"Pulang malam lagi. Kemana saja kamu seharian ini, Elena?" Elena yang baru saja turun dari Lexus hitamnya terkejut. Ternyata sang ayah sudah berdiri di depan pintu utama rumah mewahnya. "Ayah ...? Kenapa belum tidur?" Elena berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia lelah jika harus berdebat lagi dengan Hartawan. Seharian ini Elena menghabiskan waktunya untuk mengikuti Pras dan keluarganya, hingga berakhir di sebuah club malam yang beberapa kali ia kunjungi belakangan ini. "Mana bisa ayah tidur jika anak gadisnya masih di luar? Seharusnya ada pria yang mendampingimu jika keluar hingga malam begini." Elena mulai gelisah jika Hartawan mulai membicarakan tentang pasangannya. Hingga hari ini ia belum berhasil memenuhi permintaan ayahnya untuk memperkenalkan calon suamlnya. "Ayah, sudah malam. Ayo aku antar ke kamar!" Elena menggandeng Hartawan menuju kamarnya. Ia tak mau sampai Hartawan membahas masalah calon suaminya. Ia sudah terlalu lelah. "Tunggu dulu! Ayah mau bicarakan tentang kerja
"Kamu yakin akan menerima wanita bernama Elena itu ke ruanganmu?" Corri yang kebetulan sedang berada di ruangan Sera nampak khawatir, walaupun ia tidak tau pasti apa yang terjadi diantara Elena dan sahabatnya itu. Sudah beberapa kali ia menanyakan hal ini pada Sera sejak tadi. Ia juga melihat keraguan di wajah CEO-nya itu. Belakangan ini Sera beberapa kali mengeluh tentang kedekatan Elena dan Pras. Sera menggeleng. Wajahnya datar tanpa ekspresi yang berarti. "Justru aku sangat penasaran akan tujuannya menemuiku," sahut Serani tenang. Namun begitu, tetap saja Corri khawatir. Ia beberapa kali menghela napas berat. Corri dan Sera bukan hanya sekedar sahabat dan rekan kerja. Kedekatan keduanya telah terjalin sejak mereka belum menikah.. "Apa perlu aku beritahu Pras?" tanya Cori lagi. "Tidak perlu, Corri. Selama wanita itu masuk hanya sendiri ke ruanganku, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Tapi, Sera--" "Sudahlah! Nggak apa-apa. Tinggalin aku sendiri. Sebentar lagi dia pasti ak
" Gawat, proyek dihentikan secara sepihak oleh Hartawan. Semua pekerja minta pertanggung jawaban. Mereka minta sisa upah sesuai kontrak kerja." Tanpa mengetuk pintu, Diego masuk terburu-buru ke ruangan Pras. Pras sudah menduga hal ini akan terjadi. Pria bule dengan tubuh tinggi.di atas rata-rata itu seketika berdiri. "Sepertinya kita harus menemui Hartawan sekarang juga. Aku akan bernegosiasi denganmya." Pras mengepalkan kedua tangannya. "Tunggu, Tirta. Bagaimana jika kali ini permintaannya cukup berat? Maaf, Aku dengar, Elena tertarik padamu." Tatapan Diego seakan menuntut sebuah jawaban secepatnya. Pras kembali menjatuhkan tubuhnya. "Sepertinya aku harus menjual semua asetku." Mendengar kalimat yang diucapkan Pras, sontak Diego menoleh. Kemudian menggeleng putus asa. "Jangan gegabah mengambil keputusan. Sebaiknya pikirkan dulu baik-baik!"Diego bicara pelan namun penuh penekanan. "Aku sudah tidak punya pilihan. Aku tidak mungkin mengecewakan Serani." Pras bicara lirih dengan
"Maafkan aku ... maafkan aku! Semua itu diluar kendaliku. Aku mohon, jangan terus siksa aku dengan rasa bersalah ini, Elena!" Suara Pras bergetar. Tangisan Elena benar-benar membuatnya runtuh. Hatinya nyeri sekaligus bingung. Tangisan Elena sukses membuatnya kalut dan tak sanggup berpikir. Beberapa saat ia kehilangan kata,-kata. Hingga pria tinggi tegap itu kembali berbicara lirih. "Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Tapi tolong, jangan libatkan Serani dalam hal ini. Kamu tau sepenting apa dia untukku." Mendengar kalimat yang diucapkan Pras, Elena memejamkan mata. Luka itu kembali berdarah. Ia memang tidak akan pernah bisa memiliki hati Pria yang saat ini sedang memeluknya dari belakang. Begitu menyakitkan cinta yang ia miliki. Sebagai anak tunggal seorang Hartawan, Ia memiliki semua yang ia butuhkan. Namun hanya satu yang tidak bisa ia miliki dengan hartanya. Yaitu, cinta yang sebenarnya. Kenapa ia tidak bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki wanita la
"Hartawan sakit dan akan berobat ke luar negeri. Ia sempat bilang kalau kemarin itu hanya emosi sesaat. Jadi, proyek itu tetap berjalan sesuai rencana." Pras menarik napas lega setelah akhirnya bisa menjawab pertanyaan Sera. Wanita cantik yang sedang berbadan dua itu mengangguk mendengar jawaban Pras. Walaupun sebenarnya, di hatinya masih ada sesuatu yang mengganjal. "Oh ya, bagaimana kabarnya anakku? Kapan lagi periksa ke dokter Ira?" Pras membungkukkan tubuhnya lalu mencium perut Serani. "Bulan depan. Menurut dokter Ira, janinnya sehat." Sera mengusap kepala Pras yang berada di atas pahanya. Ia memandang wajah suaminya dengan intens. Entah kenapa ia merasa tadi Pras tidak menjawab pertanyaannya dengan benar. Ada beban yang lihat dari raut wajah tampan itu. Beberapa kali Sera menghela napas panjang. "Ayo pulang. Anak-anak pasti menunggu untuk makan malam bersama. Belakangan ini kamu jarang banget makan malam bareng kita." Sera membelai wajah Pras yang ditumbuhi rambut-rambut halus
"Aku ... berjanji akan membuatmu bahagia bersamaku. Apa.kamu mau?" Corri nyaris terpekik mendengar kata-kata yang diucapkan Diego. Walau ia pernah merasa di sakiti oleh Diego, tapi dari dasar hatinya yang paling dalam merasa sangat bahagia. Mungkin sudah saatnya ia mengalah pada egonya sendiri. Mungkin ia bisa membalut luka itu dengan cara menerima kebahagiaan ini. Corri tak mampu menahan senyumnya. Wanita berambut kemerahan itu menunduk. Ia malu jika Diego melihat wajahnya yang menghangat. Ia menduga saat ini pipinya pasti berwarna kemerahan. Tiba-tiba jemari Diego mengangkat dagunya. Hingga saat ini mereka kembali saling menatap. "Corri ..., apa kamu mau menikah denganku?" "Haah?" Cori kembali ternganga. Sungguh ia tidak menyangka Diego malah melamarnya. "Corri ..." Diego kembali bersuara. Seakan tak sabar mendengar jawaban dari Corri. "Aku ... aku ... akan pikir-pikir dulu." Akhirnya keluar juga jawaban dari mulut Corri. Namun bukan jawaban itu yang dinantikan Diego. "Sudah
"Mas Agung! Mas jangan bohongin aku, ya! Tadi liatin siapa di sana?" Pandangan Yuyun masih tertuju ka arah ruang tunggu poli kandungan rumah sakit elit itu. Ia masih sangat penasaran. Karena menurutnya Agung seperti terkejut setelah melihat sesuatu di sana. "Sudah aku bilang aku salah lihat. Ayo pulang! Kasian Cika kita titip di rumah pasti nggak nyaman sama anak-anaknya Mbak Lastri." Agung semakin menarik tangan Yuyun untuk bergegas menuju jalan raya. "Mas, rumah sakitnya elite begitu pasti mahal ya biayanya. Aku nggak nyangka Mbak Rumi itu bisa melahirkan di rumah sakit sebagus ini." Yuyun nampak sudah melupakan apa yang ia tanyakan pada Agung tadi. Sambil menunggu angkutan umum, Yuyun membicarakan tetangganya yang baru saja ia besuk. "Ya bisa saja Mbak Rumi ada jaminan kesehatan dari perusahaan tempat suaminya bekerja. Sama seperti kita dulu. Kamu lupa?" Agung bicara sambil memandang terus ke arah kanan, berharap angkutan umum yang ia tunggu segera datang. Apalagi malam sudah se
"Praas? Pulang jam berapa dia semalam?" Sera baru saja terjaga karena hendak ke kamar mandi. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Di sampingnya, Pras masih tidur sangat pulas dengan posisi terlentang. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Sera bangkit dan bergegas ke kamar mandi. Kemudian kembali ke ranjang dan berbaring. Netranya tak bisa lagi terpejam. Dengan posisi miring, ia bisa memuaskan diri menatap wajah tampan sang suami. Wajah dengan bakal cambang yang menggelap pada rahang kokohnya menciptakan sebuah desiran hangat di dalam dada Sera. Dua jari Sera mengusap pelan menyusuri wajah rupawan itu. Wajah yang banyak digilai para wanita. Mungkin ia harus terbiasa melihat banyak wanita yang berusaha mendekati suaminya ini. Semalam ia menunggu Pras pulang. Tapi sampai pukul dua belas malam suaminya itu belum juga pulang. Tidak mungkin bertemu klien sampai tengah malam seperti itu? Memangnya siapa kliennya? "Aaaa!" Sera terpekik karena terkejut. Tiba-tiba saja Pras membuka mata