Share

Pertemuan

Penulis: shimizudani
last update Terakhir Diperbarui: 2020-10-29 23:20:49

Aksara Bumi Hermawan. 

Itu adalah nama pria yang menjadi pasanganku hari ini. Dengan kata lain, ia merupakan penyewa jasaku. Atau yang lebih gampang dimengerti, aku adalah pacar sewaannya selama beberapa jam ke depan. Kami belum pernah bertemu. Pun dengan bertatap muka. Aku hanya melihat rupa dirinya dari foto yang dikirimkan Diva padaku. Tujuannya agar aku mendapat gambaran seperti apa kekasih satu hariku itu.

Semalam, aku menelepon Aksara untuk memastikan peran yang akan kumainkan. Seperti yang Diva bilang, ia memintaku menemaninya datang ke pesta pernikahan salah satu temannya. Aku cuma perlu berada terus di sampingnya. Dan tentu saja, berpura-pura menjadi kekasihnya di depan semua orang, terutama bila harus bertemu orang-orang yang dikenalnya.

Ia tak menuntutku dalam hal berpakaian. Tidak ada dress code atau couple dress yang mungkin sudah ia rencanakan. Biasanya, dua orang yang berpasangan akan memakai pakaian berwarna senada ke acara-acara seperti ini untuk memamerkan status hubungan mereka. Berbeda dengannya yang membebaskanku memilih apa pun yang ingin kupakai.

Pilihanku jatuh ke dress brokat berwarna cokelat muda. Kalau boleh jujur, aku tak punya banyak opsi mengenai hal ini. Aku bukan wanita yang suka mengoleksi banyak pakaian. Bisa dibilang, busana yang kukenakan sekarang merupakan satu-satunya dress kondangan yang kumiliki. Aku jarang memakainya, namun hampir selalu mengandalkannya di situasi seperti ini.

Panjang dress ini melebihi lutut dengan ujung yang menyentuh tungkai kaki. Sementara bagian lengannya hanya membungkus tiga perempat dari keseluruhan panjang tanganku. Yang paling kusuka, model gaunnya loose dan terdiri dari dua lapis sehingga nyaman dipakai serta tidak terlalu memperlihatkan lekuk tubuhku. 

Aku memasangkannya dengan ankle strap heels berwarna silver. Apakah cocok? Bagiku, iya. Aku merasa silver akan membuat penampilanku tak monoton karena baju yang kukenakan nyaris sewarna kulit. Sebagai pemanis, kukenakan gelang berwarna emas serta sebuah arloji kecil di tangan. Tersampir pula tas kecil berwarna peach di pundakku. 

Aku menunggu kedatangan Aksara di jalan masuk dekat pelataran parkir gedung Mandala Bhakti Wanitatama. Kami tidak datang bersama, meski ia sempat menawarkan diri untuk menjemputku. Untuk apa? Letak gedung tempat acara pesta berlangsung berada tak jauh dari tempatku tinggal. Aku hanya perlu berjalan kaki. Tidak lebih dari sepuluh menit dan sampailah aku di posisiku sekarang, berdiri di bawah pohon besar yang melindungiku dari sengatan mentari.

Kuamati jalanan depan gedung yang mulai tak bergerak. Akhir pekan membuat jalan-jalan utama di kota Jogja dilanda kemacetan. Polusi yang dihasilkan ikut berkontribusi pada panasnya cuaca di musim kemarau ini. Belum lagi, efek buruknya pada pernapasan. Penggunaan masker, kurasa, sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang terpapar langsung dengan udara hasil pembakaran kendaraan bermotor.

Apa aku juga termasuk salah satunya? Sebenarnya, iya. Harusnya aku mengenakan masker selama perjalananku ke sini. Tapi, aku urung melakukannya karena takut bisa merusak riasan wajahku. Meski bukan makeup tebal yang kupilih dan hanya mengenakan riasan natural, tetap saja aku ingin menjaga penampilanku ini. 

Aku melihat jam di tangan. Acara pesta harusnya telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Tetapi, aku masih di sini menunggu kehadiran pria yang masih kuraba-raba serupa apa sosok nyatanya nanti.

"Alinea?"

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Sontak, aku menoleh. Kudapati seorang pria sudah berdiri di dekatku. Pastilah aku terlalu asyik dengan pikiranku tadi sampai-sampai tak menyadari kemunculannya.

"Maaf, membuatmu lama menunggu. Aku Aksa." Ia kembali berujar sembari menyodorkan tangan kanannya.

Aku menyambut uluran tangan itu. "Alinea. Panggil saja Alin." 

Pria itu tinggi dan jelas lebih tinggi dariku. Dengan heels yang kupakai, tinggiku hanya bisa melampaui sedikit bahunya. Perawakannya tegap dengan rambut yang tersisir rapi. Yang paling menarik perhatianku ialah kumis dan brewok tipis di wajahnya yang berhasil menambah kesan gagah di dirinya. Kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat gelap membalut bagian atas tubuhnya. Ia memadukannya dengan celana hitam. Aku hampir saja melihat ke diriku sendiri karena ternyata kami memakai pakaian berwarna senada. 

"Makasih, sudah mau membantuku."

"Sama-sama." Aku memberikan senyumku. "Oh iya, aku harus memanggilmu apa? Mas Aksa?" tanyaku mengajukan ide sekaligus meminta persetujuan darinya. 

Aksara mengangguk. "Boleh."

Kami berdua berjalan beriringan menuju gedung tempat pesta berlangsung. Aku menunggu di sebelahnya saat ia mengisi buku tamu dan meletakkah hadiah yang dibawanya di sana. Seorang wanita paruh baya mengucapkan rasa terima kasih atas kehadiran kami dan meminta kami menikmati pesta yang mereka suguhkan. Langkah kami pun berlanjut memasuki area gedung.

"Yang mana temanmu? Pengantin pria atau wanita?" Aku bertanya dengan suara agak keras agar bisa terdengar olehnya. Suasana pesta yang mulai riuh dipenuhi orang ditambah dengan iringan lagu dari grup musik di salah satu sudut gedung jelas akan meredam suaraku bila tak kunaikkan volumenya. 

"Pengantin pria. Dia teman kuliahku sewaktu ambil S2." 

Aku mengangguk paham. Dari tempatku berdiri, aku melihat kedua mempelai tengah berdiri di atas pelaminan dan menyalami para tamu yang memberikan selamat kepada mereka. Keduanya kompak memakai kebaya jawa berwarna beige--selaras dengan dekorasi panggung di belakangnya.

Aku menyukai pilihan warna yang mereka ambil di pesta ini. Beige dan putih. Kombinasi warna netral itu membuat ruangan terlihat lapang dan terkesan tidak berisik. Tidak ada karpet merah yang biasanya ada di sebuah pesta. Mereka menggantinya dengan warna cokelat kayu. Hiasan bunga pun dipilih hanya yang berwarna putih, peach, dan beige serta hijau untuk dedaunannya. 

Ini bisa menjadi inspirasi jika suatu saat akan mengadakan pesta. Tidak melulu warna hijau yang dipilih, meskipun keduanya sama-sama merupakan warna alam. Beige juga terlihat cantik untuk pesta outdoor. Kesan alaminya tak kalah menarik untuk dinikmati. 

Harum semerbak bunga langsung tercium tatkala aku menginjakkan kaki di pelaminan. Hajatan pernikahan memang selalu identik dengan bunga. Wangi yang memasuki indra penciumanku bukan hanya berasal dari untaian kembang melati yang dikenakan pengantin. Ini perpaduan dari wangi bunga-bunga yang ada di sepanjang panggung pelaminan.

Aroma ini serasa membawaku kembali ke masa kecil kala mendapatkan bunga bekas pengantin merupakan salah satu hal yang paling kuidam-idamkan. Tapi, aku tak pernah mendapatkannya dan aku terlalu malu untuk meminta.

"Selamat, ya." Aku menyalami sang mempelai wanita dan bercipika-cipiki sebentar dengannya. Tak lupa, seulas senyum lebar kusunggingkan untuk menyelamati hari bahagianya ini. 

"Makasih," balasnya dengan senyum merekah di bibir berlipstik orange itu. Rona bahagia begitu kentara di wajah ayunya. Sorot matanya pun menunjukkan hal serupa yang semakin memancarkan aura kecantikannya. Siapa saja akan tahu bila ia adalah ratu di pesta ini.

"Wah, gandengan baru, ya," celetuk si pengantin pria usai melihat keberadaanku yang datang bersama Aksara. 

"Iya. Kenalkan. Namanya Alin," jawab Aksara yang secara tidak langsung menyuruhku berkenalan dengan lelaki itu. 

Aku memberikan senyumku, kemudian berkata, "Selamat, Mas. Semoga langgeng pernikahannya."

"Makasih. Kapan mau menyusul?"

Di telingaku, pertanyaan itu tak jauh berbeda dengan pertanyaan 'kapan nikah?' yang sering menjadi momok menakutkan bagi para kaum jomblo. Kupikir, antar sesama teman tidak akan menanyakannya. Atau mungkin, aku saja yang jarang mendapatkannya. Sebenarnya, aku merasa heran kenapa pertanyaan semacam itu sering muncul. Toh, bila waktunya menikah nanti, mereka juga pasti akan mendapatkan kabar bahagianya. Apa susahnya diam dan menunggu?

Aku melirik pada Aksara. Kuharap, ia tahu aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Posisiku hanya sebagai pacar sewaan yang harus berhati-hati dalam berucap. Aku tak mau salah bicara yang berujung pada munculnya masalah di kemudian hari.

"Nantilah, Bro. Kalau sudah waktunya, pasti undangannya sampai ke kamu." Aksara membalas persis seperti apa yang kupikirkan. 

"Benar, ya. Aku tunggu undangannya."

"Iya. Tunggu saja."

"Eh, kita foto-foto dulu, yuk!" ajaknya.

Kami segera memposisikan diri dengan aku berdiri di sebelah pengantin wanita dan Aksara di ujung satunya. Usai dua atau tiga kali jepret, kami bergegas turun dari pelaminan karena banyak orang yang sudah mengantre di belakang kami. 

"Apa aku harus menjaga image?" tanyaku setelah berada cukup jauh dari area pelaminan. Mataku menatap sekeliling. Stand-stand makanan berjejer rapi di beberapa sudut gedung. 

"Maksudnya?"

"Aku ingin mencoba beberapa makanan di sini." Yang kumaksud beberapa, sebenarnya, adalah hampir semuanya. Aku paling suka berkeliling dan mencoba berbagai macam makanan yang sudah disiapkan pemilik pesta. Mumpung gratis. Siapa yang tak suka makanan gratis?

Sebuah tawa kecil meluncur dari bibir Aksara. Aku cuma mengendikkan bahu karena tak tahu bagian mana yang lucu dari jawabanku. Tanpa menunggu respon darinya, aku berjalan menuju stand makanan terdekat. Entah ia mengizinkan atau tidak, yang jelas, aku harus mencoba paling tidak satu makanan di sini. Bukankah ini juga adalah cara untuk menghormati tuan rumah pesta?

"Kamu suka makan?"

"Tentu saja. Siapa yang nggak suka makan?" Cukup aneh aku mendengar pertanyaannya itu. 

"Maksudku, kamu suka mencoba-coba makanan? Berwisata kuliner, misalnya?"

"Oh." Kini aku mengerti maksud ucapannya. "Nggak terlalu. Cuma kalau ada teman saja. Malas kalau harus jajan sendiri." Selesai mengatakan itu, aku teringat pada kebiasaanku memesan makanan melalui aplikasi ojek online. Tak jarang aku mencoba menu baru demi mengetahui kualitas rasanya. Apakah itu termasuk wisata kuliner?

Aku berdiri di belakang dua orang yang sedang menanti gilirannya mengambil makanan di stand bertuliskan siomai. Entah kenapa, jenis makanan ini nyaris selalu kutemukan di acara pesta. Ada pula bakso yang letaknya berjarak satu stand dari tempatku berdiri. Makanan itu juga sering menjadi pilihan menu di sebagian besar pesta yang pernah kukunjungi. Dan hebatnya, aku tak pernah absen mencobanya.

Kuambil satu piring yang sudah terisi beberapa potong siomai, kemudian menyodorkannya pada penjaga stand untuk mendapat taburan saus kacang di atasnya. Aksara melakukan hal serupa di belakangku. Langkah kami berlanjut mencari kursi kosong untuk duduk. Tidak mungkin, bukan, makan sambil berdiri?

Untungnya, kursi yang disediakan cukup banyak sehingga kami tak perlu menunggu ada yang kosong. Kami menduduki barisan terdepan, lalu mulai menyantap makanan hasil pencarian singkat tadi. Bagiku, rasa siomai ini lebih baik dari yang dijual abang gerobak di pinggir jalan, tapi tak seenak buatan warung makan atau restoran. Tentu saja. Jelas ada anggaran untuk setiap menu makanan yang mereka suguhkan di pesta ini. 

"Kata Leo, kamu bekerja sebagai illustrator?" tanyanya membuka obrolan di antara kami. Aku senang ia melakukannya karena aku benar-benar tak pandai soal ini. 

"Iya."

"Sudah pernah membuat apa saja?"

Aku memperlambat kegiatan mengunyah makanan di mulutku. "Hmm... Karikatur, sampul buku, desain website--" Aku mengambil jeda sejenak untuk mengingat kembali apa saja pekerjaan yang sudah pernah kulakukan. "--illustrasi video, dan masih banyak lagi. Aku nggak bisa mengingat semuanya."

"Nggak tertarik belajar desain interior? Siapa tahu nanti kita bisa bekerja sama." Ia mengajukan gagasan yang sebenarnya pernah terlintas di pikiranku. Dulu, pernah ada klien yang menawarkan pekerjaan untuk dibantu dalam mendesain interior rumahnya. Tapi, terpaksa kutolak. Aku tidak tahu apa pun mengenai desain interior. Apa lagi, ini rumah yang pasti tidak kecil dan terdiri dari beberapa ruang. Jika hanya sebuah kamar, aku masih bisa melakukannya.

"Nggak dulu, Mas. Segini saja cukup. Aku masih ingin melakukan apa yang kusuka."

Ia tidak melanjutkan topik ini. Mungkin, penjelasan yang kuberikan cukup jelas baginya untuk tak mendebat jawabanku. Atau barangkali, ia segan bertanya lebih jauh di pertemuan pertama kami ini. 

Aku menyuapkan sendok terakhir siomai ke dalam mulutku. Dalam sekejap, makanan di piringku sudah habis tak bersisa. Rasa lapar masih kurasakan karena memang sudah tiba waktunya makan siang. Aku lalu berpikir untuk mengambil semangkok bakso. "Aku mau ke stand bakso. Kamu mau sekalian kuambilkan?" tawarku setelah melihat piring siomainya tak ada lagi di tangannya.

"Boleh."

"Jaga tempat dudukku, ya."

Aku pun beranjak mencari stand bakso dan mengambil dua mangkok dari sana. Saat aku kembali, Aksara tidak lagi sendiri. Ada seorang wanita muda tengah berbincang dengannya. Aku sengaja memperlambat jalanku untuk memberi kebebasan bicara pada mereka. Aku bahkan hanya diam ketika sampai di sana dan pelan-pelan meletakkan bawaanku ke atas kursi.

"Ini siapa, Mas?"

Oh, ternyata wanita itu lebih muda dari Aksara. Aku bertanya-tanya siapa yang lebih tua di antara aku dan dirinya.

"Ini kekasihku. Namanya Alin."

Mendengar kalimat itu, secara refleks tubuhku bereaksi. Aku mengulurkan tangan sembari menyebutkan nama. Tak bosan, aku menyimpulkan senyum pada orang-orang yang baru kutemui hari ini.

Ia tidak langsung membalas uluran tanganku. Sekilas, kulihat raut wajahnya menampakkan keterkejutan sekaligus rasa tidak percaya. Namun kemudian, ia tersenyum, meski ada gurat keterpaksaan di sana. Ia menyambut tanganku. "Maudy."

Tak lama, seorang lelaki datang dan mengajak Maudy ke atas pelaminan. Ia menggandeng tangan wanita itu. Kesan protektif kentara ia tunjukkan di depanku dan Aksara. Sekali lihat, aku langsung tahu jika pria itu adalah kekasih Maudy. 

Sejak kepergian atau justu kehadiran Maudy dan kekasihnya, aku merasakan ada yang berbeda dari Aksara. Ia menjadi lebih diam. Mata jeliku tak luput memperhatikan raut wajahnya yang berubah sedikit tegang. Sesekali matanya mencari keberadaan Maudy di antara banyaknya orang dalam ruangan ini, seperti yang dilakukannya sekarang.

Aku mengikuti arah pandang Aksara. Dan ya, Maudy ada di sana, terlihat mesra dengan kekasihnya. Boleh aku menebak? Pasti ada cerita di antara mereka berdua. Sebuah kisah istimewa yang bukan sekadar pertemanan biasa. 

Bab terkait

  • Fare Finta [Indonesia]   Kontrak Baru

    "Membuat cover buku, ya?"Aku mengamati kumpulan notes yang kutempel di papan dekat meja kerja. Notes beraneka warna itu berisi daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan. Biasanya, aku menyortirnya per minggu. Seluruh deadline pekerjaan di minggu yang sama akan kujadikan satu. Kemudian, aku mengurutkannya lagi berdasarkan hari deadline. Yang tercepat, tentu, perlu didahulukan.Di minggu ini, pekerjaan terbanyak yang kuperoleh adalah membuat ilustrasi sampul buku. Jumlahnya ada lima. Itu berarti dalam sehari aku harus mengerjakan dua ilustrasi karena pekerjaanku tak hanya itu saja. Ada tawaran mendesain website yang meski deadline-nya minggu depan, aku harus mulai mengerjakannya dari sekarang. Ada pula pekerjaan menggambar ilustrasi wajah klien yang ingin dibuat versi anime. Sepertinya, minggu ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk untukku.Sebelum bekerja, terlebih dulu aku mengecek situs temp

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-01
  • Fare Finta [Indonesia]   Tiba di Jakarta

    Pertama kali aku mengunjungi Jakarta adalah ketika acara wisata sekolah semasa SMP. Tempat-tempat yang kudatangi, seperti Dufan, Ancol, lalu apa lagi? Aku tidak mempunyai dokumentasinya sehingga tak ingat pernah ke mana saja. Maklum, dulu belum ada ponsel berkamera. Atau sudah ada, tapi terbatas dan terlalu mahal untuk semua kalangan. Kamera yang populer pun kebanyakan masih menggunakan roll film yang tentu perlu biaya untuk membelinya. Karena itu, foto-foto yang bisa diambil hanya sedikit dan entah menggunakan kamera siapa.Kali kedua berkunjung ke ibu kota adalah setahun lalu untuk menghadiri pernikahan sepupu. Aku beserta keluarga besar menginap di rumah om selama empat hari. Di sana, aku harus tidur ala kadarnya karena jumlah ruang yang terbatas. Cukup beralaskan karpet, aku dan sepupu-sepupuku yang lain bisa istirahat di mana saja. Bisa lorong atau tempat-tempat lain yang dirasa lega. Dan Jakarta itu panas. Kipas angin tak hentinya berputar selama kami ada di san

    Terakhir Diperbarui : 2020-11-29
  • Fare Finta [Indonesia]   Rumah Aksara

    "Biar aku saja."Aksara menolak uluran tanganku yang berniat membawa sendiri barang-barang bawaanku. Ia juga menolak bantuan seorang pria paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh usai menutup gerbang tinggi di belakangnya. Aku pun cuma bisa berdiri di sebelah Aksara dan memperhatikan lelaki itu mengeluarkan ransel dan koperku dari dalam bagasi mobilnya."Sudah kubilang aku sudah menyiapkan semuanya, termasuk peralatan menggambar yang bisa kamu pakai di sini." Sebuah protes ia ajukan setelah aku menyebutkan isi ranselku padanya."Kamu belum bilang soal peralatan menggambar," sanggahku cepat. Seingatku, ia tidak mengatakan apa pun mengenai hal itu padaku. Lagi pula, peralatan yang kubawa hanya sebuah laptop, drawing pad, buku yang biasa kugunakan untuk membuat sketsa atau draft ilustrasi, serta alat tulis. Aku biasa membawanya ke mana-mana bersamaku. Jadi, aku sama sekali tak merasa kerepotan."Benarkah?"Aku menganggukka

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-01
  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-11

Bab terbaru

  • Fare Finta [Indonesia]   Suka dan Cinta

    "Lagi sibuk, Kak?" Kepala Nuri menyembul dari balik celah pintu kamar yang terbuka. Rambut panjangnya terkuncir kuda dengan sedikit berantakan.Aku yang mendengar ketukan pintu darinya memang sudah mempersilakannya masuk tepat sebelum pintu kamarku dibuka olehnya. "Nggak terlalu. Kakak cuma lagi membuat sketsa," jawabku, memberitahukan kegiatan yang tengah kulakukan. Kurapikan letak kacamata bulatku yang agak melorot. "Kenapa, Dek?""Boleh masuk?""Masuk saja."Nuri memperlebar celah pintu kamar, lalu berjalan masuk menghampiriku. "Ini project yang Kakak bilang itu, ya?" tanyanya setelah sampai di sebelahku. Kedua matanya tak luput mengamati hasil pekerjaanku yang tersebar di atas meja. "Gambarnya lucu, Kak." Ia melontarkan komentarnya.Aku tersenyum. Sedari tadi aku memang berkutat dengan pekerjaan yang menjadi alasan utamaku berada di rumah ini. Tanganku dengan lincah bergerak di atas kertas putih, merealisa

  • Fare Finta [Indonesia]   Mulai Bekerja

    "Bapak tunggu di luar, ya, Neng," ujar Pak Amin yang ikut keluar bersamaan denganku dari dalam sedan hitam yang tadi kunaiki. Tentu, dengan Pak Amin sebagai sopirnya."Pak Amin pulang saja. Nggak perlu menunggu Alin," tolakku halus. Jujur, baru sekali ini aku merasakan diantar oleh sopir. Maksudku, benar-benar seorang sopir yang dipekerjakan di sebuah keluarga. Karena itulah, rasa tak nyaman muncul kala Aksara mengusulkan ide ini dan langsung mendapat dukungan dari Mama. Dan ditunggu? Aku bahkan tak suka membuat orang lain menunggu.Aku sudah menolak. Tetapi, seperti yang telah kuduga, aku kalah. Alasan mereka terlalu rasional sehingga tak mampu kubantah lagi."Nggak apa-apa, Neng. Bapak sudah mendapat amanat dari Ibu untuk mengantarkan dan menunggu Neng Alin di sini," balas Pak Amin yang memaksaku menelan kembali penolakanku tersebut. Kuasa Mama begitu sulit untuk dilawan."Tapi, Alin mungkin lama. Bapak nggak

  • Fare Finta [Indonesia]   Langit Malam

    Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat ketika kulihat jam digital di sudut layar komputer di hadapanku menunjukkan pukul sebelas malam. Ini bukan merupakan rekor termalamku bekerja. Aku pernah memulai pekerjaanku lewat tengah malam. Tentu, dengan jam tidur yang berubah lebih awal, yakni kala malam baru dimulai.Contohnya saja hari ini. Berhubung aku telah meneruskan jam tidur siangku hingga petang usai, hal ini berimbas pada waktu kerjaku yang ikut berubah. Tapi, aku memang tak memaksakan diri. Aku bahkan tak menyangka akan tetap memiliki waktu untuk bekerja karena sedari awal, otakku sudah membayangkan istirahat nyaman di sepanjang hari pertamaku sampai di rumah Aksara. Jadi, selesainya satu ilustrasi serasa menjadi bonus untukku.Kuambil mug berukuran sedang yang sengaja kuletakkan dekat dengan dinding agar aman dari pergerakan tanganku. Mug abu-abu ini berisi minuman cokelat yang, jujur, aku tak ingat lagi kapan membuatnya. Mungkin, sejam yang lalu karena k

  • Fare Finta [Indonesia]   Makan Malam

    Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk

  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status