Edward mengajak Vanes ke sebuah bar, dan mereka hanya duduk, minum beberapa botol bir tanpa melakukan hal lain.
“Hey, kita berdua di sini, seperti pemuda tolol yang hanya bisa menyaksikan tarian erotis dari penari bugil di depan panggung. Ed, apa kau tak ingin bercinta dengan mereka?!” tanya Vanes setengah berteriak karena lagu-lagu yang diputar di dalam klub malam benar-benar kencang.
Edward hanya mengangkat kedua alisnya dan menggeleng.
“Aku bilang, apa kau tak ingin bercinta dengan salah satu penari bugil di depan sana?!”
Sebetulnya Edward sudah dengar tapi malas menjawab. Bercinta dengan penari bugil? Membayangkannya saja tak pernah, membuat Edward bergidik lebih dulu. Terlalu beresiko!
“Kau saja yang bercinta dengan mereka!” jawab Edward.
“Kurasa ... sebentar lagi kau benar-benar jadi tak normal!”
“Apa pedulimu?!”
“Jika kau tak normal, aku tak bersedia menjadi pasanganmu!”
“Bangsat!”
“Hey, Ed, lihat itu!” Vanes menunjuk ke arah pintu masuk klub, seorang gadis yang wajahnya tak asing muncul di sana, dan itu gadis pelayan yang ada di toko kue tadi. Grace.
“Dia itu siapa?” tanya Edward yang sudah tak ingat wajah Grace.
“Gadis cantik bertubuh sintal di toko kue tadi, memangnya kau tak tertarik?”
Kali ini Vanes duduk mendekat ke arah Edward, tenggorokannya sakit karena harus berteriak-teriak.
Tatapan Edward mengikuti gerakan Grace, gadis itu bergerak cepat di antara kerumunan orang-orang yang menyesaki tempat itu. Dilihatnya Grace duduk di depan bar. Satu tangannya terangkat memanggil bartender.
“Aku mau menghampirinya.”
“Ha?”
“Kenapa?”
“Kau mau mengajaknya begitu?”
“Kata siapa?” tanya Edward lagi, kali ini pertanyaannya membuat Vanes jengkel setengah mati.
“Terserah!”
Edward sudah berdiri di belakang Grace, ditatapnya Grace dari belakang. Grace memesan segelas vodka, dia masih belum menyadari kehadiran Edward di sampingnya.
Sebetulnya Vanes agak heran. Kenapa Edward mau menghampiri Grace, yang dia tahu, pemuda itu dengan segala keangkuhan dan rasa dingin yang ada pada dirinya, tak akan pernah mau menghampiri perempuan terlebih dahulu.
Edward cuek dan dingin, entah berapa puluh wanita berusaha dijodohkan padanya, atau yang berusaha mendekatinya, semuanya mental begitu saja.
“Satu gelas cognac,” ujar Edward memesan pada bartender.
Grace mengenali suara itu, dan ketika dia menoleh ke samping, benar saja, itu pemuda yang tadi di toko kue, yang wajahnya memerah setelah menggenggam tangannya.
“Kau?”
“Gadis toko kue,” ujar Edward datar.
“Ke mana kawan-kawanmu?” Grace memanjangkan lehernya. Kedua matanya sibuk mencari-cari seseorang, dia tak peduli dengan Edward yang ada di sampingnya, sebetulnya ada seseorang yang dicarinya, dan dia tak menemukannya. “Hey, mana kawan-kawanmu?” ulang Grace menanyakan pertanyaan yang sama.
“Kenapa kau harus mencari seseorang yang tak ada? Ikut aku. Kau jangan terlalu banyak minum, mukamu sudah merah seperti babi,” ujar Edward. Wajah Grace memang sudah sangat merah karena mabuk.
“Ey, mana temanmu, yang berwajah melankolis tadi,” ceracau Grace.
“Dia sibuk bercinta,” jawab Edward sekenanya.
“Ah, lalu kenapa kau tak melakukannya juga,” balas Grace. Kali ini dia benar-benar sudah mabuk, jalannya limbung ke kanan dan ke kiri, kedua matanya pun sayup. “Eh, maaf.”
Edward membawa Grace ke meja di mana Vanes masih menunggunya di sana.
“Gadis ini mabuk. Jika aku membiarkan dia di sini sendiri, dia akan menjadi santapan para lelaki. Aku akan mengantarkannya pulang.”
“Lalu aku?”
“Van, kau bisa pulang naik taksi dulu, kan?”
“Buat apa naik taksi, aku bisa meminta supir menjemputku. Kau pergilah, antar gadis toko kue kembali ke rumahnya, atau jika kau mungkin berminat, kau bisa menikmatinya seorang diri,” goda Vanes.
“Tidak, aku tak berminat. Aku balik duluan.”
*
Tentu saja Edward tak membawa Grace ke rumahnya di mana kedua orangtuanya juga ikut tinggal.
Jika Edward membawa Grace ke sana, mereka pasti akan mengira jika Edward baru saja menculik seorang gadis mabuk.
Edward menurunkan posisi jok mobil, agar posisi kepala dan tubuh Grace bisa lebih nyaman. Gadis itu mabuk dan pingsan. Ternyata berat orang pingsan itu benar-benar berbeda saat terbangun, baginya, dia seperti mengangkat karung beras seberat 100 kg.
Sesampainya di apartemen mewah miliknya, Grace masih belum juga sadar, dengan terpaksa dan bersusah payah Edward harus membopongnya, membawanya ikut serta masuk ke dalam lift.
Benar-benar menyusahkan! Seandainya saja dia diperbolehkan untuk menyeretnya, dengan senang hati dia akan menyeret tubuh Grace!
Susah payah Edward mengeluarkan kartu untuk membuka pintu kamar miliknya, ternyata Grace benar-benar menyulitkan.
“Kau benar-benar menyulitkanku, tapi aku tak tega meninggalkanmu sendirian di sarang singa seperti tadi. Oh Tuhan, apakah para dewa sedang menghukumku, sehingga aku harus diberi cobaan seperti ini?”
Setibanya di kamar, Edward langsung merebahkan tubuh Grace di atas ranjang besar miliknya. Untungnya Grace tak muntah. Jika mabuk kemudian muntah, dia akan membiarkan Grace tidur di koridor apartemen sampai besok pagi.
“Engh ...,” Grace bersuara, membuat Edward yang sedang melepas kancing kemejanya langsung menoleh. Tapi dia belum bangun, hanya membuat suara lalu memutar tubuhnya ke arah samping tempat tidur, dan—
“Eh!” Edward langsung berlari ke arah tepi ranjang dan menahan tubuh Grace agar tak terjatuh ke bawah. “Sial, sial! Kenapa kau benar-benar merepotkanku.”
Pakaian kerja yang dikenakan Grace semuanya basah oleh keringat. Edward tak suka dengan bau keringat, tapi apa yang bisa dilakukannya, tak mungkin dia harus melucuti satu per satu pakaian Grace, sedangkan gadis itu pasti tak membawa baju ganti, dan dia pun tak memiliki baju perempuan, lalu bagaimana?
“Eh....” Lagi-lagi Grace mengeluarkan suara.
“Gadis toko kue, apa kau sudah sadar?” Edward berjongkok di tepi tempat tidur, dan menatap wajah Grace lebih dekat. Wajah gadis di hadapannya serupa pahatan, lekuk wajahnya begitu tegas, wajah tirus, bibir tipis, hidungnya mancung, dan kedua mata yang memiliki bulu lentik. Terlalu sempurna bagi Edward untuk menjadi penjaga toko kue. Setidaknya, bagi Edward gadis ini bisa menjadi lebih dari sekadar pekerjaannya saat ini, apakah dia tak bisa mendapatkan pekerjaan lain?
Grace sendiri mulai sadar, meski samar, dia bisa melihat sosok laki-laki sedang menatap wajahnya. “Kau?”
“Kenapa?”
“Kenapa? Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa bersamaku?”
“Kau mabuk lalu pingsan,” jawab Edward singkat.
Kepala Grace masih terasa berat dan pusing, padahal seingatnya dia hanya minum tiga gelas vodka, tidak lebih.
“Lalu kau, apa yang kau lakukan bersamaku?” tanya Grace dengan wajah kusut. Pengaruh alkohol masih sedikit menyisakan pening di kepalanya.
“Aku ingin menjualmu, makanya aku membawamu kemari,” ujar Edward dengan enteng.
“Menjualku? Kau seorang mucikari?” kata Grace lalu tertawa
“Apakah itu lucu? Kau tak takut jika aku menjual tubuhmu kepada seorang laki-laki tua yang memiliki bau ketiak?”
“Jika bisa mendapatkan uang banyak, kenapa tidak?”
Edward menepuk jidatnya. Baru kali ini dia bertemu gadis aneh. Gadis di depannya ini malah membetulkan posisinya, duduk dengan santai, kemudian dengan tenangnya dia membuka jaket, dan kaos polo shirt putih yang dikenakannya, hingga hanya tersisa bra berwarna hitam yang memerlihatkan jelas bentuk payudaranya yang padat dan berisi.
“Pakai kembali kaosmu,” pinta Edward.
“Bajuku keringatan, lagi pula ... aku masih memakai bra. Bukan telanjang bulat,” jawab Grace santai tanpa dosa.
Bentuk dada yang padat berisi, perut yang rata, dan pinggang yang ramping. Grace memang seksi, tapi Edward memandangnya tanpa gairah, raut wajahnya datar tanpa ekspresi apa pun. “Ya sudah, kau mau telanjang bulat sekalipun, aku tak akan menyentuhmu, silakan saja.”
“Kau mau ke mana?” tanya Grace ketika melihat Edward berdiri dan berjalan memunggunginya.
“Mau mandi,” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun.
*
Edward baru saja selesai berendam di dalam bath tube dengan air hangat, tiba-tiba saja kupingnya menangkap suara-suara yang sudah tak asing baginya. Ya, suara desahan, rintihan, dan erangan, entah datang darimana.
“Hey, apa yang kau tonton?!”
“Oh, aku hanya menonton adegan porno di sebuah situs, kenapa?”
Tanpa merasa berdosa, dengan polosnya Grace menunjukkan tampilan layar di handphonenya, di mana terdapat adegan ranjang antara dua laki-laki dan satu perempuan. Lagi-lagi Edward tak memberikan reaksi yang berarti. Grace sendiri tak menaruh pikiran buruk terhadap pemuda tampan yang hanya terbalut kimono tanpa mengenakan apa pun di dalamnya.
Edward menggelengkan kepalanya. Jangan-jangan yang dia bawa ke apartemennya ini adalah seorang gadis setengah waras, pikirnya.
Edward mengibas rambutnya yang masih setengah basah, wajahnya terlihat segar, ketampanannya naik peringkat beberapa persen dari sebelumnya, dia terlihat memesona. Ya, mungkin saja karena baru mandi.
“Kau tak mau mandi?”
“Aku tak punya pakaian, kecuali kau ijinkan aku memakai pakaianmu,” jawab Grace cuek, masih asyik menonton film porno di handphonenya.
“Tak bisakah, kau mengganti dengan film lain?”
“Kenapa? Apa kau terangsang?”
“Apa?”
Edward tersenyum geli, ingin rasanya dia menjedotkan kepala Grace di tembok. Mungkin saja saat ini dia kehilangan akal sehatnya, makanya kata-katanya sedikit ngawur.
“Kau terangsang mendengar suara-suara itu?”
“Tidak sama sekali,” jawab Edward.
“Sebaiknya aku mandi,” ujar Grace. Dia beringsut dari tempat tidur dan berjalan ke arah Edward, tiba-tiba kakinya tersandung sofa yang ada di dekat tempat tidur, dan membuatnya kehilangan keseimbangan.
“Awas!” Dengan sigap Edward menahan tubuh Grace, tapi sepertinya dia salah memegang, yang dipegangnya bukan bahu, karena bahu tak selembut juga sekenyal yang dirasakannya sekarang.
“Kau ... meremas dadaku,” kata Grace tanpa berusaha melepaskan tangan Edward. Bentuknya benar-benar pas dalam genggaman tangan kekar milik Edward.
“Maaf, aku hanya berusaha menolongmu. Sekarang mandilah, aku akan meminjamkan pakaianku. Kau bisa mengenakan piyama tidur milikku, atau kau mau tidur mengenakan bra dan celana dalam, itu terserah kau. Sekarang yang terpenting, kau harus segera mandi. Kurasa celana dalammu sudah terlalu basah karena tontonan yang kau tonton tadi, dinginkan kepalamu, sekarang!”
Grace melenggang genit menuju kamar mandi, sebelum menutup kamar mandi, dia mengatakan sesuatu, “Jangan memanggilku gadis toko kue, namaku Grace!”
Edward berjalan menuju balkon, dia telah mengganti pakaian dan menggenakan jaket tebal, kemudian membuka pintu, lalu duduk di bangku yang ada di teras. Saat itu sudah pukul dua pagi, tetapi jalanan di Kota Detroit tak pernah sepi.
Edward meraih sebungkus rokok, menyalakannya, dan mengepulkan asap rokok ke arah atas membentuk bulatan-bulatan kecil.
Grace sudah setengah jam berada di kamar mandi dan masih belum juga selesai. Entah apa yang dikerjakannya saat itu.
“Hai, aku sudah selesai,” ujar Grace yang telah berpakaian. Dia mengenakan piyama tidur milik Edward, sedikit kebesaran, daripada tak ada sama sekali.
“Apa yang kau lakukan sampai hampir satu jam di kamar mandi?”
“Berendam, sambil membayangkan adegan-adegan tadi,” jawab Grace tanpa dosa, membuat Edward bergidik geli.
“Kau ingin melakukan adegan tadi?”
“Entahlah. Aku masih perawan. Aku belum pernah melakukannya, bahkan aku tak tahu rasanya seperti apa,” jawab Grace cuek, kemudian bersandar di pagar balkon.
Ya, itu benar, gadis tengil, genit, dan sedikit tolol di hadapan Edward itu memang masih perawan.
“Apa? Eh ... kau masih perawan?” Kali ini Edward tertawa geli, lalu terbahak-bahak, menganggap jika kata-kata Grace adalah sebuah lelucon.
“Kau tak percaya, ya?”
“Tentu saja tidak, apa buktinya? Kelakuanmu saja seperti ini, terlalu berani, mana mungkin aku percaya kau masih perawan atau tidak.”
“Ayo kita lakukan,” ajak Grace merasa ditantang.
Sebenarnya dia kesal karena Edward menertawakan kejujurannya.
“Maksudmu?”
“Bercinta.”
“Kenapa?”
“Supaya kau percaya, aku masih perawan atau tidak.”
“Jadi ... kau ... benar-benar masih perawan? Berapa usiamu?”
“Aku baru 21 tahun, ada yang aneh?”
“Hahaha ..., sangat aneh, biasanya gadis seusiamu sangat langka yang masih perawan,” tawa Edward menggelegar mendengar Grace dengan tingkah laku anehnya menyebut dirinya masih perawan, apakah dia salah dengar?
“Kau ... masih perjaka?” Hal yang sensitif ditanyakan Grace. Edward berdiri, berjalan mendekati Grace dan mencengkram lengan kecil milik Grace, “Kau ini kenapa, aku kan hanya bertanya, tak perlu—“
Alis tebal milik Edward bertaut menjadi satu, kedua matanya menatap tajam, memerhatikan tubuh Grace dari atas sampai bawah, “Memangnya perjaka atau tidak, apa urusanmu?”
Bagaimana jika Grace tahu, pemuda tampan dan bertubuh ideal yang diidam-idamkan semua wanita, yang sekarang berdiri di hadapannya, ternyata masih seorang perjaka, apa reaksinya?
Edward bukan tipe laki-laki mesum seperti Mark atau kedua temannya yang lain, dia tak mau sembarangan tidur dengan wanita yang tidak disukainya.
“Kau ini aneh, sesaat kau bisa sangat manis, tiba-tiba kau bisa berubah menjadi sangat arogan, apa kau ini seorang pemuda labil yang memiliki gangguan jiwa?”
Edward benar-benar merasa jengkel dengan semua kalimat-kalimat konyol berkesan tolol yang keluar dari mulut Grace, Edward memutar tubuh Grace dan memiting kedua tangannya, mengunci pergerakan Grace sehingga Grace tak bisa bergerak.
"Aku masih waras,” jawabnya. Satu tangan Edward mengunci kedua tangan Grace, satunya lagi menyibak rambut panjang Grace, memperlihatkan leher jenjang, putih, dan mulus milik Grace. Ya, leher itu benar-benar mulus tak ada cacat sedikit pun, membuat Edward menelan ludah berkali-kali.
Grace merasakan bibir Edward yang mengecup tengkuk lehernya dengan lembut, dia merasa geli, tapi menikmatinya.
Grace memejamkan matanya ketika Edward menggigit cuping telinganya dengan lembut, jantungnya berdegup kencang. Grace ingin merasakan lebih bukan hanya sekadar kecupan, maupun gigitan menggoda yang membuat darahnya mendidih dibakar gairah. “Eh?”
“Kenapa kau merem melek seperti itu?”
“Cuma seperti itu?” tanya Grace sedikit kesal, benar-benar tanggung dibuatnya. Pemuda menyebalkan di hadapannya ini benar-benar menjengkelkan, Edward tersenyum puas melihat Grace yang seolah berharap lebih darinya.
“Lalu kau mau apa? Aku bukan pria mesum seperti dalam pikiranmu,” kata Edward sinis.
“Ehmmm, kau tak normal ya?”
Edward mengangkat wajah Grace, mendekatkan wajahnya ke depan muka Grace dan berbisik, “Aku bisa memperkosamu berulang-ulang, jika kau mengatakan kalimat itu sekali lagi. Aku masih NORMAL!”
"Hey bangun!" teriak Edward tepat di telinga Grace. Gadis itu tertidur nyenyak di atas tempat tidur besar milik Edward, mengorok pula. Edward lebih memilih tidur di atas sofa, semalaman dia tak tahan dengan dengkuran Grace yang mengganggu telinganya, sehingga memutuskan pindah ke sofa dan menjauh dari Grace. Grace mengucek kedua matanya, kesadarannya belum pulih benar. "Begitu caramu membangunkan seorang tamu?" Edward melotot, rahangnya mengeras, ditatapnya Grace dengan tajam dan berkata, "Heh, jadi kau mau tidur sampai kapan? Aku punya banyak urusan, aku antar kau pulang!" "Ck, apa kau tak pernah bisa berbicara dengan lembut? Kurasa, di rumahmu semuanya tuli, ya?" "Gadis tolol, cepat sebelum aku naik darah, pakai kembali bajumu. Tadi aku sudah menyuruh laundry apartemen untuk mencucinya untukmu." Sebegitu perhatiannya Edward. Selama ini dia tak pernah peduli dengan yang namanya perempuan. Apalagi sampai rela menawarkan d
Meski mukanya terlihat babak belur sehabis beradu otot dengan dua laki-laki setan, Grace tetap bekerja. Natalie yang melihat wajah Grace berantakan tak karuan, mengerutkan keningnya, dan dengan hati-hati Natalie bertanya tanpa berani menatap wajah Grace. "By the way, kenapa dengan wajah dan bibirmu?" Grace yang sedang memajang kue-kue display di showcase, menoleh, "Oh, ini maksudmu?" dia menunjuk pipi dan bibirnya,"Ada orang gila mengamuk di rumahku," lanjut Grace semaunya. "Ayolah Grace, kau dan aku bersahabat sudah lama, aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, ceritakan siapa yang memukulmu?" "Ehm, dua penagih utang datang ke rumah. Aku bertengkar dengan mereka, lalu seperti ini jadinya." “Wah, siapa yang berhutang?” tanya Natalie penasaran. “Ayahku, tingkah lakunya memang konyol dan membuatku kesal. Sudahlah, tak perlu dibahas. Aku harus fokus mencari uang sebanyak sepuluh ribu dollar untuk mengganti uang terse
Setelah selesai berdansa dengan ketiga pemuda tampan itu, Grace kembali ke meja di mana Edward hanya mendiamkan Natalie tanpa mengajaknya mengobrol sama sekali. Di meja terlihat satu botol bir yang sudah kosong, ditenggak habis sendiri oleh Edward. “Hey, Ed. Kenapa kau tak mau berdansa tadi?” “Apa urusannya dengan kalian?” jawab Edward tanpa menoleh sedikit pun. Kevin duduk di sebelah Grace, dan mengajak Grace ke meja billiard. Grace sama sekali tak menolak. Justru dia merasa senang, harapannya untuk berlama-lama dengan Kevin akhirnya terkabul. “Sepertinya Kevin lupa kalau dia sudah memiliki Natalie,” sindir Mark. Sindiran mengena tepat pada Edward. Edward tak bisa berkutik, perasaannya campur aduk, tak mungkin dia menyukai Grace hanya dalam beberapa hari. Mereka pun belum mengenal satu sama lain dengan baik, belum lagi keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda. Kevin agak terkejut ketika menyadari tepi bibir Grace memiliki luk
Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. "Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. "Kau mau menjadi mahasiswa lagi?" "Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya." "Maksudmu siapa?" "Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah ta
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging