Share

Kontrak Baru

Author: shimizudani
last update Last Updated: 2020-11-01 09:17:16

"Membuat cover buku, ya?"

Aku mengamati kumpulan notes yang kutempel di papan dekat meja kerja. Notes beraneka warna itu berisi daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan. Biasanya, aku menyortirnya per minggu. Seluruh deadline pekerjaan di minggu yang sama akan kujadikan satu. Kemudian, aku mengurutkannya lagi berdasarkan hari deadline. Yang tercepat, tentu, perlu didahulukan.

Di minggu ini, pekerjaan terbanyak yang kuperoleh adalah membuat ilustrasi sampul buku. Jumlahnya ada lima. Itu berarti dalam sehari aku harus mengerjakan dua ilustrasi karena pekerjaanku tak hanya itu saja. Ada tawaran mendesain website yang meski deadline-nya minggu depan, aku harus mulai mengerjakannya dari sekarang. Ada pula pekerjaan menggambar ilustrasi wajah klien yang ingin dibuat versi anime. Sepertinya, minggu ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk untukku.

Sebelum bekerja, terlebih dulu aku mengecek situs tempatku menawarkan jasa pembuatan ilustrasi. Aku membaca pesan-pesan yang masuk ke akunku. Ada yang tertarik untuk bekerja denganku, menanyakan kesediaanku bekerja dengannya, menuliskan detail ilustrasi yang diinginkan, dan ada pula yang berterima kasih atas hasil karyaku yang memuaskan dirinya. Aku juga menyempatkan diri untuk membaca ulasan yang pelanggan berikan di fitur review. Hampir semuanya puas dengan pekerjaanku. Aku memang sebisa mungkin menjalin komunikasi yang baik dengan mereka agar kedua belah pihak bisa sama-sama puas.

Aku mencatat satu pesanan baru yang masuk beserta rincian ilustrasi yang diinginkan. Klien tidak memesan pengerjaan kilat, jadi ada cukup banyak waktu untuk menyelesaikannya. Tapi tetap saja, hasilnya harus kuserahkan dalam minggu ini. Aku pun menambahkan notes yang barusan kubuat ke papan pengingat.

Setelahnya, aku membuka alamat surelku. Walau jarang, namun terkadang, ada calon pelanggan yang menghubungiku di sana. Benar saja. Ada beberapa pesan baru masuk yang salah satunya berupa tawaran pekerjaan. Sebuah penerbit menawarkan proyek kerja sama penulisan buku anak-anak. Aku sebagai pembuat ilustrasi, sementara ide cerita berasal dari penulis lain. 

Kelihatannya menarik. Aku belum pernah mengerjakan pekerjaan serupa. Yang paling sering kubuat adalah sampul buku. Itu pun kebanyakan untuk buku-buku yang diunggah di platform online. Tetapi, sebelum aku memberikan jawaban, aku perlu tahu cerita apa yang akan kubuat ilustrasinya. Bukannya pilih-pilih--tapi memang harus hati-hati memilih, bukan?--aku ingin memperkirakan tingkat kesulitan dari pekerjaan ini.

Aku mengetikkan balasan surel itu. Tak lupa, kusertakan pertanyaan yang kupikirkan tadi. Kuklik tombol kirim, lalu menutup halaman dari surelku. Aku menyempatkan untuk browsing sebentar tentang buku bergambar untuk anak-anak. Sudah lama sejak terakhir kali aku membaca buku semacam itu. Aku bahkan sudah tidak ingat lagi seperti apa isinya.

Ternyata ada berbagai macam buku bergambar. Semua disesuaikan dengan target pembaca. Ada yang penuh dengan warna-warna cerah, ada yang monokrom--hitam dan putih, serta dipenuhi karakter-karakter lucu. Yang jelas, buku mereka terlihat minimalis tanpa tambahan detail tak penting.

Ting!

Sebuah pesan baru masuk ke ponselku. Dari Aksara.

Boleh telepon? 

Aku mengernyitkan dahi membacanya. Ada apa? Terakhir kali aku berhubungan dengannya adalah di pertemuan pertama kami. Sudah tiga minggu berlalu. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi menghubunginya. Aku memang selalu memutus komunikasi dengan klien ketika pekerjaanku usai. Aku bahkan memblokir nomor mereka karena tidak mau tiba-tiba mendapat pesan yang bersifat pribadi. Khusus Aksara, aku sengaja membiarkannya. Ia teman dari Leo. Tidak etis rasanya memutus kontak dengan orang yang berelasi dekat dengan orang-orang di sekitarku. Apa lagi, bila tanpa sebab. 

Aku menimbang-nimbang harus kuapakan pesan itu. Tidak mungkin aku membiarkannya. Dan jika kujawab, balasan apa yang akan kuberikan. 'Tidak' dan memintanya untuk bertukar pesan saja. Atau 'Ya', padahal aku tidak terlalu suka berbicara di telepon. 

Namun akhirnya, justru aku yang meneleponnya duluan. Kupikir, nantinya akan tetap bertelepon, jadi aku tak membalas pesannya dan langsung menekan tombol panggil. Perasaanku mengatakan ini tentang pertemuan terakhir kami.

"Halo." Ia mendahuluiku mengucapkaan kata sapaan.

"Halo, Mas. Ada apa?" tanyaku to the point. Ada kebingungan sekaligus rasa gugup dalam suaraku. Semoga tidak terjadi masalah.

"Begini." Ia mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku tadi sudah bertanya ke Diva dan katanya sebaiknya bertanya langsung padamu." Jawabannya terdengar ragu dan berbelit-belit.

"Tentang?"

"Status pacar. Diva bilang aku bisa menyewa status pacar untuk jangka waktu tertentu," ujarnya, akhirnya mengungkapkan tujuannya menghubungiku. Aku bisa bernapas lega karena apa yang kutakutkan tidak terjadi. 

"Iya, Mas. Nanti kamu bisa menyewa seseorang untuk diakui sebagai pacar. Nah, si pacar ini juga harus bilang kalau kamu adalah pacarnya." Nah lho! Kenapa jadi aku yang menjelaskannya? Kenapa pula aku mengatakannya padahal jelas-jelas tadi ia bilang sudah bertanya pada Diva? Wanita itu pasti sudah membeberkan informasi ini.

"Kamu bisa melakukannya?" Oh, inilah tujuan sebenarnya dari percakapan berbelit-belit sebelumnya. Ia menginginkanku berpura-pura menyandang status pacar untuknya.

"Bisa. Untuk berapa lama?" 

"Satu bulan ini saja dulu. Nanti bisa diperpanjang, bukan?" tanyanya memastikan.

"Iya, bisa."

Suasana mendadak hening. Ia terdiam. Tapi aku tahu, ada hal lain yang ingin ia katakan. 

"Aku boleh meminta tolong lagi?"

"Apa?"

"Akhir pekan ini... Bisakah kamu datang ke sini?"

Aku termenung dibuatnya. Rasa terkejut serta kebingungan mendera secara tiba-tiba. Ke sini itu maksudnya... "Ke Jakarta?" tanyaku setengah tak percaya. 

Selama menjalani pekerjaan ini, aku belum pernah bekerja ke luar wilayah Jogja. Itu memang salah satu syarat yang kuajukan. Hal itu juga kulakukan sebagai perlindungan diri karena apabila terjadi masalah, akan sulit mencari bantuan. Diva pun tak begitu saja menerima pekerjaan yang mengharuskan si pacar sewaan ke luar kota, kecuali pada orang-orang yang sudah dikenal baik olehnya. Tak jarang, ia menugaskan orang lain untuk menjaga pekerjanya dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Iya. Mama ingin bertemu denganmu." Inilah penyebabnya. Orang tua memang selalu menjadi alasan yang membuat sang anak mencari beragam jalan demi mewujudkan keinginannya. Aku yakin ia menyewa status pacar juga karena alasan yang sama.

Sudah kukatakan, bukan, kalau aku malas diajak bertemu orang tua klien? Aku tak mau memberikan harapan palsu pada mereka. Cukup keberadaanku saja yang palsu. 

"Nanti aku akan mengurus semuanya, termasuk tiket pesawat dan juga hotel." Ia kembali berujar setelah mendengar kediamanku. 

Aku bimbang. Tentu saja. Menerima pekerjaan darinya sama artinya melanggar prinsipku sendiri. Tapi, ini lebih baik dari apa yang kutakutkan. Aku takut yang kulakukan telah merusak sebuah hubungan. Atau keduanya sama-sama buruk?

"Aku lumayan sibuk minggu ini." Aku berkilah. 

"Aku mohon. Kalau nggak, Mama akan ke Jogja untuk menemuimu."

Jadi, intinya, apapun jawabanku akan berujung pada petemuan dengan ibu Aksara. Aku sama saja tak mempunyai pilihan. Mana yang lebih baik? Mendatangi atau didatangi?

Kuhela napas panjang. Pasrah. "Baiklah." Aku terpaksa mengiyakan permintaannya.

"Makasih, Lin. Akan kupastikan Mama nggak merepotkanmu dan kamu tetap bisa fokus bekerja di sini." 

Setidaknya, janji yang diucapkannya dapat memberi sedikit ketenangan bagiku. "Harus itu, Mas." Aku bahkan bisa menyelipkan nada canda dalam suaraku.

Panggilan telepon di antara kami berakhir. Aksara bilang akan mencarikan akomodasi selama di Jakarta dan menginformasikannya padaku nanti. Aku tinggal terima beres. Begitu katanya.

Lagi-lagi, sebuah helaan napas keluar dari bibirku. Aku membayangkan situasi yang akan kuhadapi. Bagaimana perjumpaanku dengan ibu Aksara? Seperti apa beliau? Kesan apa yang harus kutunjukkan di hadapannya? 

Semakin aku memikirkannya, nyaliku justru semakin menciut. Rasanya bak bertemu calon mertua. Ada kegugupan, ketakutan, dan harapan di hatiku. Masalahnya, aku tak pandai mencuri hati seseorang agar mereka menyukaiku. Aku sudah berhenti untuk terus-menerus menyenangkan orang lain.

Ah, aku nyaris lupa pada pekerjaanku. Aku mungkin harus menyelesaikan semuanya lebih awal supaya memiliki cukup waktu menyiapkan perjalananku. Aku juga perlu menenangkan hati dan pikiran dalam menghadapi keadaan mendadak dan mendesak ini. 

Haruskah aku bertanya pada Diva tentang bagaimana sebaiknya bersikap di depan calon mertua?

Related chapters

  • Fare Finta [Indonesia]   Tiba di Jakarta

    Pertama kali aku mengunjungi Jakarta adalah ketika acara wisata sekolah semasa SMP. Tempat-tempat yang kudatangi, seperti Dufan, Ancol, lalu apa lagi? Aku tidak mempunyai dokumentasinya sehingga tak ingat pernah ke mana saja. Maklum, dulu belum ada ponsel berkamera. Atau sudah ada, tapi terbatas dan terlalu mahal untuk semua kalangan. Kamera yang populer pun kebanyakan masih menggunakan roll film yang tentu perlu biaya untuk membelinya. Karena itu, foto-foto yang bisa diambil hanya sedikit dan entah menggunakan kamera siapa.Kali kedua berkunjung ke ibu kota adalah setahun lalu untuk menghadiri pernikahan sepupu. Aku beserta keluarga besar menginap di rumah om selama empat hari. Di sana, aku harus tidur ala kadarnya karena jumlah ruang yang terbatas. Cukup beralaskan karpet, aku dan sepupu-sepupuku yang lain bisa istirahat di mana saja. Bisa lorong atau tempat-tempat lain yang dirasa lega. Dan Jakarta itu panas. Kipas angin tak hentinya berputar selama kami ada di san

    Last Updated : 2020-11-29
  • Fare Finta [Indonesia]   Rumah Aksara

    "Biar aku saja."Aksara menolak uluran tanganku yang berniat membawa sendiri barang-barang bawaanku. Ia juga menolak bantuan seorang pria paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh usai menutup gerbang tinggi di belakangnya. Aku pun cuma bisa berdiri di sebelah Aksara dan memperhatikan lelaki itu mengeluarkan ransel dan koperku dari dalam bagasi mobilnya."Sudah kubilang aku sudah menyiapkan semuanya, termasuk peralatan menggambar yang bisa kamu pakai di sini." Sebuah protes ia ajukan setelah aku menyebutkan isi ranselku padanya."Kamu belum bilang soal peralatan menggambar," sanggahku cepat. Seingatku, ia tidak mengatakan apa pun mengenai hal itu padaku. Lagi pula, peralatan yang kubawa hanya sebuah laptop, drawing pad, buku yang biasa kugunakan untuk membuat sketsa atau draft ilustrasi, serta alat tulis. Aku biasa membawanya ke mana-mana bersamaku. Jadi, aku sama sekali tak merasa kerepotan."Benarkah?"Aku menganggukka

    Last Updated : 2020-12-01
  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

    Last Updated : 2020-12-11
  • Fare Finta [Indonesia]   Makan Malam

    Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk

    Last Updated : 2021-01-03

Latest chapter

  • Fare Finta [Indonesia]   Suka dan Cinta

    "Lagi sibuk, Kak?" Kepala Nuri menyembul dari balik celah pintu kamar yang terbuka. Rambut panjangnya terkuncir kuda dengan sedikit berantakan.Aku yang mendengar ketukan pintu darinya memang sudah mempersilakannya masuk tepat sebelum pintu kamarku dibuka olehnya. "Nggak terlalu. Kakak cuma lagi membuat sketsa," jawabku, memberitahukan kegiatan yang tengah kulakukan. Kurapikan letak kacamata bulatku yang agak melorot. "Kenapa, Dek?""Boleh masuk?""Masuk saja."Nuri memperlebar celah pintu kamar, lalu berjalan masuk menghampiriku. "Ini project yang Kakak bilang itu, ya?" tanyanya setelah sampai di sebelahku. Kedua matanya tak luput mengamati hasil pekerjaanku yang tersebar di atas meja. "Gambarnya lucu, Kak." Ia melontarkan komentarnya.Aku tersenyum. Sedari tadi aku memang berkutat dengan pekerjaan yang menjadi alasan utamaku berada di rumah ini. Tanganku dengan lincah bergerak di atas kertas putih, merealisa

  • Fare Finta [Indonesia]   Mulai Bekerja

    "Bapak tunggu di luar, ya, Neng," ujar Pak Amin yang ikut keluar bersamaan denganku dari dalam sedan hitam yang tadi kunaiki. Tentu, dengan Pak Amin sebagai sopirnya."Pak Amin pulang saja. Nggak perlu menunggu Alin," tolakku halus. Jujur, baru sekali ini aku merasakan diantar oleh sopir. Maksudku, benar-benar seorang sopir yang dipekerjakan di sebuah keluarga. Karena itulah, rasa tak nyaman muncul kala Aksara mengusulkan ide ini dan langsung mendapat dukungan dari Mama. Dan ditunggu? Aku bahkan tak suka membuat orang lain menunggu.Aku sudah menolak. Tetapi, seperti yang telah kuduga, aku kalah. Alasan mereka terlalu rasional sehingga tak mampu kubantah lagi."Nggak apa-apa, Neng. Bapak sudah mendapat amanat dari Ibu untuk mengantarkan dan menunggu Neng Alin di sini," balas Pak Amin yang memaksaku menelan kembali penolakanku tersebut. Kuasa Mama begitu sulit untuk dilawan."Tapi, Alin mungkin lama. Bapak nggak

  • Fare Finta [Indonesia]   Langit Malam

    Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat ketika kulihat jam digital di sudut layar komputer di hadapanku menunjukkan pukul sebelas malam. Ini bukan merupakan rekor termalamku bekerja. Aku pernah memulai pekerjaanku lewat tengah malam. Tentu, dengan jam tidur yang berubah lebih awal, yakni kala malam baru dimulai.Contohnya saja hari ini. Berhubung aku telah meneruskan jam tidur siangku hingga petang usai, hal ini berimbas pada waktu kerjaku yang ikut berubah. Tapi, aku memang tak memaksakan diri. Aku bahkan tak menyangka akan tetap memiliki waktu untuk bekerja karena sedari awal, otakku sudah membayangkan istirahat nyaman di sepanjang hari pertamaku sampai di rumah Aksara. Jadi, selesainya satu ilustrasi serasa menjadi bonus untukku.Kuambil mug berukuran sedang yang sengaja kuletakkan dekat dengan dinding agar aman dari pergerakan tanganku. Mug abu-abu ini berisi minuman cokelat yang, jujur, aku tak ingat lagi kapan membuatnya. Mungkin, sejam yang lalu karena k

  • Fare Finta [Indonesia]   Makan Malam

    Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk

  • Fare Finta [Indonesia]   Kembali ke Rumah Aksara

    Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu

  • Fare Finta [Indonesia]   Jakarta dan Aksara

    Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal

  • Fare Finta [Indonesia]   Teman Lama

    "Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia

  • Fare Finta [Indonesia]   Jalan-Jalan

    Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den

  • Fare Finta [Indonesia]   The Ring

    Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status