Syahla menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia sudah tidak bisa membohongi hatinya lagi jika ia merasa cemburu pada Amira. Tak hanya karena Yudha, namun sikap Tuan Abimanyu yang condong pada Amira, membuatnya merasa tak adil baginya. Sedikit rasa penyesalan tumbuh di hatinya, karena mengungkap dan mencari tahu identitas Amira. Meskipun ia sadar, bahwa hal itu adalah kesalahan dari Nek Warsih yang merupakan Nenek kandungnya."Apa karena Kak Yudha?" Amira bertanya kembali."Awalnya aku pikir, aku bisa menerima semua ini. Aku bisa ikhlas menerima takdirku, menukar posisi yang dari awalnya menjadi milikku. Aku merantau ke Jakarta, ingin melupakan masa laluku dan memulai hidup baru. Hingga, takdir menemukanku kembali dengan Mas Yudha di sini. Aku dan dia sudah semakin dekat, saat kau belum ke sini. Tetapi sekarang, kau merusak semuanya. Kau tanpa sadar menyakiti perasaanku, Amira." Syahla mengungkapkan isi hatinya. Ia mengusap bulir bening yang mengalir di kedua matanya.
Radit baru saja tiba di rumah sakit, ia sedang berjalan menuju lobi sembari membawa buah untuk menjenguk Syahla. Saat sudah sampai di loby, ia melihat dari jauh Amira sedang berjalan, bersisian dengan seorang Dokter sembari menggendong seorang anak kecil."Bukankah itu, Amira? Apa dia sedang menggendong Gemilang, putraku," gumam Radit. Perasaannya menjadi tak menentu, ketika melihat putranya yang terlihat semakin besar. Rasa rindu tiba-tiba membuncah di hatinya. Haruskah ia menemui Gemilang dan mengatakan padanya jika dia adalah ayahnya? "Amira." Radit memanggil Amira saat mereka sudah sampai di depan pintu lobi rumah sakit.Amira dan Dokter Gani pun menghentikan langkahnya, kemudian menoleh secara bersamaan.Radit pun mendekat, melihat Dokter Gani yang berada di samping Amira membuatnya mau tak mau menyapa dokter itu karena sudah pernah bertemu saat Rania dirawat di rumah sakit ini. "Dokter." Radit melengkungkan senyum pada Dokter Gani dan dibalas anggukan oleh Dokter itu."Saya ke
Amira dan Radit merasa canggung, mereka seperti datang diwaktu yang tidak tepat.Radit sendiri sebenarnya terkejut dengan kedatangan Yudha di rumah sakit ini. Apalagi, melihat dirinya tengah menggenggam tangan Syahla. Amira dan Radit melangkah mendekati mereka. Seulas senyum terukir di bibir keduanya meskipun perasaan canggung begitu mendera."Maaf ya, ganggu. Sudah lama di sini, Kak?" tanya Amira pada Yudha."Aku baru datang. Mir, ini tak seperti yang kamu kira," ucap Yudha. Ia takut Amira akan salah paham padanya.Yudha melirik Radit, ia masih bertanya-tanya dalam hatinya tentang Amira dan mantan suaminya itu yang terlihat bersama."Apa kabar, Yud? Lama tak bertemu." Radit mencoba bersikap biasa, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Yudha."Baik," jawab Yudha dingin, tetapi ia tetap menerima uluran tangan Radit."Kalian saling kenal?" tanya Syahla saat melihat Radit dan Yudha berjabat tangan."Ya, kami teman satu kampus, dulu," jawab Yudha."Oh, pantas. Senang dong
"Terima kasih ya, Dok. Sudah mau bantu saya. Kalau begitu, saya turun di depan saja. Takut mengganggu perjalanan Dokter," ucap Amira saat sudah duduk di samping dokter Gani yang hendak mengemudi."Kenapa turun di depan? Biar kuantar saja, gak pa-pa. Aku gak sibuk, kok." Dokter Gani menoleh sembari melengkungkan senyum di bibirnya."Tapi, Dok, saya gak bermaksud--" Amira tak melanjutkan kata-katanya, karena dipotong dokter Gani."Sudah, tak apa. Lagian, aku sudah janji pada anakmu, jika aku akan mampir ke rumahmu. Apa boleh?""Om Doktel, mau main ke lumah aku?" tanya Gemilang, saat mendengar ucapan dokter Gani."Ya, kalau boleh," jawab dokter Gani."Bolehlah, Om Doktel. Aku malah seneng kalo Om Doktel main ke lumah. Ya kan, Ma?"Gemilang berucap polos, ia menoleh pada Amira seakan meminta persetujuan ibunya. Amira pun mengangguk, ia tersenyum sembari berucap, "Boleh, kok.""Yeaay!" Gemilang bersorak kegirangan.Mobil pun mulai melaju membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Sesekali
Keesokan harinya, Syahla sudah diizinkan untuk pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah membaik, Syahla hanya perlu istirahat saja. Ditemani oleh Nisa, yang mengurusi semua keperluan Syahla. Ia sedang bersiap di kamar rawatnya. Sebelum meninggalkan kamar itu, Syahla menunggu perawat datang untuk mengambilkan kursi roda. Ia duduk di bed, bersama Nisa yang sedang memberesi barang-barang milik Syahla. "Nis, makasih ya, sudah bantu aku selama di sini. Maaf, aku sering ngerepotin kamu," ucap Nisa. "Yaelah, La. Kaya sama siapa aja, aku ikhlas lahir batin nolongin kamu. Aku gak ngerasa direpotin, Kok. Kamu udah seperti saudaraku, La." Nisa menatap Syahla, sebuah lengkungan manis terbentuk indah di bibirnya. "Aku beruntung punya sahabat kaya kamu, Nis. Aku jadi merasa tak sendiri lagi." "Syahla, sebenarnya banyak yang sayang sama kamu. Kamu juga dari awal sudah bahagia dan tidak sendiri, hanya saja karena sikapmu yang terlalu baik sama Amira jadi malah merubah kehidupanmu. Aku
"Gemilang salim dulu sama, Om," perintah Amira pada putranya.Gemilang pun mengangguk, ia lalu meraih tangan Radit untuk dicium. Radit hanya menyunggingkan senyum, lalu mengelus kepala putra kecilnya.Radit kemudian menyuruh Amira dan Gemilang masuk dan duduk di sofa. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa tahun yang lalu, ia menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Rumah dengan penuh kenangan manis dan pahit yang bercampur menjadi satu. Tak banyak yang berubah dari dekorasi rumah ini, hanya saja catnya sudah berganti warna."Ibu, mana, Bang?" tanya Amira, karena tak melihat Bu Retno di rumah."Ada di kamar, mau langsung ketemu Ibu?"Amira mengangguk, ia sudah menguatkan hatinya untuk kembali bertemu Bu Retno.Mereka kemudian beranjak menuju ke kamar Bu Retno. Radit membuka pintu, terlihat Bu Retno sedang berbaring lemah. Wajahnya pucat, ia kemudian menoleh saat mendengar suara derit pintu kamarnya."Bu, ada yang ingin bertemu Ibu," ucap Radit pada Ibunya.Amira kemudian masuk, bersama s
Bu Syahnaz telah kembali dari mengambil kotak bekal berisi masakannya untuk Syahla. Ia kemudian segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan di samping Tuan Abimanyu."Untunglah, Mama masih ingat. Coba saja tadi kalau lupa gak dibawa, pasti Syahla kecewa. Ini kan makanan kesukaannya," ucap Bu Syahnaz sembari menutup pintu mobil."Mama masak makanan kesukaan Amira, tidak?" tanya Tuan Abimanyu, menyindir."Papa, Amira kan gak sakit. Jadi ya, Mama cuma masakin buat Syahla." Bu Syahnaz beralasan."Memang Mama tahu, makanan kesukaan Amira?" cecar Tuan Abimanyu, ia merasa jika istrinya itu pilih kasih pada putrinya.Padahal, jelas-jelas Amira adalah anak kandung mereka. Tetapi, Tuan Abimanyu menyadari, perasaan istrinya itu lebih condong pada Syahla.Bu Syahnaz terdiam, ia baru menyadari jika tak tahu apa pun tentang Amira. Bahkan, makanan kesukaannya saja ia tak tahu. Namun, ia tak begitu ambil pusing. Baginya, yang terpenting adalah Syahla."Udah ah, Pa. Nanti kapan-kapan Mama mas
"Tapi, Pa. Aku tidak berbohong! Amira memang telah mengatakan hal itu padaku. Dia ingin membuat aku jauh dari Papa dan Mama. Dia cemburu padaku!" Syahla masih berusaha meyakinkan sang Papa."Cukup Syahla! Aku sudah muak dengan semua tuduhanmu! Aku tak pernah mengatakan hal itu padamu. Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku. Aku benar-benar tak menyangka, kau bisa berpikiran sepicik itu padaku, La!" Amira sudah muak, ia pun melontarkan kekesalannya."Ma, Pa, terserah Mama dan Papa mau percaya sama siapa. Yang jelas, aku sudah berbicara yang sebenarnya. Aku tak ingin, lantaran hasutan Syahla, aku menjadi jauh kembali dengan kalian. Sudah cukup rasanya aku hidup terpisah dari kedua orangtuaku. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Aku harap, Papa dan Mama bisa bersikap bijak." Amira menarik napas sejenak, ia menatap Syahla dengan tajam. "Amira, Papa mengerti perasaanmu. Papa percaya padamu!" ucap Tuan Abimanyu."Terima kasih, Pa, sudah percaya dengan Mira. Kepercayaan Papa adalah kekuat
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem
Yudha mendatangi apartemen Amira. Kali ini, ia datang bersama Syahla karena saat hendak pulang dari kantor, Syahla memaksa ikut bersama Yudha.Awalnya, Yudha enggan mengajak Syahla. Ia takut Amira akan salah paham padanya nanti."Aku hanya ingin meminta maaf pada Amira, Mas. Izinkan aku ikut denganmu. Bukankah, kau sudah tak marah denganku lagi? Aku janji tak akan mengganggu hubungan kalian," rengek Syahla saat Yudha hendak masuk ke dalam mobilnya.Yudha pun merasa tak enak. Ia akhirnya mengizinkan Syahla ikut dengannya datang ke apartemen Amira."Baiklah, ayo masuk!" perintah Yudha.Syahla pun tersenyum, gegas ia masuk ke dalam mobil Yudha dan duduk di samping lelaki itu.Sesampainya di apartemen, Yudha segera memarkirkan mobilnya. Berjalan beriringan dengan Syahla, menuju apartemen Amira. Yudha masih bersikap agak dingin pada Syahla, meskipun wanita itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Yudha mengobrol.Sementara itu, di dalam apartemen, sudah ada Radit yang juga baru saja
****Yudha tengah dilanda rasa bahagia karena hubungannya dengan Amira sudah jelas. Ia dan Amira sudah berencana untuk melakukan lamaran secara resmi dua minggu lagi dan selanjutnya menikah satu bulan setelahnya.Yudha teramat bahagia, ia selalu semangat dalam bekerja. Hari-harinya terasa indah dan rasanya sudah tak sabar untuk menuju hari itu. Namun, hal itu juga membuatnya sedikit posesif pada Amira karena takut kehilangan wanita itu.Seperti pagi ini, saat Amira menceritakan jika ia tak ke kantor karena akan mengurusi bayi Rania yang dititipkan oleh Radit padanya, seketika membuat hati Yudha merasa cemburu. Ia tak suka jika Amira masih berhubungan dengan Radit, karena takut cinta diantara mereka berdua bersemi kembali. Namun, Yudha menyembunyikan rasa cemburunya, ia mencoba bersikap tenang. Yudha tak mau gegabah karena takut Amira menjauh darinya."Maaf, Kak. Aku hari ini nggak ke kantor. Bang Radit menitipkan bayi Rania padaku. Aku tak tega jika tak membantunya," ucap Amira di tel
"Mengalami apa, Sus? Apa yang terjadi?" tanya Radit semakin merasa cemas."Sebelumnya, saya mohon maaf jika harus menyampaikan ini. Bayi pasien tidak sempurna, dia cac*t, anggota tubuhnya tak lengkap. Kedua tangannya tak ada. Tapi, bayinya sangat cantik, sama seperti ibunya," jawab suster itu menjelaskan."Ya Allah .... " Radit merasa lemas mendengar penjelasan dari suster."Boleh saya lihat keponakan saya, Sus? Saya ingin mengadzaninya," pinta Radit."Mari silahkan." Suster itu mempersilahkan Radit masuk ke dalam kamar bersalin.Terlihat Rania yang masih ditangani oleh bidan dan beberapa suster yang membantu. Radit melirik sekilas, ia tak tega melihat Rania.Suster kemudian menggendong bayi yang sudah dibersihkan itu, dan diberikannya pada Radit.Benar kata suster, bayi itu cantik, mirip dengan Rania. Hanya saja, anggota tubuhnya tak lengkap. Radit menerima bayi itu, dipeluknya bayi Rania dan dikecup keningnya. Radit teringat kembali momen di mana ia pernah mengadzani Gemilang saat