"Selamat pagi, Sayang?"
Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex menggeleng. Matanya terus memandangi Mahira penuh minat. "Apa kau sudah makan siang?""Apa pedulimu?""Kalau sudah, bersiaplah." Alex bangkit dari duduk. Ia mengusap kepala Mahira sekilas. "Kita pergi jalan-jalan. Hari ini, kau pergi bersamaku."Antusias yang terpancar di wajah Alex membuat Mahira bergidik. Perempuan itu menggeleng cepat. Pergi berdua dengan Alex? Mahira tak sudi."Pergi saja sendiri!" Mahira turun dari sofa. Perempuan itu membawa laptopnya, kemudian hendak pergi ke kamar.Namun, Alex mengadang langkah Mahira. Pria itu bersikeras ingin Mahira ikut."Apa yang salah? Kau tidak ingin belanja? Aku akan belikan apa pun yang kau mau."Mahira menepis tangan Alex. "Aku tidak butuh uangmu!"Alex tampak kebingungan. "Kenapa kau marah? Bukankah kata Albert kau butuh perhatian? Aku sedang berusaha memperhatikanmu, Sayang."Mahira menampar tangan Alex yang menyentuh rambutnya. Perempuan itu memundurkan langkah."Aku tidak butuh perhatianmu!" Telunjuk perempuan itu mengarah tepat ke wajah Alex. "Tidak usah repot-repot! Jangan mengangguku, jangan sok peduli padaku, jangan muncul di depan mataku!"Mahira pergi ke kamar dengan perasaan luar biasa marah. Apa kata Alex? Sedang memberikan perhatian? Mahira tidak butuh itu.Memang, ia merasakan itu kemarin. Merasa sangat kesepian karena tak punya satu orang pun yang dikenal, pun untuk diajak bicara. Namun, mendapat perhatian dari Alex, rasanya ego Mahira terluka.Pria jahat itu tak punya alasan untuk berbuat demikian. Untuk apa? Alex itu orang jahat. Pasti tidak punya sisi baik, lebih-lebih keinginan untuk mempedulikan keadaan Mahira. Lelaki bajingan itu hanya pura-pura.Saat Mahira sudah akan berbaring di ranjang, pintu kamar si perempuan terbuka. Alex yang datang."Ayolah. Kita pergi, jalan-jalan. Agar kau tidak stres." Alex meraih tangan Mahira, mengusap lembut punggung tangan perempuan itu, sembari tersenyum."Lepaskan tanganku," kata Mahira pelan, tetapi mengancam."Kalau aku tidak mau? Kau akan memukulku dengan tongkat bisbol lagi?"Melepaskan tangan Mahira, Alex berlutut di samping ranjang. Dilihatnya si perempuan duduk beringsut, rapat ke kepala ranjang dengan wajah sok berani. Lelaki itu tertawa."Kalau kau ingin memukulku dengan tongkat bisbol lagi, silakan. Atau kalau kau memukulku dengan apa pun, aku tidak akan protes. Asal ...."Si perempuan itu menaikkan satu alis. Waspada menanti orang di depannya melanjutkan kalimat."Asal kau mau memaafkan aku. Kau marah padaku, ya? Karena kejadian di kamar hotel itu."Mahira mulai menilai. Saat Alex tertawa, ia merasa patut waspda karena tawa lelaki itu mirip tawa orang jahat. Ketika Alex tersenyum, Mahira merasa si pria sedang menyusun siasat jahat. Dan barusan, ketika Alex menyuarakan permintaan maaf, dia sama sekali tak menunjukkan ekspresi apa-apa.Mahira jadi bingung. Banyak sekali yang tak bisa ia baca dari lelaki bernama Alex ini. Siapa yang tahu permintaan maaf barusan juga muslihat?"Maafkan aku, ya. Aku tidak berbohong. Aku melakukan itu karena bagiku kau sangat cantik. Luar biasa cantik."Mahira menampar Alex. "Apa kau meniduri semua perempuan yang kau anggap cantik?"Alex menggeleng. Wajahnya tertunduk. "Aku bukan anjing jalanan yang gila kawin."Menarik napas dalam, Alex kemudian menarik pistol dari pinggang. Ia letakkan benda itu di dekat tangan Mahira."Kau boleh melakukan apa pun padaku dengan pistol itu."Mata Mahira membola. Ia tak sangka kalau Alex punya senjata api. Pria itu bahkan mengantonginya. Tiba-tiba Mahira merasa benar-benar terancam.Si perempuan lantas berdecak kesal. "Kau sengaja melakukan ini, karena tahu aku tak bisa menembak, 'kan, Bajingan!" Dengan kakinya Mahira menendang pistol itu hingga terjatuh ke pangkuan Alex.Ia mungkin sering berkelahi dengan teman sekelas sewaktu sekolah. Mahira juga berani memukul Alex dengan tongkat bisbol kemarin. Namun, membunuh? Menghabisi pria itu dengan pistol, Mahira tak punya keberanian sebanyak itu.Menyimpan kembali pistolnya, Alex tertawa. "Kau takut pada senjata ini?" tunjuknya ke saku sembari mengamati wajah Mahira yang gugup."Iblis sepertimu jelas tidak," balas Mahira.Tawa Alex berangsur mereda. Lelaki itu memandangi Mahira dengan mimik jenaka."Jika aku iblis, maka dia apa, Mahira?"Mahira mengabaikan pertanyaan tak penting itu. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. "Keluar kau!" usirnya pada Alex.Alex bangkit dari tempat duduknya. Bersamaan dengan Albert yang baru saja datang.Saat akan melewati pintu, Alex tiba-tiba meraih tangan Mahira. Lelaki itu mengecup telapak tangan si perempuan, untuk kemudian dihadiahi pukulan di kepala belakang oleh Mahira."Bajingan! Jangan menyentuhku sesuka hatimu!"Alex tertawa-tawa saja. Pria itu melenggang pergi.***Pukul dua dini hari. Albert duduk sendirian di ruang tamu. Pengawal itu memang sengaja duduk di sana untuk bersiap, siapa tahu Mahira kembali terbangun karena ingin muntah.Agaknya, malam ini, perempuan hamil itu bisa tidur dengan tenang. Sampai sekarang, Albert tak mendengar suara apa-apa dari dalam kamar si nona.Tak lama, Albert menemukan Alex yang baru pulang. Lebam-lebam di wajah lelaki itu membuat Albert tersenyum puas."Dasar pengadu," maki Alex saat merebahkan tubuhnya yang terasa remuk di sofa.Alex habis dipukuli. Nyaris mati, mungkin."Anda sudah melewati batas, Tuan. Yang tadi bukan yang pertama. Harusnya saya langsung mengadukan Tuan, saat peristiwa di halaman belakang."Mengabaikan penjelasan Albert, Alex memejam. Pria itu mengatur napasnya."Apa Mahira mual lagi tadi?""Sepertinya tidak. Saya tidak dengar suara apa pun dari dalam sejak tadi."Alex kemudian duduk. "Aku melihat seseorang tadi. Mobilnya mengelilingi komplek ini sebanyak tiga kali."Tak tunggu lama, Albert menghubungi bawahannya. Meminta mereka untuk memeriksa aduan Alex."Sudah kubilang, ada pengkhianat. Si bodoh itu memang payah. Dia tak pernah bisa menjaga apa yang menjadi miliknya."Albert berkata, "Apa tempat ini masih aman, Tuan?"Tatapan Alex tampak menerawang jauh. "Apa pun yang terlibat dengan si bodoh itu tidak akan pernah aman, Albert. Dia memang orang paling sial di muka bumi.""Untuk sementara, jangan biarkan Mahira pergi ke mana pun, jika tidak bersamaku," perintah Alex kemudian.Albert mengangguk. Menurutnya, itu memang yang terbaik. Meski kadang nakal, tetapi Alex adalah salah satu yang kompeten dalam hal ini.Mahira sedang bersiap menerima suntikan dari perawat, saat tiba-tiba saja Alex datang dan mengarahkan sebuah tembakan pada dokter yang tadi memeriksa Mahira. Bunyi letusan menggema di ruangan itu. Lelaki berambut coklat itu kemudian berlari menuju si perawat. Ia jambak rambut perempuan itu, lalu diseret menjauh dari Mahira. "Obat apa itu?" tanyanya setelah membuat si perawat berlutut di bawah kaki. Mendengar pertanyaan Alex, Albert bergegas menjauhkan jarum suntik yang tadi dijatuhkan si perawat di samping Mahira. "I--Itu vi--vitamin untuk ibu hamil, Tuan," jawab si perawat terbata. Alex menyeringai. Ia arahkan ujung pistol ke kepala si perawat. "Kau mau kepalamu bolong seperti dokter itu?" Si perawat menangis ketakutan. "Maafkan saya, Tuan. Sa--saya hanya diperintah." Menghela napas, Alex mulai habis kesabaran. "Jawab pertanyaanku, sialan. Itu obat apa, siapa yang membayar kalian?" "Itu obat untuk meluruhkan janin, Tuan."Albert langsung terbelalak. Pria itu menjauhkan tas si
Karena sebuah pemikiran konyol, malam ini Mahira tak bisa tidur. Berulang kali perempuan itu mengubah posisi. Menghadap ke kanan, kiri, ia ragu untuk menelungkup mengingat janin di dalam rahim. Entah kenapa, saat makan malam tadi, Mahira terpikirkan sesuatu yang luar bisa aneh. Itu semua karena ia makan satu meja dengan si bajingan Alex. Mahira mendadak penasaran. Apa warna di rambut Alex itu asli atau hanya buatan. Mahira mendadak punya rasa penasaran soal apakah anaknya nanti akan punya rambut coklat atau hitam. "Kenapa, Mahira? Ada yang sakit?" Alex yang sejak tadi pura-pura tidur akhirnya menghampiri si perempuan. Laki-laki itu duduk di tepian kasur Mahira. "Ada yang sakit, Sayang?" tanyanya lembut. Si perempuan menggeleng. "Aku hanya tidak bisa tidur.""Mau kubuatkan teh? Susu?" Mahira menggeleng. "Kau bisa membawaku jalan-jalan?" Mata Alex yang semula mengantuk, sedikit terbelalak. Sudah pukul berapa sekarang? Mahira ingin jalan-jalan? "Kau bisa kena angin, Sayang. Mau j
Dalam hidup, Mahira pernah satu kali merasa benar-benar tertipu. Saat umurnya 17 tahun dan hampir menjadi palayan di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah.Saat itu, dua orang penagih datang ke rumah mereka. Menagih utang yang jumlahnya tidak sedikit. Nyaris lima puluh juta. Mahira dan ibunya jelas bertanya mengenai kejelasan asal utang tersebut. Ia dan sang ibu ingat tak pernah meminjam uang sebanyak itu dari siapa pun. Selama ini mereka hidup sederhana, jarang sekali membeli barang-barng mewah.Lalu, Mahira diberitahu. Ayahnya telah berjudi selama ini. Ayah Mahira, Adi. Pria yang terlihat dingin, tetapi tak mirip seorang penjudi. Bertahun-tahun Mahira meyakini ayahnya hanya kurang peka pada sekitar dan kurang beruntung mencari nafkah. Ternyata lelaki itu tega menyunat uang belanja demi bermain kartu. Bahkan, ayahnya meminjam uang dari lintah darat, hingga mereka punya utang sebesar lima puluh juta. Belum cukup itu semua, Adi juga lari dan membiarkan Mahira dan ibunya yang meng
"Riga, sialan! Kau bisa tidur? Mahira belum makan, b*bi busuk!" "Bedeb*h! Riga! Mahira tidak keluar kamar sejak tadi pagi! Dan kau bisa makan dengan tenang di sini?" "Riga! Perban di lengan Mahira belum diganti! Kau yang menembaknya, dasar manusia keji!" Itu hanya beberapa. Sejak mereka tiba di rumah ini tiga hari lalu, seingat Riga ia sudah mendengar makian Alex lebih dari seratus kali. Entah kenapa, sepupunya itu jadi sangat cerewet. Setiap saat Alex akan mengingatkan Riga soal Mahira sudah makan atau belum. Sudah tidur apa belum. Sudah minum susu atau belum. Dan jika jawabannya adalah belum, maka Riga diwajibkan menjadi orang yang menanggung beban, dipersalahkan. Riga muak. Maka, malam ini, setelah diusir Alex dari meja makan, lelaki itu pergi ke kamar si biang masalah. Ia menemukan Mahira sedang berbaring santai di ranjang. "Apa kau peliharaan?" Riga melipat tangan di depan dada. Mahira tak menanggapi. Perempuan itu duduk, tetapi tak menatap wajah Riga. "Apa kau masih haru
Warning! 18+ Tidak Mahira sangka Riga akan mengangguk dan menyetujui tawaran yang ia berikan. Meski senang akan segera mendapatkan kembali ponsel, Mahira tak lantas berpuas hati. Sebab sekarang ia harus sudi duduk di pangkuan si lelaki."Setengah jam. Hitung dengan benar. Keluarkan ponselmu," perintah Mahira karena tak menemukan ada jam di dinding di dapur.Riga tak membalas ucapan itu. Hanya kedua lenganyna yang bergerak ke depan dan membelit perut Mahira.Si perempuan hendak protes, tetapi Riga lebih dulu memberitahu."Kau tidak lihat ada jam di pergelangan tanganku?"Ia pun mengatupkan bibir rapat. Duduk tegak, kaku, mirip patung di atas kedua paha si lelaki yang terasa keras. Belum lagi, embusan napas Riga yang seolah sengaja dibuat pria itu kasar dan berat, terasa di sisi wajah."Jadi, di mana Alex?"Mahira berusaha menekan rasa tidak nyaman yang melingkupi. Perasaannya campur aduk. Benci, marah, rendah diri, dan juga takut. Takut sampai jantungnya terasa akan pecah. "Dia haru
Mahira terperanjat ketika pintu kamarnya didorong. Beberapa orang berseragam masuk dan langsung mengevakuasinya keluar dari sana. Mahira tersenyum ketika keluar dari kamar dan menemukan Riga sudah duduk di kursi, dengan kedua tangan diborgol. Ini pembalasan dari Mahira karena Riga sudah berani menyentuhnya kemarin. Pria gila itu sungguh tak punya belas kasihan. Mahira sudah berusaha memohon, meminta sedikit saja belas kasihan. Namun, Riga tetap melecehkannya. Dan inilah yang bisa Mahira lakukan. Saat kemarin ponselnya diberikan kembali, Mahira menghubungi ayah dan ibunya. Meminta mereka melapor pada polisi, untuk kemudian melacak keberadaan dirinya. Rupanya upaya itu berhasil. Sore ini rumah Riga didatangi polisi. "Kami akan mengantar Anda pulang, Nona." Seorang polisi wanita berkata demikian pada Mahira, sembari mengajaknya keluar dari rumah itu. Mahira tersenyum senang. Ia menatap puas pada Riga hanya menunjukkan raut datar. Perempuan itu yakin, si lelaki hanya berusaha terliha
Meninggalkan hutan, Mahira tak banyak bicara. Tepatnya, tidak berani. Sekarang, ia benar-benar sudah terjebak bersama Riga. Tak ada jalan untuk melarikan diri, entah sampai kapan. Mahira tak tahu berapa banyak orang yang mengincar nyawanya di luar sana. Sejauh ini, tak bermaksud menghilangkan label jahat dari Riga, tetapi Mahira sadar jika pria itu yang selalu menggagalkan orang-orang jahat yang mengincarnya. Ikut bersama mobil Riga, perjalanan mereka terasa sangat lama. Beberapa kali Mahira membenahi posis duduk karena rasa sakit di pergelangan kaki dan juga tak nyaman di perut. Mahira bahkan merasa seluruh tenaganya hilang, saat beberapa jam kemudian Riga memarkirkan mobilnya di sebuah carport. Riga turun lebih dulu. Tanpa mengatakan apa-apa. Mahira mengekori lelaki itu. "Kamarmu di lantai dua. Yang pertama setelah tangga." Penjelasan dari Riga Mahira beri anggukkan. Perempuan itu berjalan menuju tangga dengan kernyitan di dahi. Ia mulai berkeringat dingin. Rasa tak nyaman di
Hari ini keberutungan agaknya singgah pada Mahira. Saat perempuan itu bangun, tubuhnya terasa lebih baik. Setidaknya, ia sudah bisa bangun dari ranjang, tanpa perlu dibantu Riga atau Lili. Hampir dua minggu lebih Mahira hanya bisa terbaring di ranjang. Hanya meninggalkan ranjang ketika harus buang air, bersih-bersih seadanya dan berganti pakaian. Karena sekarang ia merasa sudah kuat berjalan, perempuan itu pun meninggalkan kamarnya. Mahira turun ke lantai satu. Ia melihat sofa dan meja, kemudian pintu yang sepertinya adalah pintu utama. Dari ruang tamu, di sisi kiri, Mahira menemukan ada halaman hijau yang luas di samping rumah. Rasanya tidak buruk untuk mencari udara segar di sana. Selain halaman luas dengan rumput yang terawat, di sana ternyata ada bangku dan meja. Sepertinya tempat ini memang dirancang untuk bersantai. Mahira duduk di sana. Menghirup udara segar, membiarkan itu mengisi paru-parunya. Kemudian, perempuan itu termenung. Masih ada perasaan marah. Masih ada kecewa
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka