Tania P.O.V.
Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.
Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi.
"Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya.
"Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesawat kok. Jangan tegang gitu dong," godaku yang dibalas dengan cibiran dari mulut Sekar.
Aku masih saja memikirkan lelaki yang kutemui di pantai waktu itu, wajahnya terus menerus ada di pikiranku. Mata, hidung, hingga alisnya terukir dengan indah. Bagaimana mungkin ada lelaki sesempurna itu di dunia ini? Pasti sangat beruntung yang memilikinya. Seandainya itu aku.
"Melamun mulu, sambil senyum-senyum lagi, kesambet baru tau rasa!" ujar Sekar sambil memukul bahuku, ternyata ia sudah selesai membereskan barang-barangnya.
"Apaan sih, siapa juga yang senyum-senyum. Udah siap beresin barangnya? Keluar yuk, cari jajanan, gue laper," kataku pada Sekar. Memikirkan seseorang membuat perutku menjadi lapar, pilihan untuk mencari jajanan di sekitar hotel tentu lebih baik dari pada memikirkan lelaki itu terus.
"Yuk, gue juga laper nih," sambut Sekar sambil menggamit tanganku.
Di sekitar hotel yang kami tempati, sangat banyak jajanan khas Bali yang dijual disini. Dari kemarin Sekar terus-terusan mengajakku untuk membeli jajanan ini, tapi karena terlalu capek bermain di pantai, akhirnya aku mengabaikannya saja. Maka dari itu, Sekar tidak menolak saat kuajak membeli jajanan disini.
"Tania, lo beda banget deh akhir-akhir ini. Sering melamun. Kenapa?"
"Gue? Beda? Apanya yang beda? Biasa aja tuh," jawabku dengan santai. Apanya yang berbeda? Kalau makin cantik sih iya hehe.
"Sering banget senyum-senyum sendiri, kayak lagi jatuh cinta. Atau jangan-jangan emang jatuh cinta ya? Yakan? Jujur aja deh, ketahuan loh kalau lo bohong sama gue," goda Sekar.
"Ih, apaan sihh, jatuh cinta sama siapa coba? Gebetan aja nggak punya, gimana mau jatuh cinta?" gerutuku sambil pura-pura memasang wajah jutek.
"Tuh keliatan kalau lo lagi jatuh cinta hehe. Iya deh kalau nggak mau cerita sama gue. Udah yuk, balik ke hotel, biar cepat ke bandara, pesawatnya udah mau berangkat nih," ajak Sekar yang langsung kujawab dengan anggukan.
Aku sangat menyukai pribadi Sekar. Ia selalu tahu apapun tanpa perlu ku beri tahu. Ia juga tidak pernah memaksa apabila aku tidak ingin bercerita. Dia teman terbaikku.
***
"Sekar, lo masih ingat sama orang yang pernah nyapa kita waktu di pantai kemarin?" tanyaku pada Sekar yang sudah hampir tertidur di kursi pesawat.
"Yang mana? Nggak ingat tuh."
"Masa nggak ingat sih, orangnya ganteng, hidungnya mancung, alisnya tebel, kulitnya eksotis, yang waktu itu tuh, masih belum inget juga?"
"Tau ah. Ngantuk, Tan. Gue tidur ya," ujar Sekar tanpa memperdulikan aku. Huft. Ya sudahla, aku hanya penasaran dengan pendapat Sekar mengenai orang itu. Mungkin saja dia juga menyukainya, bukan?
Selama 1 jam 40 menit perjalanan Bali-Jakarta, akhirnya kami sampai juga. Waktu selama itu kuhabiskan hanya untuk membaca majalah yang tersedia di bangku pesawat dan juga mengganggu Sekar dalam tidurnya. Aku memang sahabat yang jahat hehe.
Setelah mengecek barang bawaan, kami pun berpisah di bandara untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekar dijemput oleh ayahnya, sehingga ia pulang lebih dulu dari pada aku. Sebenarnya ayah Sekar telah menawarkan untuk mengantarku pulang, namun kutolak dengan alasan rumah kami berbeda arah. Akhirnya aku pun harus pulang sendirian, tidak sendirian juga sih, aku pulang bersama abang supir taksi.
***
Sepanjang hari ini aku sudah seperti orang gila yang sering mangkal di sekitar kampusku. Pasalnya, sejak siang tadi aku masih belum juga masuk ke dalam rumah, karena bundaku sedang pergi dan lupa meninggalkan kunci rumah. Biasanya kunci itu akan diselipkan di bawah alas kaki-bertuliskan welcome- depan pintu. Tapi sekarang tidak ada. Alhasil, aku harus berdiri hingga malam di depan rumahku sendiri. Beberapa tetangga yang lewat malah usil menggodaku, mengatakan bahwa anak gadis tidak seharusnya berdiri di depan pintu. Huh! Seandainya mereka tahu bahwa aku juga ingin masuk ke dalam rumah.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain mendengarkan lagu lewat handphone baruku. Dari tadi aku sudah mencoba untuk menelpon bundaku, namun nomornya tidak aktif. Sebenarnya, aku sedikit khawatir dengan keadaan bundaku sekarang. Walaupun ia seorang wanita yang mandiri, tapi tetap saja ia adalah seorang wanita. Semoga ia baik-baik saja.
"Tania, kamu sudah pulang, nak?" tanya seseorang yang berada di belakangku.
"Bundaaa, kemana aja sihh? Kan Tania baru pulang dari Bali. Kenapa bunda gak nungguin Tania di rumah emmm, Tania nunggu sendirian dari siang tadi, bundaaa," ujarku melihat bunda yang baru saja datang.
"Iyaiya sayang, maafin bunda ya? Bunda ada urusan tadi. Yuk masuk, kamu pasti capek kan?"
"Capek banget, bunda. Mana aku belum makan lagi emm. Bunda masak apa? Eh, tunggu-tunggu. Itu siapa yang nganter bunda? Pacar bunda yaa?" godaku. Aku memang sering menggoda bunda hehe.
"Hush! Sembarangan aja kalau ngomong. Itu temen bunda tau. Yuk masuk, bunda masak makanan kesukaan anak bunda nih!"
Aku selalu senang menghabiskan waktu bersama bunda. Hubungan kami bukan hanya sebagai ibu dan anak, tetapi kami juga bisa menjadi teman sekaligus sahabat dengan hobi yang sama, apalagi kalau bukan, gosip!
Setelah mandi dan makan, kami akan memulai ritual biasa setiap malam. Bercerita, curhat, gosip, main kartu, bahkan perang bantal. Bundaku hebat, bukan?
Malam ini ritual kami dimulai dari aku yang bercerita tentang Bali. Aku menceritakan setiap detail nya kepada bunda. Bahkan aku tidak segan-segan untuk mengatakan bahwa aku bertemu lelaki yang sampai sekarang masih berada di pikiranku. Kami selalu terbuka untuk hal-hal seperti ini.
"Anak bunda sudah besar ternyata ya, udah bisa mikirin laki-laki. Jadi bundanya gak bakal dipikirin lagi nih? Bunda pengen nangis deh," ujar bunda dengan nada sok sedih.
"Ih bunda apaan sih. Kan Tania cuma cerita doang, kenapa bisa ya ada orang sesempurna itu?"
"Ciee, emangnya gimana sih? Kok kamu sampai bilang sempurna? Bunda jadi penasaran deh."
"Dia itu gantengggg banget. Hidung sama matanya itu kayak terukir sempurna, bun. Alisnya juga kayak ditulis. Badannya jangan ditanya lagi, bun. Kalau bunda yang liat, pasti bunda juga meleleh hehe," jawabku yang dibalas dengan timpukan bantal di kepalaku. Kalau sudah begini ceritanya. Perang bantal telah dimulai!
Tania P.O.V.Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Tania P.O.V.Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan.As always.Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya."Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi,
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
Randi P.O.V.Aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja dan langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Kak Salsa dan Mas Rio yang ternyata sudah menungguku dari tadi."Sudah bisa ditinggal?""Iya sudah,""Kalau begitu kakak sama Mas Rio pulang dulu. Ntar malem kami dateng lagi,""Ok."Aku mendekat ke arah ranjang rumah sakit. Seseorang yang paling berjasa dalam hidupku sedang berbaring di tempat ini. Sudah lebih dari sebulan ia berada di sini. Dokter sendiri tidak tahu pasti penyakit apa yang sedang menyerang tubuhnya. Yang pasti, ia sudah tidak sadar sejak 1 bulan yang lalu. Jujur saja, aku sangat merinduka
"Tania. Ayah rindu sekali denganmu," ucap lelaki di hadapanku.Dia lelaki yang sama. Lelaki dengan jas hitam dan kemeja dalam berwarna putih telur.Dia menatapku penuh harap. Seakan aku ini benar-benar anaknya. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku. Aku bahkan tidak pernah berjumpa dengannya sekali pun."Tania bicaralah. Ayah sangat merasa bersalah kepadamu."Aku tetap bungkam. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku tidak memiliki ayah, namun bibirku tak kunjung terbuka. Bagaimana ini?Beberapa saat aku hanya diam terpaku hingga seseorang memanggil lelaki itu. Suaranya terdengar jelas bagiku, namun wajahnya sangat samar. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi sejengkal dari lelaki itu. Meli
Tania P.O.V.Drrttt.. drrtt..Notifikasi line muncul dihandphone-ku, dan aku langsung menyambarnya begitu saja. Akhir-akhir ini aku dan Randi jadi seringchatvia line. Membuatku semakin sering merindukannya.Hubungan kami sudah semakin akrab semenjak pertemuan tak sengaja di taman beberapa waktu lalu. Lucu saja, bagaimana mungkin kami yang dulunya sama sekali tidak kenal bisa jadi akrab begini. Ibaratnya seperti, dulu sejauh matahari dan sekarang sedekat nadi.Dengan segera aku membukahandphoneuntuk mengecek balasan dari Randi.Tania, ada yang ingin gue bicarakan. Lo ada waktu?
Tania P.O.V.Dua minggu belakangan ini, bunda sering banget uring-uringan. Salah dikit, langsung marah. Kayak lagipre-menstruasi syndrom.Tapi bukan. Dan yang selalu menjadi korban uring-uringan bunda siapa lagi kalau bukan? Aku.Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada bunda. Tapi, baru sepatah kata aku lontarkan, sudah ribuan kata yang dijawab oleh bunda. Kalau sudah begini, sikapemak-emaknyabunda lebih keliatan."Taniaaa! Siapa yang suruh kamu meletakkan cucian kotor di situ? Bibi sudah capek mencuci pakaian kamu, dan kamu dengan seenaknya seperti ini!"Aku tidak bersalah. Jelas tidak bersalah. Kan itu memang tempat cucian kotor, dan bunda masih tetap memarahi ku walaupun
Tania P.O.V.Terik matahari pagi menyinari tanaman yang basah karena embun. Sinarnya dengan lincah menyelusup dari celah-celah kaca jendelaku, menghangatkan apapun yang tersapu oleh sinarnya. Dengan segera aku menutup celah-celah itu sehingga aku dapat kembali ke alam mimpi.Belum sempat aku kembali ke tempat tidur setelah menutup celah tadi, terdengar suara bel dari pintu depan.As always.Kenapa bel selalu mengganggu aktivitasku?Dengan muka bantal--iler yang masih kemana-mana-- aku mengambil sandal tidurku. Sambil menggerutu aku berjalan menuju pintu depan. Tanpa mengintip dari jendela lagi, aku langsung membuka pintunya."Tania! Kenapa masih ileran sih? Kan kemarin janjinya kita berangkat pagi,
Tania P.O.V.Liburan belum usai namun aku sudah mulai bosan berada di rumah. Bunda juga selalu berangkat kerja pagi subuh dan pulang setelah isya. Suasana seperti ini membuatku ingin memiliki seorang saudara, atau bahkan seorang ayah.Aku tidak akan pernah bertanya tentang ayah lagi kepada bunda. Terakhir kali aku bertanya, bunda hanya diam saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak berbicara lagi mengenai hal itu, walaupun jujur saja aku sangat penasaran bagaimana rupa ayahku.Apa aku pernah mengatakan bahwa aku memiliki seorang saudara? Ya, aku memilikinya. Aku tidak tahu ia perempuan atau laki-laki, bahkan aku tidak tahu ia lebih tua atau lebih muda dariku. Sudah kukatakan bahwa bunda sangat tertutup tentang hal ini.
Tania P.O.V.Berat rasanya untuk meninggalkan Bali, meninggalkan pantai dengan buih dan ombak yang sangat menggoda peselancar dunia, bahkan membuat ketagihan bagi siapa saja yang pernah menjejakkan kaki disana. Inilah yang kurasakan, aku belum meninggalkan Bali, tapi aku sudah merindukannya.Jadwal keberangkatanku menuju Jakarta bersama Sekar masih beberapa jam lagi, aku masih bisa bersantai terlebih dahulu, menghirup udara Bali hingga beberapa saat lagi."Tania! Kenapa masih tiduran mulu sih? Beresin dong barang lo, bentar lagi kita berangkat ke bandara, gue nggak mau kita ketinggalan pesawat, Tania!" seru Sekar sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya."Iyaiya ibu Sekar, kita nggak akan ketinggalan pesa
Tania P.O.V.Matahari pertama di tahun baru. Cukup hangat mengingat semalam langit menumpahkan segala isinya seakan tidak mengizinkan manusia untuk merayakan malam pergantian tahun. Aku cukup setuju untuk tidak merayakan malam pergantian tahun dengan menyalakan berbagai jenis bunga api.But, ok,aku setuju dengan acara peniupan terompet, setidaknya itu hanya membuat sedikit pencemaran suara, tidak seperti bunga ataupun kembang api. Itu bukan hanya membuat pencemaran suara, tetapi juga pencemaran udara. Oh ayolah, kita tidak akan membahas soal pencemaran lingkungan terus, bukan?Seperti yang aku katakan tadi, bahwa matahari saat ini cukup hangat, kami -aku dan sahabatku- ingin berlibur di pantai. Apakah aku sudah mengatakan bahwa kami sedang berada di Bali? Oh maafkan aku karena belum memberitahukannya
"Aku mencintaimu, Tania. Bahkan hingga rambutmu sudah putih semua, cintaku tidak akan pernah berubah," ucap Randi sambil menggenggam tanganku dengan erat."Kamu tidak mengerti, Tania. Cinta kita tidak se-simplekisah di novel yang sering kamu baca itu, terlalu banyak larangan, cinta kita terlarang, Tania. Kamu harus mengerti itu.". . .Lelaki di ujung sana tampaknya sangat memperhatikan setiap gerak gerikku. Ia bahkan sudah mulai berjalan ke arahku. Apa aku pernah mengenalnya? Ah, tidak mungkin. Namun mengapa wajahnya sangat tidak asing bagiku? Sekarang jarak kami hanya tinggal tujuh langkah dan ia mulai memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Harus ku akui aku sangat risih, apa maunya?"Mau apa kamu?" tanyaku