Hal pertama yang Mahira lihat di pagi ini ketika membuka mata adalah ... Alex.
Perempuan itu mengerjap. Memastikan bahwa pusing yang mendera bukan sebab ia berhalusinasi. Berkedip beberapa kali, Mahira masih melihat Alex di hadapannya. Ia pun duduk.Mahira mengangkat tangan, kemudian menemukan ada jarum infus yang tertempel di sana. Ia kembali menoleh dan masih melihat Alex di sana."Mencariku, Sayang?"Si wanita berhenti berkedip. Sorot matanya menjadi dingin. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, tangan Mahira berhasil memberikan satu tamparan keras di wajah Alex."Bajingan," maki Mahira pelan, tetapi penuh kebencian.Alex menggosok pipinya sesaat. Pria itu tersenyum jenaka. Seolah makian atau tamparan Mahira tak berarti apa-apa untuknya.Lelaki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Mahira. "Bagaimana keadaanmu?" Mata Alex melirik ke arah perut si perempuan. "Kau hampir membahayakan bayimu, Sayang."Kemarin, Mahira nyaris jatuh dari atas pohon. Kelelahan, pun perempuan itu keras kepala untuk bertahan di atas pohon. Karena itulah Alex ada di sini sekarang.Tak puas hanya menampar, Mahira melepas jarum infus. Pukulan bertubi-tubi ia berikan pada Alex. Kepala, wajah, semua bagian tubuh Alex yang bisa ia jangkau, Mahira pukul.Napasnya yang tersengal membuat Mahira berhenti menganiayai Alex. "Kenapa kau lakukan itu padaku?"Alex mengusap sudut bibirnya yang terasa sedikit sakit. "Kau cantik," balasnya tanpa menatap si perempuan.Saat Mahira kembali hendak melayangkan pukulan, kali ini Alex sigap mencekal tangan perempuan itu."Cukup. Kau bisa pingsan." Alex bisa melihat bagaimana Mahira kesulitan mengambil napas. "Albert!" panggilnya.Tak lama, Albert datang."Ambilkan air. Panggilkan dokter," perintah Alex, sembari memaksa Mahira berbaring.Albert pergi menjalankan perintah, Mahira kembali berusaha bangun. Namun, Alex menekan bahunya, hingga perempuan itu kembali terbaring."Jauhkan tanganmu dariku, Bajingan!"Menggeleng tenang, Alex mengambil seutas tali dari laci nakas. Ia satukan kedua tangan Mahira ke atas kepala perempuan itu, kemudian mengikatnya ke kepala ranjang."Berbaring. Kau bisa pingsan lagi."Alex menyelipkan bantal di bawah kepala Mahira. Saat Albert datang membawakan air, ia bantu si perempuan minum. Namun, Mahira malah menyemburkan air itu ke wajahnya."Lepaskan aku, Bajingan. Kau kira kau bisa melakukan ini padaku?"Menyeka wajahnya yang basah, Alex tak menyerah. Ia kembali membantu Mahira minum. Kali ini perempuan itu menurut, setelah Alex sedikit melotot.Alex kembali duduk di tepian ranjang. Ia menatapi wajah Mahira lumayan lama, kemudian tersenyum."Dengarkan aku ...." Pria itu memindahkan pandang ke arah dua lengan Mahira yang terikat ke atas. "Astaga, kenapa kau cantik sekali?"Pria itu beranjak, memilih duduk di kursi dekat ranjang. Berusaha bersikap hati-hati."Dengarkan aku," ulangnya berusaha fokus menatap wajah Mahira dan bukan yang lain. "Jangan persulit dirimu. Tinggal di sini, setidaknya sampai anakmu lahir."Mahira membuang wajah. Hatinya entah kenapa terasa sakit mendengar Alex bicara begitu. Anakmu? Hanya anak Mahira?"Itu tidak sulit. Kau hanya perlu jadi penurut dan berhenti mencoba kabur. Kau tak akan bisa ke mana-mana. Sekali lagi kuberitahu, kau tidak akan bisa ke mana-mana lagi, Mahira."Tak ada yang bicara lagi selama bermenit-menit setelahnya. Mahira berusaha tetap tenang dan mencari jalan keluar. Alex asyik menatap wajah perempuan di hadapannya."Kau ingin sesuatu sekarang?" tanya Alex memecah hening.Mahira menengok. "Membunuhmu?"Tawa Alex langsung menyembur setelah mendengar itu. "Apa kau sangat membenciku? Salahku apa?""Salahmu apa? Apa meniduri perempuan yang bahkan tidak kau kenal bukan kesalahan?"Alex diam untuk sesaat. Pria itu tersenyum penuh arti setelahnya. "Kau membenci orang yang menidurimu?""Lalu aku harus berterima kasih?" balas Mahira dengan senyum miring."Kau marah karena kau hamil?" tebak Alex.Si perempuan merapatkan bibir. Ia memalingkan wajah sekali lagi."Kalau begitu, apa kau mau aku melenyapkan janin itu untukmu?"Sadar kakinya tidak terikat, Mahira melayangkan satu tendangan ke wajah Alex. Ia puas karena berhasil membuat lelaki itu tersungkur dari kursi, meski punggung kakinya terasa berdenyut sakit."Mahira!" bentak Alex tak terima. Ia memegangi pipinya yang tadi ditendang. Matanya menatap galak si perempuan.Mahira langsung membalik tubuh. Memunggungi Alex. Meski berusaha tak takut, tetapi Mahira tetap merasa gugup saat mata tajam Alex menatapnya seperti barusan. ***Esok paginya, Mahira tak lagi menemukan Alex di rumah itu. Ikatan di lengannya juga sudah dilepas. Pagi ini, Mahira diajak, lebih tepatnya dipaksa Albert untuk sarapan di meja makan.Mengabaikan rasa marahnya, pagi ini Mahira menikmati sarapan dengan tenang. Ia memikirkan janin di yang berada di kandungan. Jika terus-terusan kurang nutrisi, perkemabngan janin itu bisa terganggu."Di mana bajingan itu?" tanya Mahira usai menandaskan isi gelasnya."Tuan Alex?""Memang ada bajingan lain selain dia?""Tuan Alex sudah pergi dini hari tadi. Kembali ke rumahnya."Mendengar panggilan Tuan yang Albert sematkan, Mahira menjadi makin yakin jika benar Alexlah dalang di balik semua keburukan yang menimpanya."Tuan Alex membawakan banyak pakaian untuk Nona. Dia juga berpesan untuk membiarkan Anda keluar rumah."Mata Mahira melebar. Ia terlihat luar biasa antusias. "Keluar rumah? Benarkah?"Albert mengangguk. "Bersama saya dan beberapa pengawal."Beberapa pengawal. Mahira kira mungkin hanya dua. Ternyata, saat ia bilang ingin keluar rumah untuk sekadar berjalan-jalan, lima iring-iringan mobil mengikuti mobil yang Mahira tumpangi.Si perempuan menyandarkan kepala ke kaca mobil. Wajahnya terlihat mendung. Kalau begini, apa bedanya?"Anda boleh menurunkan kaca jendelanya, Nona," saran Albert yang duduk di samping Mahira.Mahira hanya melirik kesal. "Apa ini namanya boleh keluar rumah? Kau kira aku ini apa?"Albert jadi serba-salah. "Bukankah tadi Anda bilang hanya ingin diajak berkeliling dengan mobil?" Ia bingung kenapa Mahira masih saja protes."Apa gunanya kalau kau juga membawa lebih dari dua puluh orang?"Mahira sangsi dirinya akan bisa kabur. Kalau hanya diikuti dua atau tiga pengawal, mungkin ia bisa melarikan diri. Jika sampai ada dua puluh orang? Bagaimana Mahira bisa lepas dari pengawasan?"Itu harusnya tidak masalah, Nona," balas Albert dengan senyum pongah. "Kecuali, Anda merencanakan kabur. Dua puluh orang cukup untuk mencari Anda."Alasan ingin berkeliling gagal, Mahira meminta segera pulang. Setibanya di rumah, perempuan itu menemukan Alex di kamarnya."Bagaimana jalan-jalanmu?" Lelaki itu langsung berdiri dan memundurkan langkah saat tahu Mahira mengambil ancang-ancang untuk memukulnya."Aku benar-benar akan membunuhmu!" Tak tahu harus melampiaskan rasa kesal dan putus asanya pada siapa, Mahira memilih meluapkan itu pada Alex.Alex memegangi kedua tangan Mahira yang berusaha memukulnya. "Hei, apa kau begitu membenciku? Aku salah apa?"Salah apa? Mahira menginjak kaki Alex sekuat yang dia bisa."Kau membuatku hamil dan masih bertanya salahmu apa?"Mahira menjambak rambut Alex. Tangannya terasa lengket karena jel rambut yang lelaki itu pakai. Belum puas, ia mencubit lalu mencakar pipi Alex. Si lelaki berteriak, seolah perutnya ditusuk."Bajingan! Aku bersumpah akan membunuhmu!" teriak Mahira puas.Berusaha melepaskan diri dari Mahira, Alex berhasil menarik lepas rambut dan pipinya dari perempuan itu."Aku tidak bersalah, Mahira! Kenapa kau terus-terusan memukuliku?!" protes pria itu tak terima.Mahira berusaha mengatur napas. Perempuan itu mengambil ancang-ancang untuk kembali mencakar wajah Alex, tetapi mendadak terdiam saat si lelaki buka suara."Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"....Warning! 18+ "Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas
Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan. "Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."
"Selamat pagi, Sayang?"Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex mengge
Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Karena sebuah pemikiran konyol, malam ini Mahira tak bisa tidur. Berulang kali perempuan itu mengubah posisi. Menghadap ke kanan, kiri, ia ragu untuk menelungkup mengingat janin di dalam rahim. Entah kenapa, saat makan malam tadi, Mahira terpikirkan sesuatu yang luar bisa aneh. Itu semua karena ia makan satu meja dengan si bajingan Alex. Mahira mendadak penasaran. Apa warna di rambut Alex itu asli atau hanya buatan. Mahira mendadak punya rasa penasaran soal apakah anaknya nanti akan punya rambut coklat atau hitam. "Kenapa, Mahira? Ada yang sakit?" Alex yang sejak tadi pura-pura tidur akhirnya menghampiri si perempuan. Laki-laki itu duduk di tepian kasur Mahira. "Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut. Si perempuan menggeleng. "Aku hanya tidak bisa tidur.""Mau kubuatkan teh? Susu?" Mahira menggeleng. "Kau bisa membawaku jalan-jalan?" Mata Alex yang semula mengantuk, sedikit terbelalak. Sudah pukul berapa sekarang? Mahira ingin jalan-jalan? "Kau bisa kena angin, Sayang. Mau j
Dalam hidup, Mahira pernah satu kali merasa benar-benar tertipu. Saat umurnya 17 tahun dan hampir menjadi palayan di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah.Saat itu, dua orang penagih datang ke rumah mereka. Menagih utang yang jumlahnya tidak sedikit. Nyaris lima puluh juta. Mahira dan ibunya jelas bertanya mengenai kejelasan asal utang tersebut. Ia dan sang ibu ingat tak pernah meminjam uang sebanyak itu dari siapa pun. Selama ini mereka hidup sederhana, jarang sekali membeli barang-barng mewah.Lalu, Mahira diberitahu. Ayahnya telah berjudi selama ini. Ayah Mahira, Adi. Pria yang terlihat dingin, tetapi tak mirip seorang penjudi. Bertahun-tahun Mahira meyakini ayahnya hanya kurang peka pada sekitar dan kurang beruntung mencari nafkah. Ternyata lelaki itu tega menyunat uang belanja demi bermain kartu. Bahkan, ayahnya meminjam uang dari lintah darat, hingga mereka punya utang sebesar lima puluh juta. Belum cukup itu semua, Adi juga lari dan membiarkan Mahira dan ibunya yang meng
"Riga, sialan! Kau bisa tidur? Mahira belum makan, b*bi busuk!" "Bedeb*h! Riga! Mahira tidak keluar kamar sejak tadi pagi! Dan kau bisa makan dengan tenang di sini?" "Riga! Perban di lengan Mahira belum diganti! Kau yang menembaknya, dasar manusia keji!" Itu hanya beberapa. Sejak mereka tiba di rumah ini tiga hari lalu, seingat Riga ia sudah mendengar makian Alex lebih dari seratus kali. Entah kenapa, sepupunya itu jadi sangat cerewet. Setiap saat Alex akan mengingatkan Riga soal Mahira sudah makan atau belum. Sudah tidur apa belum. Sudah minum susu atau belum. Dan jika jawabannya adalah belum, maka Riga diwajibkan menjadi orang yang menanggung beban, dipersalahkan. Riga muak. Maka, malam ini, setelah diusir Alex dari meja makan, lelaki itu pergi ke kamar si biang masalah. Ia menemukan Mahira sedang berbaring santai di ranjang. "Apa kau peliharaan?" Riga melipat tangan di depan dada. Mahira tak menanggapi. Perempuan itu duduk, tetapi tak menatap wajah Riga. "Apa kau masih haru
Warning! 18+ Tidak Mahira sangka Riga akan mengangguk dan menyetujui tawaran yang ia berikan. Meski senang akan segera mendapatkan kembali ponsel, Mahira tak lantas berpuas hati. Sebab sekarang ia harus sudi duduk di pangkuan si lelaki."Setengah jam. Hitung dengan benar. Keluarkan ponselmu," perintah Mahira karena tak menemukan ada jam di dinding di dapur.Riga tak membalas ucapan itu. Hanya kedua lenganyna yang bergerak ke depan dan membelit perut Mahira.Si perempuan hendak protes, tetapi Riga lebih dulu memberitahu."Kau tidak lihat ada jam di pergelangan tanganku?"Ia pun mengatupkan bibir rapat. Duduk tegak, kaku, mirip patung di atas kedua paha si lelaki yang terasa keras. Belum lagi, embusan napas Riga yang seolah sengaja dibuat pria itu kasar dan berat, terasa di sisi wajah."Jadi, di mana Alex?"Mahira berusaha menekan rasa tidak nyaman yang melingkupi. Perasaannya campur aduk. Benci, marah, rendah diri, dan juga takut. Takut sampai jantungnya terasa akan pecah. "Dia haru
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka