Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri.
“Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark.
“Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung.
“Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu.
“Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpampang di majalah New York NEWS di halaman paling dan menjadi brand ambassador sebuah produk kecantikan terbesar di dunia. Valerie John, perempuan yang selalu mengisi hati Kevin dalam diamnya, Kevin tak pernah mampu mengungkapkan apa yang dirasakannya.
Vanes mengeluarkan ponsel yang berada di dalam saku jaket yang dikenakannya, ada beberapa panggilan masuk yang tak diangkat, dan dia tau semua itu pasti panggilan penting. Vanes beranjak berdiri dari kursi, Mark yang melihatnya bertanya, “Kau mau ke mana, Van?”
“Ada klien yang menelepon dan aku tak mengangkatnya, aku takut yang ingin dibicarakannya adalah tender besar yang sedang kami rencanakan. Aku permisi dulu.”
Benar saja, ketika Vanes menelepon kembali, mereka sudah membahas ini dan itu masalah tender, dan menentukan tempat di mana mereka bisa bertemu, sepertinya mereka ingin meeting di luar ketimbang di kantor, mungkin terasa lebih rileks.
Ketika pertunjukan resital piano Kevin berakhir, ketiganya memisahkan diri. Mark pergi bersama seorang perempuan yang baru saja dia temui di acara tersebut, kalian pasti bisa menebak ke mana arah mereka pergi, ya betul ... hotel!
Vanes lebih memilih pergi ke klub malam untuk bersenang-senang sendirian di sana, menghilangkan penat setelah menghadapi kepusingan selama berhari-hari di kantor. Sedangkan Kevin dan Valerie memiliki acaranya sendiri.
Di dalam mobil, keduanya terlihat sangat kaku, tak ada yang berbicara. Kevin menyalakan youtube dan memutar lagu, alunan lagu romantis mencairkan suasana. “Sudah berapa hari kautiba di Michigan?” tanya Kevin pelan.
“Baru kemarin, kenapa kau tak menghubungiku, Kevin?”
“Aku tak tahu apa yang harus kubicarakan, kautahu aku seperti apa.”
“Apa kau tak rindu padaku?”
Kevin memperlambat laju mobil dan menepi. “Apa kaubilang?”
“Apa ... kau tak rindu padaku?” tanya Valerie mengulang pertanyaan yang sama.
“Tak rindu? Menunggumu selama dua tahun tanpa berkencan dengan gadis lain, apa itu menurutmu?” tanya Kevin membuat Valerie tertawa ringan.
Valerie menatap Kevin berlama-lama, kemudian memajukan sedikit tubuhnya ke arah Kevin, “Kalau kau rindu, kenapa mengantarku pulang?”
“Kaukira aku mau mengantarmu pulang, seperti itukah?”
“Lalu?”
Kevin memutar bola matanya ke atas, senyuman licik kali ini terlihat di wajahnya, “Tentu saja menghabisimu, Val.” Ya, tentu saja dia tak akan membawa Valerie pulang, karena dia sudah merindukan gadis itu sampai ke ubun-ubun, menahan hasrat terpendam selama dua tahun ditinggal Valerie ke Jepang untuk menuntaskan S2-nya, benar-benar membuat Kevin tersiksa.
Valerie menarik kepala Kevin, memintanya mendekat, dan memagut bibir itu tanpa rasa ragu. Ah, seandainya saja bukan di dalam mobil, mungkin Kevin tak segan melucuti semua pakaian Valerie, sayang saja saat itu mereka masih berada di dalam mobil, dan banyak kendaraan berlalu lalang.
*
Presidential suite, itu adalah kamar yang langsung dipesan oleh Kevin. Keduanya menuju ke sebuah hotel termahal yang ada di Michigan dan tanpa ragu memesan kamar terbaik tanpa banyak basa basi, Valerie menggelendot manja di bahu Kevin, sesekali menggoda Kevin dengan tatapannya, ya dia tahu sebentar lagi Kevin tak akan membiarkannya berbusana, dan itu sudah seperti ritual rutin saat mereka bertemu.
Tentu tak ada yang menyangka, pemuda pendiam berwajah tampan, dengan tubuh yang sempurna, dan garis wajah yang tegas itu bisa begitu ganas saat berada di atas ranjang, bahkan Valerie tak akan mampu mengimbanginya.
Kevin menempelkan kartu serupa kartu ATM ke arah pintu, seketika pintu terbuka.
“Apa kaulapar?” tanyanya pada Valerie yang sudah mengempaskan tubuhnya lebih dulu ke atas tempat tidur, gaun merah yang dikenakannya tersingkap, memerlihatkan dua jenjang kaki mulus milik Valerie.
“Pesankan aku sebotol wine,” pinta Valerie.
“Tentu saja, Princess. Apa pun yang kauminta.”
Kevin memesan sebotol wine, dua porsi beef stick, yang diantarkan ke dalam kamar keduanya. Valerie masih berada di dalam kamar mandi ketika pesanannya datang. Kevin tak bisa menunggu, kerinduannya memuncak, dia tahu Valerie tak pernah mengunci kamar mandi saat dia mandi, jadi dengan segera Kevin membukanya dan masuk kedalam kamar mandi dan menyaksikan pemandangan yang dua tahun terakhir tak pernah dilihatnya, sayangnya tak benar-benar full polos, karena Valerie sudah mengenakan handuk.
“Tanggalkan saja,” pinta Kevin dengan nada memelas, Valerie tak pernah bisa menolak saat tatapan sayu dari kedua mata Kevin memandangnya sambil meminta sebuah permintaan.
“Kau sudah melihatnya, lakukan apa yang ingin kaulakukan, Kev.”
Ah, dadanya benar-benar berdetak tak karuan, entah kenapa dia merasa seperti seorang pemuda yang baru saja ingin melepas keperjakaannya, bertahun-bertahun mengenal Valerie, Kevin masih saja mengagumi bentuk tubuh yang sudah telanjang bulat di hadapannya. Kevin menarik tangan Valerie, memintanya mendekat, dan mendekat, sampai tak ada jarak lagi di antara keduanya.
Valerie mengajak Kevin ke arah shower, dinyalakan dan dibiarkan tubuhnya kembali basah. “Aku ingin menghabisimu, Val, seperti yang sudah kukatakan tadi.” Kevin menarik pelan rambut panjang Valerie, digigitnya pelan dan pelan bibir Valerie, perlahan mengecup leher, terus membuat gerakan-gerakan yang disukai tubuh Valerie, ada perasaan geli dan nikmat yang dirasakan Valerie ketika Kevin mulai menyentuh bagian dadanya, dengan lembut diusapnya, seraya terus memagut bibir Valerie, pelan, pelan dan menjadi adegan panas yang sering ditontonnya, dan kini adegan itu dia yang memerankannya.
“Ehmmm, Kev,” Valerie terengah.
“Berbalik ke depan, ijinkan aku membuatmu bahagia malam ini,” ujar Kevin dan memutar tubuh Valerie ke arah depan, “bersuaralah, mendesahlah di bawahku, seperti kau selalu membutuhkanku, Val.”
Hentakan demi hentakan terus menyentak, mengempas tubuh Valerie, membuatnya mendesah dalam resah menunggu klimaks, dia bisa merasakan Kevin benar-benar ingin membuatnya merasakan puncak kenikmatan, meski bukan hanya malam itu saja dia merasakannya, ya, bukan hanya malam itu, dan Kevin tak pernah mengetahuinya.
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Kevin, Mark, dan Vanes, ketiganya berada di rumah Edward, dan Edward tak ada di sana. Sudah pukul tiga pagi dini hari. Edward masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka yang sedang duduk di bar dalam rumah Edward. “Ke mana Ed?” Kevin menoleh perlahan, seorang pria tua berwajah mirip dengan Edward sedang berdiri sembari berkacak pinggang. Betul sekali, dia adalah Jason, ayah dari Edward. “Tadi dia pamit untuk pergi ke suatu tempat, sebentar lagi dia pasti kembali,” jawab Kevin berusaha menutupi, sedangkan dia sendiri tak tahu ke mana Edward saat itu. “Dua orang anak laki-laki yang kumiliki, semuanya berkepala batu. Untung saja mereka tidak tinggal bersama saat ini, jika tidak akan setiap hari aku mencemaskan keduanya,” ujar Jason. “Oh ya, bagaimana kabar Ethan, Mr. Jas?” Jason menatap Kevin dengan gayanya yang angkuh dan dingin, “Dia baik-baik
Sepertinya Grace benar-benar membenci Edward, bahkan dia menghapus nomor Edward yang berada di handphonenya, sebenarnya, dia hanya ingin melepaskan semua penat di Northville, melupakan semua kejadian buruk yang belum lama menimpanya. Dia tak mungkin berlama-lama di Northville karena masih ada urusan hutang piutang yang sama sekali belum tertuntaskan, dan dia juga harus mulai bekerja di bar pada awal bulan. Grace sendiri sudah sampai di Northville beberapa jam yang lalu. Hatinya sedikit merasa tenang. Kota kecil itu memang tak memilki penduduk yang padat, tapi entah kenapa meski hanya sebuah kota kecil, sejak dulu Grace senang berada di sana. “Mungkin sudah saatnya aku membuka lembaran baru. Aku tak peduli lagi dengan semuanya. Begitu aku kembali ke Detroit, jangan harap, kalian akan melihat Grace yang dulu,” ujar Grace bermonolog seorang diri. Dia tak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi begitu dia kembali nanti. Padahal dia tak sadar profesinya nant
Seandainya saja Edward bisa memutar kembali waktu. Dia ingin tak ada gadis bernama Grace yang masuk ke dalam lembar kehidupannya. Dia ingin semuanya kembali seperti 'tak pernah terjadi apa pun' dan menjalani kehidupan normal seperti dulu. Meski menyangkal seribu kali, tapi semua tahu, Edward memiliki rasa terhadap Grace. Gadis yang selalu dianggapnya tolol dan setengah sinting, justru itu yang membuatnya tertarik. "Ed," panggil Vanes. "He-em, kau mau mengatakan apa?" "Aku sedang membayangkan, jika saat ini Ethan berada satu atap denganmu, lalu dia melihat Grace. Bagiku Grace itu unik, dia cantik, dan sebenarnya dia itu tidak bodoh, apa menurutmu Ethan akan mengejar gadis itu?" Kenapa harus membawa-bawa Ethan yang mungkin sudah bahagia bersama Karen? Seperti tak ada pembahasan lain. Sudah cukup bagi Edward. Satu penghalang bernama Kevin, dia masih bisa menghadapinya, tapi kalau sampai muncul seorang lagi dan itu Ethan ... dia tak akan hab
Grace dan Kevin terlihat bahagia dan sangat menikmati kebersamaan yang dilewati, Kevin menemani Grace ke sebuah taman hiburan. Grace tak pernah luput dari pandangan Kevin, ke mana dia melangkah, tatapan matanya akan selalu mengikuti Grace. “Grace,” panggil Kevin. Grace yang sedang bercanda dengan seorang anak kecil, menoleh ke arah Kevin. Sungguh, mau berpakaian seperti apa pun, pemuda di hadapannya ini benar-benar terlihat menarik. Belum lagi pembawaan Kevin yang selalu membuat hati Grace merasa tenang. Tatapan matanya yang begitu teduh, tutur katanya yang sopan, sikapnya yang manis, dan lembut selalu berhasil membuat hati Grace bergejolak. “Ya, ada apa?” “Hmmm, kemari, aku ingin memberimu sesuatu,” sambung Kevin, meminta Grace mendekat. Ada sesuatu yang memang sudah dipersiapkan Kevin untuk Grace sejak beberapa hari sebelumnya. “Apa yang kau sembunyikan di belakang tanganmu?” tanya Grace ketika melihat satu tangan Kevin berada di belakang pu
Okay, Ethan sudah terlalu muak dan mual berasa di dalam pesawat selama puluhan jam belum lagi dia harus transit dan menunggu lagi di ruang tunggu, kepalanya terasa sakit, dan pada akhirnya dia pun sampai di kota tercinta. "Sepertinya... Aku tak akan langsung ke rumah besar yang tampak seperti sangkar buatku, hmmm...," ujar Ethan sambil tersenyum penuh arti. Sebetulnya, Ethan malas kembali ke rumah itu, tapi ada rasa rindu untuk kembali dan bertemu dengan Edward—adik satu-satunya—untuk melihat seperti apa keadaan Edward sekarang. Ethan memanggil taksi, dan meminta pengemudi itu mencarikan hotel untuknya, padahal kalau dipikir-pikir untuk apa dia menyewa hotel, sedangkan kedua orangtuanya memiliki banyak hotel yang tersebar di daerah itu. Entahlah apa pikiran anak orang kaya satu ini. * Grace baru saja selesai berbelanja beberapa keperluan dari Walmart, dan waktu dia di sana hanya tinggal satu minggu, seandainya saja dia
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging