Adam sudah mempersiapkan diri mendengar pertanyaan sang ibu. Dengan tenang dia menjawab, "Aku terlalu sibuk, Bu. Mana ada yang mau pacaran sama orang yang nggak punya waktu buat mesra-mesraan," terang Adam lalu memamerkan senyum manisnya.
"Dam, apa kamu masih memikirkan Clarissa?" tanya Nyonya Wursita dengan nada curiga.
Pria itu menjadi salah tingkah dan menjawab, "Sedang mengusahakan, Bu."
"Ndak bisa, Dam! Ini ndak baik bagimu. Seharusnya kamu lebih dari berusaha. Sudah tiga tahun berlalu. Mantanmu itu sudah berada entah di mana dan bahagia. Lha … kamu? Masih saja menyimpan barang-barang darinya. Kapan kamu bisa melupakan dia kalau begitu caranya?" sembur perempuan itu menceramahi sang putra.
Adam teringat barang yang sang ibu maksud memang masih ada di kamar miliknya.
"Ibu bisa membuangnya," timpal Adam.
"Oh, ndak! Harus kamu yang nyingkirin semua itu. Ibu ngajarin kamu buat jadi lelaki yang tegas, bagas, tapi ndak bringas. Kalau urusan sepele seperti membuang barang yang hanya akan mengingatkanmu pada masa lalu itu seharusnya sudah jauh-jauh hari kamu lakukan. Tapi apa buktinya? Justru kamu lari. Ndak berani hadapi kenyataan," cecar Nyonya Wursita tanpa jeda.
Tuan Adyaksa hanya menjadi penonton. Sejak awal dia memilih menyerahkan urusan jodoh dalam pantauan sang istri. Selama pilihan Adam tidak membuat sang putra lalai dengan kewajiban-kewajibannya, dia tidak keberatan sama sekali.
Setelah mendengar semua ceramah sang ibu, Adam hanya menghela napas panjang dan menyamankan posisi duduknya.
"Le, kamu mau dengerin ibumu ini, tho?" tanya Nyonya Wursita dengan tatapan tajam.
Adam sudah menganggap Nyonya Wursita sebagai ibu kandung sendiri. Selama ini pun Adam selalu menuruti kehendak sang ibu. Bila kalimat sakti itu sudah terlontar dari perempuan itu, maka artinya Adam tak bisa mengelak lagi. Sudah wajib baginya untuk mengiakan.
"Iya, Bu," jawab Adam.
"Saat pesta perayaan hari jadi perusahaan, ibu mau kamu bawa calon mantu buat ibu. Pilihanmu sendiri. Kalau ndak, ibu yang akan pilihkan buatmu. Ngerti kamu?" titah Nyonya Wursita.
"Hari jadi perusahaan?" Adam segera menghitung hari yang dimiliki sebelum tenggat waktu. "Tapi itu kurang dari sebulan lagi, Bu?" kelit pria itu.
"Terus kenapa?"
"Terlalu cepat, Bu," cicit Adam.
"Kamu sudah buang tiga tahunmu percuma. Sekarang ndak ada lagi waktu bersantai. Cepat bawa calon mantu ibu atau kamu harus terima pilihan ibu!" ancam perempuan itu.
Adam menoleh ke arah sang ayah untuk mendapat bantuan pembelaan, tetapi Tuan Adyaksa hanya mengangkat sebelah telapak tangannya sebagai tanda bahwa dia tak mau ikut campur. Lalu kembali melihat ke arah sang ibu. "Tapi dalam bulan ini aku harus banyak melakukan perjalanan bisnis, Bu," lanjut Adam berkelit.
"Ya, kalau gitu cari saat kamu bepergian. Katanya kamu ganteng, kamu bisa pilih pacar yang ibu mau. Buktikan!" tantang Nyonya Wursita.
Perkataan perempuan itu spontan membuat Adam menggaruk tengkuknya meski tak gatal. Tingkah sang putra membuat Nyonya Wursita geli. " Ya ampun, Gusti. Kamu ini kalau bahas pekerjaan bisa cepat, tangkas, dan lugas. Kalau masalah pribadi seperti ini kenapa jadi lemah? Persis ayahmu!" tuduhnya tiba-tiba.
"Lho, lho. Kok jadi bawa-bawa aku lagi?" protes Tuan Adyaksa.
"Iya, kamu itu nggak bisa tegas kalau urusan perasaan. Terlalu banyak pertimbangan!" terang sang istri. Nyonya Wursita menjelaskan dengan menatap serius ke arah Tuan Adyaksa. "Dulu kalau bukan desakan dari bapak ibu mana ada kamu keberanian buat nikahin aku," gerutu Nyonya Wursita membuat Tuan Adyaksa tersenyum malu.
"Nah, sekarang giliranmu, Dam. Kamu harus segera maju ke tahap berikutnya. Mengerti kamu?" tegas perempuan itu.
"Iya, Bu."
"Ya, sudah. Sana balik sebelum makin larut!" perintah Nyonya Wursita.
"Aku diusir, nih?" canda Adam.
"Lho, malah ngelawak! Tadi ibu suruh nginap ndak mau. Sekarang diusir malah heran. Piye tho?" tandas sang ibu.
(Gimana, sih)
Kemudian Adam pamit meninggalkan kediaman kedua orang tuanya. Pria itu mengendarai mobil Ford putih miliknya melintasi jalanan Jakarta.
Selama perjalanan, angan Adam kembali mengingat semua ucapan yang ibunya katakan. Tak satu pun kata yang bisa dibantah. Adam memang harus mulai membuka diri untuk hubungan yang baru. Sudah sangat baik sang ibu memberi peringatan sebelum akhirnya dijodohkan secara sepihak.
Perjodohan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari dalam keluarga bangsawan seperti keluarga Saguna. Jika harus terjadi, maka tak ada yang bisa menolak. Untuk saat ini, Nyonya Wursita masih memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mencari jodohnya sendiri.
Namun, Adam memilih pasrah. Biar takdir yang membawanya pada garis nasibnya. Kalau pun menikahi pilihan sang ibu, Adam tidak keberatan. Selama ini belum ada keputusan Nyonya Wursita yang berdampak buruk bagi hidupnya.
Saat mobilnya mencapai di persimpangan jalan, entah mengapa Adam tak memilih untuk membelokkannya ke kiri. Justru dia memutar setir menuju jalan ke arah kanan. Padahal apartemen yang dituju ada di arah sebaliknya. Adam memutuskan untuk midnight movie di bioskop. Ini salah satu kebiasaan Adam saat dirinya dilanda kegusaran.
Malam ini Adam keluar dengan memakai celana jin hitam dipadu hoodie kuning dan dilengkapi dengan sepatu kets putih. Meskipun sebagai anggota keluarga Saguna, wajah Adam tidak terlalu familiar di masyarakat. Adam memilih membatasi diri untuk berinteraksi dengan kalangan luas. Untuk berbagai hal yang bersifat promosi atau membutuhkan perannya sebagai eksekutif utama untuk tampil di hadapan publik, Adam lebih sering mengirim para asistennya atau diwakilkan oleh wajah brand ambassador.
Jadi saat Adam berada di fasilitas umum seperti pusat perbelanjaan yang sekarang didatangi tak membuat Adam risih karena menjadi pusat perhatian. Adam melenggang menuju bilik kecil yang akan mengantarkannya ke lantai tempat bioskop berada. Setelah tiba, ditekannya tombol untuk menuju ke atas. Butuh beberapa menit untuk menunggu lift itu turun dari lantai atas.
Ting!
Suara denting terdengar, tanda bahwa bilik kecil itu telah tiba. Adam menunggu pintu lift terbuka perlahan. Beberapa orang keluar bergiliran dan Adam memilih untuk menepi agar mereka leluasa keluar. Namun, seorang perempuan muda dengan wajah tertunduk membelah pengunjung lainnya keluar dengan tidak sabar. Saat hampir mencapai sisi luar dari lift, perempuan itu tergesa-gesa melangkahkan kaki dan tak sengaja menabrak lengan kiri Adam.
perempuan muda berambut sebahu itu merasa melakukan kesalahan dan spontan berbalik badan dan mengangkat wajahnya untuk melihat siapa korban dari ketergesaannya. Di sana berdiri Adam yang sudah memasang wajah terkejut. Segera perempuan muda itu melontarkan kalimat permintaan maaf. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja," ucapnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada.
Adam tanpa berpikir panjang langsung memaafkan dengan isyarat tangan dan senyuman. Lalu dia bergerak memasuki kotak yang sudah berisi beberapa manusia. Dari dalam saat perlahan pintu lift tertutup, Adam mengamati perempuan muda tadi yang masih berdiri terpaku dengan pandangan kosong. Setelah pintu sepenuhnya tertutup, Adam mengalihkan pandangan pada poster film yang dipajang sebagai promosi. Di sana terpampang film "Single" yang dibintangi Raditya Dika.
Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga. Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika." Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan. Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh laya
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.
Kedua mata Adam menatap tajam ke arah kerumunan penggemar yang ada di depan bioskop seraya menunjuk dia berujar, "Itu seperti perempuan kemarin."Lucky yang mendengar ucapan sang bos seketika melihat ke arah yang Adam tunjuk. "Siapa, Bos?" tanya Lucky penasaran.Adam terpaksa mengalihkan pandangan untuk menjelaskan maksudnya kepada Lucky. "Itu yang memakai kaus …." Adam kembali melihat kerumunan, tetapi orang yang dia maksud seperti menghilang atau sebenarnya sejak awal memang tak ada."Kaus? Banyak yang pakai kaus, Bos," kata Lucky ikut mengamati kumpulan orang-orang di sana.Adam menarik napas dalam dan kembali meneruskan perjalanan, "Ah, sudahlah."Seorang pria di dalam restoran melambaikan tangan menyapa dengan senyuman. "Pak Hendra sudah datang rupanya," ujar Lucky yang membalas sapaan pria tadi dengan anggukan. Adam pun melakukan hal serupa.Jarak antar meja di restoran itu sekitar lebih dari 1 meter. Adam berjalan lebih a
"Stick to the plan?" tanya Lucky dengan tatapan penuh arti ke arah sang bos. Adam tahu apa maksud pertanyaan Lucky yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban darinya. Dia menyandarkan punggung dan tertawa lirih menanggapi ide nakal dari bawahannya tersebut. "Hubungi Hassan untuk menunda semua agenda sampai lusa. Kalau tidak bisa ditunda, saya akan handle dari sini." Adam memberikan instruksi kepada Lucky yang masih duduk di depannya. "Siap," respons Lucky singkat. "Ya sudah, atur sana. Saya kembali ke kamar." Adam berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. Pria itu mendadak berhenti dan berbalik arah memberikan tambahan petunjuk kepada Lucky. "Oh ya, atur dengan low bud
Keindahan Pulau Beras Basah bukan tujuan utama Adam. Dia duduk di gazebo yang letaknya tidak jauh dari posisi Bianca berada. Saat dirinya sibuk berspekulasi, ponselnya berbunyi. Nyonya Wursita menelepon dan dia bertanya mengapa dirinya tidak segera kembali ke Jakarta sesuai rencana awal."Aku masih ada urusan, Bu," jawab Adam atas pertanyaan sang ibu.[Bisa ditinggal? Atau diwakilkan? Ibu ada tugas lebih penting buat kamu] Suara Nyonya Wursita terdengar serius dan tidak ingin didebat.Adam menelan ludahnya, lalu bertanya "Tugas apa, Bu?"[Paman dan bibimu mengundang kita makan malam besok] jawab Nyonya Wursita."Makan malam? Dalam rangka apa?"[Entah, ibu ndak paham. Mungkin ini ada hubungannya dengan Desmon yang sudah punya pacar] terang Nyonya Wursita."Oh. Mungkin hubungan mereka sudah serius, jadi harus mengundang keluarga besar untuk makan malam," sahut Adam.[Mungkin saja. Tapi yang jelas bibimu itu mau mengejek ibu
Setibanya di kediaman sang paman, Adam mengatakan sesuatu kepada Lucky, "Oh ya, tentang plan B ... ada tambahan."Lucky langsung mencari data di kepalanya sesuatu yang berkaitan dengan plan B. Seketika dia mengingat percakapan di Pulau Beras Basah. Dengan cermat, dilihatnya wajah sang bos dari kaca spion."Besok kirimkan bunga untuk Bianca," ujar Adam membuat Lucky yang duduk di kursi sopir tertegun. Kemudian sang bos turun dari mobil.Setelah mendengar perkataan Adam, Lucky terdiam dan memikirkan arah tujuan sang bos tiba-tiba bersikap demikian pada seorang perempuan yang bahkan belum saling mengenal.Sebuah ketukan di kaca mobil membuyarkan lamunan Lucky. "Mas, mobilnya tolong dimajukan. Ada mobil mau keluar," ujar petugas keamanan yang mengatur lalu lintas kendaraan yang keluar masuk pekarangan rumah mewah itu.Adam yang sudah melewati pintu utama disambut sebuah vas kristal besar dengan rangkaian bunga bernuansa putih. Lampu gantung berki
Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi
Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan
Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik
"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert
Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya
Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia
Rupanya Adam dan Fahar adalah kawan lama semasa menempuh S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Mereka berbeda jurusan, tetapi terbilang akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis puisi. Sehingga mereka sering bertemu dalam satu komunitas pecinta puisi di kampus. Mereka rajin mengikuti acara-acara seni literasi. Menghadiri pementasan musikalisasi puisi. Hingga pernah menggagas buku antologi puisi bersama. Namun, belum sempat naik cetak karena jejak Adam menghilang di hari mereka wisuda. Kabar yang Fahar dapat ketika itu bahwa Adam segera terbang untuk meneruskan S2 di Amerika. Sejak saat itu, Fahar hilang kontak dengan Adam. Hingga tibalah hari saat Fahar melihat kontrak kerja sama dengan perusahaan OSG. Ada nama Adam Harun Saguna tertera pada bagian pihak pertama. "Adam Harun Saguna?" desis Fahar. "Benar. Itu adalah nama pemilik OSG sekaligus CEO kami. Saya di sini bertindak sebagai wakil beliau untuk pelegalan kontrak
"Tolong! Saya terjebak di dalam sini!" teriak Bianca.Si pengetuk pintu langsung membuka pintu toilet wanita. Wajahnya terkejut karena mengira pintu utama toilet yang macet. Dia melihat ada bunga dan tas kerja di dekat wastafel. "Di mana?" serunya.Merasa mengenal pemilik suara itu, Bianca coba memastikan. "Pak Fahar?" tanyanya."Bianca?" Pria itu pun mengenali suara si korban."Saya di sini, Pak! Pintunya tidak bisa dibuka!" cicit Bianca.Karena mendengar ketukan Bianca, Fahar tahu perempuan itu terjebak di dalam bilik kedua."Menjauh dari pintu!" titah Fahar.Bianca beringsut di pojokan ruangan dengan tetap menjaga kesadarannya.Kemudian lelaki ini mencoba menekan kenop dan mendorong paksa dengan mengandalkan sisi samping badannya. Percobaan pertama gagal. Begitu pun percobaan kedua dan ketiga. Lalu usaha keempat membuahkan hasil. Lelaki itu terkejut melihat kondisi Bianca.Sementara itu Bianca menatap nanar ke a
Pagi pun tiba. Bianca sengaja datang lebih awal karena bermaksud ingin menemui satpam yang berjaga shift malam. Hajatnya untuk mengetahui pengirim bunga itu masih bergelora. Setelah memarkirkan si marun, motor matiknya, perempuan itu menghampiri seorang penjaga di pintu masuk gedung.Melihat kartu tanda pengenal yang menggantung di leher Bianca, penjaga itu mengenali bahwa Bianca adalah pegawai di gedung itu, sehingga pria itu tidak mencegahnya. "Selamat pagi, Bu?" tanya pria itu santun."Pagi, Pak Eko," sapa Bianca setelah melihat deretan huruf di seragam yang pria itu kenakan."Pagi sekali, Bu?" tanya Eko heran."Iya. Sekali-kali menghindari polusi, Pak," kata Bianca berbasa-basi. " Pak Eko baru di sini? Saya nggak pernah lihat," ujar Bianca menyelidik."Betul, Bu. Ini minggu pertama saya dan dapat shift malam," terang Eko.Bianca mengangguk tanda dirinya paham. "Oh, iya, Pak. Apa Pak Eko juga yang menerima kiriman bunga mawar buat s