Tania P.O.V.
Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.
Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.
Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Terkadang aku berpikir, apa mungkin lelaki yang ada di dalam mimpiku adalah ayahku yang sebenarnya? Tapi aku segera menepis pikiran semacam itu, dengan sikap bunda yang selalu menghindar ketika berbicara tentang ayah-bahkan terkadang menangis- maka aku menyimpulkan bahwa ia adalah ayah yang jahat, ayah yang tidak peduli dengan anak dan istrinya.
Sebelum aku melamun lebih jauh lagi, aku akan mengajak Sekar untuk pergi ke suatu tempat. Mungkin itu lebih baik dari pada memikirkan hal tidak penting seperti tadi.
Aku melihat bayangan diriku di depan kaca. Wajah kusam, rambut acak-acakan, dan piyama kusut yang masih setia bertengger di tubuhku. Kalau saja bunda masih berada di rumah saat ini, sudah dapat dipastikan bahwa aku akan menjadi korban repetan bunda selama dua jam ke depan. Baiklah, aku akan pergi mandi, membersihkan diriku agar lebih terlihat seperti seorang perempuan.
Belum sempat aku melangkahkan kaki ke kamar mandi, terdengar suara bel dari pintu depan. Aishh, siapa sih yang datang? Dia tidak tahu kalau mengumpulkan niat untuk mandi membutuhkan waktu yang sangat lama bagiku, dan dengan santai ia menghancurkannya begitu saja.
Kalian ingin mengatakan aku apa? Pemalas? No no no, aku bukan pemalas, aku hanya menyimpan energiku jika suatu saat dibutuhkan nanti.
Aku berjalan gontai menuju pintu depan rumah, biasanya bibi yang akan melakukan ini, tapi sial lagi-lagi datang kepadaku, bibi sedang pulang kampung selama sebulan, dan itu bertepatan dengan hari liburku! How pity I am.
Aku mengintip dari kaca jendela terlebih dulu sebelum membuka pintu. Kata bunda, kita harus tetap waspada terhadap siapa saja yang datang ke rumah. Bisa jadi mereka punya maksud lain, bener kan?
Setelah kupastikan bahwa orang yang datang tidak berbahaya, aku langsung membuka pintunya.
"Mbak Rina ya? Ini ada bunga untuk mbak. Silahkan tanda tangan di sini," kata mas pengantar bunga itu. Ganteng juga masnya hehe.
"Makasi ya, mas. Btw, Rina itu ibu saya," jawabku yang langsung balik ke dalam rumah.
Tanpa babibu lagi aku langsung masuk ke kamar mandi. Membersihkan tubuh hingga memikirkan apa yang harus kupakai. Urusan ini ribet sekali bagi perempuan.
Dan tringg!! Aku yang sekarang dengan aku yang satu jam sebelumnya telah berubah 180 derajat. Aku memandangi kaca. Wajah yang kusam tadi sudah cerah dan halus, rambut yang acak-acakan sudah berubah menjadi ikat kuda yang rapi dan indah. Tak lupa pula aku tambahkan make up tipis di wajahku.
Saatnya pergi ke rumah Sekar.
Sebelum melangkahkan kaki ke luar rumah, aku memandangi bunga yang diantarkan untuk bunda tadi. Aku tidak heran melihat bunga yang sebulan sekali diantarkan ke rumah kami untuk bunda. Dan tentu saja, sekali pun bunda tidak pernah menggubrisnya.
Aku memberhentikan taksi yang ada di jalan. Langsung menuju rumah Sekar.
Rumah bercat putih gading dengan tipe minimalis di depanku inilah rumahnya Sekar. Keluarga yang harmonis dan selalu kompak membuat rumah ini sangat pas dengan kalimat rumahku istanaku.
Sambil mengetok pintu rumahnya, aku memanggil nama Sekar berulang kali. Tidak ada tanda-tanda panggilanku terjawab. Kalau sudah begini, lebih baik aku menelponnya saja.
"Lo lagi nggak di rumah?" tanyaku langsung ketika panggilan tersambung.
"Iya, lo lagi di rumah ya? Kebiasaan banget deh, gak pernah nelpon dulu," jawab Sekar langsung.
"Gue bingung mau ngapain di rumah. Yauda deh, gue pulang ya. Salam buat mama papa kamu,"
"Ok." balas Sekar yang langsung kututup sambungan telponnya.
Untung saja aku punya pilihan kedua. Coffee shop di dekat rumah Sekar adalah yang terbaik. Let's go!
Coffee shop ini tidak pernah ramai pengunjung, sehingga kesan tenang yang ditawarkan oleh tempat ini sangat memuaskan.
Pelayan coffee shop di sini sudah sangat mengenalku, sehingga mereka langsung tahu apa yang akan kupesan. Langsung saja aku duduk di meja sudut ruangan yang mengarah ke taman buatan, mengeluarkan novel yang belum selesai kubaca sambil menunggu caramel machiatto-ku datang.
"Ini mbak pesanannya. Caramel machiatto," kata seseorang yang tiba-tiba berada di sebelahku.
"Iya terimaka--"
Apa aku salah liat? Dia. Dia yang selalu kupikirkan belakangan ini. Bagaimana mungkin? Kami waktu itu berjumpa di Bali dan sekarang malah berjumpa di sini. Dunia ini begitu sempit.
"Ada apa ya mbak?" tanyanya dengan ekpresi kebingungan. Imut sekali. Apakah ini yang dinamakan dengan jatuh cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight, huh?
"Eh, ngga. Apa lo lelaki yang waktu itu?" tanyaku tanpa sadar. Kebiasaan.
"Maksudnya mbak? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kembali dengan sopan.
"Maaf-maaf. Tidak ada, terima kasih sekali lagi," balasku.
Aku sudah yakin pasti wajahku memerah. Aku malu sekali, ia pasti menganggapku orang aneh. Aku tidak menyangka bahwa ia bekerja di sini. Aku akan lebih sering mengajak Sekar kemari.
***
Malam ini bunda pulang larut sekali. Makanan yang kubeli untuk kami makan berdua juga sudah dingin. Dan lagi-lagi handphone bunda juga tidak aktif. Bunda selalu saja membuatku khawatir.
Aku akan mencoba untuk menelpon bunda sekali lagi, siapa tau nomornya dapat tersambung.Drtt.. drttt..
From : 08xxxxx
Sayang, bunda ada urusan, jadi bunda pulang larut. Kamu makan duluan aja ya, maaf handphone bunda lowbatt. Bunda sayang Tania. Ini nomor temen Bunda ya.
Belum sempat nomor bunda tersambung, sudah datang sms dari nomor asing ini. Yasudahla, aku makan duluan saja. Perutku sudah ribut semenjak mencium aroma makanan cepat saji ini.
Pikiranku lagi-lagi melayang. Memikirkan pangeran yang baru kujumpai tadi. Aaaa beruntungnya aku. Maklum saja ya teman-teman. It's my first time to be in love with someone else. Sejujurnya, aku sedikit trauma dengan yang namanya lelaki, aku takut disakiti juga seperti bunda yang disakiti oleh ayah -asumsiku-. Namun, hal ini berbeda. Aku merasakan bahwa ia berbeda dari kebanyakan lelaki yang kutemui. Perangainya yang tenang dan santai sangat menarik perhatianku.
Tidak terasa makanan ini telah habis kumakan. Jarum jam menunjukkan malam akan berganti menjadi fajar. Tetapi bunda masih belum pulang juga. Belum selesai aku menggerutu, terdengar bunyi bel di ruangan depan. Sudah pasti bunda!
"Bundaaaa!"
"Maaf ya sayang, kerjaan bunda lagi banyak banget. Kamu uda makan kan?" tanya bunda seraya mengelus rambutku.
"Udah, bun. Bunda?"
"Bunda juga udah makan tadi, kamu kenapa belum tidur? Kan besok kuliah, masuk pagi kan?"
"Yahh bunda. Kenapa diingetin sih? Yauda deh, Tania tidur ya, bunda. Eh tunggu-tunggu. Tadi ada kiriman bunga lagi untuk bunda. Itu diatas lemari majalah bunda."
"Oh yasudah biarin aja, nanti bunda buang," jawab bunda dengan acuh tak acuh. Menurut bunda, pemberian bunga seperti itu hanya menghambur-hamburkan uang saja.
"Sebenarnya bunga-bunga itu dari siapa sih bun? Nggak pernah ada alamat atau nama pengirimnya," tanyaku dengan rasa penasaran.
"Mungkin dari orang iseng aja tuh," jawab bunda sambil mengelus kepalaku dan kembali menyuruhku tidur. Baiklah, aku akan pergi ke kamar dan membiarkan bunda sendirian, sepertinya bunda sangat capek.
Siapa sih yang selama ini mengirimkan bunga untuk bunda? Dan bunga yang dikirimkan selalu dengan jenis yang sama. Mawar merah. Aku terkadang berpikir yang mengirim bunga itu adalah pengagum rahasia bunda, atau mungkin orang yang selama ini mengejar bunda dan selalu ditolak. Atau mungkin itu dari ayahku? Ah, tidak mungkinlah.
Beginilah rasanya ketika ibumu lebih populer dibandingkan dirimu sendiri, gumamku.
Tania P.O.V.Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan.As always.Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya."Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi,
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
Tania P.O.V.Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi."Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya."Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesa
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan.As always.Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya."Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi,
Tania P.O.V.Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Tania P.O.V.Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi."Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya."Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesa
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku