"Kembali ke Amerika? Apa ada masalah yang serius?" Sera sempat terkejut sesaat. Namun, ia berusaha untuk berpikir positif. "Opa Vincent bilang, perusahaan Kami di sana terancam bangkrut." Suara Pras semakin pelan. "Astaga! Kenapa bisa seperti itu?" Sera langsung bangkit dan duduk bersila di ranjang. Melihat itu, Pras pun bangkit dan mendekat pada Sera. "Itulah yang harus Aku selidiki" Wajah Pras nampak murung. "Jadi ... kapan Kamu berangkat?"Wajah Sera pun mendadak murung. Pras seketika memeluk istrinya itu dengan erat. "Aku tidak mau berpisah denganmu. Kalian harus ikut denganku!" Sesaat keduanya terdiam. Merasakan pelukan yang begitu hangat. Namun, hati keduanya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Perlahan Sera mengurai pelukan. Lalu turun dari ranjang. Ia tak mau Pangeran terjaga karena suara mereka. Prass menyusulnya duduk di sofa. "Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Pras yang langsung mendudukkan tubuhnya di samping Sera. Ia kembali meraih tubuh Sera dan merebahkan kepala i
"Aku pasti akan merindukanmu, Sayang." Pras terus memeluk Sera. Rasanya malam ini ia tak mau berjauhan sejengkal pun dari istrinya itu. Lengan kokoh itu terus melingkar di perut Sera sejak tadi. Hembusan napas suaminya itu menyapu hangat kepalanya. "Pras, Kamu pergi hanya sebentar, bukan? Kenapa penuh drama begini?" Sera tersenyum melihat Pras begitu manja malam ini. "Tidak! Sedetikpun Aku tidak mau berpisah denganmu!" gumam Pras seraya mencium puncak kepala Sera. "Lebay, ih!" Sera mencubit pinggang Pras. "Ikut, ya! Kamu ikut ke Amerika, ya!" Pras kembali mencoba membujuk Serani. "Pras ..., kasian Pangeran." . Pras tak menjawab. Dalam hatinya ia pun ragu jika harus membawa Pangeran. Giska pun tidak mungkin meninggalkan sekolahnya.. Terdengar hembusan napas panjang dari Pras. Lalu mulai menciumi rambut, wajah, leher serta seluruh tubuh Sera tanpa tertinggal satu senti pun. Ia ingin menikmati malam-malam terakhirnya bersama Sera sebelum kepergiannya ke Amerika. "Besok Kamu tidak
"Jangan sampai terlambat! Opa tidak mau gara-gara Kamu kita sampai ketinggalan pesawat!" Sudah yang kedua kalinya Opa Vincent menghubungi.Pras. Pria tua itu sepertinya khawatir Pras tidak jadi pergi ke Austin, Texas, Amerika Serikat. Kota yang akan mereka tuju. Pras menutup ponselmya. Kembali menatap Sera. "Siapa? Opa lagi?" tanya Sera sambil menyerahkan jas biru tua milik Pras. "Sayang ...!" Sera tersentak saat tiba-tiba Pras memeluknya sangat erat. Hatinya merasakan kegelisahan. "Ya Allah, ada apa ini? Kenapa rasanya sangat berat melepas kepergiannya? Lindungilah suamiku ya Allah." Sera berdoa dalam hati Dadanya terasa penuh. "Kamu jadi antar Aku ke Bandara?" tanya Pras setelah mengecup lembut bibir Sera. Wanita itu telah tampil cantik dengan stelan kantornya. Setelah mengantar Pras ke Bandara, Sera akan lanjut ke kantor. "Jadi, Sayang," jawab Sera memberanikan diri membalas kecupan suaminya. Pras tersenyum lebar mendengar pertama kali Sera memanggilnya dengan kata sayan
"Tuan, ayo kita segera berangkat. Barusan Tuan Vincent kembali menghubungi Saya!" ujar sang supir melihat Pras belum juga berpindah dari teras. "Oh, iy-iyaa. Ayo berangkat!" Mendengar nama Sang Opa, Pras bergegas mendekati mobil dan masuk ke dalamnya. Mobil mulai bergerak meninggalkan rumah mewah bertingkat itu. Namun, tatapan Pras kian tajam tertuju pada jendela kamar Pangeran. Tarikan napas panjang kegelisahan berkali-kali terdengar. Dalam pikiran pria bernama Tirta Prasetya itu sedang berkecamuk berbagai hal. Mobil yang membawanya semakin menjauh. Kini Pras hanya bisa pasrah harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Ia berharap masalah yang akan ia hadapi nanti segera terselesaikan. Setengah jam berlalu Pras mencoba menghubungi Sera melalui ponselnya. Namun, berkali-kali ia mencoba, panggilannya tak kunjung diterima. Wajah Pras mulai menegang. Lalu ia memutuskan untuk menghubungi Loly. "Hallo Tuan Tirta." Pras bernapas lega karena Loly langsung menerima panggilannya "Ma
"Kenapa Pras tidak bisa dihubungi?" gumam Sera kesal. Entah berapa kali Sera mencoba menghubungi Pras kembali. Namun ponsel pria itu tidak aktif. Sera meletakkan ponselnya diatas nakas. Ia membawa Pangeran tidur di kamarnya. Putranya itu masih saja rewel. Hingga tengah malam Sera tidak bisa terlelap. Pangeran terus terjaga dan meminta ASI. Saat malam tiba, Sera merasa lapar dan haus. Ia tidak tega membangunkan para baby sitter putranya. Sementara ia tidak mungkin meninggalkan Pangeran sendirian di kamar.Akhirnya ia memutuskan untuk ke dapur sambil menggendong Pangeran. "Pras, andai Kamu ada di sini. Aku pasti nggak sendirian. Aku pasti ditemani sama Kamu," bathin Sera dengan rasa sesak yang semakin menghimpitnya. Pras pasti akan membuatkan susu untuknya. Pras juga akan menyuapinya makan. Bulir-bulir bening itu kembali lolos tanpa ia sadari. Sejak Pangeran lahir, Pras selalu telaten merawatnya. Pria itu sangat memperhatikan kesehatannya. "Pras ... Aku rindu ...," lirih wanita ya
"Brengsek! Siapa yang mau bermain-main denganku?" Pras menggebrak meja di hadapannya. Wajahnya kembali menggelap. Dadanya naik turun. Ia semakin yakin bahwa yang menghancurkan perusahaannya adalah orang dalam. Seseorang yang tau persis tentang perusahaannya. Namun ia baru menduga satu nama yang ia curigai. Tidak menutup kemungkinan ada nama lainnya juga sebagai tersangka. "Aku harus membuktikan ini sendiri." Pras meraih jas dan kunci mobilnya. Melangkah keluar dari gedung tinggi yang satu lantainya ia sewa untuk perusahaannya. Rumah yang ia tempati tidak begitu jauh dari kantor. Hingga dalam waktu lima belas menit ia sudah tiba di rumahnya. Beberapa ART asal Indonesia bekerja di sana.. "Selamat malam, Tuan Tirta. Saya.siapkan makan malam." Pras hanya mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan berukuran besar berada di dinding kamar. Rutinitas yang ia lakukan setiap membuka kamar itu, jika ia berada di Austin ini. "Sera ... Aku ri
PRANG!! "Awww ...!" Serani menjerit ketika gelas yang berada dalam genggamannya tiba-tiba terlepas. Gelas keramik itu hancur berantakan di lantai dapur. "Pras ...! Ada apa dengan dirimu?" Sera berdiri mematung menatap serpihan pecahan gelas yang tercecer tak jauh dari kakinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ia yang tadi ke dapur hendak minum mendadak teringat dengan Pras. Dadanya terasa sesak, tangannya gemetar hingga gelas di tangannya terlepas. "Maaf, Nyonya. Biar Saya bersihkan." Seorang ART tiba-tiba muncul karena mendengar suara sesuatu yang pecah. ART itu membungkuk melewatinya Sera sambil membawa sapu. "Nyonya mau minum? Biar Saya ambilkan." ART lainnya menghampiri Sera yang masih melamun..Sera tersentak, lalu menolah pada kedua ART nya. "Maaf, tolong antarkan air putih untukku ke kamar!" "Baik, Nyonya." Sera memutar tubuhnya, lalu melangkah menuju kamar. Mungkin sebaiknya ia menenangkan diri dulu. Namun ketika tiba di kamar, wanita berhidung mancung
"Kamu serius mau ke Amerika?" Corri menatap Sera tak percaya. Makan siang mereka sempat terjeda sesaat ketiika tiba-tiba Serani mengatakan ingin menyusul Pras. Sera mengalihkan pandangannya dengan wajah gelisah. Sendok di tangannya ia letakkan di tepian piring. "Sebenarnya Aku nggak tau harus bagaimana. Tapi sudah tiga hari ini Aku nggak bisa mengubungi suamiku sendiri. Aku nggak tau apa dia baik-baik aja." Netra bulat Serani mulai berkabut. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak menangis.."Minum dulu!" Corri menyodorkan segelas jus jambu pada Serani. Ia berharap Serani bisa lebih tenang. Sera menerima dan meneguk sedikit minuman itu. "Kamu udah hubungi keluarganya atau siapa gitu, yang ada di sana?" tanya Corri lagi "Sudah." Suara Sera terdengar parau. Corri menatap sahabatnya itu iba. Sambil menunggu Sera bercerita, wanita berambut kemerahan itu kembali menyuap makanannya. "Aku sudah hubungi Opanya. Tapi ..., sepertinya beliau menutupi sesuatu. Aku tidak diperbolehkan bicara
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.