“Kemasi barangmu,” ucap Pimpinan perusahaan arsitek di mana Margareta bekerja. “Kamu sudah membuat klien istimewa kita kecewa dan gajimu selama bertahun-tahun pun tak akan bisa mengganti kerugian ini.”
Margareta tertegun. Dia tak tahu jika kesalahan yang dia lakukan akan berdampak besar pada karirnya.
“Pak, saya bisa jelaskan—“
“Tidak perlu dijelaskan. Semua ini sudah sangat merugikan perusahaan kita dan kamu harus bertanggung jawab. Kemasi barangmu secepatnya sekarang!” balas pria bertubuh jangkung itu.
Margareta tahu dia memang melakukan kesalahan saat menemui klien yang merupakan seorang influencer ternama itu. Ya, pria bernama Jason itu memang menjadi klien premium di perusahaan tempat Margareta bekerja. Pria itu ingin membuat sebuah desain kafe unik untuk tempat nongkrong para influencer.
Margareta membuat desain kafe yang hommy dengan konsep artsy untuk Jason. Dia selalu membuat laporan mingguan.
Anehnya, Jumat lalu, Jason mengajak Margareta bertemu. Mereka bertemu di sebuah bar privat yang telah disewa oleh Jason.
Sejujurnya Margareta sudah memiliki firasat buruk. Dia merasa Jason berniat lain.
Namun, dengan dalih profesionalisme, Jason terus mendesak Margareta ke sana. Mau tak mau, Margareta akhirnya datang ke sana.
Awal pertemuan cukup baik dan kecanggungan Margareta atau akrab disapa Reta itu. Ketika Reta mulai merasa nyaman saat berdiskusi, tangan kanan Jason mendadak menyentuh paha Reta.
Bola mata Reta mendelik seketika. Dia kaget.
Refleks, tangan kanan Reta meraih gelas minumnya. Dia langsung mengguyurkan gelas minumnya itu ke wajah Jason.
BYUR!
Jason menganga lebar mulutnya saking kagetnya. Reta langsung bangun dari duduknya. Dia mengambil tas dan berkasnya yang sedikit basah karena cipratan air minumnya. Langkah kakinya berlari cepat keluar dari bar privat yang disewa Jason.
Sialnya pagi ini Reta langsung dihakimi. Jason akan mendenda ratusan juta jika Reta tak dikeluarkan dari perusahaan. Selain itu, Jason akan memperkarakan secara hukum di pengadilan jika keinginannya itu tidak dipenuhi.
Reta tentu saja tak mampu membela diri. Dia tak memiliki bukti karena saat itu dia datang sendirian. Selain itu, dia tak memiliki rekaman kamera CCTV di bar privat itu sebagai bukti.
Benar! Rekaman CCTV! Aku harus mendapatkannya! Reta tertegun menyadari bukti yang harus dia miliki.
“Pak, kalau saya bisa membuktikan bahwa saya tidak bersalah, apa Bapak bisa membatalkan pemecatan saya?” tanya Reta dengan penuh harap.
“Kemasi saja. Kamu itu sumber masalah di perusahaanku. Jangan bawa kesialanmu lebih banyak lagi di sini. Aku tidak mau perusahaanku gulung tikar,” tolak pria itu dengan sadis.
Reta menggemeratakkan giginya. Dia menggenggam erat jemari tangannya. Dia tak mau dipecat. Dia harus tetap bekerja karena dia butuh banyak biaya. Salah satunya adalah biaya untuk pengobatan dan perawatan ibunya yang menderita depresi berat di rumah sakit jiwa akibat perceraian dengan ayah beberapa tahun lalu.
“Bapak lihat saja nanti. Saya pasti akan bawakan buktinya!” tekad Reta tak tersurutkan.
Langkah Reta terayun keluar ruang kerjanya. Dia tak membawa banyak hal karena di meja kerja kantornya hanya ada laptop kantor dan buku catatan saja.
Selama bekerja hampir 5 tahun di perusahaan itu, Reta tak pernah sekalipun menaruh barang-barang pribadinya di sana. Selain memang tak memiliki kegemaran mengoleksi barang, Reta sebenarnya memang sangat hemat dan cenderung pelit. Karena itulah, dia hanya membeli makanan dan mengumpulkan banyak diskon. Jika ada uang lebih, dia memilih menabungnya daripada digunakan untuk berfoya-foya.
Reta takut suatu saat dirinya sakit dan tak bisa bekerja. Sementara itu, dia belum menemukan seorang pria yang bisa dia percayai sebagai pasangan yang baik.
Perceraian ayah dan ibunya yang berakhir mengerikan itu membuat Reta mengalami trust issue pada setiap laki-laki yang mencoba mendekatinya. Ditambah lagi, kini dia terlibat masalah dengan Jason. Kepercayaan Reta pada laki-laki semakin anjlok ke inti bumi.
Reta mengikat rambutnya yang tergerai. Dia melangkah menuju parkiran dan segera menaiki motor matic-nya. Tujuannya sekarang adalah hotel tempat bar privat itu berada. Dia akan meminta pihak hotel untuk membantunya mengakses rekaman CCTV sebagai bukti.
“Aku nggak boleh dipecat. Aku butuh uang,” gumam Reta sepenuh tenaga. Dia tak mau menjadi pengangguran. Apalagi, sekarang itu, mencari pekerjaan sangat susah. Ditambah lagi, jika memiliki masalah di kantor sebelumnya atau dipecat. Reta tak mampu membayangkan itu semua.
Reta menambah kecepatan motornya. Dia melaju masuk ke dalam parkiran hotel. Usai memarkir motornya, dia berlari kecil masuk ke dalam lift hotel yang ada di bagian basement hotel itu.
Dia naik ke bagian lantai satu. Di sana, dia menghampiri bagian resepsionis dan bertanya apa dirinya bisa mengakses rekaman CCTV hotel.
“Maaf, Bu. Hotel kami tidak bisa memberikan izin orang luar untuk mengakses rekaman CCTV tersebut,” ujar perempuan cantik yang menjaga bagian resepsionis itu.
“Tapi, ini penting. Ada orang yang berbuat jahat pada saya dan saya butuh rekaman CCTV sebagai buktinya,” terang Reta mendesak.
“Maaf, Bu. Sejauh kami beroperasi, hotel kami ini adalah hotel berbintang dengan layanan prima. Kami memiliki penjagaan ketat sehingga para pengunjung nyaman. Mana mungkin ada kejahatan terjadi di sini. Ibu jangan menyebarkan isu negatif tentang hotel kami,” balas si resepsionis. Kali ini dengan tatapan tajam dan tak bersahabat.
Reta tahu si resepsionis mulai tersinggung karena pernyataannya. Namun, dia memang mengalami kejahatan pelecehan dari Jason di hotel ini.
“Saya sungguh tidak berbohong. Saya benar-benar menjadi korban,” timpal Reta. Kali ini dengan lebih ngotot.
Pihak resepsionis tidak membalas. Dia malah mengambil telepon dan menghubungi seseorang.
“Iya. Tolong segera ke sini ya? Saya tunggu,” ucap si resepsionis sebelum menutup teleponnya.
Reta kira si resepsionis itu berniat mengabulkan permintaannya. Namun, tebakan Reta salah.
Resepsionis memanggil satpam. Dua orang satpam menghampiri Reta dan langsung memegangi kedua tangan Reta.
“Ayo keluar!” ucap satpam hotel dengan galaknya.
“Argh! Lepas! Lepaskan aku!” teriak Reta. “Aku ini butuh bukti! Hotel ini benar-benar tempat terjadinya kejahatan. Aku ini korban! Tolong percaya padaku!”
“Anda jangan melawan,” balas si satpam hotel.
Reta diseret keluar hotel dengan sangat kasar dan tidak sopan. Bahkan, tubuh Reta didorong keluar dari lobi hotel dengan keras.
“AKH!” Reta jatuh tersungkur. Tangan dan lututnya lecet karena berbenturan dengan lantai kasar.
“Pergi dari sini atau kami laporkan ke polisi!” usir satpam. “Anda sudah membuat pengunjung hotel tidak nyaman. Kami bisa menuntut Anda dan memenjarakan.”
Reta menelan ludahnya. Dia tak mau dipenjara. Namun, dia masih membutuhkan bukti itu.
Segera Reta bangun dari duduknya. Dia membersihkan roknya yang sedikit sobek di bagian bawah. Pandangannya geram menatap ke arah satpam itu.
“Awas aja kalian! Bakal aku bikin kalian minta maaf balik padaku!” oceh Reta marah-marah.
Reta mendengkus sebal. Langkahnya kembali ke parkiran dan segera menaiki motornya.
Dia harus mencari cara lain untuk mendapatkan rekaman CCTV itu. Sayangnya, kepala dan hatinya sekarang panas semua karena amarah. Dia tak mampu berpikir jernih sekarang.
“Pulang dulu sajalah,” ucap Reta.
Dia menggunakan helmnya yang berwarna hijau muda dengan gambar katak keropi. Dia menyukai hal-hal berwarna hijau dan bermotif katak keropi. Bahkan, dia rela menjahit piyamanya dengan modal kain katun hijau bermotif keropi.
Reta mengendarai motornya menuju rumah. Dia ingin bersantai di kamar dan berpikir tenang.
Di depan ada sebuah perempatan. Lampu lalu lintas sudah berwarna merah. Tanda bahwa semua kendaraan harus berhenti.
Reta mengikuti rambu-rambu lalu lintas. Dia berhenti dan menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Posisi Reta tepat di barisan depan di sebelah kiri dekat lampu lalu lintas. Dari belakang Reta ada sebuah mobil sport berwarna hitam melaju dengan cepat.
Tak ada bunyi klakson. Reta bahkan tak sempat mengetahui bahwa mobil sport hitam itu melaju kencang dan menyundul motornya dari belakang.
Yang Reta tahu adalah tubuhnya tertubruk kencang dan terlempar tinggi ke sisi kiri jalan. BRUK!
Suara dentuman tubuh Reta menghantam aspal terdengar kencang. Reta merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit dan remuk.
Reta sungguh ingin bisa bergerak. Namun, syaraf tubuhnya tak bisa diajak kerjasama. Perlahan pandangan Reta mengabur dan gelap.
JANGAN LUPA BERIKAN DUKUNGAN PADA PENULIS. INGIN TAHU KARYA PENULIS YANG LAINNYA? FOLLOW IG @bonanzalalala HAPPY READING ALL :D
Kepala Reta terasa berkunang-kunang. Pandangannya perih saat kelopak matanya terbuka dan cahaya menerobos masuk ke dalam penglihatannya.Agar tak begitu perih, Reta mengerjap-ngerjapkan pandangannya. Dia memfokuskan pandangannya. Tampak atap berwarna putih.“Reta, kamu sudah sadar?”Terdengar ucapan Ninda, teman kuliah Reta yang kini memiliki usaha sebuah kafe komik di Bandung. Reta ingin bicara. Sayangnya, lidahnya terasa kelu sekarang.“Aku panggilkan dokter sebentar,” ujar Ninda. “Sabar ya, Ret. Sabar.”Ninda memencet tombol pemanggil perawat. Tak berapa lama, seorang dokter dan perawat datang.Reta hanya bisa berbaring pasrah di ranjang. Dia mencoba mengingat apa saja yang dia alami sebelum dirinya terdampar di atas ranjang yang dipenuh dengan aroma disenfektan menyengat ini.“Ini angka berapa?” dokter mengecek ingatan Reta.“Satu, Dok,” jawab Reta setelah dirinya bisa diajak bicara.“Nama Anda?”“Reta. Margareta.”“Pekerjaan?”“Arsitek,” ucap Reta. Dia menjawab apa saja yang dita
“Gimana?” Ninda melangkah menghampiri Reta.Sudah berjalan tiga bulan semenjak Reta keluar dari rumah sakit. Tiap seminggu sekali Reta periksa ke rumah sakit untuk latihan menguatkan syaraf bawah tubuhnya.Reta tahu harapannya itu tipis. Namun, masih tersisa harapan besar dalam hati Reta bahwa dirinya akan bisa berjalan lagi.“Ini aku lagi cek email. Katanya hari ini pengumuman buat wawancara perusahaan,” terang Reta.Ninda menyodorkan makanan ke depan Reta. “Makan dulu, Ret. Jangan sampai kurang gizi,” ujar Ninda.“Aku belum gitu laper, Nin,” Reta membuka email masuk teratas. Hatinya berdebar-debar.Sorot mata Reta membaca satu per satu tulisan yang ada di email itu. Penolakan. Reta mendesah resah. Lagi-lagi dirinya ditolak.Dia berdecak. “Kenapa ya? Padahal, aku udah kirim semua portofolio terbaikku,” ucap Reta sedih. Dia sungguh berharap ada satu saja perusahaan yang mau memanggilnya untuk ikut wawancara pekerjaan.“Ret, cek lagi. Itu kan ada banyak email masuk,” Ninda menunjuk lay
Reta menunggui kliennya di rumah sakit. Kliennya itu sudah ditangani oleh dokter sepenuhnya. Kini Reta tinggal menunggu kedatangan pihak keluarga dari kliennya itu."Ret, udah kamu hubungi kan keluarganya?" tanya Ninda mengecek. Ninda menoleh ke arah lorong di mana orang-orang biasanya datang membesuk pasien. Tak tampak kedatangan seorang pun di sana.“Tunggu bentar lagi. Aku udah kirim pesan sama ttelepon ke alamat kantornya Bu Rumi kok," balas Reta.Pandangan Reta kembali mengarah ke kartu nama milik Rumi. Dia kembali menelepon kantornya dan memberitahu bahwa Rumi sedang di rumah sakit.“Iya, terima kasih informasinya. Sekarang anak Bu Rumi sudah ke rumah sakit,” jawab bagian administrasi perusahaan Rumi.Reta menghela napas lega. Setidaknya sudah ada anak Rumi yang datang ke rumah sakit.“Nin, kita balik duluan aja. Kamu kan ada acara habis ini. Kalau mepet berangkatnya nanti kena macet,” tutur Reta.“Nggak apa-apa nih kita tinggal?”“Tadi anaknya udah jalan ke sini kok. Kita balik
Baru saja keluar dari lokasi tes wawancara, ponsel Reta sudah berdering. Reta merogoh saku roknya. Dia bisa melihat nama Rumi ada di layar ponselnya.Reta menggerakkan kursi rodanya ke pinggiran. Dia menerima telepon di tepian lorong tempat dirinya tes wawancara tadi.“Iya. Apa kabar, Bu Rumi,” sapa Reta dengan ramah. “Apa Ibu sudah baik-baik saja?”“Reta, makasih ya. Berkat kamu, saya tertolong,” balas Rumi dengan sangat ramah.Hati Reta merekah mendengarkan suara ramah Rumi. Mendadak dia memiliki intuisi bagus tentang kontrak kerjasamanya dengan Rumi.“Bu Rumi masih di rumah sakit? Atau, sudah pulang?” tanya Reta. “Beneran udah baikan, kan, Bu?”“Sekarang lagi persiapan pulang ke rumah. Saya tidak betah lama-lama di rumah sakit.”“Saya senang Ibu bisa sehat lagi. Kemarin saya kaget dan khawatir. Saya kira Ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kita kan lagi di kafe, Bu. Mendadak saya jadi teringat kejadian kasus kopi sianida. Takutnya nanti saya dituduh yang tidak-tidak,” celoteh Reta setengah
“NINDA!” seru Reta riang saat tiba di rumah Ninda.Ninda yang menunggui Reta di ruang tamu langsung berlari keluar dan membukakan pintu rumah. Dia tersenyum melihat Reta yang berteriak senang hingga kedua tangannya diangkat ke atas semua.“Gimana, Ret? Kabar baik nih pasti,” Ninda menghampiri Reta. Dia membantu Reta mendorong kursi roda masuk ke dalam ruang tamu. Lantas, dia menutup dan mengunci pintu rumah dari dalam.“Iya, Nin. Bu Rumi baik lho. Dia udah transfer uang mukanya ke aku,” celoteh Reta riang. “Aku mendadak berasa kaya.”Tawa Ninda terkekeh. “Simpen dulu aja. Kan minggu depan kamu harus jenguk ibumu, kan?” timpal Ninda mengingatkan. “Nggak usah bayar utang ke aku dulu. Aku anggap ini usahaku buat bayar semua kebaikanmu waktu bantu aku sembuh dari jerat narkoba, Reta.”Reta mendongak menatap Ninda dengan wajahnya yang penuh haru. “Ninda, thanks ya. Aku bersyukur banget bisa tetep temenan sama kamu,” aku Reta jujur. “Kalau misal nih kita lost contact, aku nggak tahu bakal ng
Jantung Reta tersentak kaget mendengar teguran dari pria itu. Sekilas pria itu memang tampan dan bertubuh tegap. Namun, pandangan mata pria itu terlalu tajam dan intimidatif untuk Reta. Membuat Reta perlahan memundurkan kursi roda.Sialnya, bagian roda kursi roda Reta terbentur pinggiran pintu cukup keras. Reta yang dalam kondisi takut dan bingung tak bisa mempertahankan posisi tegapnya di atas kursi roda itu. Tak pelak, dia jatuh bersama dengan kursi rodanya ke arah belakang.“AKH!” teriak Reta kesakitan.Dia tak hanya sakit sekarang. Posenya terjatuh sangat buruk. Ditambah lagi, dia menggunakan dress sekarang.“Hei! Apa-apaan kamu?!!” teriak pria itu ikutan panik.Pria itu berlari ke arah Reta. Tampak Reta masih berusaha mempertahankan posisi bagian bawah dressnya agar tak semakin turun ke bawah sehingga dalamannya terlihat.Sementara itu, pria itu membantu Reta bangun dengan cara menggendongnya. Dia membawa Reta duduk di sofa. Baru kemudian, dia membenarkan posisi kursi roda Reta a
“Bu Rumi nggak lagi ajak saya bercanda, kan?” timpal Reta tak percaya. “Bu Rumi, jika memang sebuah candaan, saya rasa ini bukan candaan yang bagus.” “Ini bukan candaan, Reta. Aku serius menawarimu hal ini. Aku sudah memikirkan syaratnya juga,” terang Rumi menggebu-gebu. Sekilas Reta bisa melihat Rumi tampak serius. Namun, untuk apa? Bahkan, mereka tak saling kenal dalam waktu lama. Rumi tak tahu banyak hal tentang Reta. Hal ini semakin terasa absurd sekarang. “Memangnya apa syaratnya?” tanya Reta. “Kamu sudah bertemu anak sulungku tadi, kan? Namanya Dirga. Dia anak sulungku dan usianya sudah tiga puluh tiga tahun. Tapi, karena pacarnya meninggal dalam kecelakaan, dia menutup hatinya dan tidak mau menikah dengan siapapun,” terang Rumi. “Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berusaha menjodohkan Dirga dengan perempuan lain. Aku dan suamiku sudah mencoba berulang kali tapi semua perempuan yang kami jodohkan pada Dirga memilih mundur.” “Kamu pasti paham kan alasan para perempuan
“Memangnya apa yang ingin Anda katakan?” balas Reta was-was.“Oh, kamu tipe yang suka to the point ya?” Dirga berdecak senang. “Ya, itu bagus.”“Lalu, apa inti yang ingin Anda bicarakan pada saya, Pak Dirga?” tanya Reta sekali.Reta mencoba tetap tenang meski sekarang jantungnya seperti genderang ditabuh kencang. Dia tak tahu seperti apakah isi hati dan pikiran Dirga. Yang dia tahu adalah Dirga tipe pria arogan yang sangat percaya diri dengan kekayaan dan ketampanannya.“Saya perlu membayar berapa padamu agar kamu mau menolak permintaan mama saya?”“Eh?” Reta terperangah. “Maksudnya?”“Tolak permintaan mama saya,” suruh Dirga. “Kamu dapat tawaran berapa dari mama saya? Nanti saya ganti lebih?”Reta paham maksud ucapan Dirga. Namun, harga diri Reta sedikit tersinggung ketika Dirga mulai melanjutkan kalimat-kalimatnya lain.“Kamu mau apa? Uang berapa milyar? Nanti saya berikan. Yang penting kamu tolak semua tawaran mama saya dan jangan pernah muncul lagi di depan mama saya,” terang Dirg
Melihat interaksi Reta dan Doni membuat hati Rumi terasa tentam, ini yang sebenarnya ingin ia rasakan ketika melihat Reta bersama dengan Dirga.Dirga bukan suami yang buruk, namun dari beberapa sisi tak disadari justru itulah yang membuat siapapun sakit termasuk Reta sendiri.Lihat kedekatan Reta dan Doni saat ini tanpa sadar sekelebat ide gila muncul dalam otak Rumi, dan entah setan apa yang merasukinya saat ini ia mulai mengeluarkannya ponsel miliknya.‘Dirga harus tahu, aku juga perlu menguji rasa cintanya pada Reta,’ ucap Rumi dalam hati.Jprettt.Rumi menangkap gambar Reta dan Doni secara diam-diam.Dari tangkapan gambarnya Rumi berhasil menangkap potret Reta dan Doni yang nampak sangat dekat, lalu tanpa ragu ia langsung mengirim foto itu ke nomor Dirga.‘Sesekali Dirga memang pantas dapatkan hal ini,’ ucap Rumi dalam hati.Pesan singkat berisi beberapa foto bahkan video kedekatan Reta dan Doni telah terkirim namun belum dibaca oleh CEO kaya raya itu.‘Mungkin dia masih sibuk, ta
Dirga berdecak usai menonton video kiriman sang mama. Dia masih berada di Jepang sekarang. Selain memang ingin lari dari situasi pernikahan yang tidak dia inginkan sejak awal, dia memang memiliki beberapa tender proyek pembangunan gedung milik orang Indonesia yang dikembangkan di Jepang.Tentu saja Dirga tak bisa semudah itu bepergian. Dia harus bertanggung jawab mengecek harian proses pembangunannya dan mengawasi rancang bangunan sesuai dengan desain dan kekokohan bangunan atau tidak.“Dia terlihat lebih sehat,” gumam Dirga. Telunjuknya mengusap tepat di bagian wajah Reta tampak di layar ponselnya. Dalam hati, Dirga turut berbahagia karena Reta menunjukkan hasil pengobatan yang positif.Sebuah ketukan terdengar dari luar ruang kerja Dirga. Segera Dirga berhenti menatap ponselnya. Dia menaruh ponselnya di meja dan mempersilakan tamunya masuk.Tampak asistennya datang dengan setumpuk laporan progres pembangunan yang memang Dirga inginkan. Dirga termasuk tipe orang yang ketat dalam hal
Reta mengikuti pemeriksaan awal ke rumah sakit untuk melihat saraf kaki dan punggungnya. Dia mengikuti rangkaian pemeriksaan dan hasilnya keluar sekitar satu jam kemudian.“Dok, bagaimana dengan kondisi saya? Apa masih ada kemungkinan bagi saya untuk berjalan?” tanya Reta penuh harap. Dia termasuk sudah telat untuk menjalani terapi saraf dan jalan karena tak memiliki biaya. Namun, dia tetap berharap bahwa dia bisa kembali jalan kaki.“Ada beberapa saraf yang terjepit tapi masih bisa dikembalikan ke posisi semula dengan operasi dan terapi,” tutur si dokter. “Setidaknya Anda harus melakukan operasi dan terapi. Butuh waktu lama untuk penyembuhan. Sekitaran satu atau dua tahun.”Reta terkesiap dalam kebingungan. Ada harapan besar bagi dia untuk kembali sembuh. Namun, dia butuh waktu maksimal dua tahun agar bisa sembuh.Sebuah sentuhan lembut jatuh di kedua pundak Reta. Reta tersentak dan tersadar dari lamunan kebingungannya.“Reta, Mama nggak masalah soal biaya pengobatanmu kok,” bisik Ru
“Ga, mau ke mana?” tegur Zidan saat acara makan siang untuk merayakan pernikahan Dirga dan Reta selesai digelar.Langkah Dirga terhenti sebentar. Dia menoleh ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama dengan adik-adik Dirga.“Ke kantor. Ada rapat dan sore nanti aku harus ke Jepang,” jawab Dirga. Dia menunjukkan koper biru tua yang ada di tangannya itu.“Ini hari pertama pernikahanmu, Ga. Di rumah dulu saja,” suruh Zidan. “Kamu nggak menghargai Reta sebagai istrimu.”“Aku sudah menuruti keinginan Papa dan Mama buat menikah. Sekarang terserah aku dong mau ngapain. Yang penting aku udah nikah, kan?” timpal Dirga. Dia mengingatkan kembali perjanjiannya dengan Zidan dulu. “Udah ya, Pa. Aku ada kerjaan menumpuk dan belum aku urusi gara-gara sibuk menyiapkan pernikahan ini.”“Reta bagaimana?” tanya Zidan. Dia mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya yang memang terlampau bandel sejak kecil itu.“Reta kan harus pengobatan. Mendingan langsung bawa ke Singapura aja,” tutur Dirga. “Aku suda
Hari pernikahan yang dinanti telah tiba. Reta sudah mengenakan gaun pernikahan dengan model simpel sesuai dengan pilihannya.Wajah gadis itu tampak sangat cantik usai didandani oleh seorang make up artist ternama. Semua orang terkagum akan kecantikannya.“Wah, aku harus banyak ambil foto sama kamu, Ret,” Ninda tampak agresif dan mulai mengambil foto-foto bersama dengan Reta. “Kak Doni pasti seneng banget deh lihat foto-fotomu.”Reta mengulas senyuman simpul. Dia meladeni keinginan Ninda untuk foto bersama.“Kak Doni kan bukan suamiku, Ninda. Kamu harus bisa jaga kakakmu. Biar dia nggak dapet cap buruk,” tutur Reta. Dia sangat menghargai Doni sebagai seorang kakak. Dia tak mau orang lain berkata buruk tentang pria itu.“Santai aja. Kalaupun kamu cerai, Kak Doni kayaknya mau ajak nikahin kamu,” canda Ninda. Derai tawanya terdengar renyah. “Nanti malem kabarin aku ya? Kalau misal Dirga lakuin hal buruk ke kamu, kamu langsung sembunyi ke kamar mandi dan telepon aku. Janji ya?”Ninda menga
“Eh? Kenapa pipimu ada cap lima jari kayak ijazah sekolah, Ga?” celetuk Rumi saat bertemu dengan anak laki-lakinya di parkiran.Dirga mendengkus sebal. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang memanas gara-gara ditampar oleh Reta saat jatuh tepat di pangkuan Reta. Sebuah kesalahan besar karena tangan Dirga malah bergerak memegang dada kiri Reta untuk mendapatkan pijakan. Alhasil, cap lima jari melekat di pipinya.“Nggak tahu ah. Aku mau cabut dulu,” balas Dirga. Dia tak mungkin membuka aibnya dengan menceritakan ulang kejadian memalukan itu.Dirga melangkah duluan menuju mobilnya. Dia masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarainya meninggalkan lokasi.Rumi menatap ke arah Reta. Dia yakin pasti terjadi sesuatu antara Reta dan Dirga. “Reta, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Rumi. “Dirga nggak bikin kamu kesal, kan?”Sebelumnya Reta agak takut pada Rumi. Bagaimanapun, Dirga adalah anak sulung Rumi dan status Reta masih bertunangan dengan Dirga. Dia belum resmi menjadi istri Dirga.“Maa
Ponsel Reta bergetar. Dia membuka resleting sling bag-nya yang berwarna putih itu dan mengangkatnya. Ada telepon masuk dari Ninda.“Ret, gimana? Nggak ada apa-apa kan sama Dirga?” tanya Ninda mengecek. Nada bicaranya terdengar cemas.“Iya, Nin. Aku baik-baik aja kok. Tumben ih kamu cemas,” ucap Reta. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya akan secemas itu padanya. Padahal, biasanya Ninda sangat santai.“Aku tadi diceritain sama Tante Rumi soal hubunganmu sama Dirga. Katanya tadi pagi Dirga mau gituin kamu ya?” tutur Ninda setengah berbisik dan sudah tentu sangat serius. “Gila sih. Kok gitu dia. Kan kalian belum nikah. Gimana sih?”Reta mengulum senyuman simpul. Dia membiarkan Ninda mengomel hinga tuntas.“Tadi pagi itu cuma salah paham,” ujar Reta. “Mas Dirga nggak ada maksud kayak gitu kok.”“Beneran nggak ada?” tanya Ninda sekali lagi. “Ret, kalau emang kamu ngerasa ada yang aneh sama Dirga, hati-hati ya? Aku dikasih tahu Kak Doni buat terus ngawasin kamu karena ternyata masa lalu Dirga
“Kamu itu memang sumber masalah dalam hidupku,” decak Dirga sambil mendorong kursi roda Reta.Mereka sudah tiba di kebun sayur dan buah dengan metode tanam pertanian modern. Tempat ini sangatlah bersih dan jauh dari kata becek. Karena itulah, banyak orang yang suka mampir untuk berwisata keliling area kebun yang memiliki luasan belasan hektar sambil memilih sayur dan buah untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.Reta menoleh ke belakang dan mendongak ke arah Dirga. Pandangannya memicing tajam ke arah pria yang akan menjadi suaminya itu.“Sudah kubilang padamu kalau bukan aku yang pengen pergi ke tempat wisata ini,” balas Reta. Dia mendengkus sebal. “Kalau kamu nggak suka, seharusnya kamu tolak aja.”“Kamu pikir mamaku bakal biarin aku kabur gitu aja?” timpal Dirga. “Harusnya kamu dong yang nolak keinginan mamaku dari awal.”“Mana bisa,” ucap Reta.Dia kembali menghadap ke depan. Rasan
“Ya Allah, Dirga!” pekik Rumi.Dalam hati Rumi senang melihat Dirga ada ketertarikan pada Reta. Namun, dia tetap memasang ekspresi galak agar Dirga semakin menuruti keinginannya.Dirga buru-buru turun dari atas tubuh Reta. Langkahnya bergerak cepat turun dari ranjang. Namun, karena dia tergesa-gesa, kaki kirinya terjerembab oleh selimut dan dia jatuh berguling di lantai.Reta sendiri memilih menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya menunduk malu. Dia bisa merasakan hawa panas yang merambati seluruh tubuhnya akibat rasa malu yang teramat sangat.Rumi menyuruh pembantu menaruh makanan di meja dan keluar. Setelah itu, dia mendekati Dirga dan membantunya bangun dari posisi terjatuhnya.Tangan Rumi menepuk pelan lengan Dirga. “Kamu ini belum sah lho. Udah main sosor Reta aja. Sabar, Ga,” ucap Rumi menasihati Dirga.“Ma, ini nggak seperti yang Mama pikirkan kok,” balas Dirga. “Beneran! Sumpah!”“Udah, udah. Mama tahu kok kalau memang udah saatnya kamu itu punya istri,” ujar Rumi. D