Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di