Alina terlelap saat di tinggal oleh Marni. Dalam tidurnya Alina tak tenang. Entah apa yang dimimpikan gadis itu sehingga tidurnya tak tenang, berkali-kali ia mengubah posisi. Mungkinkah Alina kembali memimpikan kakaknya? tidak ada yang tau akan hal itu.Raka dan Restu yang saat itu menjaga Alina merasa khawatir. Restu takut Alina kelelahan akibat membersihkan rumah tadi, sementara Raka berusaha menetralisir kekhawatirannya. Saat ini ia mencari alasan yang tepat kalau Alina bangun dan Restu bertanya yang tidak-tidak."Kakak!" Alina langsung duduk. Ia Menangis sesegukan. Mimpi itu kembali menghantui Alina setelah sekian lama. Mungkinkah karena ia menginap di rumah ini?Raka buru-buru mendekati Alina dan memeluknya, guna melindungi Alina."Sst, aku di sini, Lin. Kamu nggak perlu takut kakak pergi, ada aku di sini, Lin."Alina mengumpulkan nyawanya. Ia membalas pelukan Raka, sementara Restu kebingungan dengan yang terjadi. Ada apa sebenarnya?Marni memasuki kamar. Ia sama terkejutnya mel
Satu hari yang melelahkan. Rumah yang akan ditempati Alina sudah selesai dibersihkan, tetapi nampaknya banyak bagian yang mesti diperbaiki. Saat mereka masuk ke dalam rumah beberapa genteng sudah hancur, bahkan genteng bagian belakang pun sudah banyak yang hilang. Beberapa ibu-ibu yang suka bergosip tanpa dasar mengatakan kalau itu ulah Arwah Reza. Alina tersenyum miris saat mendengar arwah kakaknya bahkan masih dituduh melakukan hal-hal yang tidak mungkin. Alina jelas tau itu pasti perbuatan manusia, lagian untuk apa arwah mengambil genteng rumah? Nampaknya memang ada oknum yang sengaja memanfaatkan keadaan.Bukan hanya genteng yang menghilang, tetapi beberapa perabotan yang tertinggal pun habis semua. Seandainya Alina kembali ke desa sebagai Nana yang mereka kenal pasti ia sudah mengamuk karena banyak barang yang hilang. Berbeda dengan Alina. Raka yang memang tak mengetahui apa-apa hanya bersikap santai, baginya cukup ia menelepon orang tuanya dan barang-barang pun akan berdatanga
Alina segera mencari Raka juga Restu. Enak saja jika dirinya disuruh mencuci sedemikian banyaknya. Pakaian kotor keluarganya saja tak sebanyak ini jika Alina mencuci. Melihat Restu sedang bermain catur bersama, Alina segera mendekat. alina tak mau bila harus mencuci sendirian. "Kak Raka, Kak Restu, bisa bantuin Alina?" tanya Alina. mereka mengalihkan fokus pada Alina. Raka membulatkan matanya kala melihat cucian yang ada di tangan Alina. Banyak sekali!"Alin, itu seriusan cucian kamu?" tanya Restu. "Bukan, tapi punya kalian. Mesin cuci kalian rusak, jadi tolong antarkan aku ke sungai untuk mencuci baju baju ini."Restu tersenyum kecut. Berarti di sana ada pakaiannya juga? Entah kenapa tiba tiba Restu merasa sangat malu. "Baiklah, ayo ikuti aku Alin."Mereka berjalan ke arah sungai, jujur Alina sendiri sudah sangat tau letak sungainya di mana, tapi dia harus berpura pura tidak tahu untuk memanfaatkan Restu agar membantunya. Sampai ke sungai Alina tersenyum cerah. Sudah sangat jar
Sepulang Alina, Raka, Juga Restu mereka segera mengistirahatkan diri. Mereka duduk di ruang keluarga, yang terlihat sangat lelah hanyalah Restu karena memang dia sebenarnya yang mengerjakan cucian baju ini. Alina yang menatap Restu merasa sedikit bersalah pada Restu. Raka menatap Restu juga.Raka menggeleng sejenak, ternyata ada ya pemuda lemah seperti Restu. Hanya mencuci saja dia kelelahan seperti orang mau mati. "Eh, kalian sudah pulang?" Ketiga insan itu Refleks menoleh. Ternyata itu Ibunya Restu. Mirna menatap Restu sekilas, di lihat dari lelahnya dan ada beberapa kemerahan di tangan Restu. Ibu Restu menghela nafas, anaknya pasti ikut membantu mencuci pakaian tersebut, dia sangat hapal dengan perangai Restu.Dia sangat senang jika memang benar anaknya ini ikut mencuci pakaian, karena sepanjang hidupnya belum pernah sekalipun Restu menyentuh cucian baju. Memang itu bukanlah tugas lelaki, tapi bila Restu menikah lalu Istrinya melahirkan maka Restulah yang harus melakukan pekerja
Raka dan Alina berjalan jalan di desa. Mereka melihat dan mengobrol dengan para masyarakat. Kebanyakan Masyarakat di sini beranggapan Raka dan Alina adalah sepasang kekasih, ada juga yang beranggapan mereka adalah pasangan suami istri. Alina terkekeh kecil mendengar hal tersebut. Mereka tak berniat meluruskan ataupun membenarkan. "Ada suatu hal yang mau aku bicarakan sebenarnya, cuma aku ragu mengatakannya padamu. Kita nggak tau sebanyak apa CCTV di dalam sana," ucap Raka. Alina yang tadinya sibuk dengan pemikirannya sendiri kini mengalihkan perhatiannya pada Raka. "Apa?" tanya Alina. "Alin, dengarkan dulu tanpa memotong oke?" Alina mengangguk sebagai jawaban. "Kita disuruh pulang oleh aya--""APA!? TAPI KENAPA?" tanya Alina dengan nada tinggi.Raka menghela nafas. Padahal dirinya sudah memberitahu Alina untuk mendengarkan dahulu, tapi gadis ini malah memotong ucapannya. "Sudah kubilang dengarkan aku dulu, Alin!" seru Raka. Kadang Raka sedikit frustasi menghadapi Alina. Siap
"Ujang! Keluar kamu!" teriak Bu Mirna dengan emosi menggebu-ngebu."Ada apa, Bu?" tanya Ujang takut-takut. Siapa yang tidak takut bila di datangi oleh istri dari kepala desa dengan marah-marah?"Masih nanya lagi! Lihat ini kelakuan si Reza. Dia mengintip saya sedang mandi, maksudnya apa coba? Dia benar-benar gila atau pura-pura gila sih?!" bentak Bu Mirna dengan emosi yang masih membara.Melihat Bu Mirna marah-marah membuat Reza tepuk tangan, Reza adalah putra pertama dari Ujang dan Dewi, pemuda itu memiliki kekurangan, meskipun sudah dewasa tingkahnya masih seperti anak-anak. Setelah tiga tahun menikah akhirnya mereka dikaruniai seorang putra yang tampan nan rupawan. Namun, mereka juga sedih karena terlihat keanehan pada sikap Reza bisa dibilang kurang waras, kalau orang di desa menyebutnya gila."Diam kamu!" bentak Bu Mirna.Burhan berlarian menuju rumah Ujang, ia segera mendekati istrinya. Nafasnya terengah-engah karena menyusul istrin
"Om, tolong jangan hukum, Kakakku. Semua orang tau bagaimana kondisi kakak, Nana mohon jangan hukum kakak, Om." Burhan menatap prihatin pada gadis kecil gemuk yang sedang memeluk kakinya tersebut. Gadis kecil yang sering dipanggil penduduk dengan sebutan Nana itu sebenarnya seumuran dengan anak Burhan. Burhan berjongkok di depan Alina, ia memberikan penjelasan kepada Alina tentang apa yang akan terjadi pada kakaknya."Nana, mendobrak pintu orang yang sedang mandi itu salah atau tidak?" tanya Burhan.Alina menatap Burhan, dengan air mata yang terus turun ia menganggukan kepala."Tapi semua orang tau kondisi kakakku seperti apa," ucap Alina."Iya, Om juga tau itu, Nak tapi kita perlu bertindak sebelum dia melakukan hal yang sama lagi. Om, harap kamu mengerti.""Jangan pasung kakak, Om," lirih Alina yang membuat Burhan iba.Burhan jadi membayangkan putrinya yang sedang memohon seperti ini, Burhan mengusap kepala Alina. Ia tersenyum pada Alina, lalu ber
Dewi sedang berkutat di dapur, tiba-tiba Alina datang membawa garam yang baru saja dibelinya di toko mbok Jum. Alina menyerahkan garam tersebut ke ibunya, ia menatap Dewi dengan ragu. Kenapa ibunya seperti tenang? Tidakkah ibunya rindu pada Reza? entahlah mungkin ibunya terlalu pandai menutupi rasa sedih."Bu, apa ibu tidak merindukan kakak?" tanya Alina sembari menarik-narik baju sang ibu."Rindu dan khawatir, tapi ibu berusaha percaya pada keluarga pak Burhan bahwa mereka akan merawat kakakmu. Kenapa? Apa kamu rindu dia? kalau kamu rindu silahkan kamu datangi dia," ucap Dewi.Alina menganggukkan kepalanya pertanda dia mengiyakan perkataan ibunya."Kemarin om Burhan bilang aku boleh mengunjungi kakak kapan saja, Bu," ucap Alina."Benarkah?" tanya Dewi."Iya, Bu. Emmm, boleh, 'kan?" tanya Alina.Dewi menatap putrinya, ia tersenyum. Dewi juga bersyukur mempunyai putri yang sangat menyayangi kakaknya meski Alina tau kalau
Raka dan Alina berjalan jalan di desa. Mereka melihat dan mengobrol dengan para masyarakat. Kebanyakan Masyarakat di sini beranggapan Raka dan Alina adalah sepasang kekasih, ada juga yang beranggapan mereka adalah pasangan suami istri. Alina terkekeh kecil mendengar hal tersebut. Mereka tak berniat meluruskan ataupun membenarkan. "Ada suatu hal yang mau aku bicarakan sebenarnya, cuma aku ragu mengatakannya padamu. Kita nggak tau sebanyak apa CCTV di dalam sana," ucap Raka. Alina yang tadinya sibuk dengan pemikirannya sendiri kini mengalihkan perhatiannya pada Raka. "Apa?" tanya Alina. "Alin, dengarkan dulu tanpa memotong oke?" Alina mengangguk sebagai jawaban. "Kita disuruh pulang oleh aya--""APA!? TAPI KENAPA?" tanya Alina dengan nada tinggi.Raka menghela nafas. Padahal dirinya sudah memberitahu Alina untuk mendengarkan dahulu, tapi gadis ini malah memotong ucapannya. "Sudah kubilang dengarkan aku dulu, Alin!" seru Raka. Kadang Raka sedikit frustasi menghadapi Alina. Siap
Sepulang Alina, Raka, Juga Restu mereka segera mengistirahatkan diri. Mereka duduk di ruang keluarga, yang terlihat sangat lelah hanyalah Restu karena memang dia sebenarnya yang mengerjakan cucian baju ini. Alina yang menatap Restu merasa sedikit bersalah pada Restu. Raka menatap Restu juga.Raka menggeleng sejenak, ternyata ada ya pemuda lemah seperti Restu. Hanya mencuci saja dia kelelahan seperti orang mau mati. "Eh, kalian sudah pulang?" Ketiga insan itu Refleks menoleh. Ternyata itu Ibunya Restu. Mirna menatap Restu sekilas, di lihat dari lelahnya dan ada beberapa kemerahan di tangan Restu. Ibu Restu menghela nafas, anaknya pasti ikut membantu mencuci pakaian tersebut, dia sangat hapal dengan perangai Restu.Dia sangat senang jika memang benar anaknya ini ikut mencuci pakaian, karena sepanjang hidupnya belum pernah sekalipun Restu menyentuh cucian baju. Memang itu bukanlah tugas lelaki, tapi bila Restu menikah lalu Istrinya melahirkan maka Restulah yang harus melakukan pekerja
Alina segera mencari Raka juga Restu. Enak saja jika dirinya disuruh mencuci sedemikian banyaknya. Pakaian kotor keluarganya saja tak sebanyak ini jika Alina mencuci. Melihat Restu sedang bermain catur bersama, Alina segera mendekat. alina tak mau bila harus mencuci sendirian. "Kak Raka, Kak Restu, bisa bantuin Alina?" tanya Alina. mereka mengalihkan fokus pada Alina. Raka membulatkan matanya kala melihat cucian yang ada di tangan Alina. Banyak sekali!"Alin, itu seriusan cucian kamu?" tanya Restu. "Bukan, tapi punya kalian. Mesin cuci kalian rusak, jadi tolong antarkan aku ke sungai untuk mencuci baju baju ini."Restu tersenyum kecut. Berarti di sana ada pakaiannya juga? Entah kenapa tiba tiba Restu merasa sangat malu. "Baiklah, ayo ikuti aku Alin."Mereka berjalan ke arah sungai, jujur Alina sendiri sudah sangat tau letak sungainya di mana, tapi dia harus berpura pura tidak tahu untuk memanfaatkan Restu agar membantunya. Sampai ke sungai Alina tersenyum cerah. Sudah sangat jar
Satu hari yang melelahkan. Rumah yang akan ditempati Alina sudah selesai dibersihkan, tetapi nampaknya banyak bagian yang mesti diperbaiki. Saat mereka masuk ke dalam rumah beberapa genteng sudah hancur, bahkan genteng bagian belakang pun sudah banyak yang hilang. Beberapa ibu-ibu yang suka bergosip tanpa dasar mengatakan kalau itu ulah Arwah Reza. Alina tersenyum miris saat mendengar arwah kakaknya bahkan masih dituduh melakukan hal-hal yang tidak mungkin. Alina jelas tau itu pasti perbuatan manusia, lagian untuk apa arwah mengambil genteng rumah? Nampaknya memang ada oknum yang sengaja memanfaatkan keadaan.Bukan hanya genteng yang menghilang, tetapi beberapa perabotan yang tertinggal pun habis semua. Seandainya Alina kembali ke desa sebagai Nana yang mereka kenal pasti ia sudah mengamuk karena banyak barang yang hilang. Berbeda dengan Alina. Raka yang memang tak mengetahui apa-apa hanya bersikap santai, baginya cukup ia menelepon orang tuanya dan barang-barang pun akan berdatanga
Alina terlelap saat di tinggal oleh Marni. Dalam tidurnya Alina tak tenang. Entah apa yang dimimpikan gadis itu sehingga tidurnya tak tenang, berkali-kali ia mengubah posisi. Mungkinkah Alina kembali memimpikan kakaknya? tidak ada yang tau akan hal itu.Raka dan Restu yang saat itu menjaga Alina merasa khawatir. Restu takut Alina kelelahan akibat membersihkan rumah tadi, sementara Raka berusaha menetralisir kekhawatirannya. Saat ini ia mencari alasan yang tepat kalau Alina bangun dan Restu bertanya yang tidak-tidak."Kakak!" Alina langsung duduk. Ia Menangis sesegukan. Mimpi itu kembali menghantui Alina setelah sekian lama. Mungkinkah karena ia menginap di rumah ini?Raka buru-buru mendekati Alina dan memeluknya, guna melindungi Alina."Sst, aku di sini, Lin. Kamu nggak perlu takut kakak pergi, ada aku di sini, Lin."Alina mengumpulkan nyawanya. Ia membalas pelukan Raka, sementara Restu kebingungan dengan yang terjadi. Ada apa sebenarnya?Marni memasuki kamar. Ia sama terkejutnya mel
Restu mengerutkan keningnya. Sangat aneh perilaku orang kota ini. Apa benar hanya dengan melihat kuburan yang tak terurus mereka akan menangis? sangat berlebihan.Restu mendekati penduduk baru di kampung mereka. Restu memegang pundak Alina, akan tetapi dengan sigap Raka langsung melepaskan tangan milik Restu dari pundak Alina."Rumah ini sudah lama kosong. Dulu aku sering membersihkan makam ini secara diam-diam, tapi sekarang aku tak berani. Beberapa Minggu lalu ayah marah besar padaku karena membersihkannya."Alina menoleh ke Restu. Tangisnya yang sudah sedikit reda membuatnya fokus mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut restu. "Apa ini makam keluargamu?" tanya Alina berpura-pura tidak tau dengan makam yang saat ini di depannya."Bukan. Aku hanya merasa bersalah. Entahlah, menurutku dia melakukan hal tak sengaja lalu masyarakat menghakimi," ucap Restu."Aku jadi penasaran. Ada apa dengan dia," gerutu Alina.Restu tak menghiraukan perkataan Alina. ia segera menebas rumput ya
Restu mendekatkan wajahnya ke Alina. Mata mereka sempat terkunci sepersekian detik. Posisi mereka persis sekali seperti orang yang mau berciuman, menyadari posisinya dan Restu yang sangat tidak aman Alina segera menerjangkan Restu menggunakan kaki sehingga Restu jatuh terjengkang ke belakang. Namun, tanpa Alina sadari Ia secara tak sengaja mengenai sesuatu yang sangat berharga bagi restu. Yaitu milik Restu. Alina menutup mulutnya, bagaimana ini? Ia terlalu panik dengan keadaan mereka sehingga tidak bisa berpikir dalam melakukan tindakan."Kak Restu, Alin minta maaf. Sumpah itu nggak sengaja, ya ampun aku minta maaf banget, Kak," ucap Alina."Bodoh, kau tak tau rasanya. Sangat sakit gila! bisa-bisa kehilangan masa depan aku.""Alin, emang nggak tau rasanya, maaf, Kak. Lina benar benar minta maaf, itu tadi Lina refleks," ucap Alina bersungguh sungguh."Maka, akan kubuat kau tau rasanya, Alina!"Mendengar ancaman tersebut mata Alina membelalak bukankah itu tanda bahaya, ia merasa dirinya
Alina dan Raka mengucapkan terimakasih kepada warga tersebut, mereka juga memberikan sejumlah uang untuk bapak-bapak tersebut. Bapak tersebut langsung menolak uang itu, karena ia tulus membantu Alina dan Raka."Pak, ini diambil. Jika bapak tidak mengambil uang ini, kami tetap akan membuangnya," ucap Raka sambil memberikan empat lembar uang bewarna hijau tersebut."Tapi ini kebanyakan, Dik," ucap bapak-bapak tersebut."Udah, Pak ambil saja lagian daripada kakak saya membuang uang tersebut jadinya mubasir kan? Oh, iya kita belom kenalan loh, Pak. Masa udah bantu kami tapi kami belum tau nama bapak," ucap Alina."Oh, iya dik. Saya Mulyadi, orang di sini sering manggil saya Pak Didi atau Om Didi kebetulan kalau sore saya jadi ojek."Raka menyodorkan uang itu ke Mulyadi, akhirnya Mulyadi mengambil uang tersebut. Sebenarnya ia semenjak tadi sudah mau mengambil uang tersebut. Namun, ia merasa sungkan karena Alina dan Raka masih pendatang baru.
13 Tahun KemudianSeorang gadis keluar dari toko kue kecil milik ibunya, ia tersenyum kepada setiap orang yang di temuinya di jalan. "Ibu kemana sih? Masa ninggalin aku di toko sendirian," ucap Alina.Alina mengambil handphone di sakunya kemudian mengotak atik ponselnya, kemudian menelepon kontak yang diberi nama "ibuku"Alina menempelkan handphonenya ke telinga meski belum tersambung, syukurnya telpon cepat tersambung."Hallo, Bu dimana?" "Udah di rumah, tadi habis beli bahan kue untuk besok ayahmu nelpon, katanya Keluarga pak Ibnu datang. Kamu cepat pulang juga ya, mereka mau nginap di sini katanya," ucap Dewi.Keluarga Pak Ibnu adalah orang yang sangat baik hati, awal pertemuan mereka saat Ujang sekeluarga terus berjalan tak punya tujuan, hingga mereka bertemu dengan Pak Ibnu. Keluarga Ibnu merasa prihatin dan iba dengan keadaan mereka pada waktu itu, ditambah Alina juga dalam keadaan panas tinggi. Dengan kemuliaan