Lucu sekali dokter Indra ini. Bagaimana mungkin dia bisa betah karena memiliki tetangga seperti aku. Bertemupun kami jarang-jarang. Apa karena profesinya sebagai seorang Dokter gigi yang terkesan menakutkan, sehingga dia berusaha seramah mungkin kepada pasien? Dan itu juga terbawa ke semua orang? Bahkan denganku? Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Semoga tidak ada maksud apa-apa di balik ini semua. Bukankah pria dewasa dan mapan seperti dia seharusnya sudah memiliki keluarga? "Dokter bisa saja," balasku dengan ucapannya barusan. Dia pun tertawa. "Biasanya pagi-pagi, kamu sudah mengantar Alta ke sekolah. Kok beberapa hari ini tidak kelihatan?" Lho, kok dia bisa tahu kalau setiap pagi aku keluar. Bukankah setiap aku mengantar Alta, klinik ini belum buka? Aku mendongak ke atas. Menatap lantai dua dan tiga ruko miliknya. Apa dia sering melihatku dari jendela itu? Seperti ruko pada umumnya, jendela di lantai atas memang langsung menghadap ke jalan depan. Sepagi itukah dia ba
"Bunda jangan takut, ya? Ada Alta di sini yang menemani Bunda," bujuknya. Lagi-lagi hatiku terenyuh. Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu? Dokter Indra menyambut kedatangan kami masih dengan senyum ramahnya. Dia mempersilahkan kami duduk di sofa ruang tunggu untuk mengobrol. "Halo anak manis," dokter Indra memulai aksinya. Dia sudah tahu apa yang sedang Alta alami. Dengan terpaksa aku harus menjelaskan semua yang terjadi tentang keadaan yang sebenarnya. Dokter Indra mengerti. Dia turut merasa prihatin, sekaligus memujiku karena begitu mengkhawatirkan Alta yang bahkan bukan darah dagingku sendiri. Dia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Alta dengan bahasa yang sangat luar biasa menurutku. Entah bagaimana dia mendapatkan kata-kata yang bisa membuat Alta merasa rileks dan mudah menjawabnya. Alta juga terkadang tertawa. Dokter Indra benar-benar berhasil membuat Alta yang murung kembali ceria. "Jadi, Alta tidak keberatan kan, kalau Bunda berteman dengan Mama Lusi? Kasih
"Tapi bagaimana saat Mas Ilham nanti keluar dari penjara, dan dia tidak memiliki apa-apa lagi?""Itu urusan dia, Nay. Mas harap kamu tidak memikirkan tentang dia lagi.""Bukan Mas Rafi. Nay bukannya memikirkan Mas Ilham. Nay hanya berusaha agar usaha Nay ini lancar tanpa merasa berhutang seumur hidup sama Mas Ilham.""Sudahlah, Nay. Kalau tidak kamu jual pun, rumah itu tetap akan disita oleh perusahaan. Jadi secara tidak langsung, rumah itu bukan lagi milik Ilham."Jadi, rumah itu sebenarnya sudah menjadi milik perusahaan? Atau lebih tepatnya, milik Mas Rafi? Dan dia masih tetap ingin membayarnya tanpa berpikir? "Mas sayang sama kamu, Nay. Mas hanya ingin kamu bahagia," ucapnya sambil mengusap rambutku. .Malam ini, aku juga sudah mengabarkan kepada Mas Rafi tentang keadaan Alta. Aku tertawa bahagia saat menceritakan apa yang terjadi di ruang tunggu itu. Aku sangat bersemangat saat menirukan kata-kata dokter Indra kepada Alta. "Coba seandainya Nay sekolah seperti itu, ya Mas? Tentu
Minggu ini aku membiarkan Alta dan Mbak Lusi jalan berdua. Tentunya setelah aku kembali berpura-pura sakit gigi, sesaat menuju keberangkatan. Mau tidak mau Alta menurut karena takut Mbak Lusi kecewa. Kulihat binar mata Mbak Lusi memancarkan kebahagiaan. Sungguh dia sangat berterima kasih kepadaku karena telah memberinya kesempatan. Dan dia tidak akan mungkin sampai hati menghianatiku dengan mencoba merebut Alta. Siang ini aku main ke tempat Ratna, setelah sebelumnya mengawasi para pekerja yang sedang merenofasi ruko sebelah. Ratna terus-terusan mengataiku sangat jahat dan tidak peka setelah kuceritakan tentang percakapanku dengan Mas Rafi. "Nay, Nay. Mas Rafi lagi cemburu, kamunya makin asik muji-muji dokter Indra," ledek Ratna. "La, aku mana tahu, Rat. Mas Rafi tidak bilang. Seharusnyakan dia jujur seperti aku waktu itu.""Tidak usah dikatakan, semua orang juga tahu, Nay. Kamu saja yang kurang nalar. Heran aku melihat sifat lugumu itu tidak hilang-hilang.""Kemarin sudah hilang
"Kenapa kalian diam saja? Cepat usir wanita kampung ini. Atau kalau tidak, aku tidak jadi membeli di sini," ancamnya kepada orang tuaku.Kami saling berpandangan satu sama lain. Melihat ciri-ciri yang sering kuceritakan, pastilah Bapak dan Ibu sudah mengetahui bahwa itu istrinya Mas Ilham. "Memangnya kamu punya uang untuk membeli?" sindir Ibuku. "Bukannya sekarang kamu itu sudah jatuh miskin?"Aku terkejut mendengar ucapan Ibu. Tak pernah sebelumnya Ibuku berkata kasar bahkan merendahkan orang lain sampai seperti itu. "Heh, apa maksud kamu? Memangnya kamu kenal siapa aku? Suamiku itu orang kaya tau!" Viona makin terlihat angkuh. "Kaya? Bukannya sudah jatuh bangkrut, dan kini mendekam di dalam penjara?"Mata Viona mendelik mendengar kata-kata Ibuku. Dia pasti sama sekali tidak menyangka, kalau semua orang sudah tahu siapa dia sebenarnya. "Heh, perempuan kampung. Bicara apa kamu sama orang-orang, ha? Berani sekali kamu memfitnah aku. Dasar tidak tahu diri." Viona dengan cepat mendor
"Eh, iya, dok. Terima kasih, ya?" ucapku tulus. Dokter Indra mengangguk sambil tersenyum.Bagaimana ini? Bukannya si Viona itu pintar membolak-balikkan kata? Bagaimana jika Mas Rafi sampai termakan ucapannya dan marah kepadaku? Apakah nanti tidak akan menjadi masalah? Tapi aku sudah terlanjur berhutang budi pada dokter Indra. Tidak mungkin secara tiba-tiba aku menjauhi dan langsung menjaga jarak dengannya. Apa nanti yang akan dikatakannya tentang keluarga kami? Dia bahkan tidak meminta bayaran saat konsultasi Alta kemarin. ***********Malam ini Alta bercerita panjang lebar usai diajak bepergian dengan Mbak Lusi. Dia terlihat ceria, tak lagi tampak ketakutan dan cemas. Mereka juga tampak mulai akrab dan banyak bicara saat tadi Mbak Lusi mengantarnya ke rumah. Aku turut bahagia melihatnya, walaupun hati kecilku sedikit merasa perih melihatnya. Aku takut suatu hari mereka akan semakin akrab dan melupakan aku. Mungkinkah hal tersebut dapat terjadi? Tapi sepert
Aku terkejut kala mendengar status dokter Indra yang ternyata adalah seorang duda. Pantas saja anak dan istrinya tidak pernah terlihat dari awal dia pindah ke sini. Bahkan disaat acara pembukaan klinik tempat prakteknya tempo hari."Dokter juga bercerai?" aku semakin penasaran. Jangan-jangan dokter Indra juga laki-laki hidung belang yang doyan berselingkuh dengan wanita.Bukankah itu adalah alasan bagi sebagian wanita memilih bercerai dari suaminya. Tidak mungkin pernikahan orang ini kandas begitu saja disebabkan permasalan ekonomi, melihat jenis profesi dan kehidupannya yang mapan itu.Lagipula jika penyebab perceraiannya adalah perselingkuhan dokter Indra, maka dengan begitu aku bisa mewanti-wanti agar menjauhi dan mengurungkan niat untuk memperkenalkannya pada Ratna."Istri saya meninggal saat melahirkan anak ke tiga kami," ujarnya yang membuatku terkejut. "Ibu dan bayinya tidak dapat di selamatkan. Dan itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu," terangnya.Oh, ternyata aku salah paha
Mataku mendelik menatapnya, dengan cepat dia mengalihkan langsung kepada Alta sambil mengedipkan sebelah matanya kepada gadis kecil itu."Siap Om dokter," Alta tersenyum manis sambil membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Ada-ada saja tingkah mereka. Sejak kapan mereka terlihat akrab seperti itu?.Pagi-pagi sekali Mas Rafi datang hanya sekedar untuk menyapaku. Dia bilang entah kenapa tiba-tiba saja rindu dan ingin bertemu. Wajahku bersemu merah mendengar ucapannya.Teringat juga soal ancaman Viona tempo hari. Bagaimana kalau Viona tiba-tiba muncul dan mengatakan hal yang bukan-bukan padanya. Apakah nantinya Mas Rafi akan percaya begitu saja dan lantas akan marah kepadaku?Kenapa juga aku harus berurusan dengan dokter Indra di saat-saat seperti ini. Semoga nantinya tidak akan menambah masalah lagi dan memperkeruh suasana hubunganku dengan Mas Rafi.Kulihat pagi ini dokter Indra baru saja membuka pintu kliniknya. Sepertinya suster yang kemarin belum datang. Karena biasa
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung