Lunar mengikuti ke mana arah kaki pria yang membawanya menuju tempat tinggal baru. Dia berada di antara dua pria yang tinggi semampai. Di lorong sepi itu mereka bertiga berjalan dengan Arkan sebagai pemandunya. Di belakang ada Sekretaris Ham menggeret koper bernuansa gelap yang tidak diketahui apa isinya.
Karpet merah yang dijajakinya sejak tadi menjadi penyambut kedatangannya. Entah mengapa dia merasa sedikit sedih karena harus berada di apartemen seorang diri. Biar bagaimanapun, dia yang tinggal bersama keluarganya selalu memiliki teman untuk diajak bicara. Pembahasan yang terjadi pasti selalu mengenai kapan dia akan mendapatkan pekerjaan atau membahas mengenai pernikahan. Seharusnya dia tidak merindukan pembahasan yang enggan untuk dihadapi itu. Mungkin pula dia hanya merindukan kedua orangtuanya.
“Untuk ke depannya, kau akan tinggal di sini.”
Lunar memandangi koper yang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah dibuka pintunya. Dia tidak langsung menggubris ucapan Arkan dan lebih memilih untuk memasuki apartemen. Pandangannya dibawa berkeliling untuk mencari tahu seperti apa tempat yang akan ditinggali.
Dia berpikir bahwa Arkan akan memberikannya tempat tinggal yang biasa saja karena dia hanyalah orang asing, tetapi kenyataan tidak seperti apa yang dibayangkan, Arkan memberikannya tempat tinggal yang mewah.
“Terima kasih, Arkan.”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku melakukan semua ini karena kau akan menyandang status ... hmm, sebagai istriku.” Arkan sedikit berdeham karena pertama kali baginya menyebut kata ‘istri’. Dia merasa canggung, tetapi harus membiasakan diri karena Lunar akan menjadi istrinya.
Arkan memperhatikan koper berwarna hitam yang dibawa Sekretaris Ham tadi. “Untuk sementara, kau bisa menggunakan pakaian yang ada di dalam koper ini. Sekarang sudah cukup malam untuk membeli pakaian. Aku bukan pria serba ada yang selalu bisa mendatangkan apa yang kau butuh.”
Lunar tertawa kecil mendengar perkataan datar, tetapi mengundang kelucuan. “Aku tidak pernah berpikir kalau kau akan menjadi pria serba ada. Aku akan tinggal seorang diri di sini,”—dia menolehkan kepala pada sekeliling ruangan, kemudian menunjuk ke satu arah—“Bersama pot bunga, ubin lantai, langit-langit kamar.”
Arkan mengalihkan tatapannya dari pot bunga pada Lunar. Memang Lunar akan tinggal seorang diri di apartemen, tidak ada alasan baginya untuk tinggal bersama Lunar. “Kau akan menjadi istriku. Tidak mungkin aku tidak datang ke apartemen ini. Mereka akan mencurigai hubungan kita kalau aku tidak terlihat memasuki apartemen yang akan menjadi tempat tinggalmu ini.”
“Kau akan tinggal bersamaku di sini?”
"Hanya sesekali saja aku akan datang ke mari.”
“Baiklah.”
Sekretaris Ham yang sudah diberi isyarat langsung memberikan sebuah kantong pada Lunar, di dalamnya terdapat ponsel yang akan memudahkan komunikasi mereka berjalan. Sampai di tangan Lunar, ponsel baru dipandangi dengan mata yang berbinar-binar seperti akhirnya mendapatkan pertolongan hidup yang begitu besar.
“Di dalam sana sudah ada nomorku dan juga nomor Sekretaris Ham. Kau bisa menghubungiku hanya untuk sesuatu yang sangat penting dan mendesak. Selebihnya, kau bisa menghubungi sekretarisku.”
Ponsel yang berbunyi membuat Arkan harus segera mengangkat panggilan, tetapi di saat itu pula nada dering yang terdengar nyaring tadinya berhenti.
“Oh, ternyata ini benar-benar nomormu.”
Arkan menggeram kesal. “Sudah aku katakan menghubungiku untuk sesuatu yang sangat penting dan mendesak saja.”
Lunar tidak menggubris nada peringatan dan tetap sibuk dengan ponsel baru. Hanya ada nomor Arkan dan Sekretaris Ham saja di dalam ponsel, dia harus memikirkan nomor siapa lagi yang harus disimpan.
Sampai dia menyadari kalau sekarang sudah waktunya untuk berpisah, ponsel pun dia simpan sebelum dia mendorong Arkan dan Sekretaris Ham ke arah pintu apartemen. “Kembalilah. Sekarang sudah sangat malam untuk bertamu.”
Arkan tidak membantah karena sekarang memang sudah sangat malam, tetapi mendengar Lunar mengatakan kalau dia bertamu membuat kekesalan meliputi hati dan jiwa.
“Bertamu?”
Arkan menyeringai, sangat ingin mendebat. Sayang sekali, pintu apartemen langsung ditutup di depan mata sebelum dia sempat melanjutkan.
“Ini apartemenku! Aku yang membelinya! Dan kau akan menjadi istriku setelah ini!”
“T—tenang, Tuan.” Sekretaris Ham berusaha menenangkan, tidak timbul keributan. Dia menuntun Arkan agar mereka segera pergi dari sana.
***
Untuk yang ke-dua kalinya, Lunar mengenakan gaun pengantin berwarna putih. Dibandingkan gaun pernikahannya saat bersama Nico, gaun yang sekarang lebih tertutup. Jika dia kabur dengan menggunakan gaun yang dipakainya kini, makan akan sulit karena dia tidak bisa melangkah cepat, berjalan saja dia harus hati-hati supaya tidak terjatuh.
Lunar menerima tawaran tangan yang menunggu setelah tiba di dekat mempelai pria. Dia dibawa ke hadapan pendeta dengan sangat hati-hati. Hingga di depan saksi mereka bisa berdiri tegap secara berdampingan. Baru setelah itu tangan Lunar lepas dari genggaman yang begitu lembut.
Lunar berpikir kalau pria yang akan menikah dengannya sangat cuek dan juga sombong, tetapi ada sisi perhatian yang bisa dia lihat untuk hari ini. Seperti barusan, Arkan menunggu gerakan lambatnya dengan penuh kesabaran.
Mungkin ... anggapannya salah. Dia hampir lupa kalau pernikahan mereka bertujuan untuk mengelabui semua orang. Sudah pasti Arkan akan bersikap demikian demi citra di depan publik.
Janji pernikahan telah diikrarkan di depan saksi. Sorak kegembiraan langsung terdengar riuh di ruangan terbuka itu. Mereka sudah menikah, mereka benar-benar sudah menikah. Tampaknya semua berhasil dikelabui dengan baik.
Tiba-tiba pundak Lunar diputar hingga bisa menghadap Arkan. Dia membeliak saat wajah pria itu mendekati wajahnya. Tidak bisa berkata apa-apa karena jarak mereka sangatlah dekat, apalagi pinggangnya juga dirangkul dan dibawa dekat dengan tubuh Arkan. Mereka berciuman.
“Tetap seperti ini sampai sepuluh detik ke depan.”
Ciuman palsu. Mereka hanya membuat jarak dekat dan membuat bibir seolah saling menyentuh. Padahal, sebenarnya tidak ada ciuman di pernikahan mereka. Walaupun begitu, dia bisa merasakan bagaimana napas Arkan berdesir lembut menggelitik bibir. Ada apa dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang?
Sepuluh detik berlalu dan jarak mereka kembali jauh. Dia hanya melihat bagaimana Arkan tersenyum setelah ciuman palsu itu padanya seolah hanyut dalam perasaan yang mereka padukan tadi, terlebih genggaman tangan mereka tidak pernah lepas. Palsu.
Setelah acara usai mereka kembali pulang dengan Lunar yang satu mobil dengan Arkan. Selama perjalanan, mereka diam tidak bicara dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga mobil tiba di tempat tujuan, mereka turun dan beranjak masuk ke dalam gedung apartemen.
Lunar mengernyitkan alis, begitu heran kenapa mereka belum juga berpisah. Bahkan, kini Arkan juga masuk ke dalam apartemen yang sama dengannya. Hal itu membuat lidahnya gatal untuk mendapat jawaban secepat mungkin.
“Apa hari ini kau akan menginap?”
Arkan menghempaskan tubuh di atas sofa, lelah dengan kepura-puraan yang dijalaninya tadi di tempat acara pernikahan. Dia melepaskan dasinya sambil berkata, “Tentu saja tidak. Aku akan tetap di sini sampai Sekretaris Ham datang kembali dan mengatakan kalau keadaan di luar sudah aman terkendali.”
“Kalau begitu, apa kau ingin aku buatkan minuman sambil menunggu kedatangan Sekretaris Ham?”
“Kau tidak perlu repot. Aku akan mengambilnya sendiri. Cukup lakukan apa yang ingin kau lakukan. Anggap saja aku tidak ada di sini,” tegas Arkan.
Lunar mengerucutkan bibir. Hanya mengambilkan minuman seharusnya tidak ada yang salah. Dia pun mengangkat gaunnya supaya bisa berjalan, akan tetapi sepertinya akan sulit jika akan menaiki tangga. Tadi dia dibantu oleh Sekretaris Ham saat berjalan memasuki gedung, sekarang tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali pria yang duduk menengadahkan kepala sambil menutup mata di sofa.
“Bisakah kau membantuku menaiki tangga? Aku tidak bisa berjalan dengan bebas menggunakan gaun ini.”
Arkan yang tidak lagi menutup mata, melihat gaun pengantin yang dipakai membuat dia menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa membantu Lunar kecuali dia di sana. Mau tidak mau dia harus bangkit dan menghampiri wanita yang sedang mengalami kesulitan saat ini.
Arkan mengangkat tubuh Lunar dengan malas dan seketika pekikan terdengar. Lunar yang digendong tiba-tiba membuat tangannya harus melingkar di leher Arkan agar tidak terjatuh.
“K-kenapa kau menggendongku? Cukup bantu aku berjalan saja seperti Sekretaris Ham tadi, membantuku mengurusi gaun pengantin yang begitu panjang ini.”
"Lama. Aku tidak punya banyak waktu untuk memapahmu seperti tadi.”
Lunar mengerutkan dahi, mencerna apa yang didengar barusan. Tidak punya banyak waktu? Arkan memiliki banyak waktu sampai Sekretaris Ham nanti tiba. Pria itu jelas hanya berbicara asal-asalan.
Lunar yang masih larut dalam pikirannya sendiri mendadak dibuat terkejut saat tubuhnya dihempaskan di atas ranjang.
“Apa yang kau lakukan?!"
“Aku sudah membantumu, tidak perlu ucapan terima kasih.”
Setelah itu, Lunar hanya memandangi bagaimana Arkan pergi dari hadapan. Menyingkirkan sikap aneh Arkan, dia perlahan turun dari ranjang. Gaun pengantinnya dibuka agar dia bisa masuk ke dalam kamar mandi tanpa kesulitan. Di kamar mandi dia membasuh tubuh dengan air hangat, otot-ototnya seakan mendapatkan pijatan VIP yang sangat dibutuhkannya pada saat itu.
***
Arkan melirik jam tangan dan ponselnya secara bergantian. Tidak ada kabar dari Sekretaris Ham menandakan kalau belum waktunya bagi dia untuk pulang ke rumah. Selain itu, juga tidak ada kabar yang dia terima dari Raya sejak mereka terakhir bertemu. Mungkin, kekasihnya itu sedang menangisi pernikahannya dan hal itu membuat dia sangat sedih. Betapa dia ingin bertemu Raya, lalu menenangkan wanita itu.
Lamunan buyar saat Lunar melintas di hadapan. Arkan mengalihkan pandangan ke arah lain dengan cepat. “Bagaimana bisa kau berpakaian seperti itu saat seorang pria masih berada di dalam rumah ini?!”
Lunar yang mengambil minuman di dapur sedikit melambat gerakannya. Dia memperhatikan penampilan saat ini yang mengenakan pakaian tidur, lebih tepatnya gaun tidur. Lantas, apa yang salah dengan itu? Dia juga sudah memadukannya dengan baju luar sehingga apa yang dikenakan tidak terlalu terbuka.
“Jangan kemari!” seru Arkan, berusaha menyingkirkan pemandangan yang ada di hadapan dengan tangan.
“Kau yang membelikan pakaian ini untukku. Aku hanya memakai apa yang kau berikan.”
Arkan melirik Lunar yang meneguk isi gelas sebelum mengalihkan perhatian kembali. “Kau mendapatkan gaun tidur itu dari dalam koper?”
Lunar menganggukkan kepala sambil bergumam. Dia ingat pada malam itu, Arkan mengatakan kalau dia bisa memakai pakaian yang ada di dalam koper. Awalnya, dia tidak menyangka jika dia akan dibelikan gaun tidur, tetapi mengingat koper yang ada di dalam bagasi mobil membuatnya berpikir kalau Arkan adalah seorang maniak pakaian dalam wanita.
Mungkin Arkan sudah mati rasa soal memilih pakaian yang cocok untuk seorang wanita. Dia berharap kalau Raya tidak mengalami hal yang sama karena bisa saja Arkan dianggap sebagai pria mesum. Beruntung, hubungan mereka hanya sebagai orang asing sehingga tidak masalah besar baginya mengetahui sifat asli seorang Arkan.
“Aku tidak pernah membelikanmu ....”
Tiba-tiba Arkan teringat saat malam dia pulang setelah menemani klien penting bisnis ayahnya. Padahal, malam itu adalah waktu di mana dia akan mengantarkan Lunar pindah ke apartemen. Dia terlambat. Untungnya, Lunar masih terjaga ketika dia sampai di rumah.
Sebelumnya saat perjalanan pulang, Sekretaris Ham mengingatkan soal pakaian untuk Lunar. Pada saat itu juga mereka mencari toko pakaian, tetapi sayang hanya beberapa toko yang masih buka. Dia yang tidak mengerti soal pakaian wanita menyerahkan semua urusan pada sang sekretaris. Setelah itu, dia tidak memeriksa pakaian apa saja yang dibelikan, tidak pernah dikira jika Sekretaris Ham akan memasukkan gaun tidur ke dalam koper.
Kenapa Sekretaris Ham membelikan gaun tidur untuk Lunar? Apa sekretaris Ham memikirkan sesuatu yang buruk terhadap Lunar? Kenapa dia sangat risau akan hal itu? Dan kenapa dia tidak terpikirkan betapa perhatiannya Sekretaris Ham pada Lunar? Pasti ada saja mengenai Lunar yang Sekretaris Ham adukan padanya, pikir Arkan.
Bunyi bel membuyarkan lamunan. Perhatian mereka teralih dan saat itu pula Lunar beranjak membukakan pintu, sedangkan Arkan hanya melihat dari kejauhan bagaimana pintu apartemen dibuka. Tamu yang datang adalah Sekretaris Ham dan membuat Arkan bergegas menghampiri.
Arkan langsung membuat Lunar memunggungi tamu yang masih berada di luar secepat mungkin, tidak membiarkan Sekretaris Ham melihat apa yang dihalangi dari pandangan mata tadi. Pintu yang sudah terbuka lebar pun ditutup kembali. Dia mendorong tangannya hingga mencapai pintu agar sang sekretaris tidak dapat menerobos masuk ke dalam apartemen.
Lunar yang harus menepi sampai punggung membentur pintu sangat terkejut. Dia bertanya-tanya kenapa Arkan tiba-tiba bertindak aneh?
“Biarkan aku yang membuka pintunya. Lebih baik kau beristirahat di dalam kamar. Dan ingat untuk tidak sembarangan membuka pintu, apalagi dengan pakaian yang seperti sekarang.”
Arkan membuka pintu hanya sampai dia bisa keluar dari apartemen, lalu menutup pintu rapat-rapat setelahnya. Di jarak satu meter darinya, Sekretaris Ham berdiri menampilkan ekspresi keheranan. Sepertinya dia berhasil menghindarkan Lunar dari pikiran buruk seorang pria.
“Kita harus bicara,” ucap Arkan dengan nada serius. “Empat mata.” Dia menekankan sekali lagi bagaimana keseriusannya saat ini.
Sekretaris Ham masih menampilkan ekspresi yang sama sambil memandangi atasannya menjauh pergi. Terlebih dari itu melihat bagaimana Arkan berkata-kata, sepertinya yang akan dibicarakan dengannya adalah hal serius. Apa dia telah melakukan kesalahan besar sampai-sampai mereka harus berbicara secara empat mata? Masih diliputi kegelisahan, dia pun menyusul langkah Arkan keluar dari gedung apartemen
Apa kecurigaannya benar bahwa Sekretaris Ham menyukai Lunar? Mungkinkah Sekretaris Ham memiliki obsesi yang tidak sehat, karena memberikan gaun tidur yang begitu terbuka secara diam-diam? Arkan tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupan percintaan sang sekretaris, termasuk karakter wanita yang disukai. Dia juga tidak menanyakan apa-apa soal itu. Melalui kejadian Lunar, dia berpendapat bahwa sekretarisnya memiliki selera yang ekstrem mengenai hubungan asmara. “Kau membelikan gaun tidur untuk Lunar?” Sekretaris Ham menegakkan kepala, mengerutkan dahi. Gaun tidur? Apa yang dibicarakan atasannya saat ini? pikirnya. Kerutan dalam itu memudar setelah sadar akan apa yang dibicarakan. Dia memang memasukkan gaun tidur ke dalam koper saat mereka pergi membeli pakaian untuk Lunar. “Ya, Tuan." Arkan mengernyitkan alis dalam-dalam. “Kenapa? Aku tidak pernah memintamu untuk membelikannya. Apa kau menyukai Lunar dan ingin melihatnya mengenakan gaun tidur itu?” Sekretaris Ham menggelengkan kepa
Lunar menoleh ke asal suara dan dia langsung membalikkan badan memunggungi kamar mandi. Tadi, dia sedikit terpekik melihat Arkan yang setengah telanjang. Dia tidak mengira kalau Arkan benar-benar berada di dalam kamar mandi, karena tidak ada suara air yang terdengar sama sekali. “Aku bertanya, apa yang sedang kau lakukan?” Suara yang terdengar dekat membuat Lunar kewalahan. Dari ekor matanya, dia melihat kalau Arkan kini berdiri di sampingnya. “Kita berbicara nanti saja setelah kau berpakaian.” Lunar yang hendak melangkah digenggam tangannya dan membuat mereka saling berpandangan. “A-ada yang perlu aku bicarakan padamu, tapi nanti saja. Aku akan menunggumu di luar.” “Kita bicarakan sekarang.” Pegangan di tangan Lunar dilepaskan, Arkan duduk di kaki ranjang menanti apa yang ingin dibicarakan padanya. Lunar menghela napas dengan berat. “Tidak bisakah kau berpakaian lebih dulu? Kita akan berbicara nanti setelah kau tidak memamerkan otot yang kau punya.” “Aku lebih suka memamerkannya
Sora tercengang memandangi ponsel keluaran terbaru yang disodorkan. Ponsel itu bahkan belum diperjualbelikan di tempat mereka tinggal. Namun, Lunar sudah mendapatkannya lebih dulu. Beruntung sekali adiknya itu menikah dengan pria tampan, kaya, dan lebih utama yaitu masih muda. Berbanding terbalik dengannya yang harus setiap hari menghabiskan waktu bersama pria berumur. Sejumlah nomor diketik pada ponsel. Dia sengaja tidak memberikan nomor kedua orangtua mereka. Pokoknya, apa pun yang ingin disampaikan harus melalui dia terlebih dahulu. “Aku hanya menyimpan nomorku. Apa pun yang akan kau katakan pada orangtua kita, kau harus memberitahukannya padaku terlebih dahulu, karena aku tidak ingin ada yang pingsan lagi karenamu.” Lunar semakin sedih mendengar kekecewaan yang mendalam. Di dalam hati, dia meminta maaf pada orangtuanya. Tidak ada yang bisa dilakukan sampai pernikahan yang dijalaninya saat ini usai. Selama itu; dia harus bersikap di depan semua orang kalau dia adalah istrinya Ark
“Tidak, Raya. Aku tidak ingin mengambil risiko seperti seorang penggemar yang menyusup ke dalam apartemenmu. Tinggallah di sini karena rumahku sangat aman untuk kau tempati." Raya tidak membantah perkataan yang membuatnya kembali mengingat kejadian di mana seorang penggemar menyusup untuk bertemu dengannya. Saat itu, adalah kejadian mengerikan baginya sehingga membuat mereka memutuskan agar dirinya tinggal di rumah Arkan, tempat yang baginya juga sangat nyaman untuk ditinggali. "Baiklah." Arkan tahu kalau Raya berusaha menahan kesedihan, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Ragu-ragu dia memeluk kekasihnya, mungkin dengan begitu bisa mengurangi kesedihan Raya. Pun dengan dia yang juga merasakan kesedihan itu karena biar bagaimanapun, Raya sudah mengisi hari-harinya. Usai pelukan perpisahan, Arkan pergi dari rumah tanpa Raya yang mengantarkan. Dia berhenti sejenak ketika hendak meraih gagang pintu kabin. Perasaannya campur aduk jika mengingat lagi apa yang terjadi di dalam mobil, sema
Sampai di kantor pun, Arkan masih tidak bisa menyingkirkan wanita yang berkeliaran di pikirannya, bahkan ketika sudah beranjak malam. Dia masih di kantor, tidak berniat pulang dan mengharuskan dia bertatap muka dengan Lunar. Dia ingin melupakan bayangan Lunar untuk selamanya terlebih dahulu. "Semua pekerjaan telah selesai. Apa ... kita tidak akan pulang?" tanya Sekretaris Ham yang masih setia menemani itu. "Bagaimana aku bisa kembali jika Lunar masih ada di apartemen?" Biasanya Sekretaris Ham yang akan menyingkirkan penghalang Arkan, tetapi kali ini tidak bisa. Dia tidak bisa menyingkirkan istri atasannya sendiri, bukan? "Saya tidak bisa melakukan apa-apa pada nyonya Lunar, Tuan." Arkan melirik sang sekretaris. "Aku juga tidak memintamu untuk melakukan apa-apa pada Lunar." Arkan mengembuskan napas panjang. "Bagaimana dengan keadaan Raya? Aku sama sekali tidak mendapatkan kabar apa pun darinya." Sekretaris Ham terdiam mengingat apa yang terjadi ketika dia mendapatkan pesan untuk
Lunar membuka pintu apartemen yang berbunyi belnya. Tanpa pikir panjang, dia langsung membuka pintu. Tamu yang datang ternyata adalah ibunya. Dia mempersilakan ibunya masuk ke apartemen, lalu dengan kecemasan yang masih meliputi dia mengambilkan minuman beserta camilan sebagai sambutan. Dia duduk bersama ibunya tanpa berani mengangkat kepala. Pada akhirnya, dia bersuara juga karena terpikirkan kesalahan yang sudah dibuat. "Maaf, Ibu." "Kau sangat merepotkan." Ucapan sang ibu membuat Lunar semakin menundukkan kepala. Dia tidak sepenuhnya menyesal, tetapi di balik itu dia juga merasa bersalah karena merepotkan kedua orangtua. Suara helaan napas panjang terdengar. "Kau tidak tahu betapa malunya kami di hadapan semua orang karena kaburnya dirimu di acara pernikahan. Ayahmu sampai sakit karena hal itu." Lunar langsung mengangkat kepala. "Ayah sakit?" Sebelum keluarganya datang ke apartemen, mereka sempat berbicara melalui telepon. Tidak ada dari mereka yang mengatakan bagaimana kondis
Lunar kewalahan bagaimana menghadapi situasi. Seharusnya kedatangan ibunya hanya sebentar saja seperti yang dia katakan pada Arkan tadi namun sekarang jelas kebalikannya. "I-ibu, apa yang sedang ibu lakukan?" Lunar menarik tangan ibunya agar bisa duduk bersamanya kembali, tetapi sangat sulit karena ibunya menolak. Dia melirik ke arah Arkan ketika hampir jauh jarak mereka. "Ibu hanya bercanda. Kau tidak perlu memikirkannya dan anggap saja yang tadi hanya nyanyian." "Ibu tidak sedang bercanda atau bernyanyi, Lunar! Kau harus ikut pulang bersama ibu!" Sang ibu menarik putrinya sekuat tenaga hingga bisa pergi bersamanya. Kemudian dia berucap pada Arkan, "Kalau kau menginginkan anak kami, maka jemputlah dia." Seiring langkah yang membawanya menjauh, Lunar menoleh ke arah Arkan dengan harapan agar apa yang terjadi hari ini dilupakan saja. Dia juga tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran ibunya yang membuat keadaan semakin rumit. "Arkan!" Teriakan itu menjadi akhir dari tatapan mereka.
Belum sempat Arkan menjawab, tiba-tiba kedua tangannya diraih dan dicengkeram erat seolah pengawal yang ada di kedua sisinya saat ini sedang memborgolnya. "Apa ini? Dena! Kita akan mengobrol di apartemenku! Apartemenku kosong saat ini!" teriak Arkan. "T—tuan Arkan!" Arkan diseret dan dilempar masuk ke dalam sebuah mobil. Saat dia sadar ada di mana sekarang, dia terkejut karena sudah duduk bersama ayahnya. "Ayah bisa datang ke apartemenku saja. Tidak perlu membawa pasukan untuk membawaku." Arkan berkata dengan kesal. "Bagaimana aku bisa datang ke apartemenmu jika kau saja sedang berada di luar bersama wanita lain? Bahkan kalian berencana untuk berbicara di apartemen berdua saja." Arkan melirik ke arah luar jendela yang ada di samping ayahnya. Pasti sekretaris ayahnya yang mengatakan apa yang terjadi tadi. "Aku tidak benar-benar ingin melakukannya." Damien tertawa. "Apa yang membuatmu berhasrat pada seorang manajer apartemen? Aku mengenalmu dan tahu karakter wanita yang kau ingin
Lunar berubah pikiran. Dia membalikkan badan, kemudian dia menjewer telinga Arkan dan menyeret suaminya itu pergi bersamanya. Berbeda dengan Raya yang tidak ingin melihat Sekretaris Ham. Dua wanita itu memilih untuk membiarkan mereka tidur terpisah dengan sang suami. Sebelum pergi ke penginapan, Lunar sempat memarahi para wanita yang tidak memulangkan putrinya, padahal sudah jelas mereka terpisah. Para wanita itu merasa bersalah, tetapi dia juga menyalahkan Lunar yang lalai mengawasi anak. Mereka berdebat panjang dan dilerai oleh penjaga pantai. Penjaga pantai berkata akan memberikan pengarahan pada para wanita itu agar ke depannya tidak terjadi hal yang sama. Dia juga memohon agar Lunar tetap memperhatikan anaknya selama di pantai. Kasus kehilangan Elya selesai sampai di sana. Sekarang beralih pada kasus kedua di mana Arkan dan Sekretaris Ham harus berusaha keras untuk membujuk istri mereka supaya tidak marah lagi. Namun, tidak mudah seperti yang dibayangkan. Dalam satu lorong, Ar
Sesampainya di pantai, sungguh di luar dugaan melihat Lunar memakai handuk di tengah hawa yang panas ini. Wanita itu sepertinya akan masak, ditambah keringat yang terlihat sangat banyak. "Lunar, kau tidak kepanasan?" tanya Raya. Dia saja harus beradu argumen dengan suaminya sebelum berangkat, lalu mendapatkan toleransi untuk mengenakan pakaian yang memperlihatkan perutnya. Lunar menurunkan kacamata hitamnya, lalu menemukan pasangan yang sudah menikah baru saja datang. Mereka memang berada di bawah payung lebar, tapi hawa panas masih jelas terasa di tepi pantai. "Tanyakan saja pada Arkan." Arkan tersenyum dengan bangga karena dia sudah berhasil melindungi sang istri dari mata para pria. Dia memang sensitif soal pakaian wanita, saat bersama Raya menoleransinya sebagai pekerjaan, meskipun mereka juga sempat berdebat sebelumnya. Ternyata ada yang lebih parah dari Sekretaris Ham. "Kami rasa tidak perlu menanyakannya lagi," ucap Raya, dibenarkan oleh Sekretaris Ham, karena mereka tentu
Sekretaris Ham membuka bagasi mobil, meletakkan koper. Tidak lama setelah itu, Raya muncul penuh semangat dengan topi pantainya dan gaun di bawah lutut yang tampak santai. Raya berputar, membuat gaunnya mengembang. Saat itu, Sekretaris Ham segera berlutut untuk menutupnya. Dia tidak ingin orang lain melihat aset berharganya. Tahu akan hal itu, Raya langsung berhenti, menatap Sekretaris Ham yang berlutut sambil memegangi gaunnya. "Kau ini sedang apa?" Sekretaris Ham mengembuskan napas, lalu berdiri. "Orang lain akan melihat celana dalammu jika kau berputar begitu." Raya berpikir sesaat, lalu berkata, "Kita akan ke pantai, Sayang. Hal seperti ini bukan rahasia umum lagi. Kau juga akan melihat para wanita mengenakan bikini dan berjalan saat kau berselonjor. Jangan berpikir seperti orang lama, karena zaman sudah berkembang. Ok?" Sekretaris Ham menggelengkan kepala. "Berapa kali pun aku memikirkannya, itu tetap tidak benar. Aku tidak ingin tubuh istriku dilihat oleh pria lain." Sekre
Sekretaris Ham begitu gugup, tidak pernah membayangkan kalau dia akan mencapai sesuatu yang bahkan rasanya mustahil. Dia akan menikah dengan wanita yang hanya disukainya secara diam-diam selama hitungan tahun. Selain itu, Raya bagaikan permata yang tidak semua orang dapat miliki. Dia beruntung. "Ternyata kau berkhianat di belakangku selama ini." Sekretaris Ham menolehkan kepala, menemukan Arkan datang bersama Lunar dengan perut besar dan juga seorang anak perempuan. Gadis mungil yang tersenyum cerah padanya adalah anak pertama bosnya, sedangkan Lunar sedang hamil anak kedua sekarang. "Kau diam-diam menyukai Raya di belakangku ketika kami masih menjalin hubungan. Kenapa aku tidak mengetahuinya sama sekali, ya? Dan sekarang kau mengambil kesempatan di saat aku sudah melepaskannya. Kata apa yang baik untuk menyebutkan tindakanmu? Pengkhianatan?" "Anda juga berkhianat di belakang nona Raya dan perlu saya tegaskan kalau saya tidak merebutnya, jadi saya tidak berkhianat pada bos sendiri.
Sekretaris Ham kesulitan membawa barang-barang dalam jumlah yang sangat banyak. Dia tidak mengeluh soal itu, karena semua demi wanita pujaan hati. Langka sekali melihat Raya bisa berekspresi dengan bebas seperti sekarang. Setelah menyatakan perasaan pada Raya, mereka jadi sering jalan bersama. Pastinya selesai Sekretaris Ham bekerja dan tidak jarang mencuri kesempatan untuk bertemu. Perusahaan seperti ditebarkan bunga-bunga setiap hari, karena baik Arkan mau pun Sekretaris Ham tidak berhenti memikirkan seorang wanita di benak masing-masing. Pekerjaan jadi lebih cepat prosesnya ketika mengharapkan waktu yang banyak untuk pertemuan dengan kekasih hati. "Sekretaris Ham, bagaimana menurutmu yang ini?" Sekretaris Ham memperhatikan bagaimana indahnya kaki Raya saat mengenakan high heels. Tentu bukan hanya sekali dia memperhatikan hal itu, siapa saja akan mengatakan kalau Raya sangat cantik dengan kulit bersih bersinarnya. "Cantik," ucap Sekretaris Ham. Namun, komentar itu tidak membuat
Suara gerakan di atas ranjang berpadu dengan desahan yang begitu panjang. Tubuh mereka sudah dipenuhi keringat yang banyak. Percintaan sudah dilakukan berulang kali, tetapi rasanya mereka tidak pernah puas untuk saling memiliki. "Pelan-pelan," ucap Lunar dengan suara lirih. Mau tidak mau, Arkan harus melambatkan gerakannya. Dia sudah terbakar oleh hasrat dan tanpa sadar berbuat lebih dalam kondisi kehamilan istrinya. Meskipun intensitasnya pelan, tetapi dia terus mengerang. "Aku terpikirkan seafood saat ini." Lunar berkata dengan wajah yang sudah merona merah dan jeritan tertahan. Seketika suara riuh di dalam kamar terhenti. Arkan beringsut ke samping hingga terlentang. Tadi dia merasakan semangat yang luar biasa akan percintaan mereka, tetapi perkataan Lunar membuat dirinya seolah diguyur air dingin pada malam itu. Arkan melirik jam dinding sambil menghela napas panjang. "Ini sudah lewat tengah malam. Di mana aku akan menemukan seafood?" Lunar mencebik. "Aku menginginkannya seka
"Ini laporan keuangan beberapa bulan terakhir, Sir Arkan." Arkan meraih map berwarna biru gelap itu, lalu membuka lembaran di dalamnya. Dia mengusap bibir sembari membaca isinya dengan saksama. Tidak lama kemudian, dia menyelesaikan urusan membaca, lalu dia meletakkannya di meja. "Kerja bagus." Lunar mengerutkan dahi, merasa aneh lantaran laporan yang dia berikan dibaca begitu cepat, padahal butuh waktu lama baginya menyelesaikan laporan tersebut. "Apa Anda benar-benar membacanya?" Arkan menghampiri istrinya. Dia bersandar di tepi meja dan merangkul pinggang Lunar dengan lembut. "Tidak perlu bersikap formal padaku saat kita sedang berdua saja. Semua orang tahu kalau kau adalah istriku." Dia menyandarkan kepala di dada sang istri. "Baiklah, Arkan. Sekarang lepaskan aku. Jam kerja masih belum usai." Arkan cemberut kesal. Dia menengadahkan kepala tanpa membuat mereka menjauh. "Aku harus menemui klien nanti. Kita tidak bisa makan siang bersama." Lunar mengusap kepala suaminya lamba
Sekretaris Ham baru sadar dengan apa yang dia lakukan, memegangi kedua bahu Raya dan menatap mata wanita itu begitu dekat. Dia terbawa suasana setelah tadi begitu emosional, lantas membuat dia menarik diri untuk duduk di kursinya kembali. “M—maaf. Saya tidak bermaksud melakukan hal itu pada Anda. Hanya saja, perkataan saya serius bahwa saya tidak ingin Anda pergi menemui Sir Arkan.” “Itu tidak akan terjadi hari ini. Kau tenang saja. Aku perlu melakukan pemotretan dan sekarang sudah hampir waktunya. Kau bisa melajukan mobilnya kembali.” Sekretaris Ham menuruti keinginan Raya. Dia mengantarkan wanita itu menuju studio. Mereka berpisah dalam keadaan yang buruk, karena masing-masing merasa bahwa tadi adalah sikap paling emosional yang pernah diperlihatkan oleh mereka. Sejauh ini, mereka selalu bersenang-senang dan sekarang rasanya cukup janggal. Raya melirik mobil yang dikendarai Sekretaris Ham pergi begitu saja. “Ada apa dengannya? Kenapa begitu emosional? Aku hanya ingin bertemu, lal
Sekretaris Ham menawarkan diri untuk mengantarkan Raya ke studio. Dia sangat senang, karena Raya tidak menolak tawarannya. Apa bisa dikatakan kalau hubungan mereka semakin dekat? Di berniat untuk memberitahukan soal perasaannya, nanti ketika waktunya sudah tepat. Untuk sekarang, dia akan fokus dengan jalinan hubungan yang seperti ini ketimbang terburu-buru mendapatkan Raya. "Anda akan melakukan pemotretan dengan konsep apa hari ini?" "Hmm, mereka menyiapkan konsep peri di hutan. Ini adalah tayangan untuk sebuah iklan shampo." "Oh, Anda mendapatkan tawaran iklan sekarang?" "Aku selalu mendapatkannya, tapi jadwal yang padat membuat manajerku harus menolak banyak tawaran. Semua itu tidak mudah, karena kami harus memilah pekerjaan mana yang rasanya bisa diambil." "Anda memang sangat hebat. Fakta bahwa wanita karier yang sukses di samping saya membuat perasaan saya menjadi bangga." Raya tersenyum, berpikir untuk beberapa lama, kemudian berkata, "Jarang ada yang bangga padaku, karena