"Tentu tidak!" Tanpa sadar Arkan meninggikan suara dan seketika dia menurunkan kembali nada suaranya, "Aku tidak mengenali wanita itu sama sekali. Dia tiba-tiba saja datang ke hidupku dan membuat kekacauan."
Raya mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan penjelasan yang semakin berbelit-belit. "Baiklah. Kau sekarang sedang membahas wanita yang bernama Lunar." Melihat anggukan dari Arkan membuatnya bisa mencerna penjelasan satu persatu. "Lunar tiba-tiba datang dalam kehidupanmu, membuat kekacauan di dalam hubungan kita, dan kau memutuskan untuk menikah dengannya. " Satu anggukan lagi dia terima dan setelah itu kebingungan menghampiri. "Kau berselingkuh di belakangku?" Ucapnya mengambil kesimpulan atas tindakan Arkan.
Arkan langsung merangkul Raya yang sudah menjatuhkan air mata. "Aku tidak berselingkuh di belakangmu." Mengusap rambut wanita itu untuk menenangkan tangisan. "Hanya satu tahun saja pernikahan ini akan berlangsung. Setelah itu aku dan Lunar akan segera berpisah."
Raya menjauhkan pelukan itu darinya. "Apa maksudmu?"
"Ini memang sesuatu yang sangat konyol. Aku harus menikah dengannya dan setelah satu tahun nanti, kami akan berpisah. Semua ini hanya untuk mempertahankan citra perusahaan." Arkan menghela napas berat.
Raya diam sejenak mencerna penjelasan beruntun yang dia terima. "Jadi kau tidak berselingkuh di belakangku?"
Kepala Arkan yang menggeleng membuat senyumannya melebar. Dia memeluk Arkan dengan segenap jiwa, tidak ingin melepaskan karena kebahagiaan menyertainya saat ini. Air mata mengalir jatuh menambah lembapnya pipi yang telah basah.
"Mengetahui kau akan menikah dengan wanita lain membuatku sangat sedih. Aku mencari jadwal penerbangan tercepat dan tidak menyelesaikan semua pekerjaanku agar bisa datang menemuimu."
Arkan tersenyum senang ternyata Raya bisa memahaminya. Memang hal itu yang dia butuh kan sekarang karena tidak ada yang bisa dia jadikan sebagai bahu sandaran. Cukup dengan keberadaan Raya saja di sisinya, dia sudah merasa sangat tenang. Dia tidak salah memilih Raya sebagai calon pendamping hidupnya.
***
Lunar menuruni tangga dan dia langsung mendapati para pelayan sangat sibuk. Apalagi tadi dia juga melihat pelayan keluar dari kamar yang berada satu baris dengan kamarnya. Dia ingat saat Arkan mengatakan kalau semua yang ada di dalam kamar itu adalah kepunyaan Raya. Tidak tahu siapa pemilik nama tersebut karena dia juga tidak peduli akan hal itu.
Dia berlalu ke sisi dapur untuk mencari makanan yang bisa mengisi perut yang kosong. Bukan hanya membersihkan rumah, tetapi para pelayan juga menyiapkan makanan di dapur. Setiap dia ingin mengambil makanan yang tersedia, selalu dibawa pergi darinya. Begitu seterusnya hingga dia tidak bisa mendapatkan makanan apa pun di dalam dapur. Padahal perutnya sudah berdendang ria sejak dia bangun terlambat.
Tidak berputus asa, dia mencari makanan lainnya hingga mendapatkan roti. Dia mengolesi selai yang terdapat di samping bungkusan roti, lalu langsung melahapnya tanpa peduli akan pelayan yang masih sibuk bekerja. Siang ini dia harus bersabar dengan beberapa potong roti sebagai penyangga hidup. Sungguh kasihan. Di rumah yang terlampau mewah, dia hanya mendapatkan roti.
"Tuan Arkan sudah datang!" Seru salah seorang pelayan mengumumkan kepulangan pemilik rumah.
Lunar selesai mengolesi selai di potongan roti ke-enam. Roti didempetkan dengan roti lainnya, lalu dia melahap sedikit demi sedikit. Bungkusan yang mana tersisa beberapa roti saja dibawa bersama selai dan juga sendok sebagai media olesnya. Dia mengapitnya di antara lengan dan badan sehingga ada tangan yang kosong untuk memegangi roti yang masih dijepit di mulut. Sambil berjalan keluar dari dapur, dia mengunyah roti dan menggigit roti secara bergantian.
Langkahnya terhenti saat bertemu dengan Arkan dan seorang wanita yang tidak diketahuinya siapa. Dia hampir saja menjatuhkan semua yang dibawa kalau tidak membuat kesadarannya bertahan. Siapa wanita yang dibawa oleh Arkan? Permainan mengenai bisnis terselubung di belakang Royal Grey benar-benar sudah usai, bukan? Lalu untuk apa Arkan membawa wanita lain?
Arkan menghela napas panjang menghiraukan apa yang dia lihat saat ini. "Dia adalah Lunar yang aku bicarakan." Ucapnya dengan malas.
"Oh!" Merangkul Arkan sebagai bentuk pernyataan perang. "Aku Raya, kekasih asli Arkan. Salam kenal, Lunar."
Semua pelayan yang mendengar tidak asing lagi dengan tamu yang datang karena memang mereka sudah mengenal Raya. Hanya saja berita pernikahan yang melibatkan Lunar membuat mereka semua tidak tahu harus bersikap bagaimana. Raya adalah kekasih Arkan sebenarnya yang tinggal di tempat yang sama. Di sisi lain Lunar adalah calon istri pemilik rumah yang harus mereka hormati.
"Raya!" Lunar diingatkan kembali dengan nama yang sama berulang kali. Dia baru tahu ternyata Raya adalah kekasih Arkan. Pantas saja dia tidak diizinkan menyentuh apa pun yang ada di dalam kamar waktu itu. "Salam kenal, Raya." Dia kewalahan bagaimana harus bersalaman karena tidak ada tangan yang kosong. Alhasil dia menggigit roti agar bisa mengulurkan tangan.
Raya melepaskan rangkulan tangan yang dia lingkarkan. Ragu-ragu dia membalas jabatan tangan itu. Walaupun dia disambut ramah, tetapi dia masih belum bisa menghilangkan pikiran mengenai Lunar adalah wanita yang hanya ingin memanfaatkan Arkan saja. Pasti ada sesuatu di balik pernikahan palsu yang melibatkan Arkan.
"Kau bisa beristirahat di kamar, Raya. Aku harus kembali ke kantor sekarang." Ucap Arkan tidak bisa tinggal lebih lama.
Raya menganggukkan kepala. "Aku mengerti." Kemudian dia berlalu pergi bersama pelayan yang mengantarkan barang bawaan.
Arkan tidak ingin lagi dipusingkan dengan keberadaan Lunar yang membuatnya geleng kepala. Wanita itu sangat berantakan dan juga terlihat rakus. Dia tidak bisa membayangkan wanita yang berjalan membawa satu bungkus besar roti bersama stoples selai menjadi istrinya meski pernikahan yang akan dijalani adalah sesuatu yang palsu.
Sementara itu Lunar yang melihat kepergian Arkan langsung menyerahkan semua yang dia bawa pada pelayan yang ada di dekatnya, termasuk roti yang belum sempat dia habiskan. Dia berlari mengejar Arkan dengan terburu-buru sampai dia bisa merentangkan tangan untuk menghentikan langkah pria itu.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Arkan tampak tidak senang langkahnya dihentikan.
"Kita harus bicara."
"Aku tidak ada waktu untuk itu."
Sebaliknya Lunar tidak peduli dengan penolakan karena apa yang akan dibahasnya adalah sesuatu yang lebih penting. "Apa Raya akan tinggal di sini? Kita akan menikah dan dua orang wanita tinggal bersamamu, bukankah akan menjadi berita baru nantinya?"
"Semua orang tahu kalau aku dan Raya sudah mengenal sejak kecil. Tidak akan ada berita aneh mengenai kami."
"Oh," Lunar paham sekarang bahwa dirinya sedang terjebak di dalam hubungan lainnya yaitu cinta masa kecil seseorang. "Tapi.."
Arkan yang sudah terbuang percuma waktunya menyingkirkan tangan yang menghalangi jalan. Dia mengoceh kesal setelah berhasil masuk ke dalam mobil. Di dalam sana dia hanya memperhatikan wanita yang masih berdiri di posisi yang sama. Sampai mobil beranjak dari area parkir, dia tidak lagi memandang Lunar.
Sekretaris Ham sedikit bergumam sebelum menyampaikan apa yang menggeluti pikirannya sejak tadi, "Menurut saya apa yang dikatakan nona Lunar ada benarnya, tuan. Setelah menikah nanti tidak mungkin dua orang wanita berada di dalam satu rumah yang sama."
***
Di satu meja makan yang sama, mereka duduk bertiga dalam suasana canggung. Lunar tidak berhenti mencuri pandang pada kedua pasangan di depannya secara bergantian, Arkan tidak berhenti melonggarkan dasi yang seolah ingin mencekik lehernya, dan Raya merasa kalau meja yang dulu ditempati oleh dua orang saja, kini harus digunakan bersama orang asing dan hal itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Arkan masih menimbang-nimbang apa yang dikatakan oleh sekretarisnya kemarin mengenai rumah yang tidak mungkin dijadikan sebagai tempat tinggal dua orang wanita. Kalau boleh memilih, tentu saja dia akan menjatuhkan pilihannya pada Raya. Sayangnya, sekarang dia tidak bisa memilih sama sekali. Bagaimana dia bisa mengusir Raya yang sudah menempati rumah ini bersamanya begitu lama?
Apa dia membeli satu apartemen saja untuk dijadikan tempat tinggal Lunar? Dia akan tinggal bersama Raya di rumah yang sekarang, dengan begitu tidak ada yang merasa tidak nyaman dengan suasana yang mengharuskan mereka untuk bertatap muka.
Namun, kalau seperti itu pasti ayahnya tidak akan mengizinkan menantu di keluarga Grey tinggal di apartemen seorang diri. Persoalan tentang menentukan siapa yang akan tetap tinggal sungguh sangat rumit. Kenapa Lunar harus muncul dalam hidupnya?
Arkan menepis segala keraguan yang membuatnya sangat frustrasi, kemudian berkata, "Sebentar lagi aku dan Lunar akan menikah. Setelah itu, di rumah ini tidak mungkin ada dua orang wanita, karena hanya akan menimbulkan berita yang tidak-tidak mengenai kita."
Raya mendengar ucapan itu secara saksama. Apa yang disimpulkannya adalah Arkan ingin mengeluarkan salah satu di antara mereka dari rumah. Apakah dia yang akan diusir? Karena hanya dia yang tidak memiliki alasan untuk tinggal di sana.
Tidak ada yang salah dari keputusan Arkan karena dia merasa bahwa hal itu ada benarnya. Tidak mungkin ada dua wanita di dalam satu atap. Di sisi lain, kenapa harus dia yang sudah menempati rumah itu lebih dulu dibandingkan Lunar? Semuanya sangat tidak adil baginya.
Lunar menganggukkan kepala, menyetujui keputusan untuk mengeluarkan Raya dari rumah. Keberadaan wanita lain dalam kondisi mereka yang menikah nanti hanya akan merumitkan keadaan. Bisa-bisa nama baik yang sudah bersusah payah dipertahankan menjadi terancam kembali. Sudah cukup mereka yang menjadi dampak dari kesalahpahaman harus terjebak dalam ikatan pernikahan.
“Untuk itu aku putuskan membeli apartemen agar bisa ditempati salah satu dari kalian.”
"A—apa kau berniat untuk mengeluarkanku?" ucap Raya, berharap kalau pikiran buruknya tidak benar-benar terjadi.
Arkan menggelengkan kepala dengan yakin. "Tidak. Aku akan mengeluarkan Lunar."
Raya melebarkan kedua mata, begitu terkejut karena apa yang dipikirkan jelas berbeda dari kenyataan. Terutama Lunar yang lebih terkejut lagi mendengar keputusan yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
Bagaimana bisa Lunar diusir dari rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggal istrinya Arkan? Walaupun pernikahan mereka adalah sesuatu yang palsu, tetapi tetap saja tidak masuk akal, karena orang yang seharusnya akan menjadi nyonya di rumah itu harus mengalah.
“K-kenapa aku?”
“Karena kau hanyalah orang asing, baik itu sekarang atau nanti setelah kita menikah. Walaupun kau akan menyandang status sebagai istriku.”
Lunar tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia juga tidak bisa memungkiri kalau keberadaannya hanya lantaran sebuah kesalahan yang harus diterima. Mereka memang hanya orang asing yang tinggal di tempat yang sama. Tidak. Bahkan, kini dia akan tinggal di apartemen seorang diri. Istri dari pebisnis itu sendiri terasingkan di tempat khusus. Bukankah itu menyedihkan?
Lalu apa yang salah dari semua itu? Apa yang membuatnya sampai harus bersedih hati? Mereka hanyalah orang asing dan selamanya akan tetap begitu. Pihak yang paling diuntungkan di sini adalah dia, bukan? Dalam waktu satu tahun itu dia bisa mendapatkan tempat berlindung dengan status yang cemerlang. Tidak masalah jika dia seorang diri di apartemen. Lagi pula, dia memang tidak mengenal orang lain lagi di rumah ini.
“Kalau kau sudah memutuskannya, aku tidak bisa menolak,” ucap Lunar, menyembunyikan bagaimana senangnya dia saat ini.
“Bagaimana kalau kita luruskan saja kesalahpahaman ini? Bukankah akan lebih baik? Mungkin akan timbul berita lainnya, tapi setidaknya kalian tidak perlu menikah.” Raya berkata, sebenarnya keadaan mereka begitu menyedihkan dan dia ingin menyelamatkan mereka semua dari itu.
“Tidak!” Tanpa sadar Lunar dan Arkan berseru dengan lantang.
Suasana yang tadinya tenang langsung berubah. Raya memandangi mereka yang berseru secara bergantian dengan ekspresi seolah menuntut penjelasan. Meluruskan kesalahpahaman bukankah merupakan solusi yang bagus untuk pernikahan yang tidak diinginkan itu? Dengan begitu, tidak perlu mengadakan perayaan pernikahan. Semua akan kembali pada posisi masing-masing dengan Raya yang menjadi calon pengantin sesungguhnya.
“A-aku ....”
Lunar bingung harus memberikan alasan apa atas pilihannya yang tidak setuju. Jika dia mengatakan tidak ingin keberadaannya diketahui yang mana hanya akan membuat dia dinikahkan kembali, dia akan terkesan seperti wanita yang ingin mencari tempat berlindung dari calon suami orang lain.
“Ayah sudah membuat keputusannya,"—Arkan memegangi tangan Raya yang ada di atas meja—“Kau tahu bagaimana ayah, bukan?”
Raya menundukkan kepala dan menghela napas panjang. Tadi dia hanya memikirkan keinginannya, tidak ingin pernikahan benar-benar terjadi. Dia tidak memikirkan bagaimana nantinya keadaan Arkan di mata orang kalau tiba-tiba saja ada dua orang wanita yang muncul. Belum lagi dia yang dikenal sebagai teman baik Arkan sejak kecil, pasti akan memunculkan berbagai macam pertanyaan tentang hubungan asmara di antara mereka. Dia juga tahu kalau Arkan tidak ingin mengecewakan sang ayah kalau bisnis yang dikelola akan terkena dampaknya nanti.
Raya menipiskan bibir sembari menyentuhkan tangannya pula ke atas tangan yang memegangi. “Aku mengerti.”
Melihat hubungan yang terjalin di antara dua pasangan yang ada di depannya membuat Lunar merasa kikuk sendiri. Keberadaannya seolah menjadi orang ke-tiga, hal yang tidak pernah diniatkan sebelumnya, tetapi apa yang harus dilakukan ketika nasi telah menjadi bubur? Bukan hanya Arkan yang tidak ingin berada di situasi sekarang. Dia juga tidak ingin hidup dalam pernikahan palsu. Masih banyak yang ingin dikerjakannya di luar sana, berjalan di atas kehidupan normal jika bukan karena Nico.
Lunar mengikuti ke mana arah kaki pria yang membawanya menuju tempat tinggal baru. Dia berada di antara dua pria yang tinggi semampai. Di lorong sepi itu mereka bertiga berjalan dengan Arkan sebagai pemandunya. Di belakang ada Sekretaris Ham menggeret koper bernuansa gelap yang tidak diketahui apa isinya. Karpet merah yang dijajakinya sejak tadi menjadi penyambut kedatangannya. Entah mengapa dia merasa sedikit sedih karena harus berada di apartemen seorang diri. Biar bagaimanapun, dia yang tinggal bersama keluarganya selalu memiliki teman untuk diajak bicara. Pembahasan yang terjadi pasti selalu mengenai kapan dia akan mendapatkan pekerjaan atau membahas mengenai pernikahan. Seharusnya dia tidak merindukan pembahasan yang enggan untuk dihadapi itu. Mungkin pula dia hanya merindukan kedua orangtuanya. “Untuk ke depannya, kau akan tinggal di sini.” Lunar memandangi koper yang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah dibuka pintunya. Dia tidak langsung menggubris ucapan Arkan da
Apa kecurigaannya benar bahwa Sekretaris Ham menyukai Lunar? Mungkinkah Sekretaris Ham memiliki obsesi yang tidak sehat, karena memberikan gaun tidur yang begitu terbuka secara diam-diam? Arkan tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupan percintaan sang sekretaris, termasuk karakter wanita yang disukai. Dia juga tidak menanyakan apa-apa soal itu. Melalui kejadian Lunar, dia berpendapat bahwa sekretarisnya memiliki selera yang ekstrem mengenai hubungan asmara. “Kau membelikan gaun tidur untuk Lunar?” Sekretaris Ham menegakkan kepala, mengerutkan dahi. Gaun tidur? Apa yang dibicarakan atasannya saat ini? pikirnya. Kerutan dalam itu memudar setelah sadar akan apa yang dibicarakan. Dia memang memasukkan gaun tidur ke dalam koper saat mereka pergi membeli pakaian untuk Lunar. “Ya, Tuan." Arkan mengernyitkan alis dalam-dalam. “Kenapa? Aku tidak pernah memintamu untuk membelikannya. Apa kau menyukai Lunar dan ingin melihatnya mengenakan gaun tidur itu?” Sekretaris Ham menggelengkan kepa
Lunar menoleh ke asal suara dan dia langsung membalikkan badan memunggungi kamar mandi. Tadi, dia sedikit terpekik melihat Arkan yang setengah telanjang. Dia tidak mengira kalau Arkan benar-benar berada di dalam kamar mandi, karena tidak ada suara air yang terdengar sama sekali. “Aku bertanya, apa yang sedang kau lakukan?” Suara yang terdengar dekat membuat Lunar kewalahan. Dari ekor matanya, dia melihat kalau Arkan kini berdiri di sampingnya. “Kita berbicara nanti saja setelah kau berpakaian.” Lunar yang hendak melangkah digenggam tangannya dan membuat mereka saling berpandangan. “A-ada yang perlu aku bicarakan padamu, tapi nanti saja. Aku akan menunggumu di luar.” “Kita bicarakan sekarang.” Pegangan di tangan Lunar dilepaskan, Arkan duduk di kaki ranjang menanti apa yang ingin dibicarakan padanya. Lunar menghela napas dengan berat. “Tidak bisakah kau berpakaian lebih dulu? Kita akan berbicara nanti setelah kau tidak memamerkan otot yang kau punya.” “Aku lebih suka memamerkannya
Sora tercengang memandangi ponsel keluaran terbaru yang disodorkan. Ponsel itu bahkan belum diperjualbelikan di tempat mereka tinggal. Namun, Lunar sudah mendapatkannya lebih dulu. Beruntung sekali adiknya itu menikah dengan pria tampan, kaya, dan lebih utama yaitu masih muda. Berbanding terbalik dengannya yang harus setiap hari menghabiskan waktu bersama pria berumur. Sejumlah nomor diketik pada ponsel. Dia sengaja tidak memberikan nomor kedua orangtua mereka. Pokoknya, apa pun yang ingin disampaikan harus melalui dia terlebih dahulu. “Aku hanya menyimpan nomorku. Apa pun yang akan kau katakan pada orangtua kita, kau harus memberitahukannya padaku terlebih dahulu, karena aku tidak ingin ada yang pingsan lagi karenamu.” Lunar semakin sedih mendengar kekecewaan yang mendalam. Di dalam hati, dia meminta maaf pada orangtuanya. Tidak ada yang bisa dilakukan sampai pernikahan yang dijalaninya saat ini usai. Selama itu; dia harus bersikap di depan semua orang kalau dia adalah istrinya Ark
“Tidak, Raya. Aku tidak ingin mengambil risiko seperti seorang penggemar yang menyusup ke dalam apartemenmu. Tinggallah di sini karena rumahku sangat aman untuk kau tempati." Raya tidak membantah perkataan yang membuatnya kembali mengingat kejadian di mana seorang penggemar menyusup untuk bertemu dengannya. Saat itu, adalah kejadian mengerikan baginya sehingga membuat mereka memutuskan agar dirinya tinggal di rumah Arkan, tempat yang baginya juga sangat nyaman untuk ditinggali. "Baiklah." Arkan tahu kalau Raya berusaha menahan kesedihan, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Ragu-ragu dia memeluk kekasihnya, mungkin dengan begitu bisa mengurangi kesedihan Raya. Pun dengan dia yang juga merasakan kesedihan itu karena biar bagaimanapun, Raya sudah mengisi hari-harinya. Usai pelukan perpisahan, Arkan pergi dari rumah tanpa Raya yang mengantarkan. Dia berhenti sejenak ketika hendak meraih gagang pintu kabin. Perasaannya campur aduk jika mengingat lagi apa yang terjadi di dalam mobil, sema
Sampai di kantor pun, Arkan masih tidak bisa menyingkirkan wanita yang berkeliaran di pikirannya, bahkan ketika sudah beranjak malam. Dia masih di kantor, tidak berniat pulang dan mengharuskan dia bertatap muka dengan Lunar. Dia ingin melupakan bayangan Lunar untuk selamanya terlebih dahulu. "Semua pekerjaan telah selesai. Apa ... kita tidak akan pulang?" tanya Sekretaris Ham yang masih setia menemani itu. "Bagaimana aku bisa kembali jika Lunar masih ada di apartemen?" Biasanya Sekretaris Ham yang akan menyingkirkan penghalang Arkan, tetapi kali ini tidak bisa. Dia tidak bisa menyingkirkan istri atasannya sendiri, bukan? "Saya tidak bisa melakukan apa-apa pada nyonya Lunar, Tuan." Arkan melirik sang sekretaris. "Aku juga tidak memintamu untuk melakukan apa-apa pada Lunar." Arkan mengembuskan napas panjang. "Bagaimana dengan keadaan Raya? Aku sama sekali tidak mendapatkan kabar apa pun darinya." Sekretaris Ham terdiam mengingat apa yang terjadi ketika dia mendapatkan pesan untuk
Lunar membuka pintu apartemen yang berbunyi belnya. Tanpa pikir panjang, dia langsung membuka pintu. Tamu yang datang ternyata adalah ibunya. Dia mempersilakan ibunya masuk ke apartemen, lalu dengan kecemasan yang masih meliputi dia mengambilkan minuman beserta camilan sebagai sambutan. Dia duduk bersama ibunya tanpa berani mengangkat kepala. Pada akhirnya, dia bersuara juga karena terpikirkan kesalahan yang sudah dibuat. "Maaf, Ibu." "Kau sangat merepotkan." Ucapan sang ibu membuat Lunar semakin menundukkan kepala. Dia tidak sepenuhnya menyesal, tetapi di balik itu dia juga merasa bersalah karena merepotkan kedua orangtua. Suara helaan napas panjang terdengar. "Kau tidak tahu betapa malunya kami di hadapan semua orang karena kaburnya dirimu di acara pernikahan. Ayahmu sampai sakit karena hal itu." Lunar langsung mengangkat kepala. "Ayah sakit?" Sebelum keluarganya datang ke apartemen, mereka sempat berbicara melalui telepon. Tidak ada dari mereka yang mengatakan bagaimana kondis
Lunar kewalahan bagaimana menghadapi situasi. Seharusnya kedatangan ibunya hanya sebentar saja seperti yang dia katakan pada Arkan tadi namun sekarang jelas kebalikannya. "I-ibu, apa yang sedang ibu lakukan?" Lunar menarik tangan ibunya agar bisa duduk bersamanya kembali, tetapi sangat sulit karena ibunya menolak. Dia melirik ke arah Arkan ketika hampir jauh jarak mereka. "Ibu hanya bercanda. Kau tidak perlu memikirkannya dan anggap saja yang tadi hanya nyanyian." "Ibu tidak sedang bercanda atau bernyanyi, Lunar! Kau harus ikut pulang bersama ibu!" Sang ibu menarik putrinya sekuat tenaga hingga bisa pergi bersamanya. Kemudian dia berucap pada Arkan, "Kalau kau menginginkan anak kami, maka jemputlah dia." Seiring langkah yang membawanya menjauh, Lunar menoleh ke arah Arkan dengan harapan agar apa yang terjadi hari ini dilupakan saja. Dia juga tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran ibunya yang membuat keadaan semakin rumit. "Arkan!" Teriakan itu menjadi akhir dari tatapan mereka.
Lunar berubah pikiran. Dia membalikkan badan, kemudian dia menjewer telinga Arkan dan menyeret suaminya itu pergi bersamanya. Berbeda dengan Raya yang tidak ingin melihat Sekretaris Ham. Dua wanita itu memilih untuk membiarkan mereka tidur terpisah dengan sang suami. Sebelum pergi ke penginapan, Lunar sempat memarahi para wanita yang tidak memulangkan putrinya, padahal sudah jelas mereka terpisah. Para wanita itu merasa bersalah, tetapi dia juga menyalahkan Lunar yang lalai mengawasi anak. Mereka berdebat panjang dan dilerai oleh penjaga pantai. Penjaga pantai berkata akan memberikan pengarahan pada para wanita itu agar ke depannya tidak terjadi hal yang sama. Dia juga memohon agar Lunar tetap memperhatikan anaknya selama di pantai. Kasus kehilangan Elya selesai sampai di sana. Sekarang beralih pada kasus kedua di mana Arkan dan Sekretaris Ham harus berusaha keras untuk membujuk istri mereka supaya tidak marah lagi. Namun, tidak mudah seperti yang dibayangkan. Dalam satu lorong, Ar
Sesampainya di pantai, sungguh di luar dugaan melihat Lunar memakai handuk di tengah hawa yang panas ini. Wanita itu sepertinya akan masak, ditambah keringat yang terlihat sangat banyak. "Lunar, kau tidak kepanasan?" tanya Raya. Dia saja harus beradu argumen dengan suaminya sebelum berangkat, lalu mendapatkan toleransi untuk mengenakan pakaian yang memperlihatkan perutnya. Lunar menurunkan kacamata hitamnya, lalu menemukan pasangan yang sudah menikah baru saja datang. Mereka memang berada di bawah payung lebar, tapi hawa panas masih jelas terasa di tepi pantai. "Tanyakan saja pada Arkan." Arkan tersenyum dengan bangga karena dia sudah berhasil melindungi sang istri dari mata para pria. Dia memang sensitif soal pakaian wanita, saat bersama Raya menoleransinya sebagai pekerjaan, meskipun mereka juga sempat berdebat sebelumnya. Ternyata ada yang lebih parah dari Sekretaris Ham. "Kami rasa tidak perlu menanyakannya lagi," ucap Raya, dibenarkan oleh Sekretaris Ham, karena mereka tentu
Sekretaris Ham membuka bagasi mobil, meletakkan koper. Tidak lama setelah itu, Raya muncul penuh semangat dengan topi pantainya dan gaun di bawah lutut yang tampak santai. Raya berputar, membuat gaunnya mengembang. Saat itu, Sekretaris Ham segera berlutut untuk menutupnya. Dia tidak ingin orang lain melihat aset berharganya. Tahu akan hal itu, Raya langsung berhenti, menatap Sekretaris Ham yang berlutut sambil memegangi gaunnya. "Kau ini sedang apa?" Sekretaris Ham mengembuskan napas, lalu berdiri. "Orang lain akan melihat celana dalammu jika kau berputar begitu." Raya berpikir sesaat, lalu berkata, "Kita akan ke pantai, Sayang. Hal seperti ini bukan rahasia umum lagi. Kau juga akan melihat para wanita mengenakan bikini dan berjalan saat kau berselonjor. Jangan berpikir seperti orang lama, karena zaman sudah berkembang. Ok?" Sekretaris Ham menggelengkan kepala. "Berapa kali pun aku memikirkannya, itu tetap tidak benar. Aku tidak ingin tubuh istriku dilihat oleh pria lain." Sekre
Sekretaris Ham begitu gugup, tidak pernah membayangkan kalau dia akan mencapai sesuatu yang bahkan rasanya mustahil. Dia akan menikah dengan wanita yang hanya disukainya secara diam-diam selama hitungan tahun. Selain itu, Raya bagaikan permata yang tidak semua orang dapat miliki. Dia beruntung. "Ternyata kau berkhianat di belakangku selama ini." Sekretaris Ham menolehkan kepala, menemukan Arkan datang bersama Lunar dengan perut besar dan juga seorang anak perempuan. Gadis mungil yang tersenyum cerah padanya adalah anak pertama bosnya, sedangkan Lunar sedang hamil anak kedua sekarang. "Kau diam-diam menyukai Raya di belakangku ketika kami masih menjalin hubungan. Kenapa aku tidak mengetahuinya sama sekali, ya? Dan sekarang kau mengambil kesempatan di saat aku sudah melepaskannya. Kata apa yang baik untuk menyebutkan tindakanmu? Pengkhianatan?" "Anda juga berkhianat di belakang nona Raya dan perlu saya tegaskan kalau saya tidak merebutnya, jadi saya tidak berkhianat pada bos sendiri.
Sekretaris Ham kesulitan membawa barang-barang dalam jumlah yang sangat banyak. Dia tidak mengeluh soal itu, karena semua demi wanita pujaan hati. Langka sekali melihat Raya bisa berekspresi dengan bebas seperti sekarang. Setelah menyatakan perasaan pada Raya, mereka jadi sering jalan bersama. Pastinya selesai Sekretaris Ham bekerja dan tidak jarang mencuri kesempatan untuk bertemu. Perusahaan seperti ditebarkan bunga-bunga setiap hari, karena baik Arkan mau pun Sekretaris Ham tidak berhenti memikirkan seorang wanita di benak masing-masing. Pekerjaan jadi lebih cepat prosesnya ketika mengharapkan waktu yang banyak untuk pertemuan dengan kekasih hati. "Sekretaris Ham, bagaimana menurutmu yang ini?" Sekretaris Ham memperhatikan bagaimana indahnya kaki Raya saat mengenakan high heels. Tentu bukan hanya sekali dia memperhatikan hal itu, siapa saja akan mengatakan kalau Raya sangat cantik dengan kulit bersih bersinarnya. "Cantik," ucap Sekretaris Ham. Namun, komentar itu tidak membuat
Suara gerakan di atas ranjang berpadu dengan desahan yang begitu panjang. Tubuh mereka sudah dipenuhi keringat yang banyak. Percintaan sudah dilakukan berulang kali, tetapi rasanya mereka tidak pernah puas untuk saling memiliki. "Pelan-pelan," ucap Lunar dengan suara lirih. Mau tidak mau, Arkan harus melambatkan gerakannya. Dia sudah terbakar oleh hasrat dan tanpa sadar berbuat lebih dalam kondisi kehamilan istrinya. Meskipun intensitasnya pelan, tetapi dia terus mengerang. "Aku terpikirkan seafood saat ini." Lunar berkata dengan wajah yang sudah merona merah dan jeritan tertahan. Seketika suara riuh di dalam kamar terhenti. Arkan beringsut ke samping hingga terlentang. Tadi dia merasakan semangat yang luar biasa akan percintaan mereka, tetapi perkataan Lunar membuat dirinya seolah diguyur air dingin pada malam itu. Arkan melirik jam dinding sambil menghela napas panjang. "Ini sudah lewat tengah malam. Di mana aku akan menemukan seafood?" Lunar mencebik. "Aku menginginkannya seka
"Ini laporan keuangan beberapa bulan terakhir, Sir Arkan." Arkan meraih map berwarna biru gelap itu, lalu membuka lembaran di dalamnya. Dia mengusap bibir sembari membaca isinya dengan saksama. Tidak lama kemudian, dia menyelesaikan urusan membaca, lalu dia meletakkannya di meja. "Kerja bagus." Lunar mengerutkan dahi, merasa aneh lantaran laporan yang dia berikan dibaca begitu cepat, padahal butuh waktu lama baginya menyelesaikan laporan tersebut. "Apa Anda benar-benar membacanya?" Arkan menghampiri istrinya. Dia bersandar di tepi meja dan merangkul pinggang Lunar dengan lembut. "Tidak perlu bersikap formal padaku saat kita sedang berdua saja. Semua orang tahu kalau kau adalah istriku." Dia menyandarkan kepala di dada sang istri. "Baiklah, Arkan. Sekarang lepaskan aku. Jam kerja masih belum usai." Arkan cemberut kesal. Dia menengadahkan kepala tanpa membuat mereka menjauh. "Aku harus menemui klien nanti. Kita tidak bisa makan siang bersama." Lunar mengusap kepala suaminya lamba
Sekretaris Ham baru sadar dengan apa yang dia lakukan, memegangi kedua bahu Raya dan menatap mata wanita itu begitu dekat. Dia terbawa suasana setelah tadi begitu emosional, lantas membuat dia menarik diri untuk duduk di kursinya kembali. “M—maaf. Saya tidak bermaksud melakukan hal itu pada Anda. Hanya saja, perkataan saya serius bahwa saya tidak ingin Anda pergi menemui Sir Arkan.” “Itu tidak akan terjadi hari ini. Kau tenang saja. Aku perlu melakukan pemotretan dan sekarang sudah hampir waktunya. Kau bisa melajukan mobilnya kembali.” Sekretaris Ham menuruti keinginan Raya. Dia mengantarkan wanita itu menuju studio. Mereka berpisah dalam keadaan yang buruk, karena masing-masing merasa bahwa tadi adalah sikap paling emosional yang pernah diperlihatkan oleh mereka. Sejauh ini, mereka selalu bersenang-senang dan sekarang rasanya cukup janggal. Raya melirik mobil yang dikendarai Sekretaris Ham pergi begitu saja. “Ada apa dengannya? Kenapa begitu emosional? Aku hanya ingin bertemu, lal
Sekretaris Ham menawarkan diri untuk mengantarkan Raya ke studio. Dia sangat senang, karena Raya tidak menolak tawarannya. Apa bisa dikatakan kalau hubungan mereka semakin dekat? Di berniat untuk memberitahukan soal perasaannya, nanti ketika waktunya sudah tepat. Untuk sekarang, dia akan fokus dengan jalinan hubungan yang seperti ini ketimbang terburu-buru mendapatkan Raya. "Anda akan melakukan pemotretan dengan konsep apa hari ini?" "Hmm, mereka menyiapkan konsep peri di hutan. Ini adalah tayangan untuk sebuah iklan shampo." "Oh, Anda mendapatkan tawaran iklan sekarang?" "Aku selalu mendapatkannya, tapi jadwal yang padat membuat manajerku harus menolak banyak tawaran. Semua itu tidak mudah, karena kami harus memilah pekerjaan mana yang rasanya bisa diambil." "Anda memang sangat hebat. Fakta bahwa wanita karier yang sukses di samping saya membuat perasaan saya menjadi bangga." Raya tersenyum, berpikir untuk beberapa lama, kemudian berkata, "Jarang ada yang bangga padaku, karena