Baca juga : Istri Dekilku Anak Sultan, Kaya Setelah Diusir Mertua, Air Mata Maduku. Terimakasih
"Praass ...!" Sontak Aku berdiri. Aku merasa lega melihat Pras tiba-tiba sudah muncul di dekat gerbang dan melangkah menghampiriku. Eh Tapi, dia bilang apa tadi? Calon istri? "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Prass tiba-tiba sudah ada di depanku. Kedua tangannya membingkai wajahku. Sungguh aku terkejut dan tidak siap dengan sikapnya ini. Ah, Mungkin saja Prass hanya pura-pura di depan Agung. Agar mantan suamiku itu mengira aku dan Prass ada hubungan spesial. Ah, Pras ada-ada aja. Namun sikapnya ini sukses membuatku berdebar-debar. "Ya, Prass. Aku nggak apa-apa." Agung memang tampak tak suka. Pria itu membuang muka dengan wajah kesal. "Sera, mana Giska? Dia anakku, Aku berhak bertemu dengannya," ketusnya tanpa menoleh padaku. "Kamu mau apa sama Giska? Mau culik dia lagi?" Pras berkacak pinggang berdiri tak jauh dari Agung. Tubuh Pras yang menjulang tinggi dengan postur tegap dan kekar, membuat Agung tampak lebih kecil dan pendek.. "Kamu nggak usah fitnah dan jangan ikut campur! !
"Selamat datang kembali Bu Serani!" "Selamat pagi Bu Serani!" Aku mengangguk seraya tersenyum. Hampir seluruh karyawan menyapaku. Mulai hari ini aku terjun kembali ke perusahaanku PT.Gunawan corp. Sementara bisnis dan perusahaan Arief Aku percayakan pada Prasetya. Usia Pangeran sudah masuk dua bulan. Stok Asi sudah aku siapkan di lemari pendingin untuk persiapan selama aku tidak di rumah. Seperti pesan Pras, jagoannya jangan sampai kekurangan Asi. Pria itu rutin mengunjungi kami. Dalam seminggu, Pras bisa sampai tiga kali datang. Apalgi hari sabtu dan minggu, pria itu bisa betah seharian bermain dengan Giska dan Pangeran. "Pagi Bu Sera. Mari Saya antar ke ruangan Ibu yang baru!" Keanu menghampiriku saat aku baru tiba di lantai dasar kantor.Aku mengangguk. Lalu berjalan bersisian dengan Keanu. Pria muda dengan tubuh tinggi di atas rata-rata itu telah mendampingi Arief selama bertahun-tahun. Asisten pribadi Arief itu sangat bisa diandalkan. Sejak Arief sakit dan Aku hamil hingga ha
"Ke mall? Tumben kamu ke sini, Prass?" Mobil Pras berhenti di depan sebuah mall yang tak jauh dari kantorku. Prass yang wajahnya tak asing bagi publik, jarang sekalli mendatangi keramaian seperti ini. "Aku ingin membeli sesuatu. Nanti kamu tolong bantu pilihkan!" sahutnya setelah membukakan pintu mobil untukku. Kami masuk ke dalam Mall yang cukup ramai dengan pengunjung. Mungkin karena waktunya berbarengan dengan jam makan siang. Sepanjang kami berjalan, Prass menjadi pusat perhatian para wanita di sekitar kami. Ya, siapa yang tidak kenal dengan pria tampan yang sedang jalan bersamaku ini. Pras yang dulu aktif di dunia selebritiis, tentu wajahnya tidak asing bagi para wanita di mall ini. Aku pun dulu sangat mengidolakan seorang Tirta Prasetya. Kakiku terus mengayun mengikuti langkah kaki pria tampan yang tingginya di atas rata-rata ini. Hingga kami pun berhenti di depan sebuah toko perhiasan yang cukup ternama. "Kamu mau beli perhiasan, Prass?"Pria tampan iltu mengangguk tan
"Pras ..., sebaiknya mulai sekarang, kamu harus menjaga jarak dengan anak-anakku!" ujarku santai saat kami sedang menikmati menu makan siang. Prang! Aku terkejut saat tiba-tiba saja Pras menghentikan aktifitas makannya, hingga sendok dan garpu yang ada ditangannya terlepas begitu saja. "Prass ...maksud Aku--" Pras menatapku tajam. Sorot matanya begitu menusuk hingga ke iris mataku. Apa dia marah? Bukankah ini lebih baik? Bukankah dia sudah punya kekasih? Terdengar hembusan napas kasar dari pria tampan di depanku. "Prass, kamu marah, ya?" tanyaku hati-hati. "Menurutmu?" Pras membuang pandangannya dariku. Kenapa wajahnya jadi bete gitu? Apa aku salah ngomong? "Aku ..., Aku minta maaf jika sudah membuatmu marah. Tapi, bukankah ini lebih baik. Aku khawatir nanti akan timbul salah paham dengan calon tunangan kamu," jelasku pelan-pelan. Semoga saja Pras mengerti. "Apa? Calon tunangan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kamu beli perhiasan tadi untuk tunanganmu, kan? Nah, tunanganmu i
Tirta Prasetya "Udaah, jangan ditutup-tutupin. Aku udah terlanjur lihat juga tadi." Aku terus menggoda Sera. Wanita itu terus memegang bagian depan jasku yang kebesaran di tubuhnya. Kebetulan jas itu memang tidak memakai kancing depan. "Diamlah, Pras!" pungkasnya kesal sambil memandang ke luar jendela. Serani Gunawan. Wanita cantik yang sudah memporak-porandakan hatiku ini ternyata sama sekali tidak peka dengan perhatian yang aku berikan selama ini. Walaupun Arief tidak memintaku untuk menjaga dia dan kedua anaknya, Aku pasti tetap akan menjaga mereka dengan baik. Jalanan sangat macet. Sera mulai sibuk membuka-buka ponselnya. "Pangeran sudah besar. Aku ingin ajak Giska dan Pangeran jalan-jalan ke vilaku di puncak. Nggak jauh, kok. Kamu mau, ya!" "Apa nanti tunanganmu nggak marah?" tanyanya tanpa menoleh padaku. Ia masih fokus membuka-buka media sosial di layar ponselnya. Astaga! Dia masih saja membahas tentang tunangan. Apa mungkin ini karena dia cemburu? "Nggak. Aku tadi kan
"Ada apa ini, Pras? Siapa mereka? Kenapa mereka ada di depan rumahku?" Aku panik melihat beberapa orang pria dan wanita di depan gerbang. Beberapa diantara mereka membawa kamera. "Wartawan, ada juga dari stasiun televisi," desis Pras tanpa mengalihkan pandangannya dari kerumunan yang berada tak jauh dari kami. "Haaah,? Wartawan?"Mataku membelalak kembali melihat orang-orang itu. Pras mulai melajukan mobilnya mendekat. "Rapatkan jas yang kamu pakai. Kita turun!" ajak Pras. "Aku nggak mau. Mereka mau ngapain memangnya?" tanyaku panik. "Mau sampai kapan kita di sini, Sayang? Mereka itu pemburu berita. Mereka nggak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan." "Ini pasti gara-gara kita jalan di mall tadi." sesalku. Pras menoleh padaku. Aku sudah merapikan jas yang aku pakai hingga menutup rapat bagian depan tubuhku. Mobil Pras sudah hampir sampai persis di depan gerbang. Sontak semua mata menuju ke arah kami. "Kamu jangan turun dulu. Tunggu aku yang bukakan pintu
"Bunda dan Om Bule lagi ngapain?" Tiba-tiba Giska memandang wajah kami bergantian dengan tatapan bingung. Kami sontak terkejut dan langsung saling menjaga jarak kembali. Berusaha menetralisir debaran yang sempat kurasakan. Huff! Hampir saja! Lagian, barusan Pras mau ngapain coba dekat-dekat? "I-ini mata bunda ada pasirnya. Om mau bersihkan. Kasihan itu Bunda sampai nangis." jawab Pras membuatku kembali melotot padanya. Giska mengangguk tanda mengerti. Ia ikut memperhatikan mataku yang tadi ditunjuk oleh Pras. "Udah, Bun. Jangan nangis! Biar dibersihin sama Om bule aja." Giska bicara dengan gaya seperti orang dewasa, hingga membuat Aku dan Pras terkikik. "Adik Pangeran mana, Bunda?" tanyanya sambil melangkah ke kamar Pangeran. "Pangeran baru aja bobok, Sayang. Giska makan lalu istirahat, ya!" Putriku itu mengangguk sambil melangkah masuk ke kamarnya. Seorang asisten rumah tanggaku menghampirinya ke kamar. Pras kembali menatapku. "Kamu ... tadi nangis lagi kangen Arief?" tanya
Tirta Prasetya Aku tersenyum saat membuka akun media sosial di ponselku. Fotoku dan Serani menjadi berita terhangat pagi ini. "Hmm .... cantik!" gumamku tanpa sadar saat memandang foto wanita yang berdiri di sebelahku itu. Walau sudah memiliki dua anak, Serani masih sangat cantik dan terawat. Tubuhnya yang tinggi bak model serta lekuk tubuhnya yang indah membuat imajinasiku selalu melayang jauh setiap memandangnya.. Mulai hari ini, berita kedekatan aku dan serani pasti akan ramai dibicarakan. Aku tersenyum senang. Aku akan lihat bagaimana respon Sera setelah ini. Tiba-tiba terdengar pintu ruanganku diketuk. "Masuk!" Saat pintu terbuka, nampak Elara masuk membawa sebuah undangan. "Pagi Pak Tirta, Nanti malam ada undangan grand opening Hotel Carla dari PT Indah properti. Sebaiknya Bapak hadir, Karena Bu Indah pemilik perusahaan itu sendiri yang kemarin langsung mengundang Bapak." "Bu Indah kemarin datang ke sini?" tanyaku heran. "iya, Pak. Dia sangat mengharapkan Bapak bisa
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.