Radit baru saja tiba di rumah sakit, ia sedang berjalan menuju lobi sembari membawa buah untuk menjenguk Syahla. Saat sudah sampai di loby, ia melihat dari jauh Amira sedang berjalan, bersisian dengan seorang Dokter sembari menggendong seorang anak kecil."Bukankah itu, Amira? Apa dia sedang menggendong Gemilang, putraku," gumam Radit. Perasaannya menjadi tak menentu, ketika melihat putranya yang terlihat semakin besar. Rasa rindu tiba-tiba membuncah di hatinya. Haruskah ia menemui Gemilang dan mengatakan padanya jika dia adalah ayahnya? "Amira." Radit memanggil Amira saat mereka sudah sampai di depan pintu lobi rumah sakit.Amira dan Dokter Gani pun menghentikan langkahnya, kemudian menoleh secara bersamaan.Radit pun mendekat, melihat Dokter Gani yang berada di samping Amira membuatnya mau tak mau menyapa dokter itu karena sudah pernah bertemu saat Rania dirawat di rumah sakit ini. "Dokter." Radit melengkungkan senyum pada Dokter Gani dan dibalas anggukan oleh Dokter itu."Saya ke
Amira dan Radit merasa canggung, mereka seperti datang diwaktu yang tidak tepat.Radit sendiri sebenarnya terkejut dengan kedatangan Yudha di rumah sakit ini. Apalagi, melihat dirinya tengah menggenggam tangan Syahla. Amira dan Radit melangkah mendekati mereka. Seulas senyum terukir di bibir keduanya meskipun perasaan canggung begitu mendera."Maaf ya, ganggu. Sudah lama di sini, Kak?" tanya Amira pada Yudha."Aku baru datang. Mir, ini tak seperti yang kamu kira," ucap Yudha. Ia takut Amira akan salah paham padanya.Yudha melirik Radit, ia masih bertanya-tanya dalam hatinya tentang Amira dan mantan suaminya itu yang terlihat bersama."Apa kabar, Yud? Lama tak bertemu." Radit mencoba bersikap biasa, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Yudha."Baik," jawab Yudha dingin, tetapi ia tetap menerima uluran tangan Radit."Kalian saling kenal?" tanya Syahla saat melihat Radit dan Yudha berjabat tangan."Ya, kami teman satu kampus, dulu," jawab Yudha."Oh, pantas. Senang dong
"Terima kasih ya, Dok. Sudah mau bantu saya. Kalau begitu, saya turun di depan saja. Takut mengganggu perjalanan Dokter," ucap Amira saat sudah duduk di samping dokter Gani yang hendak mengemudi."Kenapa turun di depan? Biar kuantar saja, gak pa-pa. Aku gak sibuk, kok." Dokter Gani menoleh sembari melengkungkan senyum di bibirnya."Tapi, Dok, saya gak bermaksud--" Amira tak melanjutkan kata-katanya, karena dipotong dokter Gani."Sudah, tak apa. Lagian, aku sudah janji pada anakmu, jika aku akan mampir ke rumahmu. Apa boleh?""Om Doktel, mau main ke lumah aku?" tanya Gemilang, saat mendengar ucapan dokter Gani."Ya, kalau boleh," jawab dokter Gani."Bolehlah, Om Doktel. Aku malah seneng kalo Om Doktel main ke lumah. Ya kan, Ma?"Gemilang berucap polos, ia menoleh pada Amira seakan meminta persetujuan ibunya. Amira pun mengangguk, ia tersenyum sembari berucap, "Boleh, kok.""Yeaay!" Gemilang bersorak kegirangan.Mobil pun mulai melaju membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Sesekali
Keesokan harinya, Syahla sudah diizinkan untuk pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah membaik, Syahla hanya perlu istirahat saja. Ditemani oleh Nisa, yang mengurusi semua keperluan Syahla. Ia sedang bersiap di kamar rawatnya. Sebelum meninggalkan kamar itu, Syahla menunggu perawat datang untuk mengambilkan kursi roda. Ia duduk di bed, bersama Nisa yang sedang memberesi barang-barang milik Syahla. "Nis, makasih ya, sudah bantu aku selama di sini. Maaf, aku sering ngerepotin kamu," ucap Nisa. "Yaelah, La. Kaya sama siapa aja, aku ikhlas lahir batin nolongin kamu. Aku gak ngerasa direpotin, Kok. Kamu udah seperti saudaraku, La." Nisa menatap Syahla, sebuah lengkungan manis terbentuk indah di bibirnya. "Aku beruntung punya sahabat kaya kamu, Nis. Aku jadi merasa tak sendiri lagi." "Syahla, sebenarnya banyak yang sayang sama kamu. Kamu juga dari awal sudah bahagia dan tidak sendiri, hanya saja karena sikapmu yang terlalu baik sama Amira jadi malah merubah kehidupanmu. Aku
"Gemilang salim dulu sama, Om," perintah Amira pada putranya.Gemilang pun mengangguk, ia lalu meraih tangan Radit untuk dicium. Radit hanya menyunggingkan senyum, lalu mengelus kepala putra kecilnya.Radit kemudian menyuruh Amira dan Gemilang masuk dan duduk di sofa. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa tahun yang lalu, ia menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Rumah dengan penuh kenangan manis dan pahit yang bercampur menjadi satu. Tak banyak yang berubah dari dekorasi rumah ini, hanya saja catnya sudah berganti warna."Ibu, mana, Bang?" tanya Amira, karena tak melihat Bu Retno di rumah."Ada di kamar, mau langsung ketemu Ibu?"Amira mengangguk, ia sudah menguatkan hatinya untuk kembali bertemu Bu Retno.Mereka kemudian beranjak menuju ke kamar Bu Retno. Radit membuka pintu, terlihat Bu Retno sedang berbaring lemah. Wajahnya pucat, ia kemudian menoleh saat mendengar suara derit pintu kamarnya."Bu, ada yang ingin bertemu Ibu," ucap Radit pada Ibunya.Amira kemudian masuk, bersama s
Bu Syahnaz telah kembali dari mengambil kotak bekal berisi masakannya untuk Syahla. Ia kemudian segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan di samping Tuan Abimanyu."Untunglah, Mama masih ingat. Coba saja tadi kalau lupa gak dibawa, pasti Syahla kecewa. Ini kan makanan kesukaannya," ucap Bu Syahnaz sembari menutup pintu mobil."Mama masak makanan kesukaan Amira, tidak?" tanya Tuan Abimanyu, menyindir."Papa, Amira kan gak sakit. Jadi ya, Mama cuma masakin buat Syahla." Bu Syahnaz beralasan."Memang Mama tahu, makanan kesukaan Amira?" cecar Tuan Abimanyu, ia merasa jika istrinya itu pilih kasih pada putrinya.Padahal, jelas-jelas Amira adalah anak kandung mereka. Tetapi, Tuan Abimanyu menyadari, perasaan istrinya itu lebih condong pada Syahla.Bu Syahnaz terdiam, ia baru menyadari jika tak tahu apa pun tentang Amira. Bahkan, makanan kesukaannya saja ia tak tahu. Namun, ia tak begitu ambil pusing. Baginya, yang terpenting adalah Syahla."Udah ah, Pa. Nanti kapan-kapan Mama mas
"Tapi, Pa. Aku tidak berbohong! Amira memang telah mengatakan hal itu padaku. Dia ingin membuat aku jauh dari Papa dan Mama. Dia cemburu padaku!" Syahla masih berusaha meyakinkan sang Papa."Cukup Syahla! Aku sudah muak dengan semua tuduhanmu! Aku tak pernah mengatakan hal itu padamu. Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku. Aku benar-benar tak menyangka, kau bisa berpikiran sepicik itu padaku, La!" Amira sudah muak, ia pun melontarkan kekesalannya."Ma, Pa, terserah Mama dan Papa mau percaya sama siapa. Yang jelas, aku sudah berbicara yang sebenarnya. Aku tak ingin, lantaran hasutan Syahla, aku menjadi jauh kembali dengan kalian. Sudah cukup rasanya aku hidup terpisah dari kedua orangtuaku. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Aku harap, Papa dan Mama bisa bersikap bijak." Amira menarik napas sejenak, ia menatap Syahla dengan tajam. "Amira, Papa mengerti perasaanmu. Papa percaya padamu!" ucap Tuan Abimanyu."Terima kasih, Pa, sudah percaya dengan Mira. Kepercayaan Papa adalah kekuat
"Pak, tolong, saya hanya ingin membawa anak saya sebentar saja," pinta Radit dengan penuh harap."Anak? Sekarang kamu ngaku Gemilang anakmu? Kamu yang telah menyakiti hati putri dan cucuku! Aku tak akan membiarkanmu kembali dekat dengan mereka. Tak peduli, kau ayah dari Gemilang!" Tuan Abimanyu berucap tegas."Pa, tapi Bang Radit ....""Sudah Mira, lebih baik kita masuk ke dalam. Tak usah kau hiraukan orang ini!" "Papa!" teriak Gemilang yang masih ingin digendong Radit. Namun, Tuan Abimanyu bergeming, ia terus melangkahkan kakinya menuju lift untuk naik ke lantai atas.Radit hendak mengejar, hatinya berdenyut perih melihat Tuan Abimanyu menggendong Gemilang. Tak menyangka jika ia mendapat penolakan dari ayah Amira itu."Bang, biar nanti aku bicara dengan Papa dulu, ya! Kamu pulanglah, tak usah dikejar." Amira menghentikan langkah Radit. Ia tak ingin terjadi keributan di tempat tinggalnya."Tolong, Mira. Mama sangat merindukan Gemilang. Aku hanya ingin membawanya sebentar saja," pinta