"Praas? Pulang jam berapa dia semalam?" Sera baru saja terjaga karena hendak ke kamar mandi. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Di sampingnya, Pras masih tidur sangat pulas dengan posisi terlentang. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Sera bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Kemudian kembali ke ranjang dan berbaring. Netranya tak bisa lagi terpejam. Dengan posisi miring, ia bisa memuaskan diri menatap wajah tampan sang suami. Wajah dengan bakal cambang yang menggelap pada rahang kokohnya menciptakan sebuah desiran hangat di dalam dada Sera. Dua jari Sera mengusap pelan menyusuri wajah rupawan itu. Wajah yang banyak digilai para wanita. Mungkin ia harus terbiasa melihat banyak wanita yang berusaha mendekati suaminya ini. Semalam ia menunggu Pras pulang. Tapi sampai pukul dua belas malam suaminya itu belum juga pulang. Tidak mungkin bertemu klien sampai tengah malam seperti itu? Memangnya siapa kliennya? "Aaaa!" Sera terpekik karena terkejut. Tiba-tiba saja Pras membuka mata
"Aku mau bicara penting tentang Tirta. Kamu bakal kaget dengan apa yang aku lihat semalam." "Hah? Apa? Seketika Sera menoleh pada Agung. Ia mengikuti arah langkah mantan suaminya itu yang kini bersiap-siap hendak masuk ke dalam mobil. Sedangkan Giska sudah duduk di jok belaKang sejak tadi. Sebenarnya Sera mendengar dengan jelas apa yang dibisikkan Agung barusan. Ia sangat terkejut. Dengan gelisah Sera menoleh ke dalam rumah. Ia masih mendengar suara Pras bicara dengan seseorang lewat ponselnya. Sekali lagi, Agung menoleh pada Sera dari balik kemudi.Ia memberi gerakan tangan dan mulut dengan kalimat " Hubungi Aku!" tanpa ada suara.Setelahnya, Agung melajukan mobil pelan keluar dari gerbang. Setelah kepergian Agung, Sera tertegun dan mematung. Mencoba mencerna kembali kalimat yang dibisikkan Agung tadi. "Bicara penting? Tentang Tirta?" ulangnya pelan nyaris tak terdengar. Kenapa kalimat yang dikatakan Agung berhubungan dengan kegelisahannya belakangan ini? Sejak beberapa hari in
"Bu, jangan! Bu, Bu Serani ...!" Teriakan Elara terus terdengar hingga Sera hampir tiba di tujuannya. Sera terus melangkah cepat tanpa menghiraukan perutnya yang mulai membesar, dan sampai di depan pintu ruangan Pras. "Bu Serani, tolong, Bu ..., maaf, nanti saya diomeli Bu Elena." Mendengar ucapan Elara, Serani langsung memutar tubuhnya berhadapan dengan sekretaris Pras itu. Ia heran, kenapa Elara sangat takut diomeli oleh Elena? Ia menatap Elara dengan penuh tanda tanya. Padahal di sini Elara hanya tamu dan mitra perusahaan. "Kamu takut sama Elena?" Kening Sera berkerut. Elara mengangguk lemah. Wajahnya memucat. "Kenapa?" Sera menatap Wanita dengan rambut pendek itu dengan intens. "Saya ... saya takut kalau nanti Bu Elena marah, dia akan menghentikan proyek itu." Sera melebarkan matanya. "Astaga .... sampai sebegitunya! Jadi, dia mengancam semua orang di sini agar menuruti semua keinginanya? " Sera geleng-geleng kepala. "Sudah, kamu nggak usah.takut." Sera kemballi memutar
"Lanjutkan proyek itu! Lalu, perusahaanku yang akan menggantikan semua dana yang sudah masuk." Sera bicara tegas dan sangat yakin. "M-maksud kamu?" Pras tersentak dengan pandangan penuh harap pada Sera. "Ya, putuskan kerjasama Tirta Group dengan PT Callista, dan kembali bekerja sama dengan perusahaanku. Perusahaanku memang tidak sebesar perusahaan Tirta Group atau PT. Callista. Tapi, Kamu jangan lupa, Gunawan Corp memiliki orang-orang berkompeten di dalamnya."Kali ini Sera bicara menggambarkan seorang pebisnis handal yang berwibawa dan elegan. Melihat itu, Pras terkagum-kagum pada istrinya. "Sera ... Astaga! Aku tidak menyangka Aku punya istri yang luar biasa." Pras kembali memeluk istrinya, dan membawa Sera kembali duduk di Sofa. "Sekarang apa boleh aku tau, apa yang akan kamu lakukan? Terus terang, Aku tidak mau sampai kamu berkorban terlalu banyak." Sebuah belaian dari telapak tangan Pras yang besar, terasa hangat di pipi Serani. Sesaat wanita itu menikmati tanpa mengubah eksp
"Ehm ...., Diego!" Diego spontan menoleh ke belakang. Pras dan Serani baru saja keluar dari ruangannya. Sepertinya mereka sedang bersiap-siap hendak pergi. "Tirta, maaf, tadi itu aku tidak ..." Diego gugup dan merasa bersalah karena tadi tidak mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk ke ruangan Pras. "Tidak perlu dibahas. Ehm ... Kebetulan kalian berdua ada di sini. Tolong persiapkan segala sesuatu untuk pemutusan kerjasama kita dengan PT Callista!". Seketika mata Diego membelalak. "A-apa? putus kerjasama? Tapi, Tirta ...." "Lalu persiapkan dokumen kerjasama Tirta Group dengan Gunawan Corp!" Pras langsung memotong kalimat Diego. Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Pras, Diego dan Corri saling pandang. Tapi kebingungan itu hanya nampak sesaat pada wajah Corri. Karena sedetik kemudian Corri justru tersenyum dan melirik pada Serani. Kedua wanita itu saling tersenyum dan mengangguk. Ternyata mereka telah mempersiapkan semuanya.. "Ada yang mau menjelaskan sesuatu padaku?" Diego
"Astaga Elenaaa ...!" Pras seketika melompat saat melihat tubuh Elena luruh ke lantai. Dengan sigap Pras mengangkat tubuh Elena lalu membaringkannya di sofa yang ada di ruangsn itu. Tubuh Elena terasa dingin dan basah saat Pras menyentuh lengan wanita itu. "Sepertinya Elena benar--benar sedang sakit." Pras bergumam sendirian. Sejurus kemudian, dengan wajah cemas Pras bergegas keluar dari ruangan itu untuk memberitahu sekretaris Elena. "Kamu sekretaris Elena, kan? Elena pingsan di dalam" Melihat napas Pras panik dengan napas terengah-engah, sekretaris itu pun terkejut. "Apa? Bu Elena pingsan lagi, Pak?" Sekretaris itu segera berlari ke meja security yang berada hanya beberapa meter dari mejanya. "Pak, Pak, Kita bawa saja bu Elena ke rumah sakit. Sejak tadi Bu Elena sudah dua kali pingsan!" .teriak sekretaris itu, sebelum kemudian bergegas kembali ke ruangan Elena. "Maaf, Pak Tirta. Saya mau bawa Bu Elena ke rumah sakit. Untuk urusan pekerjaan mohon maaf kami tunda dulu sampa
"Stop! Aku nggak mau bicarakan tentang kerjasama itu di sini." Lagi-lagi Arnold hanya bisa menarik napas panjang. Dalam hatinya ia sedang berpikir bagaimana cara untuk meluluhkan Elena. Meski usia Elena jauh lebih tua darinya, tapi wajah Elena sangat cantik dan energik di matanya. Mungkin, jika Hartawan tidak memintanya untuk mendekati Elena, Arnold tetap bisa tertarik dengan wanita itu "Hey, kenapa masih liatin aku? Kamu masih mau bahas kerjasama itu?" Suara Elena makin meninggi. Arnold terkesiap. Pria itu gelagapan. Rupanya tatapannya tidak berpindah sejak tadi. Seketika itu juga ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Katakan pada Pras, Jika ingin membicarakan tentang kerjasama itu, ia harus langsung berhadapan denganku!"" Wajah pucat Elena terlihat gusar. Tiba-tiba saja aktivitas makannya terhenti. "Aku mau sendiri," lirihnya kemudian. "Saya akan pergi, kalau Bu Elena menghabiskan makannya." Spontan saja Elena menoleh dengan mata mendelik."Memangnya kamu siapa berani-b
Perlahan Pras membuka pintu. Ia melihat Elena sedang duduk bersandar di ranjangnya. Wajah wanita itu seketika berbinar melihat Pras muncul dari balik pintu "Praaas ....!" Elena memekik senang. Wanita itu tersenyum. Disaat yang sama, ponsel Sera bergetar. Ia yang tadi ingin ikut masuk, terpaksa menundanya. Sera memilih untuk menerima panggilan ponselnya lebih dulu dan membiarkan Pras masuk, setelah melihat nama salah satu investor di layar ponselnya. Ia sedikir menjauh dari ruangan Elena untuk berbicara cukup serius dengan seseorang. "Jadi kapan proyek itu siap kita kerjakan?" tanya suara berat yang cukup mendominan dari seberang sana. "Aku akan kabari kamu secepatnya. Memangnya kapan kamu pulang ke Indonesia?" Sera menjawab dengan santai."Dalam waktu dekat ini. Rasanya sudah nggak sabar mau ketemu Serani, wanita paling tajir di sekolah kita." Terdengar suara tawa dari pria di seberang sana. Sera ikut tertawa tapi pikirannya masih tertuju pada Pras yang sudah berada di dalam sana