"Wah, kalau Nay serius, Mas lebih serius lagi ini. Tinggal ngajak Nay bertemu sama mama dan papa saja nanti.""Hish, Mas Rafi ini lho. Bercanda terus dari tadi," dia tertawa mendengarkan aku yang mulai sewot. "Iya, Nay. Maaf-maaf. Sebenarnya Mas itu bukannya tidak masuk kantor, hanya saja sedang bolak-balik mengurus proyek yang baru. Ilham mana tahu soal ini, sedangkan pekerjaannya sudah banyak yang terbengkalai di kantor.""Benarkah seperti itu, Mas?" tanyaku penasaran. "Sudahlah, Nay. Mas jemput kamu sekarang, ya?""Iya, Mas. Kalau begitu, kita bertemu di ruko saja ya? Biar Nay naik ojek saja. Kan Nay sudah bilang kalau... ""Iya, iya. Tidak enak dilihat tetangga kan?" sahutnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku. "Iya, maaf ya, Mas. Mas Rafi jangan tersinggung, ya?""Iya, tidak apa-apa. Mas juga mengerti, kok.""Terima kasih, Mas. Nay siap-siap dulu,ya?""Ya sudah, terserah kamu saja." Aku mengakhiri panggilan. Tak lama, akupun sampai di ruko tersebut. Kebetulan para pekerja ju
Tekadku sudah bulat. Tidak akan ada pertimbangan lain lagi. Sebisa mungkin aku harus secepatnya menyelesaikan hubunganku dengannya. Tapi aku tidak habis pikir, bukankah uang Mas Ilham semua sudah ditransfer ke rekeningku? Lalu bagaimana Mas Ilham mampu merayakan ulang tahun anaknya Viona hanya dengan sisa uang lima ratus ribu? Ataukah sebelum memberiku uang, Mas Ilham sudah terlebih dahulu menyimpan uangnya dengan Viona? Kali ini pikiranku benar-benar berkecamuk. Sudah sejauh itukah hubungan mereka sekarang ini? Atau jangan-jangan, mereka berdua sudah menikah meski hanya secara siri? Sehingga Viona juga punya hak untuk menerima uang nafkah dari Mas Ilham? Haruskah aku kembali menyelidiki dan mengambil semuanya, ataukah menyerah dan langsung mundur begitu saja? Terus terang saja, aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengannya. Bahkan melihat wajahnya saja aku sudah tidak sanggup. Terlalu sakit dengan sikapnya yang seolah-olah sudah mulai terang-terangan memulai pertengkaran. Saat in
"Kamu ini, ditanya kok malah balik bertanya. Memangnya kamu tidak takut durhaka sama suami?" kali ini nadanya seperti mengancam."Suami yang bagaimana dulu memperlakukan istrinya," aku juga menjawab kasar tidak mau kalah. "Naya!" Mas Ilham membentakku. Aku cukup terkejut mendengarnya. Namun sebisa mungkin bersikap tenang, agar dia tidak lagi sepele terhadapku. "Kenapa? Mas tersinggung? Atau Mas sama sekali tidak merasa bersalah karena telah bersikap kasar sama istri?""Berani sekali sekarang kamu melawan sama Mas, ya? Apa kamu lupa kalau kamu itu bukan siapa-siapa kalau tidak Mas nikahi? Kamu itu hanya pelayan warung nasi, Nay. Cuma orang kampung," ejeknya. Betapa perih hatiku mendengar kata-katanya barusan. Walaupun apa yang dia ucapkan itu benar adanya. Tapi, mestikah dia mengungkit-ngungkit masa laluku hanya untuk pertengkaran seperti ini? Setelah merantau ke kota, aku yang menumpang di kamar kostnya Ratna sibuk melamar pekerjaan kesana kemari. Namun hanya dengan berijazahkan
Berat memang meninggalkan Alta, tapi mau bagaimana lagi. Aku sama sekali tidak punya hak untuk membawanya. Bahkan untuk menggugat hak asuhnya pun aku tidak mungkin bisa. Biarlah ku tegarkan hati ini, suatu hari jika Alta mengingatku, dia pasti akan datang kepadaku. Dan aku akan dengan senang hati menerima kehadirannya. Mas Ilham mengikuti sampai ke kamar sambil memperhatikan apa yang aku lakukan. Dengan senyum sinis dia terus memperhatikanku. "Kamu pikir, kalau kamu bertingkah seperti ini, Mas akan membujuk kamu? Jangan seperti anak kecil, Nay. Begitu kamu keluar dari rumah ini, kamu tidak akan Mas ijinkan kembali lagi. Apalagi untuk bertemu dengan Alta," Mas Ilham seperti sedang mengancamku. Aku tidak perduli lagi, aku terus memasukkan pakaianku hingga koperku penuh sesak. "Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Nay. Kamu tidak akan bisa hidup tanpa Mas dan Alta," dia masih berusaha untuk membuatku berubah pikiran. "Kalau kamu minta maaf malam ini, Mas akan segera melupakan kesalahan ka
Malam ini aku menginap di rumah Ratna. Menumpahkan seluruh perasaan dan air mata yang kini membasahi wajah. Entah apa yang aku tangisi saat ini. Jatuhnya talak itu, perpisahan dengan Mas Ilham, ataukah terpaksa meninggalkan Alta seorang diri. Aku tidak tahu pasti. "Sabar Nay, sabar. Aku akan selalu ada untuk kamu. Jangan lagi merasa bersalah atau menyesal dengan semua yang terjadi. Yang kamu lakukan itu sudah benar. Mas Ilham nanti pasti akan menyesal dengan segala perbuatannya. Kamu jangan sedih lagi, ya?" Ratna tak henti-hentinya menenangkanku. "Terima kasih, Rat. Terima kasih. Karena kamu, aku bisa jadi sekuat ini," jawabku dengan isak tangis yang tak tertahankan. "Iya, Nay. Untung kemarin kita bergerak dengan cepat. Kalau tidak, mungkin saat ini hanya pakaian di koper ini yang kamu bawa dari rumah itu.""Iya, Rat. Untungnya Mas Ilham juga tidak menanyakan perihal uang yang dia transfer kemarin. Apa dia lupa, ya?""Baguslah kalau lupa, Nay. Setidaknya ada gunanya juga dia sedang
"Mas Ilham bilang apa, Mas?" akupun penasaran. "Dia bilang kamu meninggalkan dia dan Alta. Apa benar begitu? Atau Ilham yang sudah berani mengusir kamu?""Tidak, Mas. Nay sendiri yang memutuskan untuk pergi," aku tertunduk. "Apa Ilham bersikap kasar sama kamu, Nay?" suara Mas Rafi benar-benar terdengar cemas. Aku hanya terdiam, mataku kembali menghangat. Namun malu sekali rasanya untuk kembali menangis di hadapan Mas Rafi. "Ada apa, Nay? Bilang saja sama Mas. Apa dia bersikap atau berkata kasar seperti kemarin?" Mas Rafi kembali meminta jawaban. Aku tak dapat lagi membendung air mata ini. Aku pun kembali menangis. "Mas Ilham sudah menjatuhkan talak Untuk Nay, Mas," tangiskupun semakin pecah. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, sampai kurasakan kedua tangannya menarikku rapat menyentuh tubuhnya. Mas Rafi sedang memelukku? Kini dia benar-benar mendekapku dengan erat. Salahkah yang dia lakukan ini? Tapi kenapa rasanya begitu menenangkan? Aku seperti punya tempat untuk menumpah
"Kok begitu? Mana mungkin Nay menjauh dan melupakan semua kebaikan Mas Rafi.""Benar, ya? Janji?""Iya, Nay janji. Tapi... ""Tuh, kan. Ada tapinya.""Iya, kan Nay harus tahu diri juga. Kalau tiba-tiba Mas Rafi sudah punya calon istri, tentu Nay harus segera menjauh. Nay tidak mau menjadi wanita penggoda yang mendekati suami orang. Kalau begitu, apa bedanya Nay sama Viona?"Mas Rafi tersenyum, dia menatapku sebentar, kemudian kembali fokus ke kemudinya. "Kalau Mas sudah mulai tergoda bagaimana?"Eh? Ternyata Mas Rafi bisa bercanda juga. Aku pikir dulu dia orangnya pendiam. Tidak terlalu ramah dan jarang tersenyum. Dia juga tidak seperti Mas Ilham dan teman-teman lainnya yang suka menggoda wanita. Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata Mas Rafi juga lelaki normal seperti mereka. Walaupun hanya sekedar untuk menghiburku saja. "Sepertinya minggu depan ruko kamu sudah rampung semua, Nay. Kapan kamu mau jemput orang tua kamu di kampung?""Begitu selesai, langsung Nay hubungi, Mas. Biar
Akhirnya ruko yang akan aku tempati rampung juga. Bahkan untuk bahan-bahan kuepun sudah lengkap semua. Juga untuk lantai dua dan tiga. Semua ruangan dan kamar sudah terisi dengan lengkap. Aku yakin Bapak dan Ibu pasti bahagia melihat semua ini. Semoga mereka bisa mengerti tentang semua keputusanku. Aku yakin kalau kujelaskan dengan sungguh-sungguh, mereka akan memaklumi tentang caraku yang sedikit licik untuk mendapatkan uang dari Mas Ilham. Sesekali Mas Rafi juga datang berkunjung walau hanya sebentar. Namun aku dengan sopan meminta pengertiannya, bahwa saat ini aku bukanlah wanita bebas yang bisa dikunjungi kapan saja. Untunglah dia sangat pengertian dan mau mendengarkanku. Dia hanya akan datang saat Ratna berada di sini bersamaku. Bahkan antusiasnya sangat besar berharap surat ceraiku cepat selesai. Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu? Saat ini aku sedang sendirian berada di ruko. Ratna sedang bertugas di rumah sakit. Mas Rafi tidak berani datang meski hari ini har
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung