Tania P.O.V.
Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.
Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan. As always. Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?
Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya.
"Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi, sekalian pergi ke--"
"Taniaaaaaa! Bisa-bisanya lo tidur sambil berdiri!" teriak Sekar sambil memukul-mukul kecil pipi imutku.
"Aw! Iya-iya. Emangnya mau kemana sih?"
"Planet Mars! Kemana lagi kalau bukan ke toko buku?!! Gue tunggu 30 menit. Kalau belum siap juga, bakalan gue tinggal!" gerutu Sekar. Hahaha aku suka sekali melihat Sekar seperti ini, bukan maksud menggoda, namun bagaimana mungkin orang sependiem Sekar bisa menjadi cerewet karenaku. Jika Sekar saja bisa secerewet itu kepadaku, apalagi bunda yang dari sananya sudah cerewet. Maka ketika melihatku seperti tadi, repetan itu tidak akan ada habisnya.
Sejujurnya, untuk minggu pagi seperti ini, aku males sekali untuk mandi. Oh ayolah, siapa sih yang ingin mandi pagi kalau bukan karena ada urusan penting, bener kan? Kalau pun ada, ia pasti akan kujuluki sebagai orang paling rajin sedunia.
Ya sudahlah, aku tidak ingin membuat Sekar lebih kecewa lagi padaku, oleh karena itu aku langsung mandi secepat kilat dan berdandan secepat kilat juga.
"29 menit 15 detik. Lebih cepat dari yang gue perkirakan. Yaudah, yuk langsung berangkat. Gue bawa mobil, jadi kita nggak perlu naik taksi. Sayang ongkos." Dasar si perfeksionis!
Kami berdua langsung menuju mobil Sekar yang terparkir di depan pagar rumahku. Sekar langsung tancap gas menuju toko buku langganan kami ketika melihatku sudah duduk di sampingnya.
Kami tidak lama berada di toko buku. Aku hanya sekedar membeli buku untuk mata kuliah besok dan beberapa novel yang kuanggap memiliki cover menarik tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Sekar lebih simple lagi, ia hanya membeli buku untuk mata kuliahnya saja, tanpa embel-embel novel sepertiku.
Setelah selesai dari toko buku, aku langsung mengajak Sekar untuk pergi ke coffee shop dekat rumahnya. Alasannya? Tentu saja karena pangeranku.
"Gue bosen kesini, Tania. Nggak ada tempat lain?" tanya Sekar ketika kuajak ke tempat ini.
"Ada yang mau gue tunjukkin. Yuk masuk!" Aku menggenggam tangan Sekar dengan erat agar ia tidak pergi kemana-mana.
Untung saja, kursi favorit kami tidak ada yang menempati, padahal hari ini lebih ramai dari biasanya.
"Sekar, liat deh pelayan yang disana. Inget nggak?"
"Nggak tuh. Kenapa? Lo kenal?"
"Kenal. Dia itu pangeran gue." Singkat, padat, dan jelas.
"Pangeran? Ya ampun! Lo suka sama dia?" Teriak Sekar --membuat semua pengunjung melihat ke arah kami-- yang langsung kututup mulutnya dengan telapak tanganku. Aku sendiri baru kali ini mendengar teriakannya, apalagi kalian. Sedikit shock memang.
"Bukannya lo trauma dengan yang namanya laki-laki? Lo cuek sama setiap laki-laki yang deketin lo. Apalagi siapa tuh yang terakhir? Joni ya? Dia sampai nangis curhat sama gue karena dicuekin terus sama lo,"
"Joni nangis karena gue cuekin? Dia beneran seorang pria?" Aku tidak sanggup menahan tawa mendengar hal ini, membayangkan wajah Joni yang sangar itu menangis hanya karenaku.
"Mbak berdua mau pesan apa?" tanya pelayan yang sudah kami kenal sejak lama. Ika namanya.
"Seperti biasa aja, Ika," jawab kami berdua hampir bersamaan.
"Ok, ditunggu ya, mbak," kata Ika seraya pergi meninggalkan kami berdua.
Setelah Ika pergi, kesempatan emas bagi sekar untuk bertanya tentang semuanya. sedikit menyesal telah membawa Sekar untuk menjumpai pangeranku, karena sungguh, aku sangat kewalahan untuk menjawab semua pertanyaannya.
"Jumpa dimana?"
"Bali,"
"Kapan?"
"Liburan kemarin, Sekar. Lo ngga inget? Dia yang nyapa kita waktu ituuu!" jawabku gemes. Ternyata dia jauh lebih pelupa dibandingkan aku.
"Oh! Gue inget. Terus kenapa bisa suka?"
"Nah! Ini juga yang buat gue bingung. Lo tau ngga sih, semenjak kita jumpa sama dia waktu itu, gue ngerasa kami berdua itu uda kayak kenal lama banget. Belum lagi sikap dia yang tenang buat aku makin tertarik. Liat aja tuh disana!"
"Oh, terus namanya siapa?"
"Belum tau,"
"Dia udah kenal sama lo?"
"Belum juga,"
"Kenapa belum kenalan?"
"Gengsi lah. Mana mungkin gue duluan yang ngajak kenalan,"
Gengsi. Aku perempuan, dan semua perempuan punya gengsi, right?
"Makan tuh gengsi!" ujar Sekar sambil melemparkan tissue ke arahku.
"Ini pesanannya, mbak. Satu caramel machiatto dan satu banana smoothie," kata seseorang di sebelahku, dan ternyata adalah--DIA.
"Eh iya, terima kasih ya," kataku sambil tersipu. Wajahku pasti sudah memerah. Sekar jahat banget sih. Kenapa gak bilang dari tadi coba. Sekarang ia malah senyum-senyum sendiri sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
"Oiya, mas. Ini temen saya ada yang ingin kenalan, hehe," ujar Sekar tidak tahu malu. Astaga. Bagaimana ini?
"Oh mau kenalan? Nama saya Randi, mbaknya?" Ia bertanya balik kepadaku. Aku harus apaa? Bundaaa, anakmu ini bingung sekali.
"E-eh, Tania,"
"Nggak sekalian minta id line nya?" tanya Sekar yang semakin menjadi jadi. Aku melirik Randi sekilas, ia tersenyum kecil kepadaku. Aku merasakan wajahku semakin panas.
"Kalau begitu saya pergi dulu, jika ada yang dibutuhkan, silahkan panggil saya lagi," ujarnya sambil melemparkan senyum simpul kepadaku.
Sekarang Sekar malah mengejekku karena wajahku yang memerah. Hampir saja kusiram ia dengan caramel machiatto-ku ini. Kalau saja aku sedang tidak haus, akan benar-benar kutuangkan minuman ini ke kepalanya.
"Harusnya lo berterima kasih sama gue. Buktinya sekarang lo udah tahu namanya, kan?" ujar Sekar masih diselingi dengan tawa yang mengesalkan itu.
"Awas aja lo ya! Nyesel gue bawa lo kesini!"
"Ciee, ngambek nih?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa. Tentu saja tidak akan kujawab pertanyaannya. Dia telah merobek harga diriku sebagai perempuan. Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa mengajak lelaki berkenalan duluan? Gengsi. Gengsi. Gengsi.
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
Tania P.O.V.Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi."Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya."Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesa
Tania P.O.V.Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan.As always.Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya."Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi,
Tania P.O.V.Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Tania P.O.V.Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi."Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya."Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesa
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku