Dahlia dan Lilian berdiri di beranda rumah Nenek Rukmini, menatap halaman yang dipenuhi tanaman hias dan bunga-bunga. Matahari sore menyinari wajah mereka, memberikan cahaya hangat terakhir sebelum tenggelam di ufuk barat. Nenek Rukmini berdiri di pintu, tersenyum hangat namun matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"Jaga diri kalian baik-baik di Jakarta," tutur Nenek Rukmini sambil memeluk Dahlia dan Lilian secara bergantian dengan erat. "Kalian jangan lupa makan tepat waktu dan selalu saling menjaga." "Kami akan ingat, Nek," jawab Lilian dengan suara pelan, mencoba menahan air mata. "Terima kasih untuk semuanya,” ucap Dahlia. Lilian mengusap punggung Nenek Rukmini dengan lembut. "Doakan kami berhasil, Nenek." Nenek Rukmini mengangguk. "Nenek akan selalu mendoakan kalian. Kalian berdua, hati-hati di sana. Dunia luar tidak selalu seaman di sini." “Iya, Nek.” sahut keduanya serentak. Setelah berpamitan, Dahlia dan Lilian berdua berjalan perlahan menuju stasiun kereta api. Jalan setapak yang mereka lalui masih dipenuhi aroma bunga melati dan kenangan masa kecil yang manis di desa ini. Keduanya tiba di stasiun dengan langkah berat, namun penuh harapan akan masa depan yang lebih baik di Jakarta. Di stasiun, kereta api yang akan menuju ke Jakarta sudah bersiap. Mereka pun membeli tiket dan segera naik ke gerbong yang hampir penuh. Dahlia dan Lilian segera mencari tempat duduk di sudut yang tenang, berusaha menghindari keramaian. Kereta pun mulai bergerak perlahan, meninggalkan Bogor dan membawa mereka menuju kehidupan baru. Di dalam kereta, Dahlia memandang keluar jendela, mengamati pepohonan dan bangunan yang beranjak menjauh. Lilian, di sisi lain, mencoba untuk tidur namun pikirannya terlalu gelisah. "Menurutmu, kita akan menemukan pekerjaan dengan cepat?" tanya Lilian tiba-tiba, memecah keheningan. Dahlia menoleh dan tersenyum tipis. "Aku harap begitu, Lil. Kita sudah mempersiapkan segalanya. Aku yakin kita akan berhasil." "Aku juga berharap begitu. Tapi kadang aku merasa takut. Jakarta begitu besar dan kita tidak mengenal siapa pun di sana," tutur Dahlia. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita punya semangat dan kemauan. Itu sudah cukup untuk memulai," seru Dahlia dengan tegas. Ternyata bekerja di pabrik garmen yang dikatakan oleh Dahlia. Masih wacana semata. Kereta terus melaju, meninggalkan sore yang semakin meredup di belakang mereka. Perjalanan berlangsung sekitar tiga jam, dan ketika akhirnya kereta tiba di Stasiun Gambir, langit sudah berubah warna menjadi oranye keunguan. Mereka pun turun dari kereta bersama penumpang lain yang berdesakan. Stasiun Gambir penuh dengan hiruk pikuk orang-orang yang baru tiba dan yang hendak berangkat. "Lilian, pegang tangan aku. Jangan sampai terpisah," seru Dahlia dengan suara lantang di tengah keramaian. Lilian mengangguk dan menggenggam tangan Dahlia erat-erat. Mereka berjalan keluar dari stasiun, melewati gerbang besar dan keluar ke jalan raya. Jakarta sore itu penuh dengan kendaraan yang lalu-lalang, suara klakson, dan aroma asap kendaraan. "Selamat datang di Jakarta," tutur Dahlia dengan nada setengah bercanda, mencoba meredakan ketegangan hatinya. "Jakarta lebih ramai dari yang kubayangkan," jawab Lilian sambil mengamati sekeliling. "Ke mana kita sekarang?" tanya Lilian. Keduanya pun bingung hendak ke mana. Nyali Dahlia yang tadi menggebu-gebu menjadi menciut seketika. "Dahlia, kita mau ke mana nih? Kok aku jadi takut?" Ujar Lilian bingung. "Aku juga bingung Lilian. Kamu jangan bikin panik, deh! Santai …!” ujarnya menutupi kebingungannya. “Ayo, kita keluar dari area stasiun ini dulu,” seru Dahlia. Sambil berjalan menuju pintu keluar stasiun, mereka harus melewati kerumunan orang yang padat. Orang-orang berdesakan, mendorong, dan menarik koper serta tas mereka. Suasana yang kacau membuat keduanya merasa waspada. "Aku tidak suka keramaian seperti ini," bisik Lilian dengan cemas. "Kita harus tetap waspada," jawab Dahlia. "Ini Jakarta, Lil. Kita harus berhati-hati." Mereka terus berjalan, berusaha menghindari senggolan dari orang-orang yang terburu-buru. Tiba-tiba, Dahlia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasakan tarikan di tas selempangnya. Refleks, gadis itu pun merapatkan tasnya ke tubuh dan menoleh ke belakang, akan tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan. "Lilian, buruan! Kita harus keluar dari sini secepatnya," seru Dahlia, mulai merasa panik. Mereka mempercepat langkah, akan tetapi kerumunan itu malah semakin padat. Tiba-tiba, Lilian merasa ada yang menarik dompetnya dari dalam tas. Dia menoleh dengan cepat dan melihat seorang pria berjaket hitam berusaha melarikan diri. "Dahlia! Dompetku!" teriak Lilian sambil mencoba mengejar pria itu, akan tetapi kerumunan terlalu padat untuk bisa bergerak cepat. Dahlia berbalik dan mencoba membantu, akan tetapi dalam kekacauan itu, dompetnya sendiri juga hilang. Mereka berdua terhenti di tengah kerumunan, terengah-engah dan panik. "Orang itu berhasil melarikan diri," ucap Lilian dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata. "Uang kita ... semua uang kita hilang." Dahlia memeluk Lilian untuk menenangkannya. "Yang penting kita masih aman, Lil. Buku tabungan dari Nenek Rukmini masih ada, kan?" tanya Dahlia sambil merogoh tasnya untuk memeriksa. Dia merasa lega ketika menemukan buku tabungan itu masih utuh. "Masih ada, Dahlia. Syukurlah," jawab Lilian, memeluk tasnya erat-erat. "Tapi uang tunai kita ... bagaimana kita bisa bertahan sekarang?" Dahlia menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih di tengah situasi yang kacau. "Kita harus melapor ke pos keamanan stasiun. Mungkin mereka bisa membantu." Mereka berdua lalu bergegas berjalan menuju pos keamanan, berusaha mengabaikan kerumunan yang masih padat. Setibanya di sana, mereka menjelaskan apa yang terjadi kepada petugas itu. "Maaf, kami sering mendapat laporan tentang pencopetan di sini, terutama saat ramai seperti sekarang," seru petugas itu dengan nada prihatin. "Kami akan mencatat laporan kalian, tapi biasanya sulit untuk menemukan pelakunya." Lilian menggigit bibirnya, menahan kekecewaan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Uang kami hilang semua." Petugas itu mengangguk dengan simpatik. "Saya mengerti kesulitan Anda berdua. Mungkin kalian bisa menghubungi seseorang yang kalian kenal di Jakarta untuk membantu sementara waktu." Dahlia jadi kewalahan, dia semakin kebingungan, bagaimana nasib mereka saat ini. Hari semakin malam. Keduanya pun memutuskan berjalan kaki menyusuri jalanan ibu kota. Terlihat kendaraan yang lalu lalang silih berganti. Apalagi saat ini adalah jam pulang kantor di mana orang-orang akan pulang setelah lelah seharian bekerja. Terdengar perut Lilian mulai keroncongan. "Dahlia, aku lapar, nih," serunya. Dahlia pun mengedarkan pandangannya, "Tuh di sana ada orang yang jualan, yuk kita mampir ke sana," ujarnya. Mereka kembali melangkah menuju Warung Tegal yang ada di pinggir jalan. "Mau pesan apa, Mbak?" tanya seorang perempuan yang menjual makanan itu. "Kita pesan nasi putih dan dua potong ayam goreng, Buk ditambah, teh manis juga dua," ujarnya kepada Si ibu tersebut. Sambil menggoreng ayam pesanan mereka. Si ibu pun bertanya, "Mau ke mana, Mbak? Sudah malam begini? Hati-hati banyak copet di daerah, sini." seru sang ibu, menasihati mereka agar berhati-hati. Mendengar perkataan si ibu, Lilian segera mengeratkan tangannya menggenggam tas yang dia bawa. Berbeda jauh dengan Dahlia yang terlihat santai. "Kami dari Bogor, Bu. baru sampai sore ini, dan ini juga kali pertama kami menginjakkan kaki di Kota Jakarta. Dan sialnya kami juga baru kecopetan," ujar Dahlia menjelaskan kepada Si ibu. Si ibu segera menyediakan pesanan mereka di atas meja sambil berkata, dan kembali menasihati keduanya, "Ya ampun, Mbak. Saya turut prihatin dengan nasib yang menimpa kalian. Lain kali kalian berhati-hatilah di kota besar ini. Banyak tindakan kejahatan yang terjadi di sini bahkan juga banyak penipuan. Ya sudah, Mbak. Kalian makan dulu," ujar Si ibu lagi. “Terima kasih, Bu.” sahut mereka serentak. Lalu keduanya pun makan dalam diam, Si ibu tadi merasa kasihan dengan keadaan Lilian dan Dahlia karena keduanya, terlihat sangatlah kelaparan.Setelah selesai makan, Dahlia mencoba untuk membayar makanan mereka.Namun, Si ibu berkata, “Kalian tidak perlu membayarnya. Anggap saja hadiah kecil dari saya. Apalagi kan, kalian baru saja kena copet,” tutur si ibu lagi.“Terima kasih, Bu. Ibu sangat baik kepada kami,” ucap Lilian dengan tersenyum. Namun berbeda dengan Dahlia yang seketika tidak senang dengan kebaikan perempuan itu.Ngomong-ngomong, kalau ibu boleh tahu, Mbak berdua ini tujuannya, ke mana?" tanya, sang ibu. “Tujuan kami belum pasti, Bu. Kami sedang mencari pekerjaan di sini,” tukas Dahlia."Wah … kebetulan sekali, Mbak, ada satu pabrik yang berada dekat di tempat tinggal lbu. Jika kalian mau, kalian bisa menginap malam ini di rumah Ibu," tawarnya kepada mereka. Namun Dahlia semakin curiga dengan sikap Si ibu yang begitu baik kepada mereka. Apalagi mereka baru saja kecopetan. Tentu saja tidak mudah untuk mempercayai orang baru.Seakan tahu kecurigaan dari Dahlia. Sang ibu itu pun berkata,“Kalian tidak usah takut
“Nak Junot, ini ketoprak pesanan Anda. Gado-gadonya, tunggu sebentar, ya!” seru Bu Jayanti.“Beres, Bu.” sahut Junot sambil mulai menyantap ketoprak itu sambil sesekali melirik ke arah sang gadis."Lilian, tolong ambilkan kerupuknya ya," suara lembut Bu Jayanti terdengar saat dia sibuk meracik bumbu gado-gado."Iya, Bu," jawab gadis itu dengan suara merdu, lalu dengan cekatan mengambil kerupuk dari dalam toples besar di meja.Junot mengamati setiap gerakan gadis itu. Nama Lilian terngiang di telinganya, begitu pas dengan kecantikan alami yang dimiliki gadis itu. Dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Lilian terlihat sangat berbeda dari gadis-gadis yang biasa ditemui olehnya sebelum, dengan kecantikan yang begitu tulus dan alami."Lilian, siapa ya?" tanya Junot dalam hati, penuh penasaran.Beberapa menit berlalu, Bu Jayanti datang menghampiri Junot sambil membawa piring gado-gado pesanannya."Ini, Mas Junot, gado-gadonya sudah jadi.
Junot melangkah keluar dari mobil sportnya, menatap rumah besar yang megah di depannya. Pilar-pilar tinggi dan taman yang tertata rapi menambah kesan elegan dan megah pada rumah tersebut. Namun, di balik keindahan itu, ada rasa kosong yang menyelimuti hatinya. Pintu depan yang berat dibukanya, dan dia pun melangkah masuk ke dalam rumah yang dingin dan sunyi.“Kembali kepada mode sunyi senyap!” sergah Junot tak semangat.Ruangan besar dengan langit-langit tinggi dan dekorasi mewah terasa begitu hampa tanpa suara kehidupan. Junot melepas sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, berharap melihat kedua orang tuanya di sana, seperti di masa kecilnya. Namun, tak ada seorang pun di rumah itu. Papa dan mamanya sedang sibuk dengan aktivitas mereka di luar rumah, seperti biasa. Papa Alfonso sering kali terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis, sementara Mama Belva kerap menghadiri acara sosial di berbagai tempat.Junot meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Pagi itu, sinar matahari menembus dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan kecil di trotoar. Dahlia keluar dari rumah Bu Jayanti dengan perasaan campur aduk. Dia harus segera dan tidak lagi menjadi beban bagi Bu Jayanti dan Lilian saudaranya.Dengan tas kecil yang berisi beberapa dokumen penting dan sedikit uang, Dahlia melangkah keluar rumah. Jalanan sudah mulai ramai dengan aktivitas pagi. Mobil-mobil dan sepeda motor berlalu lalang, menciptakan hiruk-pikuk yang khas. Dahlia mengenakan pakaian yang rapi, mencoba terlihat seprofesional mungkin meskipun hatinya sedang gelisah. Dia tahu, mencari pekerjaan di kota besar ini tidaklah mudah.Langkahnya mantap meski hatinya sedikit gugup. Dahlia mulai menyusuri trotoar, matanya sesekali melirik ke arah toko-toko dan gedung-gedung perkantoran yang dilewatinya. Setiap kali dia melihat papan pengumuman yang bertuliskan "Lowongan Kerja" gadis itu berhenti sejenak, mencatat nomor telepon atau alamat yang tertera. Namun, pikiran tentang persainga
Senja mulai memudar, dan langit perlahan berubah menjadi kelam saat Noah dan Dahlia masih berdiri di tepi danau. Angin malam yang sejuk menyentuh kulit mereka, memberikan perasaan tenang setelah percakapan yang cukup intens. Dahlia sudah memaafkan Noah atas sikap kurang sopannya sebelumnya, dan kini mereka berdiri berdampingan, memandang air yang berkilauan di bawah sinar bulan yang mulai muncul."Terima kasih sudah memaafkanku, Dahlia," ucap Noah dengan nada tulus. "Aku benar-benar tidak bermaksud bersikap seperti itu tadi.""Tidak apa-apa, Noah. Aku mengerti, semua orang punya hari buruk," jawab Dahlia sambil tersenyum lembut. "Tapi, hari sudah mulai gelap. Bisakah kau mengantarku pulang?""Tentu saja, Dahlia. Motor gedeku di parkiran sana. Ayo kita pergi," ajak Noah sambil melangkah menuju tempat parkir.Namun, saat mereka hampir sampai di motor gede milik Noah, delapan orang pria bertampang preman muncul dari bayangan pohon-pohon yang ada di sekitar danau itu. Para pemuda itu mu
Setelah insiden di danau beberapa saat yang lalu. Hampir dua minggu lamanya, Noah terus menghubungi Dahlia. Namun gadis itu, tidak pernah menggubris panggilan telepon dan chat dari Noah.Entah kenapa mood Dahlia telah berubah kepadanya. Walaupun gadis itu telah memaafkan Noah. Bukan berarti Dahlia telah melupakan perbuatannya sang pria yang kurang sopan kepadanya.Pagi ini, Dahlia berjalan-jalan ke pasar dan mulai menanyakan jika ada pekerjaan untuknya. Mungkin nasib baik sedang berpihak padanya kali ini. Gadis itu melintas di sebuah Toserba kecil di sekitaran pasar. Tempat itu sedang membuka lowongan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko. Dia pun segera melamar di Toserba itu.Dari arah jalanan, Noah dapat melihat jika Dahlia, wanita favoritnya ingin melamar pekerjaan di Toserba tersebut.Dia lalu menelpon seseorang yang ada di Toserba itu. Dengan seringai licik, Noah kembali mengendarai motor gedenya dan meninggalkan tempat itu.Tanpa diduga, Dahlia diterima bekerja di Toserba ter
Setelah mendapatkan izin dari Bu Jayanti, Junot tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia segera merencanakan malam istimewa untuk Lilian, seorang wanita yang telah menarik perhatiannya sejak lama. Malam itu, Junot memutuskan untuk membawa Lilian berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta. Tujuan pertama mereka adalah Monumen Nasional, atau yang lebih dikenal dengan Monas.“Terima kasih sudah mau ikut, Lilian. Aku yakin kamu akan suka,” ucap Junot sambil tersenyum, ketika mereka berdua memasuki mobil.“Aku juga sudah tidak sabar, Mas Junot. Apalagi aku belum pernah ke Monas,” jawab Lilian dengan mata berbinar.Junot sangat senang karena Bu Jayanti mengizinkannya untuk membawa Lilian berjalan-jalan keluar rumah malam ini. Sang ibu sangat mempercayai dirinya.Perjalanan Junot dan Lilian dimulai dari kawasan Menteng. Jalanan Jakarta yang biasanya penuh sesak dengan kendaraan, kini terlihat lebih lengang, mungkin karena sudah larut malam. Junot mengendarai mobilnya dengan tenang, sesekali
Kembali kepada Dahlia, beberapa saat yang lalu.Dahlia yang sedang berjalan kaki menuju warung, seperti merasakan ada yang mengikutinya dari belakang. Namun dia tetap waspada dan berjaga-jaga jika ada yang ingin berniat jahat kepadanya.Jalanan gang agak sepi saat itu, tiba-tiba saja muncul dua orang yang menangkap tangannya dan memasukkan wajahnya ke dalam karung, setelah itu menyeretnya masuk ke dalam sebuah mobil.Dahlia mencoba untuk berontak namun dia tidak dapat melihat. Kegelapan melingkupinya.Mobil itu lalu melaju kencang meninggalkan satu sandal miliknya yang tertinggal di jalanan.Mobil yang membawa Dalia berhenti di sebuah rumah kosong yang sangat mewah.Orang-orang tersebut segera menyeretnya keluar dari mobil. Dahlia mulai berteriak, dan berontak namun tenaganya kalah besar dengan mereka.Semua orang itu telah mengunci tubuh Dahlia sehingga gadis itu tidak dapat mengeluarkan jurus pencak silat yang dirinya telah kuasai.Sesampainya di sebuah ruangan, orang-orang tersebu
"Papa dan Mama, kok tega banget sih!" kesal Sherly dalam hatinya."Maafkan aku, Sherly. Untuk sementara aku belum bisa memperjuangkanmu." gumam Doan, dalam hati."Sudah, kita jangan memikirkan hal itu dulu. Untuk sementara aku akan fokus untuk membesarkan perusahanku, sehingga tidak ada satu pun yang menganggap ku remeh lagi! Termasuk keluargamu!" tegas, Doan.Keluarga Sherly memang tidak menyetujui hubungan Doan dan Sherly karena pria itu berasal dari keluarga sederhana, sementara keluarga Sherly tergolong berasal dari keluarga berada. Untuk itu, Doan telah bertekad untuk membalas perbuatan keluarga Sherly yang merendahkannya, dengan kesuksesan yang pelan-pelan mulai diraih olehnya saat ini."Ayo, aku antar kamu," ucap Doan kepada sang pacar."I ... ya, Doan." Keduanya pun meninggalkan apartemen itu dengan perasaan yang berkecamuk.Sepanjang perjalanan keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak terasa mobil sampai tepat di depan kantor Sherly."Doan, aku masuk du
Padahal sesungguhnya selama ini Tuan Alfonso tidak ke mana-mana, hanya berada di rumah Puput dan bermesraan terus dengannya.Lalu keduanya mengakhiri panggilan itu dengan hati bahagia. Karena apa yang mereka inginkan telah terwujud."Kecurigaanku tidak terbukti, ternyata Alfonso tidak curiga kepadaku. Dan mungkin saja Junot hanya sekedar bertanya tadi." Demikian spekulasinya.Sang nyonya lalu melangkah masuk ke dalam toilet kamarnya untuk membersihkan dirinya.Di apartemen Doan,Pagi pun tiba, Sherly terbangun dan mendapati dirinya hanya sendiri di atas ranjang. Namun bunyi gemericik air shower terdengar dari dalam kamar mandi. "Sepertinya, Doan sedang mandi." gumamnya, pelan.Sherly yang dulu sudah biasa berada di apartemen Doan, segera mengambil inisiatif sendiri untuk membersihkan dirinya di toilet yang berada di kamar tamu.Dia lalu meraih paper bag yang telah disediakan oleh Doan kepadanya dan membawa ke dalam kamar itu.Sesampai di dalam kamar, Sherly lalu masuk ke dalam toilet
Di Kediaman Rivaldo,"Tuan muda, tolong makanlah, dari tadi pagi Tuan belum makan." seru Asisten Eki kepada Junot."Gue mau tidur! Gue nggak lapar!" sahut Junot malas."Tapi Tuan muda, hari sudah semakin malam, nanti Anda bisa saja masuk angin." serunya, lagi."Gue nggak peduli!" jawab Junot. Saat ini dia malah sedang asyik memandang foto Lilian yang dulu diam-diam dirinya foto."Tuan muda, jika Anda tidak makan, terus bagaimana Anda bisa mengejar cinta Nona Lilian, lagi?" tukas Asisten Eki, menakut-nakuti Junot."Maksud Lo, apa ngomong gitu?" tanyanya."Iya Tuan muda, jika Anda tidak makan, pasti tubuh Anda akan merasa lemah. Itu berarti Anda tidak bisa masuk kantor dan terbaring di kamar." "Terus apa hubungannya dengan Lilian?""Tentu ada hubungannya Tuan muda. Jika Anda berbaring terus di dalam kamar. Tuan Doan pasti akan semakin dekat dengan Nona Lilian. Apakah Anda mau jika itu terjadi?" tutur Asisten Eki lagi.Junot mulai berpikir jika apa yang dikatakan oleh sang asisten itu a
"Hanya perasaan kita saja yang sudah berbeda sekarang," lirih Sherly dengan wajah sedih."Masaklah sesukamu, aku pasti akan memakannya." sahut Sherly, lagi. Lalu dia duduk di mini bar yang ada di dapur Doan sambil menunggunya selesai memasak.Doan sejenak terdiam mendengar penuturan Sherly itu. Dia mencoba kembali menguasai dirinya dan mulai memasak masakan andalannya yang selalu gadis itu sukai.Setelah berkutat lama di dapur, akhirnya Doan selesai memasak.Dia lalu menata hasil masakannya di sebuah mini bar yang ada di dapurnya."Makanlah, selagi masih panas," seru Doan. Tak lupa dia menuangkan segelas air putih ke dalam gelas.Keduanya pun makan dalam diam, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang sedang berlomba di atas piring keduanya."Rasa masakanmu tetap sama, aku tetap menyukainya." ujar Sherly memuji hasil masakan Doan yang memang sangat enak itu."Oh, ya? Jika kamu mau, kamu bisa mampir ke sini, kalau-kalau saja kamu merindukan masakanku," tawar Doan kepada Sh
Kedua bersaudara itu pun saling berpelukan pertanda mereka saling menguatkan. Ditengah berbagai masalah yang menderanya.Di Kediaman Rivaldo,Junot terbangun dari tidurnya dan melihat kondisi tangannya yang sudah terpasang selang infus.Dokter Adi dan Asisten Eki terlihat sedang tertidur di sofa. Tadi malam Junot mengamuk lagi. Asisten Eki terpaksa kembali menelepon dokter Adi untuk kembali memeriksa Junot. Dan karena takut sang bos kembali mengamuk, Asisten Eki pun meminta dokter Adi untuk menginap saja. Alhasil keduanya tidur di sofa kamar Junot saat ini.Junot melirik jam di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi."Shit! Gue kok baru bangun! Padahal pagi ini gue harus menghadiri meeting penting." Asisten Eki juga terbangun diikuti oleh dokter Adi yang juga ikut bangun."Selamat pagi, Tuan Muda. Bagaimana keadaan Anda, pagi ini?" tanya dokter Adi."Sudah mendingan, dok." jawab Junot dingin."Tapi kenapa ya, dok? Badan saya terasa sakit semua?" tanyanya lagi.
"Ya udah Bu. Saya masuk kamar dulu. Mau ngecek Dahlia." Lilian pun masuk dan melihat Dahlia yang sedang tertidur dengan posisi meringkuk.Lilian pun mulai mendekati tempat tidur dan memeriksa Lilian."Duh, badan Dahlia kok panas banget, sih?" Lilian menjadi khawatir. Dia lalu keluar dari kamarnya dan menuju dapur.Sesampai di dapur Lilian mengambil baskom dan memasukkan air hangat di dalamnya.Bu Jayanti yang kebetulan masuk ke dalam dapur melihat Lilian, lalu dia pun bertanya,"Lil, kamu sedang apa?""Ah, iya Bu. Dahlia sedang demam, Bu. Aku mau mengompresnya." seru Lilian dengan wajah khawatir."Pantas tadi, wajahnya agak pucat saat pulang. Tadi ibu nanyain apakah dia sedang sakit? Tapi Dahlia menjawab jika dia baik-baik saja," seru Bu Jayanti, menjelaskan kepada Lilian."Bu, jika Dahlia demam, ada baiknya kita bawa ke dokter. Siapa tahu nanti semakin parah." Pak Ranto ikut memberi saran."Itu masalahnya, Pak. Dahlia jika sakit tidak pernah mau memeriksakan diri ke dokter. Saya cob
"Tuan Junot histeris seperti itu, karena dia mengalami trauma mendalam karena perbuatannya sendiri yang telah menyakiti wanita yang dirinya sangat sayangi." "Jika boleh tahu memangnya Tuan Junot telah melakukan apa?" tanya, sang dokter."Tuan Junot, mencium Nona Lilian dengan paksa." jawab Asisten Agam."Apakah Tuan Junot sangat menyukai Nona Lilian?" tanya dokter Adi."Sepertinya begitu, dok." jawab Asisten Eki lagi."Menurut analisa saya, Tuan Junot saat ini merasakan kekecewaan yang mendalam karena tindakan yang dia lakukan karena telah menyakiti gadis yang dirinya sangat cintai. Saya sudah meresepkan beberapa obat untuk menenangkan jiwanya. Akan tetapi jika tidak ada perkembangan juga, Anda bisa membawa Tuan Junot ke dokter ahli jiwa." saran dokter Adi."Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Tuan Muda saat ini, dok?" tanyanya, lagi."Untuk sementara, tidak ada. Hanya saja jika sikap Tuan Junot masih seperti tadi. Ada baiknya jika kondisinya dikonsultasikan kepada
Junot semakin terbawa nafsu. Dia malah mulai membuka satu persatu kancing kemeja Lilian.Sambil terus menikmati bibir gadis itu dan terus melumatnya.Doan tiba di lantai di mana Lilian berada dan dia melihat pemaksaan yang Junot lakukan kepadanya."Bajingan! Kurang ajar Lo, Junot!" teriaknya lalu dengan cepat menarik tubuh pria itu dari Lilian dan mulai menghajarnya.Sementara Lilian hanya bisa terduduk dan menutupi dadanya yang hampir kelihatan karena ulah tangan Junot yang nakal. Air matanya terus mengalir di pipinya. Dia sangat berterima kasih, Doan cepat menemukannya karena jika tidak, mungkin saja Junot akan semakin membabi buta."Kamu menyakitinya, Junot! Dasar keparat!" ujar Doan tajam ke sambil terus memukuli Junot sampai pria itu terlihat babak belur."Doan, stop! Kamu bisa membunuhnya!" Sherly tiba-tiba muncul dan mulai menahan tubuh pria itu."Kelakuanmu tidak lebih dari seekor binatang, Junot! Lilian, adalah seorang perempuan terhormat! Kamu malah membuatnya terlihat murah
"Apa? Mencelakai bagaimana maksudmu?" seru Doan penasaran."Lilian kan berasal dari desa. Ibunda Junot kurang setuju. Gara-gara hal itu, Lilian hampir ditabrak. Namun untungnya, kata Junot. Lilian jago bela diri, jadi dia bisa melindungi dirinya sendiri," tutur Sherly menjelaskan."Ha-ha-ha, jadi semua karena status sosial yang berbeda? Sama dong dengan sifat keluargamu yang materialistis! Iya, kan?" sindir Doan, lagi."Doan, itu kan keluarga ku! Aku tidak seperti itu! Tolong percayalah, antara aku dan Junot tidak terjadi apa-apa. Dia sangat menyukai Lilian. Kami tidak mungkin bersatu!" "Siapa yang tahu, jika kamu menyukai Junot! Iya, kan?" Doan malah semakin cemburu."Doan, apakah kamu meragukanku? Aku ... aku ... sangat menyayangimu, Doan!" lirihnya, mulai meneteskan air matanya."Justru kamu yang berbohong sama, aku!" isak Sherly lagi."Memangnya aku berbohong tentang apa?" sergah Sherly."Ka ... kamu yang menyukai Lilian! I ... iya, kan?" Bibir Sherly bergetar mengatakan itu. Dia