Pertanyaan Baskara Yang Mengejutkan
Hari sudah menjelang petang, beberapa jam ke depan, sholat taraweh sudah akan dimulai. Pernikahan antara Lily dan Juna memang dilaksanakan satu hari sebelum memasuki bulan ramadan, dan saat ini, Lily sedang bersiap mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat maghrib. Sekeluarnya dari kamar mandi, ia mengambil sajadah lalu dibentangkannya sajadah itu dan mulai bersiap untuk sholat.
Suara dehaman membuatnya urung mengangkat tangan untuk takbiratul ikram."Sudah bersuami itu ya harusnya sholat berjamaah bersama dengan suaminya, bukan malah sholat sendiri," ujar Juna, pria yang kini resmi menjadi suami Lily.Lily tertunduk. Bukan tertunduk malu melainkan tertunduk kesal, karena sindiran yang diucapkan Juna. Ia segera mengambil sajadah lagi untuk sang suami, ketimbang dirinya nanti kena sindir lagi. Juna yang baru saja selesai mengambil wudlu, segera mengenakan baju koko dan sarungnya. Tak lama kemudian, mereka melaksanakan sholat maghrib secara berjama'ah. Setelah selesai sholat sunah ba'da maghrib, Lily mengambil mushaf Alqur'an dan mulai membacanya. Juna yang hendak mengganti kemeja kokonya mengurungkan niatnya. Ia memilih duduk di sofa yang berada di samping tempat tidurnya sambil memegang ponselnya berpura-pura membaca email-email yang masuk hari ini, padahal sebenarnya ia ingin mendengar lagi suara sang istri melantunkan ayat-ayat suci seperti tadi.Juna tertegun sejenak. What! Dia tadi sudah mengakui Lily sebagai istrinya???! gumamnya sendiri dalam hati. Padahal dia sebenarnya sama sekali tidak tertarik pada sosok Lily, gadis berambut lurus sebahu, dengan dua lesung pipi di kedua pipinya yang terlihat samar saat ia tersenyum. Tidak ada nilai lebih pada diri Lily yang bisa membuat dadanya berdesir. Alasan dirinya mau melakukan pernikahan ini hanya karena ancaman sang kakek yang akan harakiri bila ia tidak menyetujui permintaan sang kakek. Alasan yang sama dengan yang dilakukan pria tua itu pada Lily.Juna kembali tersadar dari lamunannya. Ia diam-diam ikut mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang dibaca oleh Lily. Suara gadis itu terdengar begitu sejuk, pelan dan jelas. Juna suka irama lagu bacaan Lily.Lily yang begitu fokus pada Alquran yang ada di hadapannya tidak tahu bila ia sedang disimak oleh Juna. Merasa sudah cukup banyak yang sudah ia baca, Lily kemudian mengakhiri bacaannya. Ia beranjak meninggalkan kamar itu. Lily lupa bila ia sudah menikah, sudah memiliki suami meski tanpa ada cinta diantara mereka. Seharusnya ia meminta ijin Juna selaku suaminya sekarang, untuk mengikuti sholat taraweh di masjid dekat rumahnya.Lily keluar dari kamar dengan diikuti tatapan tajam Juna yang sama sekali tidak disadarinya. Ia melangkah menuruni anak tangga satu persatu, hingga akhirnya dirinya sampai juga di ruang keluarga. "Ehm, hebat ya... baru juga tadi pagi nikah, tapi kok masih aja mau keluyuran tanpa ijin suami." Tiba-tiba dirinya kembali mendengar sindiran tajam dari suara bariton yang sama yang ia dengar tadi saat hendak sholat maghrib sendirian. Lily menghentikan langkah kakinya lalu membalikkan tubuhnya ke asal suara. Tampak di belakangnya Juna yang duduk dengan memasang wajah angker.Lily lantas menghela nafas kesal. Sebenarnya orang ini kenapa sih, batinnya mulai merasa risih. Siapa yang membangkang coba? Dirinya juga tidak terlibat percakapan yang berujung pada perdebatan dengan pria itu.Tak lama Lily baru menyadari sesuatu. Kesalahan yang membuat dirinya mendapatkan dua kali sindiran gaje dari sang suami. Ia merutuki kebodohanmya sendiri. Dengan kepala tertunduk, menatap lantai, Lily berjalan mendekati Juna yang masih menatapnya tajam."Mmm... maaf," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar, tanpa menatap Juna. Dirinya benar-benar lupa bila sudah menikah dan memiliki suami yang harus ia mintai ijin terlebih dulu bila hendak keluar rumah atau melakukan sesuatu."Ingat, kamu itu sudah menikah. Statusmu sekarang itu adalah istri seorang Juna. Meski kita menikah tanpa perasaan apa-apa, hukumnya tetap wajib bila kamu meminta ijin dari saya bila hendak keluar rumah atau melakukan sesuatu, apapun itu. Kecuali jika kau ingin menjadi istri yang durhaka, akan lain ceritanya nanti," ujar Juna sadis.Lily seketika terkesiap. Perkataan Juna sungguh menyakiti perasaannya. Meski dirinya agak kelewatan, lupa bila telah menikah bukan berarti Juna bisa seenak mulutnya sendiri berbicara sekasar itu padanya.Lumrahkan bila ia masih belum ingat kalau sudah menikah mengingat bagaimana proses pernikahan ini terjadi. Semua serba mendadak. Dua hari yang lalu ia masih seorang gadis yang masih bebas dan masih bermanja-manja dengan sang mama. Kemudian hanya dalam hitungan jam, semua langsung berubah.Lily masih berdiri mematung. Dirinya masih sangat terkejut dengan ucapan Juna yang sangat melukai perasaannya. Menangis. Ya, Lily menangis dalam hati. Mengapa nasib menuntunnya memiliki pria bermulut pedas seperti ini sebagai suaminya?Suara bariton memecah keheningan di antara pasangan pengantin baru itu."Kakak..." sapa laki-laki itu melangkah mendekat ke arah Juna sambil masih mengenakan tas ranselnya.
Juna mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki itu , tersenyum senang lalu segera menghampiri adik semata wayangnya itu.
"Mengapa baru datang sekarang?" Juna memeluk erat Baskara. Namun, Baskara tidak segera menjawab pertanyaan Juna karena perhatiannya tersita pada gadis yang berdiri tidak jauh darinya, yang saat itu juga sedang menatapnya. Baskara tertegun. Berulang kali ia mengerjap-kerjapkan matanya, tidak percaya dengan penglihatannya saat ini.
Apakah yang berdiri di depannya saat ini benar gadis itu? Gadis yang berhasil memaku hatinya yang membuat dirinya tidak bisa berpaling ke lain hati? Benarkah gadis itu Lily? Tanya-nya pada dirinya sendiri. Baskara perlahan melepaskan pelukannya dan mengangsur menjauh dari kakaknya, menatap bergantian dengan Lily.
"Siapa gadis itu?' tanya Baskara dengan harap-harap cemas.
"Makanya, jangan jadi anak bandel. Itu istri kakakmu. Kalau kau belum lupa tadi pagi kakakmu baru saja mengadakan ijab kabul sekalian resepsi, dan gadis di depanmu itu adalah istrinya, Lily. Namanya Lily." Kakek tiba-tiba saja sudah hadir di tengah-tengah mereka dengan kursi rodanya yang didorong oleh asistennya, Pak Yono.
"Cantikkan?! Menyesal kau sekarang. Salah sendiri menolak mentah-mentah permintaan kakek padahal belum melihat seperti apa orangnya. Rasakan kau sekarang." Kakek mengomel mengungkapkan kekesalannya yang kemarin ia pendam.
Baskara terkesiap. Ia mendadak merasa lemas, berusaha mencari pegangan untuk menopang dirinya. Wajahnya seketika pias dan tangannya mendadak dingin. Gadis yang lama ia incar dan ingin ia nikahi ternyata gadis yang kemarin ingin dijodohkan kakeknya untuk dirinya. Kepala Baskara mendadak berputar dan seketika pandangan matanya gelap. Juna dengan sigap menangkap tubuh limbung Baskara. Lily berteriak tertahan. Dibantu Pak Yono, Juna membopong tubuh Baskara masuk ke dalam kamar tamu.
Lily langsung berlari ke dapur mengambil air hangat untuk mengompres Baskara dan sebotol minyak kayu putih agar Baskara segera bangun dari pingsannya. Juna memandang Baskara heran. Wajah adiknya itu begitu pucat. Habis pergi darimana anak ini, gumamnya disela-sela keheranannya. Pak Yono ke dapur untuk membuat teh panas.
Lima belas menit berlalu, Baskara tidak kunjung sadar. Juna masih setia menunggu. Kali ini tidak hanya Lily, kakek dan pak Yono yang berada di kamar itu, tapi juga kedua orang tua mereka.
"Engg..." Baskara mengerang pelan. Dirinya perlahan berusaha membuka matanya. Juna segera mendekat ke samping tempat tidur Baskara. Dilapnya kening Baskara dengan kain kompres yang sebelumnya sudah disiapkan Lily.
"Minumlah dulu.." Juna mendekatkan bibir gelas yang berisi teh panas ke mulut Baskara. Baskara meminum sedikit demi sedikit teh panas itu.
Baskara menyudahi minumnya. Ia kini bersandar di headboard kasurnya. Ia terus menatap Lily yang kebetulan saat itu juga tengah menatap dirinya.
Ah, mata itu, gumam Baskara dalam hati. Bibir itu. Baskara menelan kembali salivanya. Ditatapnya intens wajah gadis di hadapannya itu. Betapa ia merindukan gadis itu. Selama dua tahun ia tidak bertemu. Kini, mereka bertemu dalam keadaan dan status yang sudah berbeda.
Kemudian terucap beberapa kalimat dari bibir baskara yang mampu membuat semua orang di ruangan itu terhenyak dan terngaga lebar.
"Apakah pernikahan kalian bisa dibatalkan?"
Siapa Pria Itu? Semua yang berada di kamar itu terkejut. Terlebih Lily, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Juna mengepalkan kedua tangannya. Ingin ia melayangkan bogem mentahnya ke wajah Baskara saat itu bila ia tidak ingat adiknya itu baru saja sadar dari pingsannya dan wajah itu masih terlihat lemah dan pucat. Mama Amelia yang tidak kalah terkejut dengan pertanyaan Baskara, berjalan mendekati Baskara dan duduk di pinggir kasur empuk itu. "Apakah kepalamu masih pusing? Belum makan sejak pagi?" Baskara terus di berondong Amelia terkait pertanyaan yang dianggap halusinasi Baskara sesaat karena dirinya baru saja sadar dari pingsannya. Pak Broto menghela nafas kasar. Ia tahu bahwa cucunya itu sedang menahan kecewa karena telah salah memilih langkah. Penyesalan selalu datang terlambat kan? Pak Broto langsung mengajak Pak Yono untuk mengantarkannya kembali beristirahat di kamarnya, tidak tega melihat wajah penu
Niat Lily dan Ingatan Baskara Baskara kembali memejamkan matanya. Obat yang baru saja ia minum mulai bereaksi. Pikirannya masih terbayang-bayang gadis yang tadi ia lihat di samping kakaknya. Lily, gumamnya lirih. Lupakah gadis itu padanya, tanyanya dalam hati. Diantara bayang-bayang Lily, Baskara akhirnya tertidur. Satu jam kemudian, Baskara terbangun dari tidurnya. Sakit kepala yang di deritanya mulai berangsur hilang, badannya kini lebih enteng dibanding sebelumnya. Pakaiannya basah karena keringat yang berhasil keluar dari pelipis dan sekujur tubuhnya. Baskara lantas bangun dari tidurnya secara perlahan. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan bersikat gigi. Hari sudah subuh, ia bergegas menunaikan kewajibannya sebelum matahari meninggi, lalu keluar dari kamarnya. -0- Lily mengambil mushaf Alquran yang ada di lemari buku yang letaknya paling tinggi. Setelah sahur, ia menyegerakan diri untuk bersiap menunaikan sholat subuh, bukan di masjid, namun sendiri di kamarnya. Ju
Kakek Tua Yang Menyebalkan Lily bangun pagi seperti biasa, namun bangun dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Rona bahagia terlihat jelas sejak ia membuka matanya. Lili berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya mengusir rasa malas dan kantuk yang masih sedikit menggantung di pelupuk matanya dan dengan cepat keluar dari kamar hendak membantu menyiapkan santapan sahur. Tampak olehnya, pria yang hobbynya berkata pedas padanya masih terlelap tidur, membuat lily berjalan sedkit pelan agar tidak membangunkannya.Lily menyiapkan empat piring dan 4 mangkuk kecil sebagai wadah untuk menikmati sup jamur yang ia masak sendiri. Lily memasak sup jamur spesial untuk suaminya sebagai ungkapan terimakasih karena sudah mengijinkan dirinya untuk bekerja kembali. Ia menyiapkan semua itu dengan perasaan yang bahagia.Ia bersenandung kecil ketika menaiki tangga hendak membangunkan suaminya. Baru saja dirinya tiba di depan pi
Ada Apa Dengan Laki-laki itu Sepasang pengantin baru itu terdiam dalam perjalanan menuju kantor Lily. Lily yang awalnya sangat bersemangat menyambut hari ini, menjadi lemas ketika ia mendengar jawaban Juna atas pertanyaan yang ia ajukan saat melihat Juna mengenakan jaket dan meraih kontak mobil di atas meja riasnya, saat ia sudah bersiap untuk mengenakan tas selempangnya."Peraturan pertama, berangkat aku yang antar, pulang aku yang jemput. Tidak setuju tidak usah masuk kerja lagi," jawab Juna dengan nada tegas tak terbantahkan.Impiannya menikmati kebebasan berangkat kerja sendiri buyar seketika mendengar perkataan Juna itu.Ia berulang kali berdecih kesal mengungkapkan kekecewaannya, namun Juna bersikap acuh, tidak menanggapi kekesalan Lily.Lily terus diam menatap jalan. Lama kelamaan ia tidak tahan dengan keheranannya. Mengapa Juna bisa tahu letak kantornya padahal ia belum pernah ke sana, bahkan sewaktu berangkat tadipu
Tidakkah Kita Saling Mengenal Dulu? Ponsel Lily yang berada di atas mesin jahit tiba-tiba berbunyi. Jam dinding yang berada di ruangan itu sudah menunjukkan pukul 3 sore.Lily menggeser tombol berwarna hijau." Assalammu"alaikum.""Waalaikumsalam. Aku sudah di depan ruanganmu. Cepat buka!" Suara ketus Juna terdengar.Lily bersegera membukakan pintu ruangannya yang tadi ia tutup karena ia hendak melaksakan sholat ashar di ruangannya."Kenapa pakai ditutup segala sih pintunya," omel Juna saat melangkah masuk ruangan bernuansa hijau tosca itu. "Saya kan sedang sholat ashar suamiku sayang," ujar Lily tanpa menyadari sapaan yang baru saja terlontar dari bibirnya.Juna tercenung mendengar sapaan Lily barusan. Serius itu tadi yang mengucapkan Lily, istrinya si gadis aneh? Suamiku sayang? Rasa panas menjalar ke seluruh wajah Juna, ia mendadak gugup. Salah tingkah sendiri. Bila set
KenanganLily terkesiap, mendengar pertanyaan laki-laki di depannya. Pandangannya semakin dalam seakan mencari kebenaran ucapan laki-laki itu. Detik berikutnya, Lily semakin merasa tidak berdaya."Tidakkah kita saling mengenal dulu?" Ia mengulangi lagi pertanyaannya, sambil tersenyum menatap Lily yang hanya diam mematung menatapnya. Mata bulat penuh binar itu tidak berubah, tetap indah seperti dulu, Baskara menggumam dalam hati. Dirinya terus saja mengamati wajah gadis di depannya yang masih menatap dirinya dalam diam. Lily tersadar dari diamnya lalu berdeham, menghilangkan kekakuan yang tercipta di antara mereka. "Maaf..." ucapnya pelan, seakan takut suaranya akan terdengar oleh orang lain selain mereka berdua. Baskara menangkap sikap Lily yang canggung. Ia tidak menyalahkan Lily. Dirinya dulu pernah menemani Lily untuk beberapa saat tanpa status hubungan yang jelas. Baik dirinya maupun Lily menjalani semu
Tekad Juna Seminggu sudah Lily berangkat dan pulang kerja bersama dengan Juna, dan dalam seminggu itu pula tidak begitu banyak perubahan yang terjadi pada hubungan mereka berdua. Juna masih dengan sikap ketusnya dan menjadi semakin dingin setiap kali melihat bagaimana Baskara memperlakukan Lily dengan begitu lembut, berbanding terbalik dengan dirinya. Hari ini, seperti biasa kebisuan menemani mereka selama perjalanan pulang hingga mobil sedan itu memasuki pekarangan luas keluarga Broto. Keduanya memasuki rumah dengan berjalan beriringan, terus melewati ruang tamu dan ruang keluarga, menaiki tangga hingga tibalah mereka di kamar mereka. Juna melepas sepatunya dan menggantinya dengan selop kamar, lalu melepas dasi dan kemejanya. Tinggallah sekarang dirinya hanya mengenakan kaos singlet masih dengan celana panjang yang sama. Sedangkan Lily,
Ceraikan Aku Juna melangkah acuh meninggalkan meja makan. Ia membiarkan Lily berjalan di belakangnya. Tidak lagi beriringan seperti biasanya. Kakek tua, Pak Broto, melihat semua kejadian yang berlangsung di meja makan selama buka puasa tadi. Ia menyaksikan bagaimana Baskara berusaha mendekati Lily, dan bagaimana ekspresi Juna melihat interaksi keduanya. Dalam hati kakek tua itu begitu sedih. Perjodohan yang ia harapkan dapat berakhir bahagia bagi sang cucu, justru menciptakan persaingan dan permusuhan diantara mereka. Dirinya sendiri tidak mampu menengahi pertikaian terselubung dua cucu kesayangannya itu. Ia hanya mampu menyerahkan semuanya kepada Yang Di Atas, akan seperti apa kedepannya hubungan kedua kakak beradik itu. Lily berdendang ringan meninggalkan meja makan. Ia melangkah menaiki tangga dengan riang ketika sebuah tangan kekar mencekal tangannya. Lily menghentikan langkahnya dan menoleh ke s
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela
Baskara langsung berdiri dan kembali ke loket tempat pembayaran. Telpon dari Lily membuat dirinya melupakan sejenak tentang nama pasien yang mirip dengan Juna. Untungnya, antrian tidak lagi sebanyak tadi. Hanya tinggal dua orang. *Apakah begitu banyak yang mengantri hingga kau membutuhkan waktu begitu lama menyelesaikan pembayarannya, Bas? Suara Lily terdengar seperti seseorang yang sedang merajuk. "Antri, Sayang. Banyak orang yang sedang mengantri melakukan pembayaran di sini." Baskara berbohong. Ia sendiri sedang berjalan, kembali menuju loket pembayaran. *Bukankah hari masih pagi, mengapa orang-orang sudah mengantri? Baskara menghela nafas panjang. Beginikah perubahan seorang wanita yang baru saja melahirkan? Begitu cerewet, mengomentari semuanya dengan sangat detil? "Kamu tidak percaya padaku?" Baskara menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bersiap-siap dengan lengkingan suara Lily, tapi itu tidak terjadi. *Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah bosan di sini. Pengen cepet-cepe
Juna duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, Ia menghisap sebuah cerutu yang anehnya, cerutu itu juga berwarna putih. Kepulan asap hanya terlihat bak garis tepi yang membentuk bulatan-bulatan tembus pandang, terbang hingga satu meter lalu menghilang tanpa jejak. Juna terus menghisap cerutu tanpa henti. Ia seakan sedang melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Pikiran Juna melanglang buana, entah kemana. Hanya saja, saat itu Juna sedang menghitung dalam hati usia pernikahannya dengan Lily. Jarinya mulai melambat kemudian berhenti berhitung. Ia menatap ke semua jari tangannya. Kurang satu bulan lagi, usia pernikahannya dengan Lily akan genap berusia satu tahun. "Sudah hampir satu tahun. Apakah aku sudah siap untuk melepasnya?" gumam Juna lirih. "Apa yang akan dilakukan Lily setelah perceraian ini? Akankah ia menikah dengan Baskara?" Juna kembali mengulang hitungannya dan tak lama kemudian dirinya berhenti . Berapa kalipun ia menghitung, ia akan berhenti di tempat yang sama
Juna berlari mengejar taksi yang baru saja berhenti di halaman depan bandara. Ia tidak menghiraukan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta setibanya ia dari Singapura. Yang ada dalam benaknya hanyalah Lily dan kandungannya. Ia sangat ingin menemani istrinya melewati masa-masa kritisnya saat melahirkan buah cinta mereka. Saat ia berhasil mencapai pintu taksi, mendadak sebuah sedan hitam menghantamnya dari samping kanan, membuat Juna terlempar ke udara setinggi satu meter sebelum jatuh ke sebelah kiri, berjarak sepuluh meter dari tempatnya berhenti semula. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ia ucapkan saat dirinya menyentuh tanah hanya satu kalimat. "Maafkan aku, Lily." Juna mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya hingga kemudian kehilangan kesadarannya. Juna memimpikan Baskara dalam alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia sudah berada dalam satu bangku panjang dengan adiknya. "Apakah dia sudah tidur?" tanyanya pada Baskara yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama