Home / All / Fare Finta [Indonesia] / Tiba di Jakarta

Share

Tiba di Jakarta

Author: shimizudani
last update Last Updated: 2020-11-29 18:19:09

Pertama kali aku mengunjungi Jakarta adalah ketika acara wisata sekolah semasa SMP. Tempat-tempat yang kudatangi, seperti Dufan, Ancol, lalu apa lagi? Aku tidak mempunyai dokumentasinya sehingga tak ingat pernah ke mana saja. Maklum, dulu belum ada ponsel berkamera. Atau sudah ada, tapi terbatas dan terlalu mahal untuk semua kalangan. Kamera yang populer pun kebanyakan masih menggunakan roll film yang tentu perlu biaya untuk membelinya. Karena itu, foto-foto yang bisa diambil hanya sedikit dan entah menggunakan kamera siapa.

Kali kedua berkunjung ke ibu kota adalah setahun lalu untuk menghadiri pernikahan sepupu. Aku beserta keluarga besar menginap di rumah om selama empat hari. Di sana, aku harus tidur ala kadarnya karena jumlah ruang yang terbatas. Cukup beralaskan karpet, aku dan sepupu-sepupuku yang lain bisa istirahat di mana saja. Bisa lorong atau tempat-tempat lain yang dirasa lega. Dan Jakarta itu panas. Kipas angin tak hentinya berputar selama kami ada di sana.

Pengalaman terakhirku itu bisa dibilang tak cukup menyenangkan. Bukan masalah di mana aku berisitirahat atau ruang pribadi yang jelas-jelas tak ada, melainkan aku yang sakit tepat seusai menghadiri pesta. Mungkin, aku tidak berhati-hati dan meminum air putih yang langsung menyebabkan radang tenggorokanku kambuh. Ditambah demam yang datang setelahnya, lengkap sudah penderitaanku. Aku bahkan tak kuat membuka mata sepanjang perjalanan pulang dan terus tidur hingga kereta sampai di Jogja.

Dan kali ketigaku ke kota tersebut, aku tidak menggunakan kereta, tetapi naik pesawat sesuai apa yang Aksara perintahkan. Sejujurnya, aku belum pernah naik pesawat dan otomatis ini menjadi pengalaman pertama untukku. Aku tidak pernah bepergian jauh dari rumah. Jika hanya ke kota-kota di pulau Jawa, aku dapat menggunakan moda transportasi darat. 

Karena itulah, aku datang satu setengah jam lebih awal dari jadwal yang tertera di tiket pesawat. Aku mengikuti petunjuk dan tak jarang bertanya pada petugas bandara. Aku menganut prinsip malu bertanya sesat di jalan. Lebih baik bertanya daripada kebingungan sendiri nantinya. Yang jelas, aku berhasil menumpang pesawat sesuai tiket yang kupegang. 

Meski baru pertama kali, namun aku tahu bangku yang kududuki bukan berada di kelas ekonomi. Jumlah kursi di ruangan ini lebih sedikit dengan posisi yang lebih jarang. Katakan saja aku norak, tapi kursi di sini benar-benar nyaman. Ruangan juga terasa lebih private. Benar kata orang, ada harga ada rupa.

Aku menggeret koperku keluar dari bandara Soekarno-Hatta, setibanya aku di tempat tujuan. Barang bawaanku tidak banyak. Hanya sebuah tas ransel berisi laptop dan peralatan menggambar lain, serta koper ukuran 18 inch yang isinya beberapa setel pakaian. 

Aku mengikuti petunjuk yang mengarahkanku menuju pintu keluar. Jika ada kesempatan, sebenarnya, aku ingin berkeliling sebentar. Yah, sekadar melihat fasilitas yang tersedia di bandara ini. Tapi, Aksara tadi mengirimiku pesan. Katanya, ia sudah ada di sini menantikan kedatanganku. Aku tak enak hati bila harus membuat seseorang menunggu.

Aku merapikan letak kacamata di ujung pangkal hidungku. Kali ini, aku sengaja mengenakannya agar penglihatanku jelas. Aku juga membutuhkannya untuk mengenali Aksara di antara ratusan orang di tempat ini.

Aku berhenti melangkah dan mengamati sekeliling. Dari yang kulihat, beberapa penumpang yang keluar bersamaku sudah bertemu dengan keluarga, teman, atau orang-orang yang menjemputnya. Maka, kucari Aksara. Jika sudah menunggu, seharusnya ia berada di sekitar sini. 

"Alin!" 

Seruan seseorang secara refleks membuatku menoleh. Itu Aksara dengan style santainya yang tetap terlihat menawan. Oh, aku tidak boleh terpesona padanya, meski aku sempat merasakan rasa yang sama di pertemuan awal kami. Dengan segera kutepis pemikiran itu dan mengembalikan kesadaranku. Aku sedang bekerja.

Aku menunggunya sampai di hadapanku. "Sudah lama menunggu, ya?" tanyaku pada Aksara saat jarak kami sudah dekat.

"Nggak, kok," jawabnya, lalu mengambil alih koper yang kubawa. "Langsung pulang atau mau mampir dulu?" 

Ia menggantikanku membawa koper abu-abu milikku. Aku tidak sempat menolak karena dalam sekejap koper itu telah berpindah ke tangannya. Jadi, kubiarkan saja ia melakukannya. Akan aneh jika tiba-tiba aku menolak bantuannya di saat ia sudah mulai berjalan mendahuluiku.

"Mau mampir ke mana? Aku nggak tahu tempat-tempat di sini," ujarku jujur. Pengetahuanku sangat terbatas mengenai kota ini.

Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin, mencari referensi tempat untuk singgah. "Nanti kita mampir sebentar di toko kue."

Aku memberikan anggukan sebagai persetujuan.

Aku mengikuti langkah kaki Aksara. Ia membawaku ke area parkir, kemudian menuntunku masuk ke dalam mobilnya. Ia memastikan barang bawaanku aman di bagasi mobil sebelum duduk di belakang kemudi. "Nggak ada yang ketinggalan, kan?"

Aku menggeleng. "Nggak ada."

Mobil berwarna biru metalik itu pun perlahan meninggalkan lokasi parkir dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan ibu kota. 

"Apa ini, Mas?" Sebuah pot kecil berisi tanaman yang terletak di dasbor mobil di depanku berhasil menarik perhatianku. Tanganku bergerak mengambilnya. Kuamati tanaman itu sembari menebak-nebak apa namanya.

"Bunga matahari. Belum berbunga, jadi belum kelihatan kalau itu bunga matahari." Aksara membalas pertanyaanku dengan masih berfokus pada jalanan di depannya.

"Oh..."

"Untukmu. Kudengar kamu suka mendapat bunga hidup daripada sebuket bunga."

Benar sekali! Seperti yang ia bilang, aku memang lebih senang ketika seseorang memberikan pot berisi tanaman bunga hidup padaku dibandingkan mendapat sebuket bunga potong. Aku bisa merawat tanaman tersebut dengan rajin menyiraminya. Proses ini pasti akan lebih meninggalkan kesan. Namun, bukan berarti aku menolak apabila tiba-tiba sebuket bunga datang padaku. Aku tetap harus menerimanya untuk menghargai tindakan sang pemberi bunga. 

"Serius?" Ada nada antusias dalam suaraku. "Makasih, Mas. Tapi, kamu tahu darimana kalau aku suka mendapat ini?" Yang kumaksud adalah tanaman bunga, tentu saja.

"Diva. Siapa lagi?"

Aku sudah menduganya. Hanya sedikit orang yang tahu kesukaanku. Dan dalam situasi ini, yang paling berpotensi melakukannya memang adalah Diva. Di pertemuan sebelumnya pun demikian. Wanita itu pasti membocorkan kesukaanku pada cokelat sehingga Aksara memberikan sekotak brownies sebelum kami berpisah.

"Sepertinya, kamu tahu cukup banyak tentangku. Tapi, aku hampir nggak tahu apa-apa tentang kamu," gerutuku atas diri sendiri yang tak mempunyai inisiatif mencari tahu informasi mengenai Aksara.

Gelak tawa keluar dari bibir Aksara. Ia tertawa cukup lama yang sama sekali tak mengurangi rasa bersalahku. "Tanyakan saja langsung padaku." Ia berkata di sela-sela tawanya.

Apa yang ingin kutanyakan padanya? Tidak mungkin hal yang bersifat pribadi karena kami baru saling mengenal. Lagi pula, siapa aku? Aku bahkan belum menjadi temannya. 

Baiklah. Aku akan menanyakan hal yang umum saja. "Apa makanan kesukaanmu?" Aku mulai bertanya.

"Martabak manis."

Aku agak terkejut mendengarnya. Kupikir, orang-orang seperti Aksara akan menyebutkan nama makanan yang asing dan belum pernah kucoba. Nyatanya, seleranya tak jauh berbeda denganku. Martabak manis memang menjadi favorit banyak orang. 

"Kalau minuman favorit?"

"Kopi."

"Bagaimana dengan hobi?"

Ia diam sejenak utuk berpikir. "Seperti kebanyakan orang... Nonton, baca, santai, travelling," ucapnya menyebutkan beberapa kegiatan yang menjadi hobinya.

"Warna kesukaan?"

"Serius kamu menanyakan itu?"

Dahiku berkerut. Apa yang aneh dari bertanya soal warna kesukaan?

"Iya. Aku suka hijau. Kamu suka warna apa?"

"Hitam dan biru." Akhirnya, ia menjawab. Ini cuma tebakanku saja. Pemilihan warna mobilnya, mungkin, dipengaruhi oleh kesukaannya pada warna biru. 

"Lagu?"

"Hmm... Kalau sekarang, aku lagi suka mendengarkan lagu-lagunya Lana Del Rey."

Oh, aku tahu penyanyi itu. Aku sempat mendengarkan beberapa lagunya. Karyanya berbeda dari lagu-lagu yang pernah kudengarkan sebelumnya. Ada keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dari penyanyi lain. 

"Genre film?"

"Apa saja yang penting bagus dan menarik."

"Kalau drakor?"

Sekilas, ia menoleh padaku dengan ekspresi seolah mempertanyakan pertanyaanku barusan.

"Yah... Aku adalah penikmat drama Korea. Kamu mau, nggak, kalau misalnya aku mengajakmu nonton bersama?" Drama Korea, tentunya. 

"Lihat ceritanya dulu, ya." Aku sudah menduga ia akan menjawab begitu. Jarang sekali kutemukan pria yang mau dan suka menonton serial televisi dari negeri ginseng itu. Memang, yang penuh drama adalah hidup wanita.

"Ukuran sepatu?"

"42. Mau membelikan sepasang untukku?" guraunya.

Aku mengendikkan bahu dan berkata, "Mungkin saja."

"Akun sosial media?" 

"Hmm?" Ia merespon dengan meminta penjelasan tambahan untuk pertanyaan tersebut.

"Menurutmu, apa aku perlu mem-follow akunmu agar orang-orang percaya pada hubungan kita?" Aku justru memberinya pertanyaan lain untuk melengkapi.

Kerutan di dahinya menghilang setelah mengerti tujuanku bertanya demikian. "Cari saja namaku. Atau nanti kutunjukkan kepadamu."

"Oke. Lanjut! Jam tidur?"

"Sekitar tengah malam."

"Kebiasaan sebelum tidur?"

"Nggak ada." 

"Kebiasaan saat tidur?" 

"Kamu harus melihatnya sendiri agar tahu," candanya, lalu terkekeh geli setelahnya. Aku sedikit salah tingkah dibuatnya karena secara tak sadar melontarkan pertanyaan itu. Rasanya, kedua pipiku memanas, terlebih usai mendengar jawaban pria itu. 

Namun, akan terlalu canggung bila sesi tanya jawab ini mendadak berhenti. Maka, aku memilih untuk tak memikirkan ucapan Aksara dan terus melanjutkan obrolan kami hingga mobil biru metalik ini membawa kami ke tempat tujuan. 

Related chapters

  • Fare Finta [Indonesia]   Rumah Aksara

    "Biar aku saja."Aksara menolak uluran tanganku yang berniat membawa sendiri barang-barang bawaanku. Ia juga menolak bantuan seorang pria paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh usai menutup gerbang tinggi di belakangnya. Aku pun cuma bisa berdiri di sebelah Aksara dan memperhatikan lelaki itu mengeluarkan ransel dan koperku dari dalam bagasi mobilnya."Sudah kubilang aku sudah menyiapkan semuanya, termasuk peralatan menggambar yang bisa kamu pakai di sini." Sebuah protes ia ajukan setelah aku menyebutkan isi ranselku padanya."Kamu belum bilang soal peralatan menggambar," sanggahku cepat. Seingatku, ia tidak mengatakan apa pun mengenai hal itu padaku. Lagi pula, peralatan yang kubawa hanya sebuah laptop, drawing pad, buku yang biasa kugunakan untuk membuat sketsa atau draft ilustrasi, serta alat tulis. Aku biasa membawanya ke mana-mana bersamaku. Jadi, aku sama sekali tak merasa kerepotan."Benarkah?"Aku menganggukka

    Last Updated : 2020-12-01
  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Makan Malam

    Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk

    Last Updated : 2021-01-03
  • Fare Finta [Indonesia]   Langit Malam

    Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat ketika kulihat jam digital di sudut layar komputer di hadapanku menunjukkan pukul sebelas malam. Ini bukan merupakan rekor termalamku bekerja. Aku pernah memulai pekerjaanku lewat tengah malam. Tentu, dengan jam tidur yang berubah lebih awal, yakni kala malam baru dimulai.Contohnya saja hari ini. Berhubung aku telah meneruskan jam tidur siangku hingga petang usai, hal ini berimbas pada waktu kerjaku yang ikut berubah. Tapi, aku memang tak memaksakan diri. Aku bahkan tak menyangka akan tetap memiliki waktu untuk bekerja karena sedari awal, otakku sudah membayangkan istirahat nyaman di sepanjang hari pertamaku sampai di rumah Aksara. Jadi, selesainya satu ilustrasi serasa menjadi bonus untukku.Kuambil mug berukuran sedang yang sengaja kuletakkan dekat dengan dinding agar aman dari pergerakan tanganku. Mug abu-abu ini berisi minuman cokelat yang, jujur, aku tak ingat lagi kapan membuatnya. Mungkin, sejam yang lalu karena k

    Last Updated : 2021-01-11

Latest chapter

  • Fare Finta [Indonesia]   Suka dan Cinta

    "Lagi sibuk, Kak?" Kepala Nuri menyembul dari balik celah pintu kamar yang terbuka. Rambut panjangnya terkuncir kuda dengan sedikit berantakan.Aku yang mendengar ketukan pintu darinya memang sudah mempersilakannya masuk tepat sebelum pintu kamarku dibuka olehnya. "Nggak terlalu. Kakak cuma lagi membuat sketsa," jawabku, memberitahukan kegiatan yang tengah kulakukan. Kurapikan letak kacamata bulatku yang agak melorot. "Kenapa, Dek?""Boleh masuk?""Masuk saja."Nuri memperlebar celah pintu kamar, lalu berjalan masuk menghampiriku. "Ini project yang Kakak bilang itu, ya?" tanyanya setelah sampai di sebelahku. Kedua matanya tak luput mengamati hasil pekerjaanku yang tersebar di atas meja. "Gambarnya lucu, Kak." Ia melontarkan komentarnya.Aku tersenyum. Sedari tadi aku memang berkutat dengan pekerjaan yang menjadi alasan utamaku berada di rumah ini. Tanganku dengan lincah bergerak di atas kertas putih, merealisa

  • Fare Finta [Indonesia]   Mulai Bekerja

    "Bapak tunggu di luar, ya, Neng," ujar Pak Amin yang ikut keluar bersamaan denganku dari dalam sedan hitam yang tadi kunaiki. Tentu, dengan Pak Amin sebagai sopirnya."Pak Amin pulang saja. Nggak perlu menunggu Alin," tolakku halus. Jujur, baru sekali ini aku merasakan diantar oleh sopir. Maksudku, benar-benar seorang sopir yang dipekerjakan di sebuah keluarga. Karena itulah, rasa tak nyaman muncul kala Aksara mengusulkan ide ini dan langsung mendapat dukungan dari Mama. Dan ditunggu? Aku bahkan tak suka membuat orang lain menunggu.Aku sudah menolak. Tetapi, seperti yang telah kuduga, aku kalah. Alasan mereka terlalu rasional sehingga tak mampu kubantah lagi."Nggak apa-apa, Neng. Bapak sudah mendapat amanat dari Ibu untuk mengantarkan dan menunggu Neng Alin di sini," balas Pak Amin yang memaksaku menelan kembali penolakanku tersebut. Kuasa Mama begitu sulit untuk dilawan."Tapi, Alin mungkin lama. Bapak nggak

  • Fare Finta [Indonesia]   Langit Malam

    Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat ketika kulihat jam digital di sudut layar komputer di hadapanku menunjukkan pukul sebelas malam. Ini bukan merupakan rekor termalamku bekerja. Aku pernah memulai pekerjaanku lewat tengah malam. Tentu, dengan jam tidur yang berubah lebih awal, yakni kala malam baru dimulai.Contohnya saja hari ini. Berhubung aku telah meneruskan jam tidur siangku hingga petang usai, hal ini berimbas pada waktu kerjaku yang ikut berubah. Tapi, aku memang tak memaksakan diri. Aku bahkan tak menyangka akan tetap memiliki waktu untuk bekerja karena sedari awal, otakku sudah membayangkan istirahat nyaman di sepanjang hari pertamaku sampai di rumah Aksara. Jadi, selesainya satu ilustrasi serasa menjadi bonus untukku.Kuambil mug berukuran sedang yang sengaja kuletakkan dekat dengan dinding agar aman dari pergerakan tanganku. Mug abu-abu ini berisi minuman cokelat yang, jujur, aku tak ingat lagi kapan membuatnya. Mungkin, sejam yang lalu karena k

  • Fare Finta [Indonesia]   Makan Malam

    Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk

  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

DMCA.com Protection Status