"Kalau jadinya seperti itu, ya suruh Mas Rafi yang tanggung jawab dong, Nay. Kok malah aku?""Habis kamu sih, terus-terusan menggodaku." Ratna kembali tertawa. Tak lama Mas Rafi menghubungi dan mengatakan kalau dia sudah menunggu di luar. Tak ingin berlama-lama, kamipun langsung berangkat. "Maaf ya, Mas. Lagi-lagi Naya membuat repot Mas Rafi," ujarku. "Tidak apa-apa, Nay," jawabnya dengan penuh senyuman. Ratna menyikut lenganku menandakan kalau yang tadi dia katakan benar adanya. Aku menyerahkan semua dokumen-dokumen serta bukti foto, rekaman suara dan juga hasil percakapan mereka melalui mesenger. Mudah-mudahan dengan semua bukti ini, akan mempercepat proses perceraian kami. Setahuku Mas Ilham sudah tidak punya simpanan lain lagi selain yang ada di rekeningnya saat ini. Itupun akan segera habis setelah mobil yang aku minta dia belikan. Tak pernah ada kulihat brankas atau peti harta karun yang dia sembunyikan di rumah seperti di kebanyakan cerita yang aku baca. Aku sudah mencari
Jam sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam. Namun belum ada tanda-tanda Mas Ilham akan pulang. Bahkan gawainya pun tidak aktif saat kuhubungi. Sudah hilangkah kesadarannya, saat bersama wanita murahan itu? Tanpa terasa menetes juga air mataku. Tapi bukan, bukan aku menangisinya. Hanya saja aku terlalu sedih melihat Alta yang nantinya akan terabaikan saat aku dan Mas Ilham berpisah. Siapa yang nantinya akan mengurusnya, sementara orang tua Mas Ilham juga tinggal di luar kota. Hanya sesekali saja datang untuk menjenguk. Aku dan Mas Ilham sama-sama merantau dan tidak punya keluarga lain di kota ini. Lalu bagaimana dengan Alta nantinya? Apakah setelah bercerai, Mas Ilham akan segera menikahi Viona? Sementara Viona sendiri tidak ada niatan untuk mengurus Alta. Aku tersentak saat mendengar suara bel dari depan. Rupanya aku tertidur di kamar Alta. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Dengan rasa kesal aku bangkit untuk membukakan pintu. Mas Ilham pulang d
"Jadi maunya, Mas, Nay tidak boleh ikut menikmati hasil jerih payah, Mas? Memangnya sudah cukup dengan hanya dikasi makan dan tempat tinggal saja? Lalu apa bedanya Nay sama pembantu atau pengasuh? Bahkan pembantu sekalipun dapat jatah gaji setiap bulan."Mas Ilham terdiam mendengar uneg-unegku kali ini. Tak pernah sebelumnya dia mendengarku mengomel sampai panjang lebar seperti ini. "Siapa sih yang sudah mempengaruhi kamu jadi seperti ini, Nay? Mana Naya yang dulu penurut dan menerima Mas apa adanya?""Apa adanya yang bagaimana, Mas? Mas kan bukan orang yang tidak mampu. Masa tidak boleh Nay menikmati apa yang seharusnya menjadi hak Nay selama ini. Kalau bukan semuanya Mas berikan untuk Nay dan Alta, lalu buat siapa lagi? Apa ada orang lain yang lebih berhak?""Sudahlah, Nay. Mas tidak mau ribut tengah malam begini. Mas lelah. Kamu juga harus tidur. Besok Mas tanyakan lagi soal mobil itu.""Bohong!" sergahku. Mas Ilham tampak terkejut karena suaraku agak membentak. "Benar, Mas tidak
Setelah foto-foto Mas Ilham dikirimkan Mas Rafi kepadaku, aku baru menyadari. Ternyata perubahan sikap Mas Ilham sudah sejak enam bulan yang lalu. Hanya saja kemarin-kemarin aku tidak ngeh, karena terlalu percaya bahwa Mas Ilham benar-benar sedang bekerja keras sampai larut malam untuk aku dan Alta. Sungguh mata ini tidak dapat lagi terpejam. Iseng akupun membuka akun sosmedku, mencoba membaca kembali kisah-kisah prahara rumah tangga di grub kbm. Namun tiba-tiba saja hati ini terdetak ingin melihat akun Viona. Akupun mengetik di kolom pencarian, setelah bertemu kembali dengan foto profil tersebut, aku langsung mengkliknya. Astagfirullah alaziim, mataku kembali menghangat. Kulihat ada beberapa buah foto yang baru diunggahnya beberapa jam yang lalu dengan caption,'Terima kasih sayang, sudah menjadikanku cantik dan bersinar.' Kulihat beberapa foto lagi, wanita berambut lurus hasil catokan itu sedang menunjukkan skincare yang baru saja dibelinya. Bukan main-main dengan merek yang tert
Sudah tidak ada pilihan lain. Akhirnya aku harus bersabar dulu mengahadapi Mas Ilham. Biar kuikuti dulu apalagi kali ini permainannya. Sudah beberapa hari sejak dia mengirimkan semua tabungan ke rekeningku, aku tak pernah lagi merengek minta dibelikan mobil. Biar sajalah dulu. Toh pelan-pelan nanti aku bisa beli sendiri. Saat ini secara diam-diam aku mangambil les menyetir, karena tidak mungkin Ratna mengajariku menyetir jika tidak ada mobilnya.Hari ini Mas Rafi mengabarkan kalau berkas perceraianku sudah diterima di pengadilan agama berkat kepiawaian pengacara kondang yang ditunjuknya untuk mengurus perceraianku. Ada sedikit rasa lega, namun entah kenapa ada juga rasa sedih di hati ini. Aku juga tidak tahu kenapa. Hari ini kebetulan Alta akan dijemput oleh mama temannya untuk bermain bersama di rumahnya, tentu saja setelah minta ijin dengan Mas Ilham dan kebetulan kami juga sudah mengenal keluarga mereka. Kesempatan baik ini aku dan Ratna manfaatkan untuk membenahi ruko yang kini
"Nay, hari ini Mas pulangnya telat lagi, ya. Ada meeting nanti sore," Mas Ilham meminta ijin. Tuh, kan, mulai lagi. Hampir saja kemarin aku tertipu dengan kebaikannya. Ternyata dibalik semua itu, memang dia ada maunya. "Lembur lagi ya, Mas?" aku pura-pura percaya. "Biasalah, Nay. Sekarang ini kan si Rafi itu jarang masuk kantor karena ibunya masih sakit. Jadi semua kerjaan Mas yang handel lah," ucapnya dengan percaya diri. "Ibunya Mas Rafi masuk rumah sakit lagi ya, Mas?" entah kenapa tiba-tiba aku jadi khawatir. "Ah, tidak. Hanya dirawat di rumah saja. Heran Mas lihat peraturan kantor. Kok bisa sering-sering libur hanya untuk masalah seperti itu. Kalau Mas jadi bos nya, sudah Mas pecat saja si Rafi itu," gumam Mas Ilham yang terlihat tidak senang. "Kok Mas gitu, sih. Kalau memang ibunya sakit mau bagaimana lagi? Bukannya Mas Rafi itu anak tunggal? Kalau bukan dia yang merawat ibunya siapa lagi?""Tapi kan, tidak dengan mengorbankan pekerjaan, Nay," Mas Ilham tampak kesal. "It
"Wah, kalau Nay serius, Mas lebih serius lagi ini. Tinggal ngajak Nay bertemu sama mama dan papa saja nanti.""Hish, Mas Rafi ini lho. Bercanda terus dari tadi," dia tertawa mendengarkan aku yang mulai sewot. "Iya, Nay. Maaf-maaf. Sebenarnya Mas itu bukannya tidak masuk kantor, hanya saja sedang bolak-balik mengurus proyek yang baru. Ilham mana tahu soal ini, sedangkan pekerjaannya sudah banyak yang terbengkalai di kantor.""Benarkah seperti itu, Mas?" tanyaku penasaran. "Sudahlah, Nay. Mas jemput kamu sekarang, ya?""Iya, Mas. Kalau begitu, kita bertemu di ruko saja ya? Biar Nay naik ojek saja. Kan Nay sudah bilang kalau... ""Iya, iya. Tidak enak dilihat tetangga kan?" sahutnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku. "Iya, maaf ya, Mas. Mas Rafi jangan tersinggung, ya?""Iya, tidak apa-apa. Mas juga mengerti, kok.""Terima kasih, Mas. Nay siap-siap dulu,ya?""Ya sudah, terserah kamu saja." Aku mengakhiri panggilan. Tak lama, akupun sampai di ruko tersebut. Kebetulan para pekerja ju
Tekadku sudah bulat. Tidak akan ada pertimbangan lain lagi. Sebisa mungkin aku harus secepatnya menyelesaikan hubunganku dengannya. Tapi aku tidak habis pikir, bukankah uang Mas Ilham semua sudah ditransfer ke rekeningku? Lalu bagaimana Mas Ilham mampu merayakan ulang tahun anaknya Viona hanya dengan sisa uang lima ratus ribu? Ataukah sebelum memberiku uang, Mas Ilham sudah terlebih dahulu menyimpan uangnya dengan Viona? Kali ini pikiranku benar-benar berkecamuk. Sudah sejauh itukah hubungan mereka sekarang ini? Atau jangan-jangan, mereka berdua sudah menikah meski hanya secara siri? Sehingga Viona juga punya hak untuk menerima uang nafkah dari Mas Ilham? Haruskah aku kembali menyelidiki dan mengambil semuanya, ataukah menyerah dan langsung mundur begitu saja? Terus terang saja, aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengannya. Bahkan melihat wajahnya saja aku sudah tidak sanggup. Terlalu sakit dengan sikapnya yang seolah-olah sudah mulai terang-terangan memulai pertengkaran. Saat in
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung