Ada yang ingin melenyapkannya.
Demikian asumsi Mahira pagi ini, setelah ia terbangun dan menemukan diri berada di sebuah kamar yang asing. Mahira menyadari dirinya sudah diculik. Dibawa ke sebuah tempat dan dikurung.Pintu kamar itu terkunci ketika Mahira berusaha membukanya. Si gadis mengetuk, bahkan memukul-mukul, juga memanggil. Namun, tak ada orang yang menyahut atau datang.Siapa? Kenapa? Untuk apa?Siapa yang menculik Mahira? Kenapa orang itu melakukannya? Memang apa yang bisa diambil dari Mahira?Beban pikiran si perempuan makin banyak. Belum juga berhasil merampungkan masalah soal kehamilan, sekarang, sudah ada masalah bau.Perempuan itu bergerak menjauh dari pintu. Memeriksa meja dan nakas, mencari ransel dan ponsel. Namun, dua benda itu tak satu pun kelihatan.Mahira kembali menggedor pintu kamarnya dari dalam. "Hei! Apa yang kalian lakukan padaku! Keluarkan aku dari sini!"Masih tak ada sahutan. Mahira tidak menyerah. Ia terus menggedor pintu, memutar kasar kenopnya. Sembari menilik celah lain untuk bisa keluar dari sana. Sayangnya, kamar itu tidak dilengkapi jendela. Hanya ada ventilasi kecil di bagian atas, yang sudah pasti tak cukup untuk bisa meloloskan tubuh Mahira."Permisi, Nona."Tangan Mahira berhenti memukul pintu. Ia mundur satu langkah, saat mendengar kunci pintu diputar.Pintu itu akhirnya dibuka. Seorang pria muncul dengan senyum licik yang membuat Mahira waspada."Makananmu, Nona."Lelaki itu mengangguk satu kali, kemudian seorang wanita dengan pakaian pelayan masuk membawa sebuah nampan berisi sepiring makanan dan segelas air.Mahira mengabaikan wanita itu. Ia berusaha terlihat tenang dan menatap tajam pada lelaki tadi."Siapa kau? Kenapa kau mengurungku di sini?"Lelaki itu tersenyum kecil. "Saya Albert, Nona. Dan perlu Nona ketahui, bukan saya yang mengurung Anda di sini. Saya hanya pekerja.""Siapa bosmu?" tanya Mahira langsung."Anda masih harus menunggu," balas lelaki itu. "Selagi menunggu, silakan nikmati sarapan Anda."Melihat Albert sudah akan pergi, Mahira sigap menarik lengan si lelaki. "Aku tidak mau menunggu," tuntut perempuan itu penuh penekanan.Albert menjauhkan tangan Mahira. "Jangan sia-siakan tenaga Anda. Tunggu saja, jangan berpikir akan bisa lari dari sini.""Kau pikir aku bodoh?" Mahira baru mengambil ancang-ancang untuk lari ke arah pintu, tetapi Albert lebih dulu menahan langkahnya dengan mendorong bahu perempuan itu."Jangan melakukan hal yang bisa membahayakan kehamilan Anda, Nona. Bos tidak akan suka."Albert pergi. Pelayan yang tadi mengantar makanan juga melakukan hal serupa. Mahira ditinggalkan sendiri di ruangan yang pintunya sudah dikunci dari luar. Perempuan itu punya lebih banyak pertanyaan lagi sekarang.Siapa orang yang sudah melakukan ini padanya? Mengapa bisa orang itu tahu jika saat ini Mahira sedang mengandung?***Berhari-hari sudah berlalu. Mahira semakin putus asa, sebab tak bisa berbuat apa-apa. Untuk keluar dari kamar saja pun, perempuan itu tak mampu.Rumah tempat ia disekap benar-benar penjara. Sekali pun beberapa hari belakangan pintu kamar Mahira sudah tidak dikunci dari luar, tetap saja perempuan itu tak bisa ke mana-mana.Di tiap sudut rumah berlantai satu itu diisi penjaga. Di depan pintu kamar mandi, di dapur, di teras, di halaman belakang, bahkan di belakang kamar yang Mahira gunakan.Putus asa membuat Mahira stres. Karena itu, pagi ini perempuan itu tak mampu bangkit dari ranjang. Tubuhnya lemas sebab sejak kemarin belum mendapat asupan makanan apa pun. Mahira mual sepanjang hari sejak kemarin. Kepalanya juga pusing luar biasa."Nona, makanlah sedikit." Albert kembali membujuk Mahira, usai pelayan yang biasa mengantar makanan Mahira mengadu.Di atas ranjang, Mahira hanya mampu melirik tajam pada lelaki itu. "Kau tidak mengerti? Aku bilang, aku tidak bisa makan. Aku akan memuntahkannya nanti."Menghela napas, Albert menaruh mangkuk bubur di nampan. "Kalau begitu, biar saya panggilkan dokter saja. Nona bisa pingsan kalau terus tidak makan apa pun."Albert menghubungi dokter. Setelah meminta dokter itu datang, ia kembali duduk di kursi dekat ranjang Mahira. Pria itu menaikkan alis ketika mendapati sang Nona menatapinya."Katakan padaku. Siapa bosmu?"Tersenyum licik, Albert menggeleng.Mahira menekuk wajah. "Apa kau tidak tahu kalau aku ini sedang stres?""Karena itu, jangan stres. Nona tidak lupa kalau sekarang sedang mengandung, 'kan?"Mahira memukul kasur. "Bagaimana bisa aku tidak stres? Kalian ini siapa? Kenapa kalian menculikku?"Albert bungkam. Pria itu memilih sibuk dengan ponsel dan mengabaikan protes Mahira."Baiklah. Kalau kau masih tak mau memberitahuku siapa bosmu, aku tidak sudi diperiksa dokter." Mahira menaikkan selimut hingga dagu. "Jangan bermimpi aku akan biarkan dokter itu menyentuhku!"Meski tidak menatap Mahira, tetapi Albert sukses dibuat merapatkan gigi mendengar ancaman itu. Ia yakin si Nona benar-benar akan membutikkan ancaman itu.Dan tebakan itu benar. Saat dokter yang Albert panggil datang, Mahira berteriak histeris. Perempuan itu menolak untuk disentuh, diperiksa atau diberi tindakan apa pun.Mahira bahkan memukul perawat yang berusaha menyentuhnya. Meski tenaganya sudah tak banyak, gadis itu bahkan lari dari ranjang dan main kejar-kejaran dengan dokter dan perawat yang datang.Albert sakit kepala. Ia menyerah. Maka pria itu menepi ke halaman belakang. Ia menghubungi sang tuan."Aku angkat tangan. Dia luar biasa merepotkan. Kalau kau mau dia dirawat, lakukan sesuatu."Orang di ujung sambungan memaki, Albert menahan geram."Coba saja kau urus dia sendiri. Aku tak bisa melakukan apa pun lagi. Jika kau memang tak ingin dia mati, lakukan sesuatu."Albert memutus sambungan telepon. Ia kembali ruang tamu, tempat tadi Mahira dan sang dokter berkejaran. Namun, ruangan itu sudah kosong. Hanya ada satu penjaga di sana."Di mana Mahira?""Nona lari ke halaman depan."Kaki Albert bergerak cepat. Sesampainya di teras, pandangannya langsung berkeliaran untuk mencari keberadaan Mahira. Namun, tak ia temukan gadis aneh itu.Albert melihat dokter dan perawat tadi. Ia mendekat ke sana. "Ke mana Mahira?"Dokter dan perawat yang napasnya tersengal itu serempak mendongak ke atas. Albert ikut menengadah, kemudian mengumpat."Apa yang kau lakukan di atas sana, Mahira?!"Ada sebuah pohon besar di belakang pagar rumah. Tingginya lumayan. Dan di sana, di salah satu rantingnya, Mahira sedang duduk. Albert luar biasa terkejut dan dongkol. Ia tak sangka akan ada makhluk seperti Mahira ini di muka bumi."Apa kau itu simpanse, Mahira? Turun!" Terlalu kesal, Albert melupakan sopan santun dan hanya menyebut nama Mahira, tanpa embel-embel Nona.Di atas pohon, Mahira menggeleng. Ia memeluk batang pohon erat. "Beritahu aku siapa bosmu, baru aku akan turun."Albert mengusap wajah kasar. "Kalau aku tidak mau? Kau akan terus di sana? Sampai kapan? Sampai kapan memangnya kau berani terus di sana?"Mahira menengok ke bawah, ke arah luar pagar. Perempuan itu hanya perlu melompat, ia akan bisa menginjak beton, lalu melompat ke luar. Mata sayu perempuan itu menunjukkan kilat licik setelahnya."Aku akan di sini, sampai kau buka mulut soal siapa bosmu dan kenapa kalian melakukan ini padaku. Kalau kau tidak juga memberitahu, maka ... kau pasti tahu apa yang bisa aku lakukan, 'kan?"Albert menggigit bibir. Ancaman Mahira terdengar lumayan membuat gugup. Bagaimana kalau perempuan itu benar-benar lompat? Bukan Mahira, Albert lebih mengkhawatirkan bayi di rahim si nona. Albert bisa kehilangan kepala kalau terjadi sesuatu pada janin itu.....Hal pertama yang Mahira lihat di pagi ini ketika membuka mata adalah ... Alex. Perempuan itu mengerjap. Memastikan bahwa pusing yang mendera bukan sebab ia berhalusinasi. Berkedip beberapa kali, Mahira masih melihat Alex di hadapannya. Ia pun duduk. Mahira mengangkat tangan, kemudian menemukan ada jarum infus yang tertempel di sana. Ia kembali menoleh dan masih melihat Alex di sana. "Mencariku, Sayang?" Si wanita berhenti berkedip. Sorot matanya menjadi dingin. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, tangan Mahira berhasil memberikan satu tamparan keras di wajah Alex. "Bajingan," maki Mahira pelan, tetapi penuh kebencian. Alex menggosok pipinya sesaat. Pria itu tersenyum jenaka. Seolah makian atau tamparan Mahira tak berarti apa-apa untuknya. Lelaki itu mendekat, duduk di tepian ranjang Mahira. "Bagaimana keadaanmu?" Mata Alex melirik ke arah perut si perempuan. "Kau hampir membahayakan bayimu, Sayang." Kemarin, Mahira nyaris jatuh dari atas pohon. Kelelahan, pun perempuan itu ke
Warning! 18+ "Bukan aku yang membuatmu hamil. Anakmu itu bukan anakku. Aku bersumpah, Mahira!"Mendengar kalimat itu, darah Mahira mendidih. Ia luar biasa marah. Rasanya perempuan itu benar-benar ingin menghabisi Alex.Mahira pun keluar dari kamar. Ia ingat pernah melihat tongkat bisbol dibawa salah satu pengawal yang berjaga di dekat dapur. Perempuan itu ke sana, mengambil tongkat tadi, kemudian mendatangi Alex yang sudah berada di ruang tamu.Ia sudah pernah menduga ini, bukan? Alex bisa saja tak mengakui anak yang sekarang Mahira kandung. Namun, mendengar hal itu secara langsung seperti tadi, hati Mahira benar-benar hancur.Manusia macam apa Alex ini? Sudah keji mencuri sesuatu dari Mahira, pun mengingkari kebenaran yang ada.Maka Mahira merasa tak boleh lagi menahan kemarahan. Ia ayunkan tongkat bisbol itu hingga menghantam perut Alex. Si pria memekik, kemudian terjatuh di lantai.Mahira menangis. "Aku bahkan tidak mengenalmu, tapi kau tega berbuat sejahat ini padaku? Kau pantas
Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan. "Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."
"Selamat pagi, Sayang?"Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex mengge
Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Karena sebuah pemikiran konyol, malam ini Mahira tak bisa tidur. Berulang kali perempuan itu mengubah posisi. Menghadap ke kanan, kiri, ia ragu untuk menelungkup mengingat janin di dalam rahim. Entah kenapa, saat makan malam tadi, Mahira terpikirkan sesuatu yang luar bisa aneh. Itu semua karena ia makan satu meja dengan si bajingan Alex. Mahira mendadak penasaran. Apa warna di rambut Alex itu asli atau hanya buatan. Mahira mendadak punya rasa penasaran soal apakah anaknya nanti akan punya rambut coklat atau hitam. "Kenapa, Mahira? Ada yang sakit?" Alex yang sejak tadi pura-pura tidur akhirnya menghampiri si perempuan. Laki-laki itu duduk di tepian kasur Mahira. "Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut. Si perempuan menggeleng. "Aku hanya tidak bisa tidur.""Mau kubuatkan teh? Susu?" Mahira menggeleng. "Kau bisa membawaku jalan-jalan?" Mata Alex yang semula mengantuk, sedikit terbelalak. Sudah pukul berapa sekarang? Mahira ingin jalan-jalan? "Kau bisa kena angin, Sayang. Mau j
Dalam hidup, Mahira pernah satu kali merasa benar-benar tertipu. Saat umurnya 17 tahun dan hampir menjadi palayan di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah.Saat itu, dua orang penagih datang ke rumah mereka. Menagih utang yang jumlahnya tidak sedikit. Nyaris lima puluh juta. Mahira dan ibunya jelas bertanya mengenai kejelasan asal utang tersebut. Ia dan sang ibu ingat tak pernah meminjam uang sebanyak itu dari siapa pun. Selama ini mereka hidup sederhana, jarang sekali membeli barang-barng mewah.Lalu, Mahira diberitahu. Ayahnya telah berjudi selama ini. Ayah Mahira, Adi. Pria yang terlihat dingin, tetapi tak mirip seorang penjudi. Bertahun-tahun Mahira meyakini ayahnya hanya kurang peka pada sekitar dan kurang beruntung mencari nafkah. Ternyata lelaki itu tega menyunat uang belanja demi bermain kartu. Bahkan, ayahnya meminjam uang dari lintah darat, hingga mereka punya utang sebesar lima puluh juta. Belum cukup itu semua, Adi juga lari dan membiarkan Mahira dan ibunya yang meng
"Riga, sialan! Kau bisa tidur? Mahira belum makan, b*bi busuk!" "Bedeb*h! Riga! Mahira tidak keluar kamar sejak tadi pagi! Dan kau bisa makan dengan tenang di sini?" "Riga! Perban di lengan Mahira belum diganti! Kau yang menembaknya, dasar manusia keji!" Itu hanya beberapa. Sejak mereka tiba di rumah ini tiga hari lalu, seingat Riga ia sudah mendengar makian Alex lebih dari seratus kali. Entah kenapa, sepupunya itu jadi sangat cerewet. Setiap saat Alex akan mengingatkan Riga soal Mahira sudah makan atau belum. Sudah tidur apa belum. Sudah minum susu atau belum. Dan jika jawabannya adalah belum, maka Riga diwajibkan menjadi orang yang menanggung beban, dipersalahkan. Riga muak. Maka, malam ini, setelah diusir Alex dari meja makan, lelaki itu pergi ke kamar si biang masalah. Ia menemukan Mahira sedang berbaring santai di ranjang. "Apa kau peliharaan?" Riga melipat tangan di depan dada. Mahira tak menanggapi. Perempuan itu duduk, tetapi tak menatap wajah Riga. "Apa kau masih haru
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka