Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga.
Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika."
Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan.
Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh layar ponsel mereka. Adam meninggalkan ponselnya di kantor. Saat ini dia merasa seperti terpisah dari kebisingan pekerjaan dan dia menyukuri itu. Mungkin Hassan yang akan kerepotan bila tiba-tiba membutuhkan dirinya. Mengingat hal itu membuat pria dengan tinggi 175 sentimeter itu tersenyum.
Setelah satu orang di depannya, akan tiba giliran Adam untuk memesan tiket.
"Selamat malam, ingin menonton apa?" tanya perempuan berseragam hitam dengan ramah.
"Single. Satu tiket."
Jawaban Adam membuat perempuan itu urung melanjutkan proses pemesanan dan malah memiringkan wajah karena tak percaya. Petugas tiket itu tercengang dengan mulut sedikit ternganga. Dia tak menyangka bahwa pria di depannya hanya menonton sendiri. Padahal menurutnya, dia pria yang tampan dan seharusnya datang bersama pacar atau istri untuk menemani.
"Yakin cuma satu?" goda petugas itu diiringi senyuman.
"Biar sesuai sama judulnya," timpal Adam disusul dengan sebuah cengiran.
Petugas tiket terkekeh mendengar jawaban Adam. "Mas-nya lucu juga," seloroh perempuan itu. "Silakan pilih seat yang mana?" Perempuan itu menunjukkan denah tempat duduk yang masih bisa dipesan.
"D7," pilih Adam.
"Baik. Satu tiket, Single, teater dua. Silakan," ujar perempuan itu seraya menyerahkan satu tiket masuk kepada Adam.
"Terima kasih," balas Adam.
Saat meninggalkan loket pemesanan tiket, mata Adam menangkap wajah yang tadi dijumpai saat di lantai dasar. perempuan yang tak sengaja menabrak lengannya. 'Mungkin dia juga berencana nonton,' batin Adam.
Jam tayang film yang akan Adam tonton sudah dekat. Pria itu memilih duduk di salah satu bangku tunggu yang kosong. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang dilakukan selain menunggu dan melihat pengunjung bioskop yang hilir mudik di hadapan.
Setelah beberapa saat, lagi-lagi perempuan tadi terjangkau oleh pandangan Adam. Mereka hanya berdua. perempuan kedua wajahnya tampak familiar. Seperti pernah Adam lihat, tetapi entah di mana. Kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara.
"Mohon perhatian Anda. Pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater dua."
Itu adalah tanda panggilan untuk Adam. Dia beranjak dari duduk menuju pintu masuk teater dua. Beberapa orang sudah mengantre untuk masuk ruangan. Tibalah giliran Adam. Kemudian dia berjalan memasuki ruangan yang pengunjungnya tak seramai saat siang atau sore hari.
Layar besar di hadapan menyambutnya dengan tayangan iklan. Suara menggelegar dari alat pengeras membuat Adam mengerutkan dahi sambil mencari nomor kursi dengan kombinasi angka huruf yang sesuai dengan tiket di tangan. Setelah berhasil ditemukan, dia duduk dan menyamankan diri.
Hampir dua menit berlalu. Cahaya di ruangan mulai meredup. Beberapa penonton masih berdatangan mencari lalu menduduki kursi mereka. Adam menghuni kursi paling luar pada jalur tengah. Tiga kursi di samping kirinya masih kosong.
"Permisi," pamit seorang perempuan mengalihkan perhatian Adam dan membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Mereka dua orang perempuan.
Adam merapatkan lutut menarik badan ke belakang. Memberikan ruang selebar mungkin agar mereka bisa melintas. Mereka duduk berjarak satu kursi dari Adam. Film pun dimulai.
Kelakuan tokoh utama di film itu sangat patut dikasihani. Dihiasi kelucuan, kecanggungan, juga kenekatan. Sempurna mengocok perut penonton. Gelak tawa sesekali terdengar. Adam yang sedang ingin menikmati momen hanya mengikuti alur cerita tanpa berpikir terlalu dalam.
Terdengar salah seorang perempuan yang duduk di sisi kiri menerima sebuah panggilan telepon. Kemudian tak lama perempuan itu berdiri dan sekali lagi meminta maaf agar Adam memberikan jalan baginya untuk lewat. Akan tetapi, perempuan yang pergi hanya seorang. Seorang lagi tetap lanjut menonton film.
Kisah perjuangannya melepaskan status "single" dengan berpetualang dari gadis satu ke gadis yang lain. Namun, pada akhirnya si pemeran utama justru mendapatkan hikmah lain bahwa ada hal yang jauh lebih dibutuhkan dalam hidup, bukan sekadar memenuhi apa yang diinginkan.
Adam sang keturunan keluarga Saguna meresapi cerita film ini dalam versi yang berbeda untuk dirinya. Jika si Ebi–nama pemeran tokoh utama film "Single"–berjuang untuk mendapatkan kekasih, maka Adam berpikir untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Pria itu mulai menimbang bila masih bertahan dengan kenangan yang dimiliki bersama Clarissa tak akan baik untuknya.
Setelah 127 menit berlalu, lagu soundtrack mengiringi deretan nama pemeran hingga kru pembuat film bergerak di layar raksasa itu. Lampu ruangan perlahan menyala terang. Warna hangat yang dipancarkan menemani para penonton membubarkan diri dan bergiliran meninggalkan ruangan.
Setelah berada di luar ruangan, Adam tidak langsung meninggalkan bioskop itu. Dia malah duduk di salah satu bangku tunggu hanya sekadar berkontemplasi, memikirkan kembali apa yang dipikirkan saat di dalam tadi.
Pria itu menyingkap ujung lengan jaket hoodie kuning yang dikenakan, kemudian melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam tangan di tangan kirinya. Setelah melihat dengan pasti, dia berpikir untuk segera kembali ke apartemen karena sebentar lagi akan berganti hari. Adam berjalan menuju lift. Pengunjung pusat perbelanjaan itu mulai berkurang. Bahkan saat ini hanya dirinya yang berdiri di depan pintu lift.
Ting!
Pintu lift perlahan terbuka. Adam masuk dan memencet tombol dengan huruf LD untuk menuju lantai dasar. Sebelum bilah pintu benar-benar tertutup, ada seseorang berteriak dari luar bilik kecil itu,
"Lift! Tahan!" seru seseorang dengan jenis suara perempuan.
Mendengar seruan itu, Adam menekan tombol agar pintu kembali terbuka. Seorang perempuan masuk dengan tergesa-gesa. Adam kembali menekan tombol agar pintu tertutup. Melihat si perempuan yang masih menunduk mengatur napas, Adam menanyakan tujuan lantai yang dia tuju, "Mau ke lantai berapa, Mbak?"
Perempuan itu menengadah dan melihat deretan tombol di sisi pintu lift, kemudian berujar, "iya ... saya juga ... mau ke ... lantai dasar." Napas yang memburu membuatnya kesulitan untuk mengucapkan kalimat tanpa terpotong.
Adam hanya mengangguk. Pria itu mencuri pandang dari ekor matanya pada perempuan itu. Dia adalah perempuan sama yang menabraknya di lantai dasar, juga yang dilihatnya di bioskop, dan setelah diingat-ingat warna baju yang dikenakan pun sama dengan perempuan yang duduk tak jauh dari kursinya saat menonton tadi. Lalu kini, mereka berdua berada di dalam lift menuju lantai yang sama.
Putra Adyaksa Saguna itu tak sadar menyunggingkan senyum tipis mengingat kebetulan sebanyak itu.
Perempuan itu menyandarkan tubuh rampingnya di dinding lift. Sebuah tas selempang melingkari badan rampingnya. Rambut hitam sebahu miliknya memiliki poni yang ditata belah tengah. Meskipun dia tak sendiri di sana, tetapi wajahnya datar seolah-olah Adam tak ada.
Tiba-tiba terasa guncangan. Kontan dua orang itu menjadi awas dan memperkuat pijakan kaki agar tetap tegak berdiri. Namun, guncangan kembali terasa seperti lift itu turun tersendat-sendat.
"Kenapa ini?" desis perempuan itu.
"Kayaknya lift trouble," jawab Adam.
"Macet?" Ada rasa takut yang tersirat nada suara dan mata perempuan itu saat menatap lekat ke arah Adam.
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.
Kedua mata Adam menatap tajam ke arah kerumunan penggemar yang ada di depan bioskop seraya menunjuk dia berujar, "Itu seperti perempuan kemarin."Lucky yang mendengar ucapan sang bos seketika melihat ke arah yang Adam tunjuk. "Siapa, Bos?" tanya Lucky penasaran.Adam terpaksa mengalihkan pandangan untuk menjelaskan maksudnya kepada Lucky. "Itu yang memakai kaus …." Adam kembali melihat kerumunan, tetapi orang yang dia maksud seperti menghilang atau sebenarnya sejak awal memang tak ada."Kaus? Banyak yang pakai kaus, Bos," kata Lucky ikut mengamati kumpulan orang-orang di sana.Adam menarik napas dalam dan kembali meneruskan perjalanan, "Ah, sudahlah."Seorang pria di dalam restoran melambaikan tangan menyapa dengan senyuman. "Pak Hendra sudah datang rupanya," ujar Lucky yang membalas sapaan pria tadi dengan anggukan. Adam pun melakukan hal serupa.Jarak antar meja di restoran itu sekitar lebih dari 1 meter. Adam berjalan lebih a
"Stick to the plan?" tanya Lucky dengan tatapan penuh arti ke arah sang bos. Adam tahu apa maksud pertanyaan Lucky yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban darinya. Dia menyandarkan punggung dan tertawa lirih menanggapi ide nakal dari bawahannya tersebut. "Hubungi Hassan untuk menunda semua agenda sampai lusa. Kalau tidak bisa ditunda, saya akan handle dari sini." Adam memberikan instruksi kepada Lucky yang masih duduk di depannya. "Siap," respons Lucky singkat. "Ya sudah, atur sana. Saya kembali ke kamar." Adam berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. Pria itu mendadak berhenti dan berbalik arah memberikan tambahan petunjuk kepada Lucky. "Oh ya, atur dengan low bud
Keindahan Pulau Beras Basah bukan tujuan utama Adam. Dia duduk di gazebo yang letaknya tidak jauh dari posisi Bianca berada. Saat dirinya sibuk berspekulasi, ponselnya berbunyi. Nyonya Wursita menelepon dan dia bertanya mengapa dirinya tidak segera kembali ke Jakarta sesuai rencana awal."Aku masih ada urusan, Bu," jawab Adam atas pertanyaan sang ibu.[Bisa ditinggal? Atau diwakilkan? Ibu ada tugas lebih penting buat kamu] Suara Nyonya Wursita terdengar serius dan tidak ingin didebat.Adam menelan ludahnya, lalu bertanya "Tugas apa, Bu?"[Paman dan bibimu mengundang kita makan malam besok] jawab Nyonya Wursita."Makan malam? Dalam rangka apa?"[Entah, ibu ndak paham. Mungkin ini ada hubungannya dengan Desmon yang sudah punya pacar] terang Nyonya Wursita."Oh. Mungkin hubungan mereka sudah serius, jadi harus mengundang keluarga besar untuk makan malam," sahut Adam.[Mungkin saja. Tapi yang jelas bibimu itu mau mengejek ibu
Setibanya di kediaman sang paman, Adam mengatakan sesuatu kepada Lucky, "Oh ya, tentang plan B ... ada tambahan."Lucky langsung mencari data di kepalanya sesuatu yang berkaitan dengan plan B. Seketika dia mengingat percakapan di Pulau Beras Basah. Dengan cermat, dilihatnya wajah sang bos dari kaca spion."Besok kirimkan bunga untuk Bianca," ujar Adam membuat Lucky yang duduk di kursi sopir tertegun. Kemudian sang bos turun dari mobil.Setelah mendengar perkataan Adam, Lucky terdiam dan memikirkan arah tujuan sang bos tiba-tiba bersikap demikian pada seorang perempuan yang bahkan belum saling mengenal.Sebuah ketukan di kaca mobil membuyarkan lamunan Lucky. "Mas, mobilnya tolong dimajukan. Ada mobil mau keluar," ujar petugas keamanan yang mengatur lalu lintas kendaraan yang keluar masuk pekarangan rumah mewah itu.Adam yang sudah melewati pintu utama disambut sebuah vas kristal besar dengan rangkaian bunga bernuansa putih. Lampu gantung berki
"Dasar anak tidak tahu balas budi!" hardik ibu angkat Bianca kala itu."Ada apa lagi? Apa ulahnya kali ini?" tanya ayah angkat Bianca dari dalam kamar. Kemudian berjalan mendekati sang istri yang sedang memelototi Bianca yang tertunduk ketakutan di hadapannya."Lihat ini, Mas! Anak ini sudah merusak bajuku. Ini mau aku pakai malam nanti untuk acara reuni. Kalau begini, aku harus pakai apa?" Ibu angkat Bianca menggoncang-gocangkan sesuatu di genggamannya, sebuah gaun berbahan halus yang telah rusak warna aslinya karena noda luntur di beberapa bagian."Aku hanya melakukan apa yang Ibu suruh. Aku memasukkan semua baju kotor ke dalam mesin cuci," ungkap Bianca membela diri.Ayah angkat Bianca merebut gaun itu dan membentangkannya. Dia mengamati gaun itu dengan kesal.
Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi
Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan
Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik
"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert
Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya
Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia
Rupanya Adam dan Fahar adalah kawan lama semasa menempuh S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Mereka berbeda jurusan, tetapi terbilang akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis puisi. Sehingga mereka sering bertemu dalam satu komunitas pecinta puisi di kampus. Mereka rajin mengikuti acara-acara seni literasi. Menghadiri pementasan musikalisasi puisi. Hingga pernah menggagas buku antologi puisi bersama. Namun, belum sempat naik cetak karena jejak Adam menghilang di hari mereka wisuda. Kabar yang Fahar dapat ketika itu bahwa Adam segera terbang untuk meneruskan S2 di Amerika. Sejak saat itu, Fahar hilang kontak dengan Adam. Hingga tibalah hari saat Fahar melihat kontrak kerja sama dengan perusahaan OSG. Ada nama Adam Harun Saguna tertera pada bagian pihak pertama. "Adam Harun Saguna?" desis Fahar. "Benar. Itu adalah nama pemilik OSG sekaligus CEO kami. Saya di sini bertindak sebagai wakil beliau untuk pelegalan kontrak
"Tolong! Saya terjebak di dalam sini!" teriak Bianca.Si pengetuk pintu langsung membuka pintu toilet wanita. Wajahnya terkejut karena mengira pintu utama toilet yang macet. Dia melihat ada bunga dan tas kerja di dekat wastafel. "Di mana?" serunya.Merasa mengenal pemilik suara itu, Bianca coba memastikan. "Pak Fahar?" tanyanya."Bianca?" Pria itu pun mengenali suara si korban."Saya di sini, Pak! Pintunya tidak bisa dibuka!" cicit Bianca.Karena mendengar ketukan Bianca, Fahar tahu perempuan itu terjebak di dalam bilik kedua."Menjauh dari pintu!" titah Fahar.Bianca beringsut di pojokan ruangan dengan tetap menjaga kesadarannya.Kemudian lelaki ini mencoba menekan kenop dan mendorong paksa dengan mengandalkan sisi samping badannya. Percobaan pertama gagal. Begitu pun percobaan kedua dan ketiga. Lalu usaha keempat membuahkan hasil. Lelaki itu terkejut melihat kondisi Bianca.Sementara itu Bianca menatap nanar ke a
Pagi pun tiba. Bianca sengaja datang lebih awal karena bermaksud ingin menemui satpam yang berjaga shift malam. Hajatnya untuk mengetahui pengirim bunga itu masih bergelora. Setelah memarkirkan si marun, motor matiknya, perempuan itu menghampiri seorang penjaga di pintu masuk gedung.Melihat kartu tanda pengenal yang menggantung di leher Bianca, penjaga itu mengenali bahwa Bianca adalah pegawai di gedung itu, sehingga pria itu tidak mencegahnya. "Selamat pagi, Bu?" tanya pria itu santun."Pagi, Pak Eko," sapa Bianca setelah melihat deretan huruf di seragam yang pria itu kenakan."Pagi sekali, Bu?" tanya Eko heran."Iya. Sekali-kali menghindari polusi, Pak," kata Bianca berbasa-basi. " Pak Eko baru di sini? Saya nggak pernah lihat," ujar Bianca menyelidik."Betul, Bu. Ini minggu pertama saya dan dapat shift malam," terang Eko.Bianca mengangguk tanda dirinya paham. "Oh, iya, Pak. Apa Pak Eko juga yang menerima kiriman bunga mawar buat s