“Tidak, Raya. Aku tidak ingin mengambil risiko seperti seorang penggemar yang menyusup ke dalam apartemenmu. Tinggallah di sini karena rumahku sangat aman untuk kau tempati." Raya tidak membantah perkataan yang membuatnya kembali mengingat kejadian di mana seorang penggemar menyusup untuk bertemu dengannya. Saat itu, adalah kejadian mengerikan baginya sehingga membuat mereka memutuskan agar dirinya tinggal di rumah Arkan, tempat yang baginya juga sangat nyaman untuk ditinggali. "Baiklah." Arkan tahu kalau Raya berusaha menahan kesedihan, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Ragu-ragu dia memeluk kekasihnya, mungkin dengan begitu bisa mengurangi kesedihan Raya. Pun dengan dia yang juga merasakan kesedihan itu karena biar bagaimanapun, Raya sudah mengisi hari-harinya. Usai pelukan perpisahan, Arkan pergi dari rumah tanpa Raya yang mengantarkan. Dia berhenti sejenak ketika hendak meraih gagang pintu kabin. Perasaannya campur aduk jika mengingat lagi apa yang terjadi di dalam mobil, sema
Sampai di kantor pun, Arkan masih tidak bisa menyingkirkan wanita yang berkeliaran di pikirannya, bahkan ketika sudah beranjak malam. Dia masih di kantor, tidak berniat pulang dan mengharuskan dia bertatap muka dengan Lunar. Dia ingin melupakan bayangan Lunar untuk selamanya terlebih dahulu. "Semua pekerjaan telah selesai. Apa ... kita tidak akan pulang?" tanya Sekretaris Ham yang masih setia menemani itu. "Bagaimana aku bisa kembali jika Lunar masih ada di apartemen?" Biasanya Sekretaris Ham yang akan menyingkirkan penghalang Arkan, tetapi kali ini tidak bisa. Dia tidak bisa menyingkirkan istri atasannya sendiri, bukan? "Saya tidak bisa melakukan apa-apa pada nyonya Lunar, Tuan." Arkan melirik sang sekretaris. "Aku juga tidak memintamu untuk melakukan apa-apa pada Lunar." Arkan mengembuskan napas panjang. "Bagaimana dengan keadaan Raya? Aku sama sekali tidak mendapatkan kabar apa pun darinya." Sekretaris Ham terdiam mengingat apa yang terjadi ketika dia mendapatkan pesan untuk
Lunar membuka pintu apartemen yang berbunyi belnya. Tanpa pikir panjang, dia langsung membuka pintu. Tamu yang datang ternyata adalah ibunya. Dia mempersilakan ibunya masuk ke apartemen, lalu dengan kecemasan yang masih meliputi dia mengambilkan minuman beserta camilan sebagai sambutan. Dia duduk bersama ibunya tanpa berani mengangkat kepala. Pada akhirnya, dia bersuara juga karena terpikirkan kesalahan yang sudah dibuat. "Maaf, Ibu." "Kau sangat merepotkan." Ucapan sang ibu membuat Lunar semakin menundukkan kepala. Dia tidak sepenuhnya menyesal, tetapi di balik itu dia juga merasa bersalah karena merepotkan kedua orangtua. Suara helaan napas panjang terdengar. "Kau tidak tahu betapa malunya kami di hadapan semua orang karena kaburnya dirimu di acara pernikahan. Ayahmu sampai sakit karena hal itu." Lunar langsung mengangkat kepala. "Ayah sakit?" Sebelum keluarganya datang ke apartemen, mereka sempat berbicara melalui telepon. Tidak ada dari mereka yang mengatakan bagaimana kondis
Lunar kewalahan bagaimana menghadapi situasi. Seharusnya kedatangan ibunya hanya sebentar saja seperti yang dia katakan pada Arkan tadi namun sekarang jelas kebalikannya. "I-ibu, apa yang sedang ibu lakukan?" Lunar menarik tangan ibunya agar bisa duduk bersamanya kembali, tetapi sangat sulit karena ibunya menolak. Dia melirik ke arah Arkan ketika hampir jauh jarak mereka. "Ibu hanya bercanda. Kau tidak perlu memikirkannya dan anggap saja yang tadi hanya nyanyian." "Ibu tidak sedang bercanda atau bernyanyi, Lunar! Kau harus ikut pulang bersama ibu!" Sang ibu menarik putrinya sekuat tenaga hingga bisa pergi bersamanya. Kemudian dia berucap pada Arkan, "Kalau kau menginginkan anak kami, maka jemputlah dia." Seiring langkah yang membawanya menjauh, Lunar menoleh ke arah Arkan dengan harapan agar apa yang terjadi hari ini dilupakan saja. Dia juga tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran ibunya yang membuat keadaan semakin rumit. "Arkan!" Teriakan itu menjadi akhir dari tatapan mereka.
Belum sempat Arkan menjawab, tiba-tiba kedua tangannya diraih dan dicengkeram erat seolah pengawal yang ada di kedua sisinya saat ini sedang memborgolnya. "Apa ini? Dena! Kita akan mengobrol di apartemenku! Apartemenku kosong saat ini!" teriak Arkan. "T—tuan Arkan!" Arkan diseret dan dilempar masuk ke dalam sebuah mobil. Saat dia sadar ada di mana sekarang, dia terkejut karena sudah duduk bersama ayahnya. "Ayah bisa datang ke apartemenku saja. Tidak perlu membawa pasukan untuk membawaku." Arkan berkata dengan kesal. "Bagaimana aku bisa datang ke apartemenmu jika kau saja sedang berada di luar bersama wanita lain? Bahkan kalian berencana untuk berbicara di apartemen berdua saja." Arkan melirik ke arah luar jendela yang ada di samping ayahnya. Pasti sekretaris ayahnya yang mengatakan apa yang terjadi tadi. "Aku tidak benar-benar ingin melakukannya." Damien tertawa. "Apa yang membuatmu berhasrat pada seorang manajer apartemen? Aku mengenalmu dan tahu karakter wanita yang kau ingin
Gerakan sang ayah membuat Lunar langsung menghentikan ucapannya. Lantas, dia menghampiri Arkan dan menarik pria itu untuk pergi bersamanya. Mereka terus berjalan hingga berada jauh dari area teras belakang rumah. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lunar lagi. "Kami sedang bermain catur dan siapa yang menang akan mendapatkanmu. Aku berusaha menang, tapi ayahmu tertidur. Makanya, aku menunggu ayahmu terjaga kembali. Padahal, tinggal selangkah lagi sampai aku bisa menang." Lunar mengecup pipi kanan pria itu singkat. Perasaan bahagia mendorongnya untuk melakukannya secara tiba-tiba. "Terima kasih sudah mengusahakanku di depan ayah dan ibu." Walaupun Lunar tahu kalau semuanya hanya untuk mempertahankan hubungan palsu mereka saja, tetapi dia sangat senang karena pria yang dicintai berusaha untuknya. Untuk mendapatkannya. Arkan masih mematung setelah pipinya dikecup. Lambat-lambat, dia menolehkan kepala ke samping, "Kau juga bisa mencium pipi kiriku," ucapnya dengan nada rendah. Lunar
"Aku tidak berada dalam kondisi baik karena suamiku sedang makan bersama wanita lain." Tidak tahu dari kapan, tangannya sudah mencengkeram baju pria tersebut. "Dan sekarang kau yang ingin menabrakku, berkata kalau kami yang salah? Apa kau tidak pernah menderita sebelumnya? Hidupku sudah begitu kacau dan sekarang kau datang untuk lebih mengacaukannya? Jangan bercanda, Paman!" "Pa—paman?" Lunar melepaskan cengkeramannya dengan kasar, lalu beralih mengamati truk. "Apa kau membelinya lunas?" "H-hey, apa yang ingin kau lakukan dengan trukku?!" Sekretaris Ham mencoba untuk menghentikan, tetapi tidak didengarkan. Situasi semakin rumit saja, padahal dia berpikir untuk mengatasinya secara teratur agar tidak menimbulkan permasalahan lebih luas. Lantas, dia segera menghubungi Arkan untuk memberitahukan kejadian tersebut. "Kalau tidak, lebih baik kau pergi karena aku akan membuatnya hancur sebelum truk ini lunas. Hanya beberapa goresan akan menguras isi dompetmu, bukan?" Pria itu tampak ragu
Arkan tersenyum miring. "Kita tidak akan melakukannya sampai kesalahpahaman teratasi. Kau sudah membuat suasana hatiku buruk sejak hari itu." Lunar maju beberapa langkah ke depan sebelum mendorong pintu kamar dengan kuat. Dorongan menciptakan suara yang cukup nyaring. Setelah itu, dia menguncinya agar tidak ada yang keluar atau pun masuk ke dalam kamar. "Apa yang kau lakukan?" Lunar menarik kerah baju pria itu hingga tatapan mereka benar-benar bertemu. "Bukankah kau ingin kesalahpahaman kita berakhir? Jadi, katakan padaku, apa kau benar-benar membayangkan Raya ketika berbaring bersamaku?" Arkan berusaha menyingkirkan tangan yang mencengkeram kerahnya, tetapi sebaliknya tangan Lunar satunya lagi melakukan hal yang sama, mencengkeram kerahnya dengan kuat. "Aku tidak menyukai sikapmu ini, Lunar." "Aku tidak akan berhenti sebelum kau menjawabnya. Apa kau membayangkan Raya ...." Kali lini Arkan sungguh tidak bisa menoleransi. Dia menghentikan kalimat itu berlanjut dengan sebuah ciuma
Lunar berubah pikiran. Dia membalikkan badan, kemudian dia menjewer telinga Arkan dan menyeret suaminya itu pergi bersamanya. Berbeda dengan Raya yang tidak ingin melihat Sekretaris Ham. Dua wanita itu memilih untuk membiarkan mereka tidur terpisah dengan sang suami. Sebelum pergi ke penginapan, Lunar sempat memarahi para wanita yang tidak memulangkan putrinya, padahal sudah jelas mereka terpisah. Para wanita itu merasa bersalah, tetapi dia juga menyalahkan Lunar yang lalai mengawasi anak. Mereka berdebat panjang dan dilerai oleh penjaga pantai. Penjaga pantai berkata akan memberikan pengarahan pada para wanita itu agar ke depannya tidak terjadi hal yang sama. Dia juga memohon agar Lunar tetap memperhatikan anaknya selama di pantai. Kasus kehilangan Elya selesai sampai di sana. Sekarang beralih pada kasus kedua di mana Arkan dan Sekretaris Ham harus berusaha keras untuk membujuk istri mereka supaya tidak marah lagi. Namun, tidak mudah seperti yang dibayangkan. Dalam satu lorong, Ar
Sesampainya di pantai, sungguh di luar dugaan melihat Lunar memakai handuk di tengah hawa yang panas ini. Wanita itu sepertinya akan masak, ditambah keringat yang terlihat sangat banyak. "Lunar, kau tidak kepanasan?" tanya Raya. Dia saja harus beradu argumen dengan suaminya sebelum berangkat, lalu mendapatkan toleransi untuk mengenakan pakaian yang memperlihatkan perutnya. Lunar menurunkan kacamata hitamnya, lalu menemukan pasangan yang sudah menikah baru saja datang. Mereka memang berada di bawah payung lebar, tapi hawa panas masih jelas terasa di tepi pantai. "Tanyakan saja pada Arkan." Arkan tersenyum dengan bangga karena dia sudah berhasil melindungi sang istri dari mata para pria. Dia memang sensitif soal pakaian wanita, saat bersama Raya menoleransinya sebagai pekerjaan, meskipun mereka juga sempat berdebat sebelumnya. Ternyata ada yang lebih parah dari Sekretaris Ham. "Kami rasa tidak perlu menanyakannya lagi," ucap Raya, dibenarkan oleh Sekretaris Ham, karena mereka tentu
Sekretaris Ham membuka bagasi mobil, meletakkan koper. Tidak lama setelah itu, Raya muncul penuh semangat dengan topi pantainya dan gaun di bawah lutut yang tampak santai. Raya berputar, membuat gaunnya mengembang. Saat itu, Sekretaris Ham segera berlutut untuk menutupnya. Dia tidak ingin orang lain melihat aset berharganya. Tahu akan hal itu, Raya langsung berhenti, menatap Sekretaris Ham yang berlutut sambil memegangi gaunnya. "Kau ini sedang apa?" Sekretaris Ham mengembuskan napas, lalu berdiri. "Orang lain akan melihat celana dalammu jika kau berputar begitu." Raya berpikir sesaat, lalu berkata, "Kita akan ke pantai, Sayang. Hal seperti ini bukan rahasia umum lagi. Kau juga akan melihat para wanita mengenakan bikini dan berjalan saat kau berselonjor. Jangan berpikir seperti orang lama, karena zaman sudah berkembang. Ok?" Sekretaris Ham menggelengkan kepala. "Berapa kali pun aku memikirkannya, itu tetap tidak benar. Aku tidak ingin tubuh istriku dilihat oleh pria lain." Sekre
Sekretaris Ham begitu gugup, tidak pernah membayangkan kalau dia akan mencapai sesuatu yang bahkan rasanya mustahil. Dia akan menikah dengan wanita yang hanya disukainya secara diam-diam selama hitungan tahun. Selain itu, Raya bagaikan permata yang tidak semua orang dapat miliki. Dia beruntung. "Ternyata kau berkhianat di belakangku selama ini." Sekretaris Ham menolehkan kepala, menemukan Arkan datang bersama Lunar dengan perut besar dan juga seorang anak perempuan. Gadis mungil yang tersenyum cerah padanya adalah anak pertama bosnya, sedangkan Lunar sedang hamil anak kedua sekarang. "Kau diam-diam menyukai Raya di belakangku ketika kami masih menjalin hubungan. Kenapa aku tidak mengetahuinya sama sekali, ya? Dan sekarang kau mengambil kesempatan di saat aku sudah melepaskannya. Kata apa yang baik untuk menyebutkan tindakanmu? Pengkhianatan?" "Anda juga berkhianat di belakang nona Raya dan perlu saya tegaskan kalau saya tidak merebutnya, jadi saya tidak berkhianat pada bos sendiri.
Sekretaris Ham kesulitan membawa barang-barang dalam jumlah yang sangat banyak. Dia tidak mengeluh soal itu, karena semua demi wanita pujaan hati. Langka sekali melihat Raya bisa berekspresi dengan bebas seperti sekarang. Setelah menyatakan perasaan pada Raya, mereka jadi sering jalan bersama. Pastinya selesai Sekretaris Ham bekerja dan tidak jarang mencuri kesempatan untuk bertemu. Perusahaan seperti ditebarkan bunga-bunga setiap hari, karena baik Arkan mau pun Sekretaris Ham tidak berhenti memikirkan seorang wanita di benak masing-masing. Pekerjaan jadi lebih cepat prosesnya ketika mengharapkan waktu yang banyak untuk pertemuan dengan kekasih hati. "Sekretaris Ham, bagaimana menurutmu yang ini?" Sekretaris Ham memperhatikan bagaimana indahnya kaki Raya saat mengenakan high heels. Tentu bukan hanya sekali dia memperhatikan hal itu, siapa saja akan mengatakan kalau Raya sangat cantik dengan kulit bersih bersinarnya. "Cantik," ucap Sekretaris Ham. Namun, komentar itu tidak membuat
Suara gerakan di atas ranjang berpadu dengan desahan yang begitu panjang. Tubuh mereka sudah dipenuhi keringat yang banyak. Percintaan sudah dilakukan berulang kali, tetapi rasanya mereka tidak pernah puas untuk saling memiliki. "Pelan-pelan," ucap Lunar dengan suara lirih. Mau tidak mau, Arkan harus melambatkan gerakannya. Dia sudah terbakar oleh hasrat dan tanpa sadar berbuat lebih dalam kondisi kehamilan istrinya. Meskipun intensitasnya pelan, tetapi dia terus mengerang. "Aku terpikirkan seafood saat ini." Lunar berkata dengan wajah yang sudah merona merah dan jeritan tertahan. Seketika suara riuh di dalam kamar terhenti. Arkan beringsut ke samping hingga terlentang. Tadi dia merasakan semangat yang luar biasa akan percintaan mereka, tetapi perkataan Lunar membuat dirinya seolah diguyur air dingin pada malam itu. Arkan melirik jam dinding sambil menghela napas panjang. "Ini sudah lewat tengah malam. Di mana aku akan menemukan seafood?" Lunar mencebik. "Aku menginginkannya seka
"Ini laporan keuangan beberapa bulan terakhir, Sir Arkan." Arkan meraih map berwarna biru gelap itu, lalu membuka lembaran di dalamnya. Dia mengusap bibir sembari membaca isinya dengan saksama. Tidak lama kemudian, dia menyelesaikan urusan membaca, lalu dia meletakkannya di meja. "Kerja bagus." Lunar mengerutkan dahi, merasa aneh lantaran laporan yang dia berikan dibaca begitu cepat, padahal butuh waktu lama baginya menyelesaikan laporan tersebut. "Apa Anda benar-benar membacanya?" Arkan menghampiri istrinya. Dia bersandar di tepi meja dan merangkul pinggang Lunar dengan lembut. "Tidak perlu bersikap formal padaku saat kita sedang berdua saja. Semua orang tahu kalau kau adalah istriku." Dia menyandarkan kepala di dada sang istri. "Baiklah, Arkan. Sekarang lepaskan aku. Jam kerja masih belum usai." Arkan cemberut kesal. Dia menengadahkan kepala tanpa membuat mereka menjauh. "Aku harus menemui klien nanti. Kita tidak bisa makan siang bersama." Lunar mengusap kepala suaminya lamba
Sekretaris Ham baru sadar dengan apa yang dia lakukan, memegangi kedua bahu Raya dan menatap mata wanita itu begitu dekat. Dia terbawa suasana setelah tadi begitu emosional, lantas membuat dia menarik diri untuk duduk di kursinya kembali. “M—maaf. Saya tidak bermaksud melakukan hal itu pada Anda. Hanya saja, perkataan saya serius bahwa saya tidak ingin Anda pergi menemui Sir Arkan.” “Itu tidak akan terjadi hari ini. Kau tenang saja. Aku perlu melakukan pemotretan dan sekarang sudah hampir waktunya. Kau bisa melajukan mobilnya kembali.” Sekretaris Ham menuruti keinginan Raya. Dia mengantarkan wanita itu menuju studio. Mereka berpisah dalam keadaan yang buruk, karena masing-masing merasa bahwa tadi adalah sikap paling emosional yang pernah diperlihatkan oleh mereka. Sejauh ini, mereka selalu bersenang-senang dan sekarang rasanya cukup janggal. Raya melirik mobil yang dikendarai Sekretaris Ham pergi begitu saja. “Ada apa dengannya? Kenapa begitu emosional? Aku hanya ingin bertemu, lal
Sekretaris Ham menawarkan diri untuk mengantarkan Raya ke studio. Dia sangat senang, karena Raya tidak menolak tawarannya. Apa bisa dikatakan kalau hubungan mereka semakin dekat? Di berniat untuk memberitahukan soal perasaannya, nanti ketika waktunya sudah tepat. Untuk sekarang, dia akan fokus dengan jalinan hubungan yang seperti ini ketimbang terburu-buru mendapatkan Raya. "Anda akan melakukan pemotretan dengan konsep apa hari ini?" "Hmm, mereka menyiapkan konsep peri di hutan. Ini adalah tayangan untuk sebuah iklan shampo." "Oh, Anda mendapatkan tawaran iklan sekarang?" "Aku selalu mendapatkannya, tapi jadwal yang padat membuat manajerku harus menolak banyak tawaran. Semua itu tidak mudah, karena kami harus memilah pekerjaan mana yang rasanya bisa diambil." "Anda memang sangat hebat. Fakta bahwa wanita karier yang sukses di samping saya membuat perasaan saya menjadi bangga." Raya tersenyum, berpikir untuk beberapa lama, kemudian berkata, "Jarang ada yang bangga padaku, karena