Hal yang paling tidak menyenangkan dari menjadi pekerja lepas adalah ketika orang-orang mempertanyakan pekerjaan ini. Pekerjaan apa yang dilakukan? Enak sekali bisa bekerja di rumah? Kok di rumah terus? Gaji berapa? … dan lain sebagainya yang bisa membuat pusing kepala saat mendengarnya. Jenis pekerjaan ini memang tergolong baru sehingga banyak orang yang belum mengerti jika bekerja tak harus selalu dilakukan di luar rumah. Aku bahkan bisa mengerti bila mereka memandang sebelah mata pekerjaan ini karena selalu berada di rumah identik dengan pengangguran.
Tentu saja, aku bukan pengangguran. Aku seorang pekerja lepas yang memang memilih melakukannya. Sebagai orang yang menyukai suasana tenang, pekerjaan ini sangat cocok untukku karena aku dapat menciptakan sendiri ketenangan itu dan bekerja di waktu yang kuinginkan. Inilah keistimewaan yang tidak diperoleh dari mereka yang bekerja di kantor. Tak ada perasaan selalu diawasi. Tak perlu ada pula drama-drama yang muncul di antara sesama rekan kerja. Aku pun bisa lebih bebas menuangkan jiwa kreatifku. Tapi sekali lagi, ini pilihanku yang menyukai ketenangan.
Aku adalah seorang illustrator. Sudah sedari kecil aku menyukai kegiatan menggambar dan menjadikannya hobi. Dulu, teman-teman sekolahku sering memintaku untuk menggambar sketsa wajahnya. Terkadang, aku membuat karikatur wajah mereka. Lucu. Aku juga hampir selalu mendapat kepercayaan untuk menjadi desainer kala lomba menghias kelas diadakan. Biasanya, dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Indonesia. Satu kelas akan kompak sekaligus heboh mempersiapkan semuanya. Meski melelahkan, tapi terasa seru dan menyenangkan.
Aku akan sibuk menggambar di sudut kelas, sementara teman-temanku yang lain asyik membersihkan seluruh kelas dan menghias sesuai tema yang sudah disepakati. Pernah ada yang mengusulkan untuk membeli pot tanaman, padahal saat itu kelasku tidak punya teras atau pekarangan. Hanya ada lorong sempit sebagai jalan karena memang posisi kelas berada di pojok dan tersembunyi. Akhirnya, pot-pot tanaman itu digantung di pintu kelas dan ada beberapa yang diletakkan sebagai pemanis papan tulis. Sungguh, kocak ide mereka. Seperti peribahasa, tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada pekarangan, dalam kelas pun jadi.
Itu merupakan salah satu masa di mana aku merasa senang berada di tengah keramaian. Setelah masa SMA-ku usai, aku lebih suka menyendiri. Aku mulai membatasi pertemananku. Hanya beberapa teman kuliahku yang dekat denganku. Tanya saja mereka. Apa kesan mereka tentang Alinea? Pasti, sebagian besar dari mereka akan menjawab: pendiam. Ah, teman-teman sekolahku dulu juga akan memberikan jawaban serupa. Aku memang pendiam. Sejak dulu hingga sekarang.
Karena itulah, kebingungan melanda menjelang kelulusan kuliahku. Pekerjaan apa yang harus kutekuni? Aku tidak suka berada di tengah banyak orang. Aku juga sebenarnya tak terlalu nyaman untuk bekerja di kantor. Aku memutar otak dan mencari-cari referensi pekerjaan yang bisa kulakukan di rumah. Dan akhirnya, inilah yang kulakukan. Aku mulai menawarkan jasaku sebagai illustrator secara online saat menunggu waktu wisuda. Sekarang, aku masih melakukannya. Sebagian besar klienku kudapatkan dari sana, walaupun tak sedikit juga yang menghubungiku secara langsung.
Menjadi pekerja lepas membuat jam kerjaku menjadi tak terbatas. Maka, aku merencanakan sendiri hari liburku. Terkadang, di hari-hari kerja antara Senin sampai Jumat. Tapi, paling sering aku mengambil libur di akhir pekan, seperti pekerja kantoran di luar sana. Dan di minggu ini, aku memutuskan untuk rehat dari pekerjaanku di hari Sabtu dan Minggu.
Aku menyelesaikan gambar yang dipesan oleh salah satu pelanggan mayaku. Ia memesan ilustrasi dari sebuah anime. Ini sudah yang ke-sekian kalinya ia menggunakan jasaku. Dan aku tahu pasti akan digunakan untuk apa hasil karyaku itu. Ia adalah seorang pembuat cover lagu-lagu anime. Dan ya, gambarku menjadi ilustrasi dari lagu yang akan diunggahnya di channel Youtube miliknya.
Pernah menonton anime berjudul Inuyasha? Aku sedang membuat salah satu tokoh dari anime tersebut. Bukan Inuyasha, melainkan Sesshomaru. Aku sudah pernah membuat gambar Inuyasha sebelumnya lengkap bersama kekasihnya, Kagome. Kali ini, pelangganku meminta ilustrasi Sesshomaru karena lagu yang dibawakannya berkisah tentang karakter tersebut.
Aku senang sekali melakukannya. Jujur, dibandingkan Inuyasha, aku lebih menyukai karakter kakaknya. Sesshomaru lebih tenang dan banyak diam. Ia juga bukan tokoh antagonis dalam anime tersebut. Hanya pada Inuyasha ia terkesan jahat. Selain itu, ia tak pernah membuat masalah bila tak ada yang memulainya. Berbeda sekali dengan Inuyasha yang berapi-api dan tidak bisa diam.
Oh, aku jadi bernostalgia dengan anime itu. Aku ingat nyaris tak pernah melewatkannya kala dulu tayang di salah satu stasiun TV Indonesia. Saat itu, aku masih SD dan begitu lugu tentang kehidupan. Yang aku tahu hanya bermain dan bersenang-senang. Menonton anime atau kartun merupakan salah satu kesenangan itu. Sekarang pun, sebenarnya, aku masih melakukannya. Tumbuh dewasa bukan menjadi penghalang untuk menikmati sebuah tontonan. Lagi pula, setiap acara pasti memiliki batasan umur bagi penontonnya, termasuk anime. Dan tidak semua anime diperuntukkan sebagai tayangan anak-anak.
Aku memberikan sentuhan akhir di ilustrasi buatanku. Karakter Sesshomaru berlatar langit malam telah selesai kugambar. Sosok manusianya tengah duduk bersandar pada batang pohon dengan sebuah pedang tergenggam di tangannya. Mata tajamnya menatap kilauan cahaya dari bilah pedangnya akibat pantulan sinar rembulan. Raut wajahnya, seperti biasa, tanpa ekspresi. Ia terkesan penuh kesendirian, tak terjangkau, namun tetap terasa hangat.
Aku mengamatinya sejenak dan meneliti kembali hasil pekerjaanku. Tidak ada yang kurang dan kurasa sudah sesuai dengan keinginan yang diutarakan pelangganku. Kalaupun ada yang perlu diperbaiki, aku bisa melakukannya nanti setelah ia melihat hasil gambarku ini. Setelah bekerja cukup lama dengannya, komunikasi di antara kami menjadi lebih luwes. Aku juga lebih mudah memahami keinginannya sehingga berdampak positif pada proses pengerjaan ilustrasi pesanan darinya.
Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Kulemaskan otot-otot tubuhku yang tegang karena hampir tiga jam berkutat di tempat yang sama. Pantatku bahkan mulai kebas akibat terlalu lama duduk. Leherku lebih parah lagi. Aku menggerak-gerakkan leherku agar pegalnya mereda. Tak lupa kupejamkan mata. Memandangi layar komputer selama itu memang tidak baik dilakukan. Mata terasa lelah dan apabila kupaksakan lebih lama akan membuat pusing mendera. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain tidur.
Aku melepas kacamata yang kukenakan. Kupijat pelan pangkal hidungku untuk meredakan rasa pegal di sana. Terlalu lama memakai kacamata juga akan membuat mata cepat lelah. Karena itu, aku cuma menggunakannya saat bekerja. Di hari-hari biasa, aku lebih nyaman melepasnya, meski penglihatanku sangat terbatas. Maklum, mataku minus. Jadi, tanpa kacamata akan mengurangi fokus pandanganku. Semua terlihat buram.
Aku beranjak dari kursi. Sedari tadi, aku terpikir untuk menyeduh segelas kopi. Tapi, ini sudah jam sembilan malam. Aku takut nanti akan sulit tidur. Lalu, aku berpikir kenapa tidak membuat segelas cokelat panas? Atau justru segelas susu cokelat panas? Katanya, meminum susu sebelum tidur akan membuat tidur lebih nyenyak. Aku belum berniat tidur. Masih terlalu dini dari jam tidurku yang biasanya lewat tengah malam. Tetapi, kenapa tidak? Aku ingin bersantai sembari menikmati segelas susu cokelat panas.
Aku mengambil sebuah mug dari rak piring kecil yang sengaja kuletakkan di dalam kamar. Setelah menuangkan dua sendok makan susu bubuk ke dalamnya, aku mengisinya dengan air panas dari dispenser yang berada persis di sebelah rak piring. Tak lupa diaduk dan segelas susu cokelat panas pun siap untuk dinikmati.
Beginilah kesenangan menjadi anak kos. Aku tak perlu keluar kamar hanya untuk membuat minuman. Hanya perlu berjalan dari sudut ke sudut atau sisi ke sisi. Luas kamar juga tidak besar. Mau mengelilinya tujuh kali pun tidak akan membuat lelah. Yang ada justru pusing efek dari berputar-putar di tempat yang sama.
Aku naik ke atas tempat tidur setelah sebelumnya mengambil sebuah meja lipat kecil dan meletakkan laptop serta gelas yang kubawa di atasnya. Aku bergerak dengan hati-hati. Tentu, aku tidak ingin membuat masalah dengan menumpahkan minumanku dan membasahi barang-barang di sekitarnya. Bukannya beristirahat, bisa-bisa lelahku semakin bertambah karena membereskan apa pun bentuk kecerobohan yang seharusnya dapat kuhindari.
Ranjangku ini tidak besar. Memang mau sebesar apa ranjang anak kos? Lebarnya sekitar satu meter, jadi cuma muat untuk ditiduri satu orang. Jika ada teman yang menginap, aku sudah mempersiapkan tikar dan kasur lipat yang bisa mereka gunakan. Tapi, jarang ada yang menginap di sini. Sahabat baikku berasal dari kota ini. Aku pun lebih sering menginap di rumahnya dibanding sebaliknya.
Aku menyalakan laptop putihku dan mulai berselancar mencari file yang tersimpan di dalamnya. Waktu istirahatku biasanya kugunakan untuk menonton, entah itu film atau serial TV. Paling sering drama Korea. Oh, aku juga mirip dengan gadis-gadis kebanyakan yang menikmati tontonan dari negeri ginseng itu. Aku bahkan memiliki daftar drama favorit yang tak bosan kutonton berulang kali. Yang membedakan, mungkin, tontonanku tak selalu berasal dari negara tersebut. Aku juga menikmati tontonan dari negara Asia lain atau negara mana pun selama memang menarik minatku. Contohnya, minggu lalu aku baru saja menyelesaikan anime Naruto, padahal sudah kali ke-sekian aku menontonnya.
Baru sepuluh detik episode pertama dari sebuah drama Korea terpampang di layar laptopku, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk dan menginterupsi kesenanganku yang baru akan dimulai. Diva, sahabat karibku, menelepon. Alisku berkerut, menerka-nerka tujuannya meneleponku. Tidak biasanya ia melakukannya. Kami lebih sering bercerita lewat pesan. Jarang sekali menggunakan panggilan suara, kecuali dalam keadaan mendesak.
"Halo," sapaku memulai percakapan.
"Halo, Lin. Lagi apa?" Terdengar suara Diva dari seberang sana.
Aku melirik pada tontonan yang terpaksa ku-pause demi mengangkat telepon darinya. "Nonton drakor," jawabku singkat.
"Apa?" tanyanya antusias. Aku dan Diva memang memiliki hobi yang sama--menonton drama Korea. Kami bahkan bisa seakrab ini karena hal itu. Ketenaran drama Korea ternyata tak hanya menambah deretan penggemarnya di Indonesia, melainkan juga bisa mendekatkan dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal.
"Signal." Aku menyebutkan sebuah drama ber-genre misteri pada Diva. Aku memang menyukai tontonan dengan genre tersebut karena menurutku, akan bosan jika harus menonton adegan romantis terus-menerus. Dengan adanya misteri yang harus dipecahkan, alur cerita menjadi lebih menarik dan menegangkan.
"Oh."
Diva pasti tahu judul drama yang kumaksud. Selera tontonan kita hampir sama. Dan ya, ia pun sudah menonton drama tersebut. Sama sepertiku, ia juga menjadikan Signal sebagai salah satu drama favoritnya. By the way, aku sudah beberapa kali menonton ulang drama itu.
"Kalau aku lagi baca komik. Tentang vampir," ujarnya memberitahukan kegiatannya akhir-akhir ini. Selain menonton, ia juga suka membaca komik.
Aku bergumam pelan. Teringat olehku ada sebuah judul komik yang ingin kubaca. Tapi, mood-ku belum benar-benar terkumpul untuk melakukannya. Jadi, keinginan itu hanya bertahan sebagai keinginan dan entah kapan dapat terwujud.
"Eh iya, Lin. Besok kamu punya rencana apa?"
"Nggak ada," jawabku cepat. Sabtu adalah hari liburku dan aku tak mempunyai janji dengan siapa pun besok. "Ada apa?"
"Bisa membantuku? Ada klien yang ingin ditemani ke acara kondangan."
Bila aku membuka jasa pembuatan ilustrasi, maka Diva pun juga menawarkan jasanya. Ia mendirikan jasa pacar sewaan. Iya, pacar sewaan yang sering muncul di sinetron atau FTV. Dan ini pacar sewaan yang murni hanya bertugas menemani klien. Bisa untuk diajak ke acara kondangan, acara reuni, nge-date berdua, atau sekadar menyewa status sebagai pacar.
"Kenapa aku? Yang lain nggak ada?" tanyaku merujuk pada beberapa karyawannya. Bisakah aku menyebut mereka karyawan? Intinya, orang-orang yang bekerja dengan Diva karena wanita itu bertindak selaku perantara antara si pacar sewaan dan si penyewa.
Yang pasti, aku bukan salah satu dari mereka. Yah, meski harus kuakui bahwa aku sudah beberapa kali melakukannya. Itu pun karena Diva yang meminta bantuanku saat seluruh pegawainya sudah ter-booking. Akhir pekan memang menjadi hari-hari tersibuk bagi si pacar sewaan. Hampir seluruh acara santai atau berkumpul diadakan di akhir pekan. Dan aku mau tak mau membantunya demi loyalitas pertemanan. Tentu, ada berbagai syarat yang kuajukan. Apa kali ini ia juga sedang kehabisan pegawai?
"Ada. Tapi, ini yang meminta tolong adalah teman SMA suamiku. Dan sepertinya yang cocok cuma kamu." Ia beralasan.
Aku berpikir. Jika orang itu seangkatan dengan Leo, maka ia berusia tiga puluh satu tahun. Ia harusnya lebih dewasa dariku. Aku malas bila harus bekerja dengan yang berusia lebih muda. Rasanya seperti berkencan dengan adikku sendiri. Tapi, yang lebih tua tak jarang menyewa untuk diajak ke acara pertemuan keluarga. Biasanya untuk menghindari tagihan menikah. Dan aku juga malas kalau harus berpura-pura di situasi tersebut.
Tetapi, bukankah si klien hanya ingin ditemani ke acara kondangan? Sepertinya, tidak buruk. Keadaan pesta yang ramai bisa meminimalisir interaksiku dengan para kenalannya. Dan berapa lama, sih, durasi menghadiri kondangan? Jika hanya sebagai tamu, tebakanku, tak lebih dari tiga jam. Lebih singkat lebih baik.
"Oke."
"Thank you, Lin. Aku confirm dulu ke orangnya. Kalau dia setuju, nanti aku kirim kontaknya ke kamu." Suara Diva terdengar girang.
"Iya," balasku setengah tersenyum sebelum panggilan telepon kami berakhir. Satu hal melintas di benakku. Apa yang sebaiknya kupakai besok?
Aksara Bumi Hermawan.Itu adalah nama pria yang menjadi pasanganku hari ini. Dengan kata lain, ia merupakan penyewa jasaku. Atau yang lebih gampang dimengerti, aku adalah pacar sewaannya selama beberapa jam ke depan. Kami belum pernah bertemu. Pun dengan bertatap muka. Aku hanya melihat rupa dirinya dari foto yang dikirimkan Diva padaku. Tujuannya agar aku mendapat gambaran seperti apa kekasih satu hariku itu.Semalam, aku menelepon Aksara untuk memastikan peran yang akan kumainkan. Seperti yang Diva bilang, ia memintaku menemaninya datang ke pesta pernikahan salah satu temannya. Aku cuma perlu berada terus di sampingnya. Dan tentu saja, berpura-pura menjadi kekasihnya di depan semua orang, terutama bila harus bertemu orang-orang yang dikenalnya.Ia tak menuntutku dalam hal berpakaian. Tidak ada dress code atau couple dress yang mungkin sudah ia rencanakan. Biasanya, dua orang yang berpasangan akan memakai pakaian berwarna senada ke acara-ac
"Membuat cover buku, ya?"Aku mengamati kumpulan notes yang kutempel di papan dekat meja kerja. Notes beraneka warna itu berisi daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan. Biasanya, aku menyortirnya per minggu. Seluruh deadline pekerjaan di minggu yang sama akan kujadikan satu. Kemudian, aku mengurutkannya lagi berdasarkan hari deadline. Yang tercepat, tentu, perlu didahulukan.Di minggu ini, pekerjaan terbanyak yang kuperoleh adalah membuat ilustrasi sampul buku. Jumlahnya ada lima. Itu berarti dalam sehari aku harus mengerjakan dua ilustrasi karena pekerjaanku tak hanya itu saja. Ada tawaran mendesain website yang meski deadline-nya minggu depan, aku harus mulai mengerjakannya dari sekarang. Ada pula pekerjaan menggambar ilustrasi wajah klien yang ingin dibuat versi anime. Sepertinya, minggu ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk untukku.Sebelum bekerja, terlebih dulu aku mengecek situs temp
Pertama kali aku mengunjungi Jakarta adalah ketika acara wisata sekolah semasa SMP. Tempat-tempat yang kudatangi, seperti Dufan, Ancol, lalu apa lagi? Aku tidak mempunyai dokumentasinya sehingga tak ingat pernah ke mana saja. Maklum, dulu belum ada ponsel berkamera. Atau sudah ada, tapi terbatas dan terlalu mahal untuk semua kalangan. Kamera yang populer pun kebanyakan masih menggunakan roll film yang tentu perlu biaya untuk membelinya. Karena itu, foto-foto yang bisa diambil hanya sedikit dan entah menggunakan kamera siapa.Kali kedua berkunjung ke ibu kota adalah setahun lalu untuk menghadiri pernikahan sepupu. Aku beserta keluarga besar menginap di rumah om selama empat hari. Di sana, aku harus tidur ala kadarnya karena jumlah ruang yang terbatas. Cukup beralaskan karpet, aku dan sepupu-sepupuku yang lain bisa istirahat di mana saja. Bisa lorong atau tempat-tempat lain yang dirasa lega. Dan Jakarta itu panas. Kipas angin tak hentinya berputar selama kami ada di san
"Biar aku saja."Aksara menolak uluran tanganku yang berniat membawa sendiri barang-barang bawaanku. Ia juga menolak bantuan seorang pria paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh usai menutup gerbang tinggi di belakangnya. Aku pun cuma bisa berdiri di sebelah Aksara dan memperhatikan lelaki itu mengeluarkan ransel dan koperku dari dalam bagasi mobilnya."Sudah kubilang aku sudah menyiapkan semuanya, termasuk peralatan menggambar yang bisa kamu pakai di sini." Sebuah protes ia ajukan setelah aku menyebutkan isi ranselku padanya."Kamu belum bilang soal peralatan menggambar," sanggahku cepat. Seingatku, ia tidak mengatakan apa pun mengenai hal itu padaku. Lagi pula, peralatan yang kubawa hanya sebuah laptop, drawing pad, buku yang biasa kugunakan untuk membuat sketsa atau draft ilustrasi, serta alat tulis. Aku biasa membawanya ke mana-mana bersamaku. Jadi, aku sama sekali tak merasa kerepotan."Benarkah?"Aku menganggukka
Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup
Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den
"Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia
Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal
"Lagi sibuk, Kak?" Kepala Nuri menyembul dari balik celah pintu kamar yang terbuka. Rambut panjangnya terkuncir kuda dengan sedikit berantakan.Aku yang mendengar ketukan pintu darinya memang sudah mempersilakannya masuk tepat sebelum pintu kamarku dibuka olehnya. "Nggak terlalu. Kakak cuma lagi membuat sketsa," jawabku, memberitahukan kegiatan yang tengah kulakukan. Kurapikan letak kacamata bulatku yang agak melorot. "Kenapa, Dek?""Boleh masuk?""Masuk saja."Nuri memperlebar celah pintu kamar, lalu berjalan masuk menghampiriku. "Ini project yang Kakak bilang itu, ya?" tanyanya setelah sampai di sebelahku. Kedua matanya tak luput mengamati hasil pekerjaanku yang tersebar di atas meja. "Gambarnya lucu, Kak." Ia melontarkan komentarnya.Aku tersenyum. Sedari tadi aku memang berkutat dengan pekerjaan yang menjadi alasan utamaku berada di rumah ini. Tanganku dengan lincah bergerak di atas kertas putih, merealisa
"Bapak tunggu di luar, ya, Neng," ujar Pak Amin yang ikut keluar bersamaan denganku dari dalam sedan hitam yang tadi kunaiki. Tentu, dengan Pak Amin sebagai sopirnya."Pak Amin pulang saja. Nggak perlu menunggu Alin," tolakku halus. Jujur, baru sekali ini aku merasakan diantar oleh sopir. Maksudku, benar-benar seorang sopir yang dipekerjakan di sebuah keluarga. Karena itulah, rasa tak nyaman muncul kala Aksara mengusulkan ide ini dan langsung mendapat dukungan dari Mama. Dan ditunggu? Aku bahkan tak suka membuat orang lain menunggu.Aku sudah menolak. Tetapi, seperti yang telah kuduga, aku kalah. Alasan mereka terlalu rasional sehingga tak mampu kubantah lagi."Nggak apa-apa, Neng. Bapak sudah mendapat amanat dari Ibu untuk mengantarkan dan menunggu Neng Alin di sini," balas Pak Amin yang memaksaku menelan kembali penolakanku tersebut. Kuasa Mama begitu sulit untuk dilawan."Tapi, Alin mungkin lama. Bapak nggak
Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat ketika kulihat jam digital di sudut layar komputer di hadapanku menunjukkan pukul sebelas malam. Ini bukan merupakan rekor termalamku bekerja. Aku pernah memulai pekerjaanku lewat tengah malam. Tentu, dengan jam tidur yang berubah lebih awal, yakni kala malam baru dimulai.Contohnya saja hari ini. Berhubung aku telah meneruskan jam tidur siangku hingga petang usai, hal ini berimbas pada waktu kerjaku yang ikut berubah. Tapi, aku memang tak memaksakan diri. Aku bahkan tak menyangka akan tetap memiliki waktu untuk bekerja karena sedari awal, otakku sudah membayangkan istirahat nyaman di sepanjang hari pertamaku sampai di rumah Aksara. Jadi, selesainya satu ilustrasi serasa menjadi bonus untukku.Kuambil mug berukuran sedang yang sengaja kuletakkan dekat dengan dinding agar aman dari pergerakan tanganku. Mug abu-abu ini berisi minuman cokelat yang, jujur, aku tak ingat lagi kapan membuatnya. Mungkin, sejam yang lalu karena k
Apa kalian tahu? Sejujurnya, ada hal kecil yang terkesan sepele, namun cukup membuatku pusing selama beberapa hari belakangan memikirkannya. Ini adalah tentang caraku berpakaian selama berada di rumah Aksara. Maksudku, style santai ala rumahan seperti apa yang ingin kuperlihatkan di depan keluarganya.Aku tidak mungkin menunjukkan cara berpakaianku ketika hanya sendirian di kamar kos dengan pintu yang nyaris selalu tertutup. Gayaku bahkan lebih barbar dari saat berada di rumah. Lumayan sering aku memakai hot pants yang kalian tahu sendiri sependek apa celana itu. Tak jarang pula aku beralih mengenakan daster tak sampai selutut dan tanpa lengan. Maklum, tempat kosku memang khusus diperuntukkan untuk kaum hawa. Jadi, wajar jika kami, para perempuan penghuni kos, berkostum sekadarnya kala berada di area kos. Kenyamanan menjadi yang utama. Toh, sebagian besar waktu kami dihabiskan di dalam kamar.Tetapi, aku tidak mungkin bergaya demikian, buk
Menurut Diva, jurus terjitu untuk dekat dengan calon mertua adalah dengan bersikap baik pada mereka. Dan yang paling penting, menunjukkan kedekatan dan hubungan baik dengan si pasangan. Itu semua kata Diva. Bukan aku.Entah ucapannya benar atau tidak, aku tetap mengikuti sarannya. Bukankah bersikap baik pada orang lain merupakan perbuatan terpuji? Pelajaran sekolah yang kuterima semasa tahun awal SD jelas-jelas menjabarkan hal tersebut. Apa lagi selain bersikap baik? Ramah, sopan, senang membantu, tidak bohong, dan teori kebaikan lainnya. Padahal anak umur segitu belum memahami benar sebuah teori tanpa contoh nyata di depan mata mereka. Tapi, ya sudahlah. Masa itu sudah lama berlalu.Aku meninggalkan kamar kosku yang nyaman di malam hari. Berhubung akan pergi lumayan lama, aku menitipkan kunci kamarku pada Diva dan memintanya untuk sekali-sekali menengok kamarku. Tenang, aku meninggalkannya dalam keadaan bersih. Dan siapa pun yang mengenal baik diriku pasti tahu
Kertas yang awalnya putih bersih itu, kini ternoda oleh goresan-goresan grafit hitam membentuk sebuah sketsa monokrom. Tanganku sibuk bergerak, membuat garis lurus tegak dan terkadang miring. Kutambahkan detail sejauh yang bisa kuingat dari rumah itu. Rumah Aksara.Ini bukan bagian dari pekerjaanku. Aku melakukannya murni untuk menghilangkan kebosanan yang mendera sedari siang. Entah sejak kapan, sketchbook dan pensil ini ada di tanganku. Lebih-lebih, aku tak ingat kapan memulai keasyikan ini. Dan kenapa harus rumah Aksara?Tiba-tiba sebuah kesadaran menerjangku. Potongan ingatan yang tadinya tak kutemukan seketika merangsek masuk ke dalam otak. Aku berniat membuat komik. Kisah seorang bangsawan modern. Oleh sebab itu, rumah Aksara rencananya akan kugunakan sebagai salah satu latar tempatnya.Seharian kemarin, aku menghabiskan waktu rehatku dengan membaca komik yang sudah lama sekali ingin kubaca. Tentang perjalanan antar dimensi. Mungkin, karena terlal
"Bagaimana liburannya kemarin?" tanya Diva, sama sekali tak mau menyembunyikan wajah penasarannya.Aku sibuk mengunyah makanan di dalam mulutku. Pagi-pagi sekali, ia datang dan mengetuk pintu kamarku dengan tak sabaran. Suara ketukannya bahkan masuk ke dalam mimpi, membuatku bertanya-tanya kenapa terdengar sangat nyata. Lalu, panggilan Diva menyadarkanku bahwa semua itu bukan mimpi.Rasanya ingin marah begitu tahu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia tetap bertandang, padahal tahu betul aku masih tidur di jam segitu. Aku butuh banyak tidur setelah menjalani perjalanan kerja singkatku.Untung ia membawa sarapan untukku. Sekotak bubur ayam panas lengkap dengan kuah serta kerupuk. Perutku seketika menggeliat minta diisi. Maka, aku mempersilahkannya masuk. Ia duduk di satu-satunya kursi di kamarku. Sementara aku kembali ke atas kasur dan mulai membuka kotak makanan darinya."Kerja. Itu namanya perjalanan kerja." Aku meralat ucapannya. Enak saja ia
Tanganku bergerak-gerak mencari letak ponselku yang tak henti berdering. Aku tahu itu merupakan suara alarm yang kusetel beberapa jam lalu. Aku tak hanya memasang satu, namun empat alarm dengan rentang waktu setengah jam. Kenapa aku melakukannya? Ini untuk memastikan aku benar-benar bangun dari tidurku, bukan bangun untuk mematikan alarm saja.Dengan mata berat, aku menyentuh secara asal tombol yang kuharap adalah untuk mematikan deringnya. Tapi tampaknya, aku salah memilih tombol. Suara alarmku masih terdengar dan justru semakin keras karena aku memang mengaturnya demikian. Akhirnya, aku bangkit dari posisi tidurku. Kupaksa mataku agar terbuka lebar. Kali ini, tombol di layar ponselku terlihat jelas. Aku pun menggeser pilihan untuk mematikan suara yang telah merusak tidurku.Aku baru bisa tidur lewat dari jam dua pagi, seperti malam sebelumnya. Efek menonton film horor sungguh luar biasa. Aku terbayang-bayang kengeriannya hingga setiap kali memejamkan mata, otakku den
Setelah mendapat istirahat yang cukup, aku merasa bersemangat untuk mulai kembali bekerja. Aku melanjutkan pekerjaan mendesain website yang sudah separuh kukerjakan. Sebenarnya, yang kubuat adalah layout desain website yang akan klien luncurkan. Ini hanya sebuah gambaran karena aku tidak mempunyai kemampuan untuk benar-benar mewujudkannya ke dalam situs website. Klien sudah memiliki tim tersendiri yang bertugas mengerjakannya.Aku mewarnai beberapa bagian dari gambarku dengan warna pink. Situs tersebut milik sebuah brand komestik yang menggunakan pink di semua kemasan produk yang dikeluarkannya. Jadi, wajar apabila aku memakainya di ilustrasi buatanku. Lagi pula, hal ini juga merupakan permintaan dari klien. Tentunya, mereka ingin menggunakan warna yang sudah menjadi simbol ke dalam semua barang yang berkaitan dengan brand mereka.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu menginterup