sebuah apartemen dan mobil mewah, karena menurut lelaki itu, istrinya sudah tak sanggup melayaninya lagi, sudah renta, sakit-sakitan, bahkan tak mampu lagi melakukan gaya ‘seminary.'
Kalian bisa membayangkan pasangan kakek dan nenek yang sudah uzur melakukan gaya seperti itu, bahkan sutradara film dewasa pun tak sudi melirik, ah ... memang laki-laki, mau sudah tua pun kadang tak tahu diri. Itulah laki-laki, sekali lagi dikatakan, itulah laki-laki!
Grace lalu melirik curiga ke arah Natalie, “Betul? Aku merasa, kau sedang berbohong padaku?” ujar Grace.
“Wah, buat apa aku berbohong,” jawab Natalie sembari meninju kecil lengan Grace. Padahal dia memang berbohong.
“Sudahlah, itu bis kita, ayo,” ajak Grace lalu menarik tangan Natalie.
Sedangkan di tempat lain, di malam yang sama, sekelompok pemuda dari kalangan elite di Detroit, seperti tak memiliki tujuan. Mereka merasa kehidupan mereka selama ini sangat monoton.
Sebuah mobil Rolls Royce berwarna hitam berhenti tepat di depan klub malam, menjadi tontonan kekaguman beberapa orang yang berada di luar klub.
Tak perlu pusing mencari tempat hiburan malam, dengan wanita-wanita yang senang bersedekah melalui pakaian mereka yang apa adanya tanpa diberi bahan tambahan. Ditambah lagi, Detroit bukanlah sebuah kota yang susah untuk mendapatkan hiburan-hiburan seperti itu. Tempat prostitusi, perjudian, dan hiburan haram lainnya tersedia dengan baik di sana.
Semua mata tertuju pada seorang pemuda tampan yang bergerak keluar, dengan sigap membuka pintu di sebelah kanan, memersilakan Edward untuk turun. "Silakan turun, Tuan Muda," ujar pemuda bernama Vanes bergaya ala-ala supir, meski sama sekali tak cocok menjadi supir dengan rambut panjang berwarna coklat tembaga sebahu, tubuh tinggi, kulit putih, dan bibirnya merupakan bagian paling seksi, membuatnya lebih cocok menjadi gundik simpanan tante-tante, ya, dia tampan, seisi mobil itu semuanya tampan.
Edward, Vanes, Mark, dan Kevin. Siapa yang tak mengenal keempat pemuda tampan dan rupawan itu?
Ketampanan mereka bahkan bisa membuat otakmu berfantasi liar semaunya dengan melihat sosok, dan wajah mereka.
Sumpah, keempat pemuda itu benar-benar bisa membuatmu memelas untuk ditiduri tanpa bayaran sekalipun. Mereka seksi, sangat seksi. Apalagi Edward.
Edward, pemuda berusia 28 tahun itu, merupakan anak dari salah satu pemilik perusahaan software terbesar di dunia. Memiliki 50 hotel mewah berbintang lima yang tersebar di 20 negara, lalu 25 restoran besar dan terkenal, memilki 10 mall besar yang selalu ramai pengunjung, dan masih banyak kekayaan yang tak mungkin dijabarkan satu per satu. Tak ada yang tak kenal dengan keluarga Madison.
Dengan malas, Edward pun turun. "Ya, Terima kasih, tapi jangan berharap aku akan menggajimu hanya karena telah membukakan pintu untukku," ujarnya.
Setelah Edward turun, di belakangnya dua orang lagi menyusul; Mark dan Kevin.
Saat keempat pemuda itu berjalan beriringan, wanita-wanita muda bahkan nenek-nenek yang melintas di jalan sampai menelan ludah. Bagaimana tidak? Empat mahakarya yang nyaris sempurna, tubuh mereka yang tinggi, tegap, berdada bidang, dibalut kemeja dan jas hitam rancangan desainer terkenal—Armani—membuat mereka tampak seperti pangeran tanpa kuda yang tersasar di tengah kota.
Mark sendiri tak kalah kayanya, dia adalah anak seorang pemilik universitas ternama di Detroit, dan pemilik sebuah brand terkenal yang memproduksi berlian-berlian berkualitas yang di ekspor ke luar negeri.
"Aku ingin membeli kue di sana," ujar Edward seraya menunjuk ke seberang jalan.
"Hah, kau mau membeli kue? Untuk siapa?" tanya Mark. Mark, seorang playboy kelas kakap, dengan tatapannya dia bisa memikat perempuan manapun untuk dibawanya berleha-leha di atas ranjang, tanpa terkecuali.
Edward melirik Mark dan menaikkan satu alisnya, wajahnya terlihat datar. "Buat siapa? Aku yang membeli berarti buat kumakan. Kau pikir, aku membeli kue untuk gadis-gadis malam yang selalu menggelayut manja di tubuhmu?" sindir Edward.
Sayangnya, kuping Mark sudah tebal dengan kalimat-kalimat sarkasme dari Edward, sahabat masa kecilnya itu. Dia tahu betul watak Edward, lelaki tampan, yang selalu dingin pada siapa pun. Sekalipun ada perempuan telanjang di hadapannya, Mark sangat yakin, Edward tak akan menyentuh sedikit pun. Keperawanan pun dijamin aman, tetap tersegel.
Mark bersiul kepada seorang gadis berambut merah yang melintas di sampingnya, "You're so sexy, Babe," godanya dan tanpa sungkan meremas gemas bokong tipis milik gadis itu. Anehnya, gadis itu hanya tersenyum, sedikit pun tak marah, malah melemparkan ciuman di udara. Sinting!
"Kurasa sebentar lagi kau akan terkena penyakit kelamin, dengan kelakuanmu yang seperti itu," ujar Edward. "Gadis tadi sama sekali tak ada menarik-nariknya, bokong tipis, dada mungkin hanya seukuran 34A, wajah standar, apa yang membuatmu melihatnya sebagai seorang yang seksi?"
“Kau memang aneh, gadis tadi cantik, kau tahu Naomi Lewis?”
“Siapa dia, apakah dia salah satu pelacur yang kau temui di jalan, kemudian berpura-pura sakit lalu ikut denganmu ke rumah dan—“
“Sshtt ... kau benar-benar norak,” balas Mark.
“Lalu?”
“Ehem." Kevin berdehem, semua mata tertuju padanya, “Naomi Lewis, artis situs porno.”
Edward melihat Kevin dengan pandangan jijik. Sejak kapan sahabatnya yang terkenal pendiam, yang hanya sibuk menekan-nekan tuts piano, tiba-tiba bisa menyebut salah satu artis porno dengan lancar.
“Kau berlangganan di sana?” tanya Edward datar.
“Tidak, apakah ada yang salah? Dadanya bagus, itu saja, aku tidak—“
“Hey, hey, diam-diam kau nakal juga, Kev.” Mark menyolek pinggang Kevin, dan menjawil hidung mancung Kevin.
Keempatnya tiba di depan toko kue. Mereka berempat masuk ke dalam, di sana ada Grace dan Natalie yang sedang sibuk membersihkan rak-rak display.
Lagi-lagi mata nakal Mark memang tak bisa melihat barang bagus, dia sibuk memerhatikan Grace dari ujung kaki hingga ujung rambut. Kaos polo putih ketat yang melekat di tubuh Grace menunjukkan dengan sangat jelas lekuk tubuh bagian atasnya, padat, berisi.
“Hai, selamat datang, ada yang bisa kubantu?” tanya Grace seraya mendekati keempatnya.
Tatapan Mark masih tertuju pada bagian dada Grace, dan Grace menyadarinya. Seorang pemuda tampan berpenampilan necis, memperhatikan dengan seksama bagian dada tanpa berkedip, pasti pemuda ini nakal.
“Hey. Apa yang kau lihat?” tanya Grace lagi.
“Eh, apa kau punya kue susu?” jawab Mark, ya kue ‘susu’ sambil melirik jenaka ke arah dada.
Edward maju ke arah Grace, kemudian menarik tangan Grace mengajaknya menjauhi Mark.
“Aku ingin membeli kue tiramisu yang ada di showcase, tolong bungkuskan empat buah,” ujar Edward, masih tak menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Grace.
“Hm, bisa lepaskan tanganku lebih dulu?” tunjuk Grace ke arah tangannya yang masih dengan erat dalam genggaman Edward.
Ups, wajah Edward seketika memerah menahan malu, Grace tertawa terbahak-bahak lalu berlalu dari hadapan Edward, dan menyiapkan pesanan miliknya.
**
Sepulang kerja Grace melewati lokasi di mana sebuah klub malam yang cukup besar berdiri tak jauh dari tempat tinggalnya. Setiap dia melewati lokasi itu, seketika dia akan menghentikan langkahnya sejenak. Dia terpesona dengan kecantikan para perempuan-perempuan penghibur yang bekerja di sana. Perempuan-perempuan itu terlihat cantik di mata Grace. Mereka terkadang melintas di depan Grace, dan wangi parfum mahal selalu mengusik penciumannya.
Entah uang darimana, pikir Grace saat itu. Sepertinya pekerjaan yang mereka lakukan bisa menghasilkan uang banyak, membeli barang-barang mewah dan selalu berganti-ganti mobil tiap malamnya.
“Apakah mereka masih membutuhkan pekerja di sana, aku ingin sekali bekerja di klub itu."
========================================================
Untuk para pembaca setia, kalian bisa membuka bab berbayar jauh lebih murah dari sebelumnya, karena sudah ada pembaruan jumlah koin untuk membuka kunci. Semoga bisa menikmati novel ini sampai akhir :)
Jangan lupa untuk terus mengikuti novel ini sampai akhir karena pada akhir Februari akan ada giveaway bagi satu pembaca yang beruntung yang mengirimi gems terbanyak. Pemenang akan diumumkan di f* penulis. Silakan mengadd dengan nama pena yang sama :)
Edward mengajak Vanes ke sebuah bar, dan mereka hanya duduk, minum beberapa botol bir tanpa melakukan hal lain. “Hey, kita berdua di sini, seperti pemuda tolol yang hanya bisa menyaksikan tarian erotis dari penari bugil di depan panggung. Ed, apa kau tak ingin bercinta dengan mereka?!” tanya Vanes setengah berteriak karena lagu-lagu yang diputar di dalam klub malam benar-benar kencang. Edward hanya mengangkat kedua alisnya dan menggeleng. “Aku bilang, apa kau tak ingin bercinta dengan salah satu penari bugil di depan sana?!” Sebetulnya Edward sudah dengar tapi malas menjawab. Bercinta dengan penari bugil? Membayangkannya saja tak pernah, membuat Edward bergidik lebih dulu. Terlalu beresiko! “Kau saja yang bercinta dengan mereka!” jawab Edward. “Kurasa ... sebentar lagi kau benar-benar jadi tak normal!” “Apa pedulimu?!” “Jika kau tak normal, aku tak bersedia menjadi pasanganmu!” “Bangsat!” “Hey, Ed, lihat
"Hey bangun!" teriak Edward tepat di telinga Grace. Gadis itu tertidur nyenyak di atas tempat tidur besar milik Edward, mengorok pula. Edward lebih memilih tidur di atas sofa, semalaman dia tak tahan dengan dengkuran Grace yang mengganggu telinganya, sehingga memutuskan pindah ke sofa dan menjauh dari Grace. Grace mengucek kedua matanya, kesadarannya belum pulih benar. "Begitu caramu membangunkan seorang tamu?" Edward melotot, rahangnya mengeras, ditatapnya Grace dengan tajam dan berkata, "Heh, jadi kau mau tidur sampai kapan? Aku punya banyak urusan, aku antar kau pulang!" "Ck, apa kau tak pernah bisa berbicara dengan lembut? Kurasa, di rumahmu semuanya tuli, ya?" "Gadis tolol, cepat sebelum aku naik darah, pakai kembali bajumu. Tadi aku sudah menyuruh laundry apartemen untuk mencucinya untukmu." Sebegitu perhatiannya Edward. Selama ini dia tak pernah peduli dengan yang namanya perempuan. Apalagi sampai rela menawarkan d
Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja. Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace. "By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?" Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya. "Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?" "Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya." “Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran. “Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang terse
Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward. “Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?” “Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun. Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul. “Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark. Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda. Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luk
Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. "Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. "Kau mau menjadi mahasiswa lagi?" "Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya." "Maksudmu siapa?" "Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah ta
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging