Suasana yang semula hangat terasa mengalami pergeseran. "Jadi, kapan kamu bawa calon mantu untuk ibu, Dam?" tanya Nyonya Wursita dengan wajah serius.
Terpaksa Adam mengulas senyum untuk menenangkan perempuan paruh baya itu. "Pasti, Bu. Aku ini kan ganteng. Ibu mau mantu yang seperti apa? Biar aku pilihkan buat Ibu," seloroh Adam.
"Eh, ibu ini serius, ya." Candaan Adam menjadi tak ada artinya.
Wajah Adam menunjukkan ekspresi keheranan. Sementara Tuan Adyaksa menilai suasana akan tidak terkendali jika membiarkan Nyonya Wursita meneruskan topik tentang menantu.
"Hei, kalian ibu dan anak, apa tidak lapar? Mari kita makan dulu!" ajak Tuan Adyaksa seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja makan.
"Baiklah kita makan dulu. Kamu pasti belum makan, Nak. Ayo!" ajak Nyonya Wursita menggandeng lengan anaknya dan bersama melangkah menuju tempat mereka akan makan bersama.
Selain mereka bertiga, terdapat dua orang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja. Akan tetapi, seorang pelayan yang seharusnya selalu ada bersama keluarga itu tidak tampak.
"Lho, Pak Atmo ke mana, Bu?" tanya Adam penasaran.
Saat Adam bertanya, Nyonya Wursita tengah menyendokkan beberapa hidangan untuk diletakkan di piring suaminya.
"Pak Atmo sudah sepuh, Dam. Dia mengundurkan diri Minggu lalu. Diganti sama cucunya," terang Nyonya Wursita. perempuan itu melambaikan tangan pada seorang gadis muda berusia kisaran dua puluhan tahun.
Gadis itu mendekati meja dan bersikap sopan dengan menundukkan kepala.
"Namanya Citra. Citra, ini anakku, Mas Adam," jelas Nyonya Wursita mengenalkan sang putra kepada gadis itu.
Gadis itu menangkupkan kedua tangannya untuk memberi salam.
"Kamu sudah punya KTP, Cit?" tanya Adam tiba-tiba.
Tuan dan Nyonya Saguna bahkan terkejut tiba-tiba Adam bertanya tentang kartu identitas diri Citra.
"Sampun, Mas," jawab Citra malu-malu.
(Sudah)
"Oh, bagus. Kirain belum punya soalnya wajahmu kayak anak-anak," kelakar Adam.
"Kamu ini, Dam, ada-ada saja. Tak kira kenapa kamu tiba-tiba nanyain soal KTP," sahut Nyonya Wursita.
"Ya, jangan sampai mempekerjakan anak di bawah umur, Bu," jelas pria itu mengingatkan sang ibu.
"Gini-gini ibumu ini tahu aturan, Le," timpal Nyonya Wursita membela diri. "Meskipun wajahnya imut, umur Citra sudah dua puluh satu tahun ini," terang Nyonya Wursita.
(Le kependekan dari tole yang artinya anak lelaki)
Pipi Citra bersemu merah karena dipuji memiliki wajah imut. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Adam yang diakuinya memiliki wajah yang tampan.
"Nah, pengganti posisi Pak Atmo belum ada. Ayahmu janji mau nyariin," tandas Nyonya Wursita. Lalu dia memberikan isyarat kepada Citra untuk kembali ke tempatnya.
"Nyari pengganti buat handle rumah ini juga nggak boleh sembarang, Ta," tegas Tuan Adyaksa.
"Tapi harus secepatnya, Mas," cicit perempuan itu. "Hari jadi perusahaan sudah dekat. Pengganti Pak Atmo ndak boleh ditunda-tunda." Nyonya Wursita terdengar serius.
Adam baru akan menyuapkan sesuatu ke mulutnya ketika Nyonya Wursita memanggil namanya.
"Dam, atau kamu saja yang cari pengganti Pak Atmo?" usul Nyonya Wursita membuat Adam menunda aktivitas makannya.
"Boleh. Nanti salah satu asisten Adam bisa ambil posisi Pak Atmo," jawab Adam tanpa berpikir panjang lalu mulai mengunyah sesuatu karena sudah lapar.
"Jangan!" tolak Tuan Adyaksa. "Asistenmu bisa datang ke sini untuk sementara waktu sampai aku dapatkan orang yang sesuai untuk pengganti Pak Atmo," putus Tuan Adyaksa.
"Kok, gitu? Lebih cepat lebih baik, Mas," desis Nyonya Wursita.
"Asisten Adam itu sudah punya kerjaan sendiri-sendiri, Sita. Sudah … soal pengganti Pak Atmo biar aku yang urus," pungkas Tuan Adyaksa.
Mendengar keputusan sang suami, Nyonya Wursita memilih pasrah. Lalu mereka melanjutkan makan malam hingga hidangan terakhir.
"Aku ke kamar dulu," pamit Adam kepada kedua orang tuanya.
"Kamu menginap malam ini, Dam?" tanya Nyonya Wursita.
"Nggak, Bu. Aku cuma mau mandi. Habis itu balik," ungkap Adam.
"Sebelum balik, kita ngobrol dulu, ya. Ibu dan ayah tunggu di depan," pinta Nyonya Wursita.
"Iya," jawab Adam dengan menganggukkan kepala menyanggupi.
Saat Adam pergi, sepasang suami istri itu saling melempar tatap. Mereka berharap rencana mereka malam ini bagai gayung bersambut.
Adam memasuki kamar yang pernah menjadi tempatnya beristirahat sedari kanak-kanak. Isi dan posisi ruangan itu tak berubah. Nyonya Wursita menjaga dan merawat tempat itu tanpa menggeser satu pun barang milik Adam. Kamar itu terakhir dihuni saat sebelum Adam terbang ke Amerika untuk S2. Itu terjadi sekitar hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ruangan itu bersih dari debu. Membuat Adam selalu nyaman jika sesekali menginap di Menteng. Seperti kembali ke masa-masa sebelum disibukkan oleh pekerjaan. Matanya memindai seisi ruangan dari sudut ke sudut, dari satu benda ke benda yang lain. Isi kepalanya bergerak memutar ingatan-ingatan yang berhubungan dengan benda-benda itu.
Tatapan Adam berhenti pada sebuah kertas berukuran poster yang tergulung dan tersisip di antara gulungan lainnya pada sebuah tabung besar di kaki meja. Meski dalam enggan, dia tetap berjalan menuju tempat gulungan kertas itu.
Gulungan itu dibuka dan dihamparkan di atas meja. Sebuah sketsa seorang pria dan perempuan dalam kostum formal pernikahan. Di ujung kanan bawah gambar itu ada goresan paraf milik pelukisnya–Clarissa.
"Lihat, Sayang, apa yang aku buat," ujar Clarissa suatu ketika mengunjungi Adam saat awal mulai bekerja di perusahaan ayahnya. "Sketsa kita dengan pakaian pernikahan adat Jawa. Kau menyukainya? Aku sudah tak sabar," ucap Clarissa memamerkan karya goresan tangannya.
Adam selalu menyukai antusiasme yang ditunjukkan kekasihnya itu. Sangat bersemangat dan penuh hasrat. Mengingat Adam pribadi yang tak mudah jatuh hati maka sulit baginya memulai hubungan baru. Terlebih saat menjalin hubungan dengan Clarissa, dia sudah sangat serius dan merencanakan banyak hal untuk masa depan mereka bersama. Namun, takdir tak mengizinkan.
Raut wajah Adam selalu tersirat kekecewaan setiap mengingatnya. Setelah menghela napas panjang, gambar itu kembali ditutup lalu dikembalikan ke asalnya. Tangan kanannya menyisir rambutnya yang mulai panjang dan menggaruk asal meskipun tak gatal. Mencoba menyeret kesadarannya kembali pada kenyataan. Kemudian Adam berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri.
Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh malam. Adam pergi menemui Tuan dan Nyonya Saguna sebelum kembali pulang ke apartemen. Tuan Adyaksa sedang duduk di sofa favoritnya, sedangkan Nyonya Wursita duduk tak jauh dari sang suami dan sedang membaca sebuah majalah fashion langganannya. Kemudian perhatiannya teralihkan saat melihat Adam turut bergabung untuk duduk dengan mereka.
"Kamu apa ndak menginap saja, Dam? Sudah malam," saran sang ibu.
"Jakarta jam segini masih sore, Sita," timpal Tuan Adyaksa.
"Ck … ini namanya kekhawatiran seorang ibu, Mas," decak Nyonya Wursita mengoreksi komentar sang suami.
"Nggak bisa, Bu. Aku harus balik," ujar Adam. "Jadi Ayah, Ibu mau bicara soal apa?" tanyanya.
Sebelum menjawab pertanyaan Adam, Nyonya Wursita memandang sang suami. Begitu pula Adam sedang mempersiapkan diri karena sudah diperingatkan oleh Hassan, asisten pribadinya.
"Nak, apa kamu sudah punya pacar?" tanya perempuan itu hati-hati.
Adam sudah mempersiapkan diri mendengar pertanyaan sang ibu. Dengan tenang dia menjawab, "Aku terlalu sibuk, Bu. Mana ada yang mau pacaran sama orang yang nggak punya waktu buat mesra-mesraan," terang Adam lalu memamerkan senyum manisnya."Dam, apa kamu masih memikirkan Clarissa?" tanya Nyonya Wursita dengan nada curiga.Pria itu menjadi salah tingkah dan menjawab, "Sedang mengusahakan, Bu.""Ndak bisa, Dam! Ini ndak baik bagimu. Seharusnya kamu lebih dari berusaha. Sudah tiga tahun berlalu. Mantanmu itu sudah berada entah di mana dan bahagia. Lha … kamu? Masih saja menyimpan barang-barang darinya. Kapan kamu bisa melupakan dia kalau begitu caranya?" sembur perempuan itu menceramahi sang putra.Adam teringat barang yang sang ibu maksud memang masih ada di kamar miliknya."Ibu bisa membuangnya," timpal Adam."Oh, ndak! Harus kamu yang nyingkirin semua itu. Ibu ngajarin kamu buat jadi lelaki yang tegas, bagas, tapi ndak bringas. K
Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga. Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika." Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan. Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh laya
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.
Kedua mata Adam menatap tajam ke arah kerumunan penggemar yang ada di depan bioskop seraya menunjuk dia berujar, "Itu seperti perempuan kemarin."Lucky yang mendengar ucapan sang bos seketika melihat ke arah yang Adam tunjuk. "Siapa, Bos?" tanya Lucky penasaran.Adam terpaksa mengalihkan pandangan untuk menjelaskan maksudnya kepada Lucky. "Itu yang memakai kaus …." Adam kembali melihat kerumunan, tetapi orang yang dia maksud seperti menghilang atau sebenarnya sejak awal memang tak ada."Kaus? Banyak yang pakai kaus, Bos," kata Lucky ikut mengamati kumpulan orang-orang di sana.Adam menarik napas dalam dan kembali meneruskan perjalanan, "Ah, sudahlah."Seorang pria di dalam restoran melambaikan tangan menyapa dengan senyuman. "Pak Hendra sudah datang rupanya," ujar Lucky yang membalas sapaan pria tadi dengan anggukan. Adam pun melakukan hal serupa.Jarak antar meja di restoran itu sekitar lebih dari 1 meter. Adam berjalan lebih a
"Stick to the plan?" tanya Lucky dengan tatapan penuh arti ke arah sang bos. Adam tahu apa maksud pertanyaan Lucky yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban darinya. Dia menyandarkan punggung dan tertawa lirih menanggapi ide nakal dari bawahannya tersebut. "Hubungi Hassan untuk menunda semua agenda sampai lusa. Kalau tidak bisa ditunda, saya akan handle dari sini." Adam memberikan instruksi kepada Lucky yang masih duduk di depannya. "Siap," respons Lucky singkat. "Ya sudah, atur sana. Saya kembali ke kamar." Adam berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. Pria itu mendadak berhenti dan berbalik arah memberikan tambahan petunjuk kepada Lucky. "Oh ya, atur dengan low bud
Keindahan Pulau Beras Basah bukan tujuan utama Adam. Dia duduk di gazebo yang letaknya tidak jauh dari posisi Bianca berada. Saat dirinya sibuk berspekulasi, ponselnya berbunyi. Nyonya Wursita menelepon dan dia bertanya mengapa dirinya tidak segera kembali ke Jakarta sesuai rencana awal."Aku masih ada urusan, Bu," jawab Adam atas pertanyaan sang ibu.[Bisa ditinggal? Atau diwakilkan? Ibu ada tugas lebih penting buat kamu] Suara Nyonya Wursita terdengar serius dan tidak ingin didebat.Adam menelan ludahnya, lalu bertanya "Tugas apa, Bu?"[Paman dan bibimu mengundang kita makan malam besok] jawab Nyonya Wursita."Makan malam? Dalam rangka apa?"[Entah, ibu ndak paham. Mungkin ini ada hubungannya dengan Desmon yang sudah punya pacar] terang Nyonya Wursita."Oh. Mungkin hubungan mereka sudah serius, jadi harus mengundang keluarga besar untuk makan malam," sahut Adam.[Mungkin saja. Tapi yang jelas bibimu itu mau mengejek ibu
Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi
Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan
Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik
"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert
Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya
Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia
Rupanya Adam dan Fahar adalah kawan lama semasa menempuh S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Mereka berbeda jurusan, tetapi terbilang akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis puisi. Sehingga mereka sering bertemu dalam satu komunitas pecinta puisi di kampus. Mereka rajin mengikuti acara-acara seni literasi. Menghadiri pementasan musikalisasi puisi. Hingga pernah menggagas buku antologi puisi bersama. Namun, belum sempat naik cetak karena jejak Adam menghilang di hari mereka wisuda. Kabar yang Fahar dapat ketika itu bahwa Adam segera terbang untuk meneruskan S2 di Amerika. Sejak saat itu, Fahar hilang kontak dengan Adam. Hingga tibalah hari saat Fahar melihat kontrak kerja sama dengan perusahaan OSG. Ada nama Adam Harun Saguna tertera pada bagian pihak pertama. "Adam Harun Saguna?" desis Fahar. "Benar. Itu adalah nama pemilik OSG sekaligus CEO kami. Saya di sini bertindak sebagai wakil beliau untuk pelegalan kontrak
"Tolong! Saya terjebak di dalam sini!" teriak Bianca.Si pengetuk pintu langsung membuka pintu toilet wanita. Wajahnya terkejut karena mengira pintu utama toilet yang macet. Dia melihat ada bunga dan tas kerja di dekat wastafel. "Di mana?" serunya.Merasa mengenal pemilik suara itu, Bianca coba memastikan. "Pak Fahar?" tanyanya."Bianca?" Pria itu pun mengenali suara si korban."Saya di sini, Pak! Pintunya tidak bisa dibuka!" cicit Bianca.Karena mendengar ketukan Bianca, Fahar tahu perempuan itu terjebak di dalam bilik kedua."Menjauh dari pintu!" titah Fahar.Bianca beringsut di pojokan ruangan dengan tetap menjaga kesadarannya.Kemudian lelaki ini mencoba menekan kenop dan mendorong paksa dengan mengandalkan sisi samping badannya. Percobaan pertama gagal. Begitu pun percobaan kedua dan ketiga. Lalu usaha keempat membuahkan hasil. Lelaki itu terkejut melihat kondisi Bianca.Sementara itu Bianca menatap nanar ke a
Pagi pun tiba. Bianca sengaja datang lebih awal karena bermaksud ingin menemui satpam yang berjaga shift malam. Hajatnya untuk mengetahui pengirim bunga itu masih bergelora. Setelah memarkirkan si marun, motor matiknya, perempuan itu menghampiri seorang penjaga di pintu masuk gedung.Melihat kartu tanda pengenal yang menggantung di leher Bianca, penjaga itu mengenali bahwa Bianca adalah pegawai di gedung itu, sehingga pria itu tidak mencegahnya. "Selamat pagi, Bu?" tanya pria itu santun."Pagi, Pak Eko," sapa Bianca setelah melihat deretan huruf di seragam yang pria itu kenakan."Pagi sekali, Bu?" tanya Eko heran."Iya. Sekali-kali menghindari polusi, Pak," kata Bianca berbasa-basi. " Pak Eko baru di sini? Saya nggak pernah lihat," ujar Bianca menyelidik."Betul, Bu. Ini minggu pertama saya dan dapat shift malam," terang Eko.Bianca mengangguk tanda dirinya paham. "Oh, iya, Pak. Apa Pak Eko juga yang menerima kiriman bunga mawar buat s