Hai, kakak readers kesayangan. Tolong bantu vote dan kasih ulasan agar othor jadi tambah semangat up nya. Othor lagi krisis support nih 🤧
POV Bagas, Tugas kuliah yang menumpuk membuatku terjaga hingga larut malam. Sebenarnya aku sudah sangat lelah dan mengantuk setelah seharian bekerja dan dilanjut dengan kuliah malam. Ditambah lagi cuaca syahdu dengan alunan rintik gerimis malam ini semakin membuatku ingin cepat-cepat ke peraduan. Tapi kejadian demi kejadian saat Mbak Maya diusir dari rumah selalu membayangi ingatanku. Alhasil, aku gagal memfokuskan diri dalam mengerjakan tugas kuliah seabrek-abrek. Bagaimana aku tidak geram, laki-laki yang seharusnya menjadi ayah dan suami yang baik, malah tega mengusir anak dan istrinya dari rumah. Hatiku sakit melihat wanita yang sudah satu tahun kebelakang ini berhasil mencuri hatiku, disia-siakan oleh suami yang seharusnya melindunginya. "Sadar, eling, Bagas!! Maya itu masih sah jadi istri orang." Komentar Mbak Titin di telepon saat aku meminta izin agar memperbolehkan Maya dan kedua anaknya tidur di rumah. Kalau bukan kami yang menampung, siapa lagi? "Bagas tahu, Mbak. Bag
"Assalamualaikum." Perasaan aku baru pindah dua hari di kontrakan ini. Tapi kenapa sudah ada tamu yang datang kemari, malam-malam lagi. Tapi siapakah gerangan yang datang bertamu? Apa Bagas? Tapi… suaranya bukan suara Bagas. Apakah tetangga baru di lingkungan ini? "Waalaikumsalam." Aku segera menyahut dan beranjak untuk membukakan pintu kepada tamu misterius ini. Set, Betapa kagetnya aku begitu pintu terbuka, sesosok laki-laki yang belum sempat kulihat wajahnya langsung menerjang dan memelukku dengan erat. Ia bahkan memelukku dengan perasaan penuh haru. Astaghfirullah, siapa laki-laki ini? Kenapa dia begitu lancang memeluk wanita yang bukan muhrimnya. Aku bahkan tak bisa melihat wajahnya sama sekali karena ia membenamkan wajahnya pada ceruk leherku. Sekuat apapun aku mendorongnya agar menjauh, tenagaku masih kalah jauh darinya. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah tidak ingin berpisah denganku. Belum hilang rasa penasaranku tentang siapa laki-laki ini, tiba-tiba
Kali ini aku langsung menangis tergugu setelah melihat foto usang sebuah keluarga dalam figura yang Pak Angga sodorkan. Walaupun terlihat jauh lebih muda dan cantik, tapi wanita yang ada di dalam foto itu bisa kupastikan bahwa ia adalah benar ibuku. Aku tumbuh besar berdua dengan beliau yang notabene kehilangan seluruh ingatannya. "Kalian tau dari mana awalnya aku yakin kalau kamu adalah Maya, adikku yang hilang?" Aku dan Bagas saling berpandangan. Kami sama-sama terdiam tak menjawab pertanyaan Pak Angga. Pak Angga langsung menunjuk foto gadis kecil yang imut dan lucu dengan rambut poni yang menutupi dahinya. "Kalian lihat baik-baik! Bukankah gadis kecil ini sangat mirip dengan mereka?" Kali ini telunjuk Pak Angga mengarah kepada si kembar yang ikut bergabung setelah terbangun karena keributan tadi. Aku dan Bagas lalu menelisik kemiripan antara foto gadis kecil itu dengan si kembar. Astaga! Ketiganya benar-benar mirip seperti anak kembar tiga. "Ba-bagaimana i-ini bisa terjadi?"
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. "I-ini, kan?" "Ada apa, May?" Tanya Mas Angga penuh cemas. Mungkin ia merasa kaget dengan perubahan ekspresiku yang secara tiba-tiba. "I-ini, M-mas," Tatapan mata Mas Angga mengikuti petunjuk jariku yang menunjuk pada foto diriku saat masih kecil. Ia tetap terdiam tak tahu apa maksudku. "Tunggu sebentar!" Aku lalu membongkar tas dan koper serta karung yang belum sempat ku rapikan isinya. Mencoba mencari suatu barang yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bagas juga terlihat bingung dengan sikapku, "Ada apa, Mbak Maya?" Aku tetap fokus mencari dan tak menanggapi kedua pria yang memenuhi ruang kamar kontrakanku yang sempit. "Nah ini dia ketemu juga." Aku langsung mengangkat tinggi-tinggi kalung berlian dengan bandul bertuliskan nama 'Maya'. Kalung ini adalah satu-satunya barang yang melekat di tubuhku selain baju saat warga desa pesisir pantai barat menemukanku. Sengaja kusimpan karena hanya ada satu buah kalung. Tak mungkin aku mema
"Waah, Bu, lihat rumahnya besar sekali." Pekik Keyla kegirangan saat mobil sedan milik Mas Angga mulai memasuki gerbang tinggi dengan bangunan rumah khas milik orang kaya yang di dominasi oleh cat berwarna putih tulang. "Satu, dua, tiga," Keyla bersemangat sekali menghitung jumlah bangunan secara vertikal. "Semuanya ada tiga lantai, Bu." Ia sangat mengagumi kemegahan rumah mewah bergaya klasik eropa dengan jendela perancis di setiap sisi temboknya. Mas Angga tersenyum mendengar celotehan Keyla. "Gimana, kalian suka? Kalian boleh tinggal disini selamanya. Ini adalah rumah kakek dan ibu kalian." Ucapan Mas Angga sontak membuat mata keyla berbinar bahagia. Tentu saja gadis kecil itu kegirangan dan menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju. Lain halnya dengan Keyla, Keyra hanya diam saja membuang pandangan keluar jendela, enggan untuk berkomentar tentang rumah mewah di hadapannya. Ia memilih fokus menatap hamparan rumput gajah di halaman rumah Papa Hadi yang sangat luas dan nyaman.
"M-maya!!" Pekik Papa Hadi saat melihat kedua anakku. Ia terlihat sangat histeris dan ketakutan. Begitupun juga dengan si kembar. Mendapat respon penolakan seperti itu membuat si kembar mundur beberapa langkah ke belakang. "M-maafin, Papa, Nak! P-papa bersalah belum bisa nemuin kamu dan mama. Hik hik hik." Lama-lama kegelisahan Papa Hadi berubah menjadi tangisan. Kedua telapak tangannya menutupi seluruh wajahnya dan membiarkan tangisannya pecah. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Apa beliau masih merasakan kehilangan yang mendalam atas hilangnya aku dan mama tiga puluh tahun yang lalu? "Pa!! Papa!! Ini Angga, Pa. Papa kenapa?" Pekik Mas Angga yang ikutan panik melihat Papa Hadi histeris dan ketakutan. Ia berusaha mengguncangkan tubuh Papa Hadi untuk mengembalikan kesadarannya. Aku hanya berdiri mematung melihat pemandangan itu. "Ang-angga, apa Papa sudah mati?" Mas Angga terlihat kebingungan dengan pertanyaan Papa Hadi. Apa jangan-jangan Papa Hadi sedang berhalusinasi,
"Sini, Sayang, peluk kakek! Kakek sangat rindu kalian semua." Papa Hadi bergantian memeluk si kembar dan menghujani keduanya dengan ciuman.Kami berempat berpelukan bersama dengan diiringi tangis bahagia. Entah kenapa Mas Angga tidak ikut berpelukan bersama kami. Ia hanya melihat kami berpelukan dengan penuh rasa syukur yang terpancar dari wajahnya."Angga, Papa sudah sangat sehat sekarang. Papa pengen kembali lagi ke kantor. Sepertinya papa sudah terlalu lama membiarkan wanita ular itu menggerogoti harta mama kalian." Ujar Papa Hadi dengan penuh semangat.Bertemu dengan buah hati yang telah lama menghilang membuat Papa Hadi seperti mendapatkan charge energi baru."Iya, pelan-pelan dulu ya, Pa! Jangan sampai rencana kita untuk menyingkirkan Rosmala dan anaknya menjadi sia-sia sebab kecerobohan kita. Yang terpenting jangan sampai ada yang tahu identitas Maya." Ucap Mas Angga terlihat masuk di akal. Jika kita salah bertindak sedikit saja, bisa-bisa mereka akan mencelakai salah satu dar
"Undangan siapa, Mbak?" Aku bertanya karena merasa heran. Perasaan tidak ada teman atau kenalan yang memiliki rencana menikah dalam waktu dekat. Mbak Titin dan Bagas kompak mengunci mulutnya dan saling pandang, membuat aku semakin bertanya-tanya dan segera melepas plastik pembungkus surat undangan yang di bagian sampul depannya bertuliskan logo 'I&M'. Tanganku gemetaran saat melihat nama-nama yang tertera dalam isi undangan tersebut. Indra Laksmana menikah dengan Mona Yulia Ratu. Ah, ternyata mereka akhirnya sampai juga ke pelaminan. Iyalah, kan si Mona udah tekdung duluan, kalau gak cepet dinikahin bisa-bisa perutnya membuncit tanpa suami. Masalahnya, kami berdua saja belum resmi bercerai. Mas Indra hanya mentalak sebatas ucapan saja dan tak pernah melaporkan ke pengadilan. Aku pernah bertanya kepada Mas Indra kenapa aku belum juga mendapatkan surat panggilan sidang cerai, dan jawabannya karena ia belum ada waktu mengurusnya. Tapi saat kuminta buku nikah miliknya untuk didaftar
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.