Bukan rumah, tempat yang Mahira datangi adalah sebuah kamar hotel. Si perempuan maklum, sebab setahunya Riga memang tidak berasal dari kota ini. Pria itu datang tiga hari lalu untuk menemui keluarga Mahira, dan nantinya akan pergi lagi.
Menekan bel kamar itu, Mahira disambut seorang lelaki yang baru pertama kali dilihat."Saya mencari Riga. Benar dia menginap di sini?" tanya Mahira sopan.Si lelaki berambut coklat tersenyum ramah. "Benar. Tapi, dia sedang tidak ada."Pria itu membuka pintu lebih lebar. "Masuk saja, aku akan hubungi dia."Tawaran itu membuat Mahira ragu untuk sesaat. Haruskah ia masuk? Bagaimana juga, tempat itu asing. Pun, ia tak kenal pria berambut coklat tadi. Namun, bukankah Hira punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan dengan Riga?Lagipula, menurut Leoni, yang memberikan alamat ini adalah Riga sendiri kemarin. Tidak mungkin salah, 'kan?"Baiklah," putus gadis itu pada akhirnya. Ia melangkah masuk ke kamar. "Tolong beritahu Riga."Mahira dipersilakan duduk. Ia disuguhi segelas air putih. Orang di kamar itu memperkenalkan diri usai menelepon Riga."Aku Alex," katanya sembari mengulurkan tangan.Mahira menjabat tangan Alex. "Mahira. Kakaknya Leoni."Mata Alex tampak melebar. "Ah, kakaknya Leoni? Leoni calon istrinya Riga?"Mahira mengangguk. Perasaannya sedikit tenang. Alex tahu soal Leoni, itu artinya pria itu cukup dekat dengan Riga."Kau mau sesuatu yang lain? Aku pikir tadi kau orang lain, karena itu hanya kuberikan air putih."Pengakuan yang terasa jujur itu membuat Mahira mengulas senyum. Gadis itu menggeleng. "Ini saja cukup."Mahira meraih gelas itu. Meneguk isinya hingga tersisa setengah. Tanpa tahu kalau beningnya air tadi menyembunyikan sebuah muslihat dari Alex.***Mahira terbangun dengan kepala yang terasa berputar dan sakit. Perempuan itu butuh beberapa menit untuk mengumpulkan tenaga dan kesadaran, hingga akhirnya bisa menguasai keadaan sekitar.Perempuan itu tersentak dengan perasaan hampa dan kalah. Menyadari tubuhnya yang polos di bawah selimut, Mahira menggigil marah dan takut. Sesuatu sudah dicuri darinya.Ia mendudukkan tubuh yang terasa sakit. Mengedarkan pandang ke sekeliling. Mahira masih di kamar hotel. Kamar hotel Riga.Mahira mencoba mengingat kejadian sebelum ini. Mulanya samar, perlahan semua menjadi jelas. Tadi, sehabis minum air yang Alex suguhkan, ia merasa luar biasa mengantuk."Mari bersenang-senang, Sayang."Kalimat itu dilontarkan oleh Alex. Kemudian Mahira tak tahu apa yang terjadi, hingga akhirnya ia bisa berada di keadaan sekarang.Berusaha tenang, Mahira mulai mengenakan pakaiannya kembali. Rasa perih dan tak nyaman di antara kaki membuatnya bersumpah akan melenyapkan Alex setelah ini.Mahira sungguh menyesal. Harusnya ia tak percaya begitu saja pada Alex. Sekali pun ada kemungkinan pria itu kerabat dekat Riga. Sial sekali.Niat Mahira datang ke sini adalah demi memastikan ia dan keluarga tidak tertipu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Hira dikibuli habis-habisan oleh Alex.Usai berpakaian, Mahira memeriksa waktu. Sudah pukul sembilan malam. Sial, berapa lama ia terjebak bersama si bajingan Alex?Memeriksa kamar itu, Mahira benar-benar tak menemukan siapa-siapa. Ia sempat berprasangka kalau Alex bersembunyi di dalam kamar mandi. Namun, kamar itu benar-benar hanya dihuni olehnya.Mahira sudah akan pergi dari sana, saat pintu terbuka dan sosok Riga muncul. Si perempuan bisa melihat raut penuh tanya di wajah calon adik iparnya."Mahira? Kau di sini?"Sial. Mahira mengusapi wajah sembari mengumpati Alex dalam hati. Jadi, tadi itu Alex hanya berpura-pura menghubungi Riga? "Kau kenal Alex?" tanya Mahira cepat."Alex? Tadi pagi aku meninggalkannya di sini. Kau sendirian di sini?""Apa hubunganmu dengan Alex?" Mahira memalingkan wajah saat mendapati Riga menatap penuh selidk pada ruam merah di tulang selangkanya."Dia sepupuku," balas Riga dengan kerutan di dahi. "Apa terjadi sesuatu, Mahira?""Di mana dia sekarang?" kejar Mahira mulai terbawa emosi."Sudah kembali ke rumahnya.""Di mana rumahnya?"Saat Riga menyebutkan nama negara dan bukannya salah satu kota yang Mahira tahu, gadis itu seketika tergamam. Ia terduduk lemas di sofa. Menatap kosong pada Riga, kemudian mulai menerka-nerka akan seperti apa nasibnya setelah ini.Mahira tak pernah menyangka jika hal sekonyol ini akan terjadi padanya. Pertama kalinya ia tidur dengan seorang laki-laki, tetapi nahas lelaki tersebut bukan seseorang yang dikehendaki atau bahkan dikenal. Ia merasa benar-benar marah, tetapi juga sedikit sedih."Terjadi sesuatu, Mahira?" ulang Riga dengan raut wajah penuh selidik.Berusaha fokus, mengesampingkan musibah yang baru saja dialami, Mahira menggeleng pada Riga."Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucapnya dengan nada serius.Riga menaikkan satu alis. Pria itu duduk di sofa yang bersebrangan dengan Mahira. "Ada apa?""Sungguh kau ingin menikahi Leoni?"Riga berdeham, mengiyakan. Mata pria itu tak lepas dari wajah Mahira. Sorotnya menelusuri mimik di sana lama-lamat, seolah ingin mencari sesuatu."Lalu, kapan tepatnya itu?"Si lelaki tersenyum sekilas. Nyaris tak terlihat. "Secepatnya.""Kau masih punya orangtua?" Mahira sedikit tak nyaman karena ekspresi tak terbaca lelaki di depannya. "Begini, aku mendengar dari Leoni kalau kau tak ingin mengundang orangtuamu saat pernikahan nanti. Boleh aku tahu kenapa?""Kau keberatan dengan itu?""Aneh. Mencurigakan," pungkas Mahira terus terang.Ada jeda beberapa menit yang diisi keheningan. Mahira masih berusaha menyelami sorot mata Riga, sementara pria itu setia dengan mimik datarnya."Dengar." Mahira berusaha membuat jelas situasi. "Yang memperkenalkanmu pada Leoni adalah aku. Jadi, aku merasa bertanggungjawab atas kesejahteraan adikku kelak. Terlebih, kalian bilang kalian akan menikah. Jadi, kuharap kau mau jujur. Apa ada sesuatu yang kau tutupi?"Mahira yang menunjukkan foto Riga pada Leoni. Saat itu, ia bertemu si lelaki di kafe, kafe yang adalah milik Riga. Entah kenapa, Mahira langsung terpikirkan untuk mengenalkan pria itu pada sang adik.Setelah memastikan Riga lajang, langsung dari mulut pria itu, barulah Mahira meminta adiknya datang ke kafe dan berkenalan dengan Riga. Mahira senang perkembangan hubungan adiknya berjalan baik. Bagus malah jika segera ke jenjang lebih serius, seperti pernikahan.Namun, pernyataan Riga soal orangtuanya yang akan absen di pernikahan, membuat Mahira tak tenang. Ia merasa itu aneh. Jika memang sudah meninggal, bisa dimaklumi. Masih hidup dan tidak diundang, rasanya aneh, bukan?Karena itulah Mahira sampai harus meminta si calon adik ipar bertemu hari ini. Mengingat, menurut Leoni, besok Riga akan kembali ke kota asalnya.Di depan Mahira, Riga tersenyum miring. "Kau sendiri? Apa ada sesuatu yang kau tutupi? Melihat kau begitu tenang setelah semua yang terjadi, apa aku salah jika menyebutmu juga mencurigakan?"Mahira mengerutkan dahi. Perempuan itu menatap acak sekitar beberapa saat, kemudian bertanya, "Maksudmu?"Riga mencondongkan tubuh. Menumpu sikunya di atas lutut. "Terjadi sesuatu di sini sebelum aku datang, 'kan?"Mata pria itu bergulir ke arah ranjang yang posisinya tepat di belakang sofa Mahira. Pandangannya berkeliaran di sana beberapa saat."Apa yang terjadi sebelum aku datang, Mahira?""Bukan apa-apa. Ha--"Riga melempar sorot tajam pada Mahira, menyela ucapan gadis itu. Kemudian, ia tersenyum miring, sembari kembali bertanya."Apa yang kau lakukan di ranjangku, Mahira?"....Mahira tak lagi bisa menahan rasa mualnya. Kebetulan pertemuan untuk membicarakan pertunangan Leoni sudah selesai, jadi perempuan itu pun bergegas meninggalkan gedung hotel. Berniat pulang duluan, tetapi ia kesulitan menemukan taksi. Berjongkok di tepian jalan, perut Mahira kembali bergejolak. Perempuan itu memuntahkan air dan liur untuk yang kesekian kalinya hari ini. Hari ini untuk pertama kalinya keluarganya bertemu orangtua Riga. Sebulan setelah Mahira meminta kejelasan dari calon adik iparnya. Alih-alih lega karena akhirnya mendapat kejelasan soal asal usul Riga, Mahira malah gusar atas keadaannya. Ia mulai memperkirakan apa kiranya penyebab dirinya terus didera keadaan seperti sekarang. Mahira merasa mual selama tiga minggu belakangan. Perempuan itu juga terlambat datang bulan. Prasangka dan firasatnya buruk soal ini, tetapi tak ingin gegabah mengambil kesimpulan. Menyeka mulutnya, berusaha mengendalikan mual dan sedikit pusing, Mahira bangkit berdiri. Saat itu matanya mend
Duduk sendirian di salah satu kursi, Mahira membuat senyum saat melihat adiknya, Leoni, turun dari panggung kemudian menghampiri. Ada perasaan senang yang menggelayuti hati si kakak. Akhirnya, hari ini ia bisa menyaksikan Leoni bertunangan dengan Riga. Pertunangan itu diadakan di sebuah gedung mewah. Meski tamu tak sampai ribuan orang, tetapi Mahira tetap senang, sebab adiknya terlihat bahagia. Terlebih, setelah ini, Riga berjanji akan secepatnya mengaturkan pernikahan. "Terima kasih," ucap Leoni usai memberi pelukan pada Mahira. "Kalau bukan kau yang mengenalkanku pada Riga, ini semua tak akan terjadi." Mahira menggeleng. "Aku kenalkan pun, kalau kalian memang tidak saling suka, ini semua tak akan terjadi." Leoni mengangguk saja. "Oh, iya. Aku ingin ceritakan sesuatu." Perempuan itu mendekatkan kursi pada Mahira. "Soal apa?" Mahira berusaha fokus mendengarkan, meski sebenarnya kepala penuh dengan masalah sendiri. "Aku bertanya pada orangtuanya Riga tadi. Soal harus memberikan
Ada yang ingin melenyapkannya. Demikian asumsi Mahira pagi ini, setelah ia terbangun dan menemukan diri berada di sebuah kamar yang asing. Mahira menyadari dirinya sudah diculik. Dibawa ke sebuah tempat dan dikurung. Pintu kamar itu terkunci ketika Mahira berusaha membukanya. Si gadis mengetuk, bahkan memukul-mukul, juga memanggil. Namun, tak ada orang yang menyahut atau datang. Siapa? Kenapa? Untuk apa? Siapa yang menculik Mahira? Kenapa orang itu melakukannya? Memang apa yang bisa diambil dari Mahira? Beban pikiran si perempuan makin banyak. Belum juga berhasil merampungkan masalah soal kehamilan, sekarang, sudah ada masalah bau. Perempuan itu bergerak menjauh dari pintu. Memeriksa meja dan nakas, mencari ransel dan ponsel. Namun, dua benda itu tak satu pun kelihatan. Mahira kembali menggedor pintu kamarnya dari dalam. "Hei! Apa yang kalian lakukan padaku! Keluarkan aku dari sini!" Masih tak ada sahutan. Mahira tidak menyerah. Ia terus menggedor pintu, memutar kasar kenopnya
Hal pertama yang Mahira lihat di pagi ini ketika membuka mata adalah ... Alex. Perempuan itu mengerjap. Memastikan bahwa pusing yang mendera bukan sebab ia berhalusinasi. Berkedip beberapa kali, Mahira masih melihat Alex di hadapannya. Ia pun duduk. Mahira mengangkat tangan, kemudian menemukan ada jarum infus yang tertempel di sana. Ia kembali menoleh dan masih melihat Alex di sana. "Mencariku, Sayang?" Si wanita berhenti berkedip. Sorot matanya menjadi dingin. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, tangan Mahira berhasil memberikan satu tamparan keras di wajah Alex. "Bajingan," maki Mahira pelan, tetapi penuh kebencian. Alex menggosok pipinya sesaat. Pria itu tersenyum jenaka. Seolah makian atau tamparan Mahira tak berarti apa-apa untuknya. Lelaki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Mahira. "Bagaimana keadaanmu?" Mata Alex melirik ke arah perut si perempuan. "Kau hampir membahayakan bayimu, Sayang." Kemarin, Mahira nyaris jatuh dari atas pohon. Kelelahan, pun perempuan itu ke
Warning! 18+ "Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas
Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan. "Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."
"Selamat pagi, Sayang?"Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex mengge
Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka