Reta menunggui kliennya di rumah sakit. Kliennya itu sudah ditangani oleh dokter sepenuhnya. Kini Reta tinggal menunggu kedatangan pihak keluarga dari kliennya itu.
"Ret, udah kamu hubungi kan keluarganya?" tanya Ninda mengecek. Ninda menoleh ke arah lorong di mana orang-orang biasanya datang membesuk pasien. Tak tampak kedatangan seorang pun di sana.
“Tunggu bentar lagi. Aku udah kirim pesan sama ttelepon ke alamat kantornya Bu Rumi kok," balas Reta.
Pandangan Reta kembali mengarah ke kartu nama milik Rumi. Dia kembali menelepon kantornya dan memberitahu bahwa Rumi sedang di rumah sakit.
“Iya, terima kasih informasinya. Sekarang anak Bu Rumi sudah ke rumah sakit,” jawab bagian administrasi perusahaan Rumi.
Reta menghela napas lega. Setidaknya sudah ada anak Rumi yang datang ke rumah sakit.
“Nin, kita balik duluan aja. Kamu kan ada acara habis ini. Kalau mepet berangkatnya nanti kena macet,” tutur Reta.
“Nggak apa-apa nih kita tinggal?”
“Tadi anaknya udah jalan ke sini kok. Kita balik aja. Ketemunya kalau Bu Rumi udah sembuh,” terang Reta. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah Ninda.
Ninda meraih pegangan kursi roda Reta. Dia mendorongnya keluar dari kamar pasien.
“Ngeri juga ya kena hipertensi itu,” ujar Ninda.
“Iya. Katanya hipertensi yang parah, bisa bikin kena serangan di otak. Pendarahan gitu dan bikin mati juga,” timpal Reta. Dia setuju dengan ucapan Ninda.
“Wah, padahal ya, Bu Rumi itu nggak kelihatan kayak orang yang kena hipertensi lho.”
“Masih muda ya? Kelihatan kayak masih lima puluh tahun awal.”
“Mungkin emang segitu usianya, Ret,” ucap Ninda. Mereka masuk ke dalam mobil Ninda.
“Ah, aku seneng banget kalau pergi sama kamu, Nin,” ujar Reta sambil menata posisi duduknya.
“Kenapa gitu?” kekeh Ninda. Dia membantu Reta menggunakan sabuk pengaman.
“Soalnya kamu punya mobil. Kan mobil itu kendaraan yang nyaman buat orang cacat kaki sepertiku,” jelas Reta.
“Nah, kan. Sekarang kamu sadar kan kalau aku ini berguna buat kamu,” hidung Ninda mulai kembang kempis membesar karena perasaannya sangat bangga. “Sekarang kamu harus kabari aku kalau mau pergi kemanapun, Ret. Nanti aku temenin kamu. Cuma antar jemput kamu doang. Nggak bakal bikin aku sakit.”
“Tetep aja, Ninda. Aku tuh nggak mau ganggu kamu. Kan kamu ada kafe tuh. Harus ngurusin kafe dan belum lagi orang tuamu minta dijenguk seminggu sekali, kan?” timpal Reta mengingatkan sahabatnya itu.
“Eits, santai. Orang tuaku sekarang kan rumahnya sampingan sama rumah kakakku,” kekeh Ninda. “Kak Doni masih naksir kamu lho, Ret.”
“Eh, kok malah bahas gituan,” Reta terkaget dengan ucapan Ninda. “Lagian nih aku tuh lumpuh, Ninda. Malah jadi beban pasangan. Emang dasar nasibku kayaknya. Ditakdirkan jomlo seumur hidup.”
“Jangan patah semangat, Ret. Jodoh itu nggak ada yang tahu. Kalau emang beneran ada yang tulus sama kamu gimana? Rugi kan kalau nggak kamu balas cintanya,” nasihat Ninda sebijak yang dia bisa. “Aku aja nih tiap ada kesempatan kencan buta ya ikut aja. Mungkin kan ada yang lolos sebiji gitu.”
Tawa Ninda kembali memenuhi mobil. Suara tawanya berbalapan dengan suara musik radio yang barusan dia nyalakan.
Reta hanya mengulas senyuman simpul saja. Dia tidak ingin membandingkan dirinya dengan Ninda. Tentu karena dia tahu persis seperti apa keluarga Ninda.
Ninda memiliki seorang kakak laki-laki bernama Doni. Usianya terpaut 5 tahun lebih tua dari Ninda. Kedua orang tua Ninda adalah orang kaya. Ibu Ninda adalah dosen jurusan di fakultas Reta berkuliah dulu. Sementara itu, ayah Ninda memiliki bisnis perkebunan buah dan mengajar sebagai dosen di kampus khusus pertanian.
Meskipun Ninda pernah terjebak dalam pergaulan bebas dan terjerat narkoba saat kuliah, kini hidup Ninda sudah menginjak masa-masa stabilnya. Memang kafe Ninda tak melejit dengan cepat. Namun, Ninda bisa menikmati hasilnya dan memperkerjakan satu hingga lima orang karyawan. Cukup menyenangkan untuk ukuran seorang perempuan yang sudah lelah dengan kehidupan seperti Ninda.
Ponsel Reta berdering. Dia terbangun dari lamunannya. Ada nomor tak dikenal memanggil.
“Siapa, Ret?” tanya Ninda. Dia menghentikan mobil karena sekarang sedang lampu merah.
“Nggak tahu. Nggak kenal.”
“Angkat aja. Siapa tahu anaknya klienmu itu,” suruh Ninda. “Kalau ganteng dan jomlo, coba aja digebet. Siapa tahu kan jodoh.”
“Dih, Ninda. Apaan sih kamu,” Reta menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.
Sayangnya, baterai ponsel Reta lowbat. Belum sempat percakapan dimulai, telepon sudah mati duluan.
“Duh, mati hapeku,” ucap Reta sedikit kesal.
Tawa Ninda terdengar kembali. “Ya udah. Besok ke rumah sakit lagi aja, Ret. Sekalian bawa buah,” ujar Ninda.
“Apaan sih. Besok aku tes wawancara kerja ya,” ujar Reta penuh semangat. “Aku harap besok aku beneran bisa lolos wawancara itu. Aku beneran butuh duit nih. Udah setahun nganggur. Duitku beneran tinggal recehan. Obat ibuku juga harus terus jalan.”
“Amin. Aku doain lolos, Ret. Kamu pasti bisa,” timpal Ninda dengan sangat tulus.
Lampu rambu lalu lintas kembali menghijau. Ninda mengemudikan mobilnya lagi menuju rumahnya.
***
Reta mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tampak deretan pelamar yang lolos tes wawancara.
Semua peserta tampak sehat. Hanya dirinya yang cacat dan menggunakan kursi roda.
Reta menghela napas gusar. Memang ada peraturan UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan swasta untuk tetap memberikan kuota pekerjaan untuk orang cacat. Namun, Reta tak yakin jika dirinya akan diterima. Mengingat perusahaan ini termasuk perusahaan besar di Bandung.
"Apa aku pulang aja ya?" desis Reta. Dia mulai gugup dan rasa tak percaya dirinya mulai timbul.
Menjadi arsitek tak hanya sekadar menggambar. Dia tetap harus mengecek ke lokasi pembangunan dan menyamakan desain dengan rumus bangunan agar harmonis. Dia tak mau menjadi seorang arsitek yang dianggap hanya sekadar untuk melukis keindahan. Dia tetap ingin menghasilkan desain yang mudah dibangun bagi para pembangun bangunan dan tentunya aman untuk keselamatan para pengguna bangunan saat gedung atau rumah sudah selesai dibangun.
Namun, dengan kondisinya yang cacat begini, pasti dia akan mendapatkan cercaan dari tim pewawancara. Reta yakin sekali akan hal itu.
Dan, keyakinan Reta memang terbukti benar. Tepat ketika dirinya sudah berada di dalam ruangan wawancara, salah satu pewawancara mulai menanyai Reta tentang kondisi fisik Reta yang cacat itu.
"Proyek yang kami buat selalu proyek bangunan besar. Anda harus bisa mengecek ke lapangan juga. Dengan kondisi seperti ini, apa Anda yakin bisa melakukannya?"
Reta menelan ludahnya. Jika ditanya seperti itu, Reta juga merasa gamang. Sedari tadi dia pun sudah memprediksi pertanyaan seperti ini akan terlontar untuknya.
"Iya, saya bisa," sahut Reta mantap.
Dia tak bisa menyerah begitu saja. Walaupun ragu, Reta tetap harus berjuang. Dia butuh uang. Dia harus bekerja. Menjadi perempuan single yang cacat dan pengangguran adalah hal terburuk dalam hidup Reta. Dia ingin mengubahnya. Minimal meskipun cacat, dia tetap harus bekerja agar bisa bertahan hidup dan punya kesempatan untuk berobat.
"Saya sudah mengikuti workshop untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan. Saya yakin bisa bekerja di lapangan untuk melakukan pengecekan langsung," terang Reta.
Pewawancara sebanyak tiga orang hanya saling tukar pandangan. Mereka tak lagi berkomentar dan melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.
Selang satu jam, wawancara selesai. Reta mendekati pewawancara dan bertanya. "Kapan pengumuman berikutnya diumumkan?"
"Kami akan segera menghubungi. Maksimal dua minggu dari sekarang."
"Terima kasih," ujar Reta dengan anggukan kepala.
Dua minggu lagi dia akan tahu hasil pengumuman tes wawancaranya. Dia berharap hasilnya positif.
Baru saja keluar dari lokasi tes wawancara, ponsel Reta sudah berdering. Reta merogoh saku roknya. Dia bisa melihat nama Rumi ada di layar ponselnya.Reta menggerakkan kursi rodanya ke pinggiran. Dia menerima telepon di tepian lorong tempat dirinya tes wawancara tadi.“Iya. Apa kabar, Bu Rumi,” sapa Reta dengan ramah. “Apa Ibu sudah baik-baik saja?”“Reta, makasih ya. Berkat kamu, saya tertolong,” balas Rumi dengan sangat ramah.Hati Reta merekah mendengarkan suara ramah Rumi. Mendadak dia memiliki intuisi bagus tentang kontrak kerjasamanya dengan Rumi.“Bu Rumi masih di rumah sakit? Atau, sudah pulang?” tanya Reta. “Beneran udah baikan, kan, Bu?”“Sekarang lagi persiapan pulang ke rumah. Saya tidak betah lama-lama di rumah sakit.”“Saya senang Ibu bisa sehat lagi. Kemarin saya kaget dan khawatir. Saya kira Ibu kenapa-kenapa. Apalagi, kita kan lagi di kafe, Bu. Mendadak saya jadi teringat kejadian kasus kopi sianida. Takutnya nanti saya dituduh yang tidak-tidak,” celoteh Reta setengah
“NINDA!” seru Reta riang saat tiba di rumah Ninda.Ninda yang menunggui Reta di ruang tamu langsung berlari keluar dan membukakan pintu rumah. Dia tersenyum melihat Reta yang berteriak senang hingga kedua tangannya diangkat ke atas semua.“Gimana, Ret? Kabar baik nih pasti,” Ninda menghampiri Reta. Dia membantu Reta mendorong kursi roda masuk ke dalam ruang tamu. Lantas, dia menutup dan mengunci pintu rumah dari dalam.“Iya, Nin. Bu Rumi baik lho. Dia udah transfer uang mukanya ke aku,” celoteh Reta riang. “Aku mendadak berasa kaya.”Tawa Ninda terkekeh. “Simpen dulu aja. Kan minggu depan kamu harus jenguk ibumu, kan?” timpal Ninda mengingatkan. “Nggak usah bayar utang ke aku dulu. Aku anggap ini usahaku buat bayar semua kebaikanmu waktu bantu aku sembuh dari jerat narkoba, Reta.”Reta mendongak menatap Ninda dengan wajahnya yang penuh haru. “Ninda, thanks ya. Aku bersyukur banget bisa tetep temenan sama kamu,” aku Reta jujur. “Kalau misal nih kita lost contact, aku nggak tahu bakal ng
Jantung Reta tersentak kaget mendengar teguran dari pria itu. Sekilas pria itu memang tampan dan bertubuh tegap. Namun, pandangan mata pria itu terlalu tajam dan intimidatif untuk Reta. Membuat Reta perlahan memundurkan kursi roda.Sialnya, bagian roda kursi roda Reta terbentur pinggiran pintu cukup keras. Reta yang dalam kondisi takut dan bingung tak bisa mempertahankan posisi tegapnya di atas kursi roda itu. Tak pelak, dia jatuh bersama dengan kursi rodanya ke arah belakang.“AKH!” teriak Reta kesakitan.Dia tak hanya sakit sekarang. Posenya terjatuh sangat buruk. Ditambah lagi, dia menggunakan dress sekarang.“Hei! Apa-apaan kamu?!!” teriak pria itu ikutan panik.Pria itu berlari ke arah Reta. Tampak Reta masih berusaha mempertahankan posisi bagian bawah dressnya agar tak semakin turun ke bawah sehingga dalamannya terlihat.Sementara itu, pria itu membantu Reta bangun dengan cara menggendongnya. Dia membawa Reta duduk di sofa. Baru kemudian, dia membenarkan posisi kursi roda Reta a
“Bu Rumi nggak lagi ajak saya bercanda, kan?” timpal Reta tak percaya. “Bu Rumi, jika memang sebuah candaan, saya rasa ini bukan candaan yang bagus.” “Ini bukan candaan, Reta. Aku serius menawarimu hal ini. Aku sudah memikirkan syaratnya juga,” terang Rumi menggebu-gebu. Sekilas Reta bisa melihat Rumi tampak serius. Namun, untuk apa? Bahkan, mereka tak saling kenal dalam waktu lama. Rumi tak tahu banyak hal tentang Reta. Hal ini semakin terasa absurd sekarang. “Memangnya apa syaratnya?” tanya Reta. “Kamu sudah bertemu anak sulungku tadi, kan? Namanya Dirga. Dia anak sulungku dan usianya sudah tiga puluh tiga tahun. Tapi, karena pacarnya meninggal dalam kecelakaan, dia menutup hatinya dan tidak mau menikah dengan siapapun,” terang Rumi. “Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku berusaha menjodohkan Dirga dengan perempuan lain. Aku dan suamiku sudah mencoba berulang kali tapi semua perempuan yang kami jodohkan pada Dirga memilih mundur.” “Kamu pasti paham kan alasan para perempuan
“Memangnya apa yang ingin Anda katakan?” balas Reta was-was.“Oh, kamu tipe yang suka to the point ya?” Dirga berdecak senang. “Ya, itu bagus.”“Lalu, apa inti yang ingin Anda bicarakan pada saya, Pak Dirga?” tanya Reta sekali.Reta mencoba tetap tenang meski sekarang jantungnya seperti genderang ditabuh kencang. Dia tak tahu seperti apakah isi hati dan pikiran Dirga. Yang dia tahu adalah Dirga tipe pria arogan yang sangat percaya diri dengan kekayaan dan ketampanannya.“Saya perlu membayar berapa padamu agar kamu mau menolak permintaan mama saya?”“Eh?” Reta terperangah. “Maksudnya?”“Tolak permintaan mama saya,” suruh Dirga. “Kamu dapat tawaran berapa dari mama saya? Nanti saya ganti lebih?”Reta paham maksud ucapan Dirga. Namun, harga diri Reta sedikit tersinggung ketika Dirga mulai melanjutkan kalimat-kalimatnya lain.“Kamu mau apa? Uang berapa milyar? Nanti saya berikan. Yang penting kamu tolak semua tawaran mama saya dan jangan pernah muncul lagi di depan mama saya,” terang Dirg
“Iya, saya mau,” jawab Reta dengan lantang.Senyuman jahat tersungging di bibir Reta. Dia memutuskan untuk membalas dendam pada Dirga yang selalu memandangnya dengan rendah.“Be-beneran mau?” balas Rumi dengan riang. Wanita itu tampak sangat antusias dengan jawaban dari Reta.“Iya, Bu Rumi. Saya bersedia menikah dengan anak Ibu,” tutur Reta. “Tapi, saya tidak bisa berjanji bisa memberikan cucu secepatnya pada Ibu. Ibu kan tahu sendiri kalau anak Ibu membenci saya. Ditambah lagi, anak Ibu belum bisa move on dari mantan pacarnya.”“Nggak masalah. Yang penting mau menikah dengan anak saya saja saya sudah seneng,” terang Rumi girang. “Biar pikiran anak saya lebih terbuka.”“Iya, Bu. Saya sudah pikirkan masak-masak. Saya maau menjadi menantu Ibu. Semoga Ibu tidak kecewa ya? Saya punya banyak kekurangan soalnya. Termasuk lumpuh.”“Nggak masalah. Nanti Ibu temani kamu berobat ke Singapura,” balas Rumi. “Um, berarti kamu jangan panggil saya Ibu lagi ya?”“Terus panggil apa?”“Mama lah. Kan sa
“Ret, serius kamu nerima tawaran buat nikah sama anak Bu Rumi?” Ninda terpukau menatap sahabatnya itu.Reta tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia mengambil sambal bawang pedas di meja ruang tengah dengan bahagia.“Iya, aku udah putusin buat nikah sama anaknya Bu Rumi,” Reta melahap nasi lele bakarnya. Dia suka makan lele bakar dan tempe goreng. Selain harganya murah, rasanya enak.“Tapi, bukannya kamu nggak mau nikah? Kenapa mendadak berubah pikiran?” Ninda menatap penasaran sahabatnya itu.Reta menatap Ninda. Dia kemudian menceritakan bagaimana Dirga menipunya dengan undangan wawancara kerja itu.“Pak Dirga itu arogan banget. Dia sombong banget. Sampai kesel hatiku,” celoteh Reta. “Aku bakal bikin dia sadar meski dia kaya dan tampan, semua itu bakal percuma.”“Dengan cara menikahinya?” balas Ninda bingung. Dia belum bisa menangkap maksud Reta.“Iya. Aku bakal bikin hidup dia sengsara sampai dia mau mengubah sifatnya!” balas Reta penuh keyakinan.“Kamu yakin mau menikah dengannya?
“Semua ini gara-gara perempuan lumpuh itu!” oceh Dirga sepanjang perjalanan menuju kantornya.Baru kali ini ada seorang perempuan yang berani melawannya dengan tegas. Biasanya para perempuan tidak berani menentang Dirga. Mereka memilih kabur atau mengambil uang yang Dirga berikan.“Sialan! Dia sepertinya ingin banyak,” decak Dirga. “Dia kira dia siapa? Berani-beraninya mau mengambil banyak untung dengan kondisiku yang seperti ini.”Dirga menghentikan mobilnya tepat di parkiran kantor. Dia mengambil ponselnya dan menelepon sekretarisnya.“Ada apa, Pak?” jawab sekretarisnya.“Suruh perempuan lumpuh itu ke kantor lagi. Bilang kalau aku ingin bicara dengannya siang ini,” tutur Dirga. “Ini perintah.”“Baik, Pak.”Dirga mendengkus kesal. Dia membuka pintu mobilnya dan mengayunkan langkah menuju lift yang ada di parkiran.Sementara itu, Reta sedang asik-asiknya menggambar di atas kasurnya. Sudah lama dia tak membuat sketsa dengan santai.Dia mulai berpikir untuk menambah beberapa gambaran ba
Melihat interaksi Reta dan Doni membuat hati Rumi terasa tentam, ini yang sebenarnya ingin ia rasakan ketika melihat Reta bersama dengan Dirga.Dirga bukan suami yang buruk, namun dari beberapa sisi tak disadari justru itulah yang membuat siapapun sakit termasuk Reta sendiri.Lihat kedekatan Reta dan Doni saat ini tanpa sadar sekelebat ide gila muncul dalam otak Rumi, dan entah setan apa yang merasukinya saat ini ia mulai mengeluarkannya ponsel miliknya.‘Dirga harus tahu, aku juga perlu menguji rasa cintanya pada Reta,’ ucap Rumi dalam hati.Jprettt.Rumi menangkap gambar Reta dan Doni secara diam-diam.Dari tangkapan gambarnya Rumi berhasil menangkap potret Reta dan Doni yang nampak sangat dekat, lalu tanpa ragu ia langsung mengirim foto itu ke nomor Dirga.‘Sesekali Dirga memang pantas dapatkan hal ini,’ ucap Rumi dalam hati.Pesan singkat berisi beberapa foto bahkan video kedekatan Reta dan Doni telah terkirim namun belum dibaca oleh CEO kaya raya itu.‘Mungkin dia masih sibuk, ta
Dirga berdecak usai menonton video kiriman sang mama. Dia masih berada di Jepang sekarang. Selain memang ingin lari dari situasi pernikahan yang tidak dia inginkan sejak awal, dia memang memiliki beberapa tender proyek pembangunan gedung milik orang Indonesia yang dikembangkan di Jepang.Tentu saja Dirga tak bisa semudah itu bepergian. Dia harus bertanggung jawab mengecek harian proses pembangunannya dan mengawasi rancang bangunan sesuai dengan desain dan kekokohan bangunan atau tidak.“Dia terlihat lebih sehat,” gumam Dirga. Telunjuknya mengusap tepat di bagian wajah Reta tampak di layar ponselnya. Dalam hati, Dirga turut berbahagia karena Reta menunjukkan hasil pengobatan yang positif.Sebuah ketukan terdengar dari luar ruang kerja Dirga. Segera Dirga berhenti menatap ponselnya. Dia menaruh ponselnya di meja dan mempersilakan tamunya masuk.Tampak asistennya datang dengan setumpuk laporan progres pembangunan yang memang Dirga inginkan. Dirga termasuk tipe orang yang ketat dalam hal
Reta mengikuti pemeriksaan awal ke rumah sakit untuk melihat saraf kaki dan punggungnya. Dia mengikuti rangkaian pemeriksaan dan hasilnya keluar sekitar satu jam kemudian.“Dok, bagaimana dengan kondisi saya? Apa masih ada kemungkinan bagi saya untuk berjalan?” tanya Reta penuh harap. Dia termasuk sudah telat untuk menjalani terapi saraf dan jalan karena tak memiliki biaya. Namun, dia tetap berharap bahwa dia bisa kembali jalan kaki.“Ada beberapa saraf yang terjepit tapi masih bisa dikembalikan ke posisi semula dengan operasi dan terapi,” tutur si dokter. “Setidaknya Anda harus melakukan operasi dan terapi. Butuh waktu lama untuk penyembuhan. Sekitaran satu atau dua tahun.”Reta terkesiap dalam kebingungan. Ada harapan besar bagi dia untuk kembali sembuh. Namun, dia butuh waktu maksimal dua tahun agar bisa sembuh.Sebuah sentuhan lembut jatuh di kedua pundak Reta. Reta tersentak dan tersadar dari lamunan kebingungannya.“Reta, Mama nggak masalah soal biaya pengobatanmu kok,” bisik Ru
“Ga, mau ke mana?” tegur Zidan saat acara makan siang untuk merayakan pernikahan Dirga dan Reta selesai digelar.Langkah Dirga terhenti sebentar. Dia menoleh ke arah papanya yang sedang mengobrol bersama dengan adik-adik Dirga.“Ke kantor. Ada rapat dan sore nanti aku harus ke Jepang,” jawab Dirga. Dia menunjukkan koper biru tua yang ada di tangannya itu.“Ini hari pertama pernikahanmu, Ga. Di rumah dulu saja,” suruh Zidan. “Kamu nggak menghargai Reta sebagai istrimu.”“Aku sudah menuruti keinginan Papa dan Mama buat menikah. Sekarang terserah aku dong mau ngapain. Yang penting aku udah nikah, kan?” timpal Dirga. Dia mengingatkan kembali perjanjiannya dengan Zidan dulu. “Udah ya, Pa. Aku ada kerjaan menumpuk dan belum aku urusi gara-gara sibuk menyiapkan pernikahan ini.”“Reta bagaimana?” tanya Zidan. Dia mencoba bersabar menghadapi anak sulungnya yang memang terlampau bandel sejak kecil itu.“Reta kan harus pengobatan. Mendingan langsung bawa ke Singapura aja,” tutur Dirga. “Aku suda
Hari pernikahan yang dinanti telah tiba. Reta sudah mengenakan gaun pernikahan dengan model simpel sesuai dengan pilihannya.Wajah gadis itu tampak sangat cantik usai didandani oleh seorang make up artist ternama. Semua orang terkagum akan kecantikannya.“Wah, aku harus banyak ambil foto sama kamu, Ret,” Ninda tampak agresif dan mulai mengambil foto-foto bersama dengan Reta. “Kak Doni pasti seneng banget deh lihat foto-fotomu.”Reta mengulas senyuman simpul. Dia meladeni keinginan Ninda untuk foto bersama.“Kak Doni kan bukan suamiku, Ninda. Kamu harus bisa jaga kakakmu. Biar dia nggak dapet cap buruk,” tutur Reta. Dia sangat menghargai Doni sebagai seorang kakak. Dia tak mau orang lain berkata buruk tentang pria itu.“Santai aja. Kalaupun kamu cerai, Kak Doni kayaknya mau ajak nikahin kamu,” canda Ninda. Derai tawanya terdengar renyah. “Nanti malem kabarin aku ya? Kalau misal Dirga lakuin hal buruk ke kamu, kamu langsung sembunyi ke kamar mandi dan telepon aku. Janji ya?”Ninda menga
“Eh? Kenapa pipimu ada cap lima jari kayak ijazah sekolah, Ga?” celetuk Rumi saat bertemu dengan anak laki-lakinya di parkiran.Dirga mendengkus sebal. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang memanas gara-gara ditampar oleh Reta saat jatuh tepat di pangkuan Reta. Sebuah kesalahan besar karena tangan Dirga malah bergerak memegang dada kiri Reta untuk mendapatkan pijakan. Alhasil, cap lima jari melekat di pipinya.“Nggak tahu ah. Aku mau cabut dulu,” balas Dirga. Dia tak mungkin membuka aibnya dengan menceritakan ulang kejadian memalukan itu.Dirga melangkah duluan menuju mobilnya. Dia masuk ke dalam mobil dan langsung mengendarainya meninggalkan lokasi.Rumi menatap ke arah Reta. Dia yakin pasti terjadi sesuatu antara Reta dan Dirga. “Reta, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Rumi. “Dirga nggak bikin kamu kesal, kan?”Sebelumnya Reta agak takut pada Rumi. Bagaimanapun, Dirga adalah anak sulung Rumi dan status Reta masih bertunangan dengan Dirga. Dia belum resmi menjadi istri Dirga.“Maa
Ponsel Reta bergetar. Dia membuka resleting sling bag-nya yang berwarna putih itu dan mengangkatnya. Ada telepon masuk dari Ninda.“Ret, gimana? Nggak ada apa-apa kan sama Dirga?” tanya Ninda mengecek. Nada bicaranya terdengar cemas.“Iya, Nin. Aku baik-baik aja kok. Tumben ih kamu cemas,” ucap Reta. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya akan secemas itu padanya. Padahal, biasanya Ninda sangat santai.“Aku tadi diceritain sama Tante Rumi soal hubunganmu sama Dirga. Katanya tadi pagi Dirga mau gituin kamu ya?” tutur Ninda setengah berbisik dan sudah tentu sangat serius. “Gila sih. Kok gitu dia. Kan kalian belum nikah. Gimana sih?”Reta mengulum senyuman simpul. Dia membiarkan Ninda mengomel hinga tuntas.“Tadi pagi itu cuma salah paham,” ujar Reta. “Mas Dirga nggak ada maksud kayak gitu kok.”“Beneran nggak ada?” tanya Ninda sekali lagi. “Ret, kalau emang kamu ngerasa ada yang aneh sama Dirga, hati-hati ya? Aku dikasih tahu Kak Doni buat terus ngawasin kamu karena ternyata masa lalu Dirga
“Kamu itu memang sumber masalah dalam hidupku,” decak Dirga sambil mendorong kursi roda Reta.Mereka sudah tiba di kebun sayur dan buah dengan metode tanam pertanian modern. Tempat ini sangatlah bersih dan jauh dari kata becek. Karena itulah, banyak orang yang suka mampir untuk berwisata keliling area kebun yang memiliki luasan belasan hektar sambil memilih sayur dan buah untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.Reta menoleh ke belakang dan mendongak ke arah Dirga. Pandangannya memicing tajam ke arah pria yang akan menjadi suaminya itu.“Sudah kubilang padamu kalau bukan aku yang pengen pergi ke tempat wisata ini,” balas Reta. Dia mendengkus sebal. “Kalau kamu nggak suka, seharusnya kamu tolak aja.”“Kamu pikir mamaku bakal biarin aku kabur gitu aja?” timpal Dirga. “Harusnya kamu dong yang nolak keinginan mamaku dari awal.”“Mana bisa,” ucap Reta.Dia kembali menghadap ke depan. Rasan
“Ya Allah, Dirga!” pekik Rumi.Dalam hati Rumi senang melihat Dirga ada ketertarikan pada Reta. Namun, dia tetap memasang ekspresi galak agar Dirga semakin menuruti keinginannya.Dirga buru-buru turun dari atas tubuh Reta. Langkahnya bergerak cepat turun dari ranjang. Namun, karena dia tergesa-gesa, kaki kirinya terjerembab oleh selimut dan dia jatuh berguling di lantai.Reta sendiri memilih menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Wajahnya menunduk malu. Dia bisa merasakan hawa panas yang merambati seluruh tubuhnya akibat rasa malu yang teramat sangat.Rumi menyuruh pembantu menaruh makanan di meja dan keluar. Setelah itu, dia mendekati Dirga dan membantunya bangun dari posisi terjatuhnya.Tangan Rumi menepuk pelan lengan Dirga. “Kamu ini belum sah lho. Udah main sosor Reta aja. Sabar, Ga,” ucap Rumi menasihati Dirga.“Ma, ini nggak seperti yang Mama pikirkan kok,” balas Dirga. “Beneran! Sumpah!”“Udah, udah. Mama tahu kok kalau memang udah saatnya kamu itu punya istri,” ujar Rumi. D