"Astaga Elenaaa ...!" Pras seketika melompat saat melihat tubuh Elena luruh ke lantai. Dengan sigap Pras mengangkat tubuh Elena lalu membaringkannya di sofa yang ada di ruangsn itu. Tubuh Elena terasa dingin dan basah saat Pras menyentuh lengan wanita itu. "Sepertinya Elena benar--benar sedang sakit." Pras bergumam sendirian. Sejurus kemudian, dengan wajah cemas Pras bergegas keluar dari ruangan itu untuk memberitahu sekretaris Elena. "Kamu sekretaris Elena, kan? Elena pingsan di dalam" Melihat napas Pras panik dengan napas terengah-engah, sekretaris itu pun terkejut. "Apa? Bu Elena pingsan lagi, Pak?" Sekretaris itu segera berlari ke meja security yang berada hanya beberapa meter dari mejanya. "Pak, Pak, Kita bawa saja bu Elena ke rumah sakit. Sejak tadi Bu Elena sudah dua kali pingsan!" .teriak sekretaris itu, sebelum kemudian bergegas kembali ke ruangan Elena. "Maaf, Pak Tirta. Saya mau bawa Bu Elena ke rumah sakit. Untuk urusan pekerjaan mohon maaf kami tunda dulu sampa
"Stop! Aku nggak mau bicarakan tentang kerjasama itu di sini." Lagi-lagi Arnold hanya bisa menarik napas panjang. Dalam hatinya ia sedang berpikir bagaimana cara untuk meluluhkan Elena. Meski usia Elena jauh lebih tua darinya, tapi wajah Elena sangat cantik dan energik di matanya. Mungkin, jika Hartawan tidak memintanya untuk mendekati Elena, Arnold tetap bisa tertarik dengan wanita itu "Hey, kenapa masih liatin aku? Kamu masih mau bahas kerjasama itu?" Suara Elena makin meninggi. Arnold terkesiap. Pria itu gelagapan. Rupanya tatapannya tidak berpindah sejak tadi. Seketika itu juga ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Katakan pada Pras, Jika ingin membicarakan tentang kerjasama itu, ia harus langsung berhadapan denganku!"" Wajah pucat Elena terlihat gusar. Tiba-tiba saja aktivitas makannya terhenti. "Aku mau sendiri," lirihnya kemudian. "Saya akan pergi, kalau Bu Elena menghabiskan makannya." Spontan saja Elena menoleh dengan mata mendelik."Memangnya kamu siapa berani-b
Perlahan Pras membuka pintu. Ia melihat Elena sedang duduk bersandar di ranjangnya. Wajah wanita itu seketika berbinar melihat Pras muncul dari balik pintu "Praaas ....!" Elena memekik senang. Wanita itu tersenyum. Disaat yang sama, ponsel Sera bergetar. Ia yang tadi ingin ikut masuk, terpaksa menundanya. Sera memilih untuk menerima panggilan ponselnya lebih dulu dan membiarkan Pras masuk, setelah melihat nama salah satu investor di layar ponselnya. Ia sedikir menjauh dari ruangan Elena untuk berbicara cukup serius dengan seseorang. "Jadi kapan proyek itu siap kita kerjakan?" tanya suara berat yang cukup mendominan dari seberang sana. "Aku akan kabari kamu secepatnya. Memangnya kapan kamu pulang ke Indonesia?" Sera menjawab dengan santai."Dalam waktu dekat ini. Rasanya sudah nggak sabar mau ketemu Serani, wanita paling tajir di sekolah kita." Terdengar suara tawa dari pria di seberang sana. Sera ikut tertawa tapi pikirannya masih tertuju pada Pras yang sudah berada di dalam sana
"Bu Elena ..." Arnold bergumam sambil melirik Elena dengan sudut matanya. Mata Elena terpejam. Wanita itu tertidur dengan posisi kepalanya masih bersandar pada bahu. Perlahan tangan Arnold bergerak memposisikan letak kepala Elena di dadanya agar lebih nyaman. Satu tangan Arnold menahan kepala Elena agar tidak merosot. Wanita cantik berwajah tirus itu telah terlelap dengan pulas. Sepertinya akibat pengaruh obat yang disuntikkan oleh perawat tadi Karena cukup.lama bersandar.di tepi ranjang, tanpa sengaja Arnold pun tertidur. Hingga satu jam kemudian Elena terbangun.. "Astaga! Arnold? Kenapa dia ada di sini?" Elena langsung menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari pria tinggi itu. .Namun, karena ranjang rumah sakit yang memang hanya berukuran untuk satu orang, sebagian tubuh Elena masih berdempetan dengan pria di sebelahnya. "Hei, bangun! Kamu mau modusin saya, ya?" Elena menepuk lengan Arnold cukup keras, hingga pria itu terbangun karena terkejut. "Ya ampun, kenapa saya bisa t
"Pak, Pak Hartawan ....!" Arnold berteriak melihat kepala Hartawan terkulai di sandaran kursi roda. "Astaghfirullahaladzim ...! Pras, ayo kita antar Pak Hartawan ke rumah sakit!" teriak Sera. Arnold terlihat sangat panik. Tubuh Hartawan terasa sangat dingin. Namun ia masih bernapas lega karena Hartawan masih sadar. Dengan dibantu Pras dan Sera, mereka membawa Hartawan ke rumah sakit. Para asisten Hartawan telah menunggu di depan lift lobbi utama. Kejadian ini sempat menjadi pusat perhatian para karyawan Tirta group. Saat di dalam lift, Hartawan bicara terputus-putus. "Ar-nold .... ka-mu ... ha-rus ... janji ... akan menjaga ... Elena selamanya, Aku ... su-dah tidak ... sang-gup ... la-gi ...!" "Ya, Pak. Saya janji. Bapak tenang saja. Bapak harus kuat!" Arnold berjongkok di depan Hartawan sambil mencium kedua tangan pria tua itu. Netra Arnold sudah basah sejak tadi. Melihat pemandangan mengharukan itu, Sera ikut menitikkan air mata. Pras merengkuh bahu Sera dan mengusapnya lemb
"Bagaimana keadaan ayah saya, dokter?" Elena langsung melompat saat melihat dokter yang memeriksa Hartawan muncul dari balik pintu. "Bapak Hartawan harus dipindahkan ke ruang ICU. Karena alat-alat medis di sana lebih lengkap," jelas dokter itu dengan hati-hati, namun cukup tegas. "Lakukan yang terbaik untuk Pak Hartawan, Dokter. Kami akan urus segala sesuatunya." Elena menoleh pada Arnold yang langsung mengambil keputusan. Ia sempat tercengang melihat ketegasan dan ketulusan asisten pribadi ayahnya itu. jika tidak ada Arnold di sampingnya, jika saat ini ia sendirian, mungkin ia tidak akan sanggup menjalani ini sendirian. "Baiklah, kalau begitu silakan ke bagian admisi!" ujar sang dokter sebelum kembali masuk ke ruang pemeriksaan. Arnold mengangguk. Saat hendak melangkah menuju admisi, ia menoleh pada Elena. "Bu Elena mau ikut ke admisi atau tunggu di sini?" tanya Arnold dengan tatapan khawatir pada atasannya itu. Sesaat ia melirik tangan mungil Elena yang masih melingkar di lenga
Serani mematut dirinya di depan cermin. Gaun putih yang ia kenakan terasa lebih sempit. Ia menyadari bahwa bagian perutnya sudah mulai nampak membuncit. "Kenapa kamu selalu terlihat cantik, Sayang?" Pras melingkarkan tangannya pada pinggang Sera dari arah belakang. Sera tersenyum melihat bayangan dirinya dan Pras di cermin. Suaminya hari ini nampak semakin tampan dengan menggunakan jasco putih. Corri memang mengatakan dresscod acara pernikahannya hari ini adalah putih. "Kamu juga tampan, Sayang!" Sera berjingkat hendak mengecup pipi Pras yang dipenuhi bulu-bulu halus. Dipanggil 'sayang', hati Pras berdesir hangat. Sera memang jarang sekali memanggilnya dengan kata 'sayang'. "Gara-gara kamu panggil 'sayang', ada sesuatu yang menegang di bawah sini!" bisik Pras di telinga Sera. "Dasar suami mesum!" Sera menepuk pelan lengan Pras, hingga pria itu terkekeh. "Ayo berangkat!" ajak Sera sembari berusaha melepaskan diri dari lingkaran tangan Pras yang cukup besar untuk tubuhnya. "Nanti
"JANGAN SENTUH AKUU ...!!" Corri berteriak cukup kencang. Wanita dengan rambut kemerahan itu sontak menjauh dan menutup wajahnya. Betapa terkejutnya Diego. Ia tidak pernah menduga Corri akan menolaknya dengan cara seperti itu. "Corri, kenapa? Aku suamimu sekarang. Kita sudah sah." Perlahan Diego bicara. Corri masih menutup wajahnya. "Pergi kamu! Pergiii ...!" Corri menggeleng-gelengkan kepalanya. ."Oke, oke ...! Aku keluar dari kamar ini. Tolong buka wajahmu!" Corri terdiam beberapa saat. Kemudian ia membuka wajahnya. Diego cemas melihat wajah Corri sangat pucat. Wanita itu gemetar.. "Sayang ... kamu ... sakit?" Perlahan Diego kembali melangkah ke arah Corri. "Jangaaan, please ...! Toloong ..!" Suara Corri berubah serak. Ia menangis. Seketika Diego terhenyak. Kalimat memohon itu mengingatkan dirinya dengan kejadian sebelas tahun yang lalu. Saat itu ia tidak menghiraukan teriakan memohon yang memilukan dari Corri. Yang ada di pikrannya saat itu hanya ingin menguasai tubuh wa