"Prass, apa yang kamu lakukan?" Pras tersentak saat sedang berdiri di depan lukisan wajahku yang terpampang di dinding ruang kerja.. Aku sempat melihat ia menempelkan bibirnya di lukiisan itu. Seolah-olah ia sedang mencium wajahku. Pras sontak gugup. Wajahnya memerah karena malu. Dia pasti sudah berimajinasi tentang diriku. Astaga, Pras! "Ah, nggak apa-apa. Tadi aku seperti mencium aroma wangi di ruangan ini. Aku pikir dari lukisan ini," kilahnya terlihat panik. Aku melangkah masuk sambil tersemyum. "Halaah, modus! Bilang aja kamu lagi berkhayal sedang cium aku tadi," tebakku asal dengan maksud meledeknya.. Namun tiba-tiba Pras mendekatiku dan mendesakku hingga ke dinding. Kedua tangannya berada di samping tubuhku. Kini tubuhku berada dalam kurungan kedua tangan kokohnya. "Prass, Kamu marah? Aku cuma becanda, kok. Nggak beneran!" protesku saat melihat tatapan tajamnya. Pria bule di depanku itu tak menjawab. Pandangannya masih intens menatap netraku. "Prass ...!" lirihku denga
Tirta Prasetya "Elara, jadwal ulang meeting pagi ini. Aku akan ke kantor Serani sekarang." "Tapi, Pak Tirta--" "Kerjakan saja perintahku! Ada hal penting yang harus Aku lakukan di sana." Aku mulai mengenakan jas dan meraih kunci mobil, lalu melangkah keluar tanpa menghiraukan tatapan kecewa dari Elara. Pagi ini aku memang kembali ke kantor Serani. Hari ini ada acara di sekolah Giska. Sera mungkin akan lebih siang datang ke kantor. Hal ini aku manfaatkan untuk bicara dengan Dido. Menurut kepala HRD, Dido mulai masuk kerja hari ini. Setelah perjalanan satu jam, akhirnya aku tiba di Gunawan Corp.. Hampir semua karyawan di sanasudah mengenalku. Mereka tak pernah melaranglku untuk masuk bahkan ke ruang pribadi Sera. "Silakan masuk Pak Tirta tapi Bu Sera sedang tidak ditempat." ujar sekretaris Sera. "Baiklah.Tolong panggil kepala HRD ke sini!"pintaku seraya melangkah masuk ke dalam ruangan Sera. Lalu aku menjatuhkan tubuhku di kursi kebesaran yang ada di balik meja kerjanya. "Sela
Tirta Prasetya "Aku mohon biarkan Dido mendampingiku, Pras!" Lagi-lagi Sera memohon padaku. Padahal ia tahu aku tidak punya hak melarangnya. Ini perusahaannya. Aku hanya mendampinginya dalam mengelola semua perusahaannya. "Baiklah. Tapi aku minta kamu hati-hati!" Aku membelai kepalanya.Ya, hanya sebatas membelainya lembut. Andai saja Aku bisa, ingin sekali memeluknya lagi. Sungguh aku sangat takut jika sampai.kehilangan wanita ini.. "Pasti, Pras. Mulai saat ini Aku akan menjaga jarak dengan Dido. Aku tau kami tentu tidak akan bisa seakrab dulu lagi." Aku sedikit lega mendengar ucapan Sera. Sesaat kami saling diam.Tiba-tiba aku teringat dengan Giska. "Bagaimana acara di sekolah Giska? lancar?" Sera mengangguk sambil tersenyum. Kami duduk bersebelahan di sofa panjang. "Aku nggak nyangka Giska itu berani tampil ke depan membaca puisi di atas panggung, Pras." Sera bercerita begitu bersemangat tentang Giska. "Oh ya? Wah, Sayang Aku nggak lihat. Apa kamu merekamnya?'" "Ada, ini
"Yuk, kita jalan sekarang!"" Aku berdiri setelah melihat jam ditanganku menunjukkan pukul dua belas siang. "Kemana, Pras?" "Makan siang." "Jadi kamu beneran mau ngajakin Aku makan siang? Bukan cuma sebagai alasan menolak Levin?" Sera mulai merapikan mejanya. Sejak tadi kami sibuk membuat bahan meeting pembagian pekerjaan antara Dido dan Keanu. "Ya beneran, dong, Cantik!" sahutku sambil mengedipkan sebelah mataku padanya Sera tersenyum sambil mencibir, namum terllihat semburat kemerahan di pipinya. Tiba-tiba ponsel Sera berdering. "Mama Celine?" gumamnya. "Siapa?" tanyaku penasaran yang baru mendengar nama itu. "Ibu tiri Arief," sahutnya kemudian menerima panggilan itu. "Hallo, Ma! Apa kabar? Mama Sehat?" "Apa? Kapan? Oke, Ma.!" Sera menutup panggilannya. Aku semakin penasaran. Arief punya Ibu Tiri? Sejak menerima ponsel dari Ibu Tiri Arief tadi, Sera tampak murung. Selama di mobil, Sera tampak gelisah dan tidak banyak bicara. "Ada apa, Sera? Kamu sejak tadi murung. Ada
POV PENULIS "Antarkan Saya ke alamat ini, Pak!" Seorang Pria tampan bermata biru dengan rambut panjangnya yang kecoklatan diikat rapi, baru saja menaiki taksi di bandara internasional Soekarno Hatta. "Baik, Mister!" Taksi itu melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah komplek perumahan mewah di sekitar Jakarta. "Aku belum pernah bertemu dengan Istri Arief. Mama bilang, wanita bernama Serani itu sangat cantik. Huh, Sayangnya sudah janda dua kali." Pria tampan dengan badan tinggi tegap namun sedikit kurus itu mendengkus kasar diantara lamunannya . "Kamu harus bisa mendekati Serani. Jangan sampai dia menikah lagi dengan pria lain. Mama mau kamu yang menikah dengan wanita hebat seperti dia. Kamu nggak akan menyesal menikah dengan Serani itu!" Ucapan mamamya terus terngiang di telinga pria itu. Membuatnya lagi-lagi mendengkus kasar. Demi mengisi waktu di perjalanan, Pria itu membuka galeri ponselnya. Foto-foto mesra dirinya bersama seorang wanita cantik membuatnya meringis. Dem
"Bagaimana dengan kabar Mama Celine?" Sera mulai membuka perbincangan. "Mama baik. Beliau titip salam buatmu." Sandy yang saat ini membiarkan rambut sebahunya tergerai, sesekali mencuri pandang pada Serani. Serani tersenyum ramah saat mata mereka bertemu. Sementara Sandy tetap dengan sikap dinginnya. Menurut Sera, Sandy sama sekali tidak mirip dengan Arief. Mungkin karena Sandy adalah anak bawaan Mama Celine dari suami sebelumnya. "Nambah, San! Jangan malu-malu!" Sera berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku. "Hmm ..." gumam pria tampan dan gondrong itu tanpa menoleh pada Serani. Setelahnya mereka kembali diam. Makanan Sandy pun sudah habis. "Mama Celine bilang kamu mau membantuku di perusahaan Arief. Apa betul? Kalau benar, ikut Aku besok ke kantor!" Sandy menoleh, terkejut mendengar ucapan Sera. "Mama bilang begitu sama kamu?" Sandy mendengkus kasar. Sera mengangguk. "Memangnya kamu tidak keberatan?" tanya Sandy terheran melihat Serani yang nampak santai.. "Memangnya
"Kenapa, San? Maaf, Apa ada yang salah sama Aku?" tanya Sera yang heran karena Sandy terus menatapnya tak berkedip.. "Oh, Eh, ti-tidak apa-apa. Aku hanya ragu jika kamu yang menyetir." jawabnya gugup. "Tenang saja. Sejak Arief sakit, Aku sudah terbiasa nyetir sendiri." "Oh, baguslah!" sahut Sandy dingin. Sepanjang perjalanan mereka tak banyak bicara. Hanya Sera yang sesekali bertanya atau hanya sekedar membicarakan tentang kemacetan, dengan maksud untuk menghilangkan kecanggungan. Namun tanggapan Sandy tetap acuh dan dingin. Mereka sudah tiba di depan sebuah gedung besar dan megah milik perusahaan Arief. "Yuk, turun! Kita sudah sampai." Sera turun dan mulai melangkahkan kaki menuju lobby. Sementara Sandy melangkah tegap disampingnya. "Selamat pagi, Bu Sera!" "Selamat datang Bu Serani!" Hampir semua karyawan mengangguk hormat saat mereka melewati lobby dan kubikel karyawan. "Pagi Bu Sera, Apa ada meeting hari ini?" Keanu menghampiri Sera. "Tidak ada. Aku hanya ingin memperk
"Sandyawan, panggil saja Sandy!" ujar pria tampan itu memperkenalkan diri. "Duduk, Pras!"pinta Sera. "Apa aku mengganggu?" Pras merasa tidak nyaman dengan sikap Sandy yang acuh. "Ah nggak kok Pras. Aku sudah selesai. Apa kita langsung jalan sekarang?" Tatapan Sandy tak lepas pada Sera. Hal itu tak luput dari penglihatan Pras. Ia menduga Sandy tidak suka melihat Sera pergi dengannya. Sera bangkit dari duduknya. "Oke, San. Aku ke kantorku dulu." "Hmm ..." Sera hanya tersenyum melihat sikap Sandy yang sepertinya enggan bicara dengannya. Kemudian Sera dan Pras melangkah menuju pintu keluar.."Serani!" Tiba-tiba Sandy memanggilmya. "Ada apa?" Sera memutar tubuhnya. "Kirim alamat kantormu! Aku akan jemput kamu nanti!" ujarnya membuat Sera dan Pras terkejut dan saling pandang. "Tidak perlu, Sandy. Sera pulang bersamaku. Ada pekerjaan yang akan kami kerjakan bersama hari ini. Yuk, Sera!" Sandy hanya diam sambil berkacak pinggang menatap kepergian keduanya. Entah kenapa ia seakan
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.