"Apakah semua ulah Mas Riski dan Ibu mertuaku?"
Mbak Rita diam beberapa saat, wanita itu mengalihkan pembicaraan seolah tidak ingin menjawab pertanyaanku."Ayo mbak antarkan pada orang tuamu," katanya sambil menarik tanganku pelan membuat aku menuruti saja permintaannya."Kita simpan dulu barang-barangmu," katanya dan aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan wanita itu.Setelah selesai menyimpan koper di dalam rumah, Mbak Rita kembali menarik tanganku mengajak aku untuk mengikuti langkahnya. Walaupun tadi aku sempat terpaku dengan keadaan di dalam rumah yang membuat hatiku tersayat.Rumah yang ditempati oleh kedua orang tauku bahkan bisa dikatakan tidak layak. Bayangkan saja, atap yang sudah bocor tidak ada sedikitpun perbaikan.Ke mana Mas Riski membawa uang yang aku kirimkan untuk ibu dan bapakku? Apakah ia juga menghabiskan uang itu demi kesenangannya dan kesenangan ibunya semata?Langkahku terhenti di tepian luasnya sawah-sawah yang ditumbuhi padi yang hijau, mbak Rita menunjukkan dua orang yang sedang mencabuti rumput-rumput di antara tanaman pada itu padaku sambil berkata, "Itu ibu dan bapakku."Seketika mataku berembun, dadaku sesak dan lidahku keluh, seolah tidak sanggup mengatakan apa pun lagi. Anak macam apa aku ini yang bahkan tidak tahu bagaimana kehidupan orang tuaku di sini.Di usia mereka yang sudah mulai senja, mereka bahkna masih memikirkan untuk bekerja padahal aku sebagai anak mereka hidup makmur tanpa sedikitpun kekurangan.Aku semakin tidak dapat membendung air mata ini, tatkala keduanya tersadar bahwa aku sudah pulang. Ibu dan bapak mendekatiku sambil memanggil namaku penuh dengan senyuman khas mereka. Senyuman yang bisa membuat jantungku menghangat. Akan tetapi, tetap saja aku merasa pilu."Karin ini benar kamu, Nak?" tanya wanita itu. Bahkan ibu tidak berani menyentuh tubuhku, tangannya hanya ia angkat seolah ingin menyentuh akan tetapi terlihat ragu.Tanpa berpikir panjang aku sanggup mendekap wanita itu beberapa saat kemudian aku menjatuhkan tubuhku dan benyentuh kakinya sambil menangis' sesegukan."Ibu kotor, Nak," jelas wanita itu seolah-olah memberi tahu aku, padahal aku sudah tau.Ia ikut membungkukkan tubuhnya hingga membuat posisi kami hampir sejajar. Di sentuhnya kedua pundakku dan menarikku agar bangkit dari sana."Ibu kotor dan bau, he he," jelas ibu lagi sambil tertawa tidak enak. Hey! Aku ini anaknya mengapa ia masih merasa tidak enakan denganku.Aku menyalami tangan bapak dengan takzim. Dan lagi-lagi tangisanku semakin pecah.Apa yang sebenarnya terjadi. Padahal aku sudah mengatakan pada Mas Riski untuk mencukupi kehidupan kedua orang tuaku, agar keduanya tidak perlu lagi bekerja di usia mereka yang hampir senja. Akan tetapi apa yang Mas Riski lakukan.Untuk saat ini aku belum bisa bicara sedikit pun, aku sedang berusaha keras untuk menghentikan suara sesegukanku ini.Ibu seolah mengerti, beliau membawa aku ke arah tempat peneduh sederhana yang dibuat dari alat seadanya."Kenapa tidak memberitahu ibu kalau kamu ingin pulang?" tanya ibu.Aku sedang tidak ingin menjawab pertanyaan itu, sekarang kau ingin mendengarkan penjelasan ibu terkait Mas Riski."Apakah Mas Riski tidak pernah memberikan ibu uang? Kenapa ibu dan bapak masih bekerja?" Tanyaku dan aku mendapatkan tanggapan serupa dari ibu persis seperti tanggapan Mbak Rita. Mereka hanya diam seperti sedang menyimpan sebuah rahasia besar."Oh iya kamu makin cantik Nak," kata ibu mengalihkan pembicaraan sambil menatap aku kagum di sertai sebuah senyuman kebanggaan."Jangan mengalihkan pembicaraan, Buk, jelaskan padaku sekarang. Aku ingin mendengarkan penjelasan ibu sekarang juga mengenai Mas Riski dan keluarganya.""Lupakan saja Karin, semua baik-baik saja." Bapak ikut menimpali seolah mencoba mematikan pembicaraan mengenai topik tersebut.Semakin ke sini, aku semakin yakin bahwa Mas Riski sudah melakukan kesalahanan besar."Apakah Mas Riski mengancam ibu dan bapak untuk merahasiakan sesuatu. Ayolah Pak, Bu, jangan takut begitu. Kenapa harus takut sedangkan ibu dan bapak mengatakan hal yang benar adanya." Timpalku lagi membuat keduanya terdiam sambil saling pandang satu sama lain.Raut wajah ibu berubah drastis, senyuman yang awalnya tersungging pada sudut bibirnya kini sirna dengan sendirinya."Ibu ayo jawab, aku sudah tau segalanya tentang Mas Riski akan tetapi aku ingin mendengarkan pengakuan ibu langsung," ibu kembali diam walaupun tadi sempat terkejut saat mendengarkan perkataanku yang mengatakan bahwa aku sudah tahu segalanya."Ibu tidak berani jujur Karin, takutnya kamu menyangka bahwa ibu mengada-ada. Ibu tidak ingin rumah tanggamu dan suamimu hancur karena ibu," jelas Ibu lagi."Katakan saja, semua akan tetap sama, walaupun ibu tidak menceritakannya, aku sudah berniat mengakhiri hubungan ini karena Mas Riski selingkuh dengan sahabatku sendiri Tasya." Pengakuanku membuat pupil mata semua orang yang berada di dekatku membesar.Mbak Rita nampak tidak percaya."Nak? Apakah yang kamu katakan tadi benar?" tanya ibu dan aku langsung mengangguk."Akan ku ceritakan nanti, sekarang aku hanya ingin mendengarkan penjelasan ibu."Next nggak?Komen biar part selanjutnya menyusulBersambung ...."Akan kuceritakan nanti, sekarang aku hanya ingin mendengarkan penjelasan ibu."Aku tetap teguh akan pendiriku membuat ibu menghela napas pelan. Wanita itu menatapku cukup lama seolah-olah ia tidak yakin akan menceritakan hal itu. Padahal aku sudah penasaran setengah mati."Buk, ayo katakan bagaimana sikap Mas Riski pada ibu selama ini? Dan apakah selama ini juga Mas Riski pernah ke sini dan menjumpai ibu untuk menyerahkan uang mungkin?" Pertanyaanku yang bertubi membuat ibu bingung sendiri.Wanita itu kemudian memberikan tanggapan hanya dengan sebuah gelenggan kepala pelan yang dapat menimbulkan rasa penasaran teramat sangat pada diriku. Aku masih belum bisa memberikan kesimpulan dengan jawaban ibu yang seperti itu."Semua yang kamu tanyakan tadi ibu berikan jawaban hanya dengan gelengan kepala kenapa?" Ibu malah balik ikut mempertanyakan. Padahal di sini aku tidak tahu apa pun."Karena suamimu tidak pernah ke sini ataupun menyerahkan sepeserpun uang. Ia Malah melupakan bahwa semua h
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku[Senangnya dapat mertua baik, sehat terus Ma sampai dede bayinya lahir.] Aku membaca status Wa Tasya berulang kali. Ini benar-benar tidak masuk akal, di dalam status itu jelas sebuah foto Tasya dan seorang wanita paru baya dengan tangan mengelus perut Tasya yang mulai membesar.Aku tau bahwa hari ini adalah acara 7 bulanan calon bayi Tasya. Akan tetapi aku merasa tidak masuk akan dengan caption di foto itu.Mertua? Jelas-jelas itu mertuaku alias Mama Mas Riski.Aku melihat pemberitahuan di bawah nama Tasya di sana menunjukkah bahwa wanita itu baru saja memposting status itu dua puluh menit yang lalu, akan tetapi di samping waktu terdapat pemberitahuan kecil bahwa Tasya sudah menghapus status itu.Lantas kenapa aku masih bisa melihatnya padahal Tasya sudah menghapus Status itu? Jawabannya karena aku menggunkan Wa GB. Jantungku mendadak berdenyut ngilu. Apakah ini alasan bahwa Tasya menghapusnya mendadak? Mungkin wanita itu menyadari bahwa ia lupa m
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku"Dan Tasya! Awas kau."Aku mencoba menghubungi seseorang, dan tidak berapa lama orang itu langsung menjawab teleponku tanpa perlu aku menunggu lama."Pesan tiket pesawat untuk saya sekarang. Saya akan kembali ke Indonesia," ucapaku tanpa basa-basi dan bahkan tanpa memberikan salam terlebih dahulu."Lo gila, Rin? Kok mendadak begini?" Dewi menyahut dengan nada suara yang terdengar penasaran.Aku menghela napas pelan. Lantas kembali menarik napas dengan rakus, hal yang terjadi hari ini benar-benar membuat aku darah tinggi."Ada hal yang harus aku selesaikan di sana Dewi. Ayolah jangan banyak bertanya. Lakukan saja perintahku." Dewi adalah sahabatki. Nasib wanita itu sama sepertiku, ia merantau ke negri orang juga untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Bedanya Dewi belum menikah."Ok, gue pesan sekarang. Lo mau yang berangkatnya jam berapa?" tanya wanita itu lagi."Mungkin dua atau tiga jam kedepan," sahutku."Lo gila, Sin? Emangnya Lo mau ngapain
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku"Lihat saja. Mulai hari ini kau akan menyesali perbuatanmu itu.""Akan kubuat kau jatuh miskin semiskin-miskinnya," gumamku pelan sambil meremas ponsel di tangan dengan kuat.Lagi-lagi bunyi notifikasi masuk, aku melihat siapa yang mengirim pesan, dan lagi-lagi tidak perlu menembakkannya karena orang yang mengirim pesan tidak lain adalah Mas Riski.[Sayang boleh tidak? Ini juga permintaan Ibumu, katanya beliau ingin liburan ke sana." Aku tersenyum sinis membaca pesan itu. Selalu saja begitu. Mereka selalu melibatkan keluargaku di kampung demi kesenangan mereka. Benar-benar kurang *jar.[Nggak boleh. Simpan saja uang itu.] Balasku singkat namun aku yakin bahwa pesan itu mampu membuat Mas Riski kesal.[Kamu bagaimana, sih? Karin? Ini juga aku lakukan demi kebahagiaan orang tua kamu, kok kamu jadi egois begini? Apa kamu sudah punya selingkuhan di sana hingga membuat kau galap mata dan keras hati?] tanya pria itu panjang lebar. Hay! Apa ini? Dia menuduh
"Ah sudahlah. Aku tidak melakukan kesalahanan apa pun, jadi untuk apa aku menyesal. Seharunya saat ini aku memikirkan cara membuat penghianat-penghianat itu menyesal dan merasa hancur sehancur-hancurnya."Aku berinisiatif untuk mengirimkan sebuah pesan berupa ucapan selamat untuk Tasya. Ucapan selamat atas bayinya sekaligus ucapan selamat atas keberhasilan wanita itu merebut suamiku.Terlihat bahwa ia sedang online.[Kamu udah mau lahiran aja, ya. Sedangkan aku masih asik kerja di sini he ge.]Jujur aku benar-benar penasaran dengan balasan Tasya. Akan tetapi aku harus tetap bersikap biasa saja seolah tidak tahu apa pun. Aku cukup diam dan membalasnya dengan elegan.Jujur, hatiku berdenyut sakit kala mengetahui bahwa banalu dalam rumah tanggaku adalah sahabatku sendiri. Ya, lagi pula semua itu wajar bukan? Hati siapa yang tidak sakit jika berada di posisiku.Masih jelas terngiang kala itu, saat-saat aku dan Mas Riski masih berada dalam ikatan pacaran, aku selalu datang bersama Tasya se
[Ah lupakan saja, oh iya, kamu sering ketemu suamiku nggak? Aku penasaran bagaimana keadaannya di sana.] Aku sengaja memancingnya. Dan aku tidak mendapatkan balasan Tasya. Hingga aku memutuskan untuk bersiap-siap karena ingin cepat cepat kembali."Tunggu aku, Tasya, Mama dan Mas Riski, aku akan kembali."Aku datang kemari sebagai TKW, jadi sebenarnya akan banyak hal yang harus dilakukan di diurus sebelum aku bisa kembali ke ke Indonesia. Mulai dari pengecekan paspor, visa dan beberapa hal lainnya.Akan tetapi aku sudah mempersiapkan hal itu jauh-jauh hari. Itu sebabnya aku bisa kembali ke Indonesia sekarang juga.Ya, satu bulan lagi adalah acara anniversary pernikahanku dan Mas Riski yang ke 5 tahun, aku sudah berniat memberikan pria itu kejutan istimewa, dengan pulang, akan tetapi terpaksa aku harus membatalkan semua itu dikarenakan aku sudah mengetahui semua kebusukan Mas Riski dan Tasya.Rencana kepulanganku untuk hal kebahagiaan sirna seketika, sekarang aku akan pulang dengan alas
Ibu Mertua di Status Wa Sahabatku (6)"Ah, gue juga punya rencana biar balas dendam Lo terlihat lebih elegan dan mahal," timpal Dewi lagi sambil tersenyum licik."Rencana apa?"Dewi mendekat kemudian membisikkan sesuatu hal padaku yang membuat mataku membulat sempurna. Dewi melepaskan rangkulannya lantas menatapku dalam hendak melihat bagaimana ekspresiku mungkin. "Gimana? Lo setuju nggak?" tanya Dewi dan aku hanya membalasnya dengan manggut-manggut tidak jelas. Benar apa.xang dikatakan Dewi. Aku tidak boleh terburu-buru. Aku harus menyiapkan semua dengan benar-benar matang agar balas dendamku terasa lebih menyakitkan."Nah tiket pesawat, penerbangan akan dilakukan dalam 4 jam kal" kata wanita itu yang mampu mengejutkan aku.4 jam bukanlah waktu yang lama bagiku, ah ayolah aku belum mandi atau bersiap-siap. Aku meraih benda tersebut dari tangannya kemudian meletakkan di atas koperku langkah berikutnya aku berlari dengan terbirit-birit. Aku tidak boleh terlambat.Dewi terus saja bert
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku (7)**Aku mulai memejamkan mataku tatkala pesawat yang aku tumpangi mulai lepas landas. Banyak pranugari dan pramugara memberikan arahan pada penumpang agar tetap tenang dan berpeganggan sebelum semua stabil.Mungkin aku akan sangat bosan di sini membayangkan jarang tempuh yang begitu jauh, jadi aku memutuskan untuk tidur saja.***Aku menggembuskan napasku gusar tatkala kakiku berdiri tepat di atas trotoar jalanan kota jakarta.Aku sudah menghabiskan waktu kurang lebih 27 jam dan akhinya tiba di sini. Sebenarnya perjalananku tidak sampai di sini saja. Aku harus kembali naik taksi dalam 5 jam kedepan untuk bisa pulang ke kampungku.Walaupun tubuh ini sudah terasa pegal-pegal, akan tetapi aku harus tetap menempuh perjalan tersebut agar semua kebenaran bisa kuungkapkan.Ya, tujuan utamaku adalah rumah kedua orang tuaku, mengapa aku tidak ke rumahku saja? Jawannya karena aku ingin melihat langsung bagaimana kehidupan orang tuaku di kampung.Karena sel
"Akan kuceritakan nanti, sekarang aku hanya ingin mendengarkan penjelasan ibu."Aku tetap teguh akan pendiriku membuat ibu menghela napas pelan. Wanita itu menatapku cukup lama seolah-olah ia tidak yakin akan menceritakan hal itu. Padahal aku sudah penasaran setengah mati."Buk, ayo katakan bagaimana sikap Mas Riski pada ibu selama ini? Dan apakah selama ini juga Mas Riski pernah ke sini dan menjumpai ibu untuk menyerahkan uang mungkin?" Pertanyaanku yang bertubi membuat ibu bingung sendiri.Wanita itu kemudian memberikan tanggapan hanya dengan sebuah gelenggan kepala pelan yang dapat menimbulkan rasa penasaran teramat sangat pada diriku. Aku masih belum bisa memberikan kesimpulan dengan jawaban ibu yang seperti itu."Semua yang kamu tanyakan tadi ibu berikan jawaban hanya dengan gelengan kepala kenapa?" Ibu malah balik ikut mempertanyakan. Padahal di sini aku tidak tahu apa pun."Karena suamimu tidak pernah ke sini ataupun menyerahkan sepeserpun uang. Ia Malah melupakan bahwa semua h
"Apakah semua ulah Mas Riski dan Ibu mertuaku?" Mbak Rita diam beberapa saat, wanita itu mengalihkan pembicaraan seolah tidak ingin menjawab pertanyaanku."Ayo mbak antarkan pada orang tuamu," katanya sambil menarik tanganku pelan membuat aku menuruti saja permintaannya."Kita simpan dulu barang-barangmu," katanya dan aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan wanita itu. Setelah selesai menyimpan koper di dalam rumah, Mbak Rita kembali menarik tanganku mengajak aku untuk mengikuti langkahnya. Walaupun tadi aku sempat terpaku dengan keadaan di dalam rumah yang membuat hatiku tersayat.Rumah yang ditempati oleh kedua orang tauku bahkan bisa dikatakan tidak layak. Bayangkan saja, atap yang sudah bocor tidak ada sedikitpun perbaikan.Ke mana Mas Riski membawa uang yang aku kirimkan untuk ibu dan bapakku? Apakah ia juga menghabiskan uang itu demi kesenangannya dan kesenangan ibunya semata? Langkahku terhenti di tepian luasnya sawah-sawah yang ditumbuhi padi yang hijau, mbak Rita menunjukka
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku (7)**Aku mulai memejamkan mataku tatkala pesawat yang aku tumpangi mulai lepas landas. Banyak pranugari dan pramugara memberikan arahan pada penumpang agar tetap tenang dan berpeganggan sebelum semua stabil.Mungkin aku akan sangat bosan di sini membayangkan jarang tempuh yang begitu jauh, jadi aku memutuskan untuk tidur saja.***Aku menggembuskan napasku gusar tatkala kakiku berdiri tepat di atas trotoar jalanan kota jakarta.Aku sudah menghabiskan waktu kurang lebih 27 jam dan akhinya tiba di sini. Sebenarnya perjalananku tidak sampai di sini saja. Aku harus kembali naik taksi dalam 5 jam kedepan untuk bisa pulang ke kampungku.Walaupun tubuh ini sudah terasa pegal-pegal, akan tetapi aku harus tetap menempuh perjalan tersebut agar semua kebenaran bisa kuungkapkan.Ya, tujuan utamaku adalah rumah kedua orang tuaku, mengapa aku tidak ke rumahku saja? Jawannya karena aku ingin melihat langsung bagaimana kehidupan orang tuaku di kampung.Karena sel
Ibu Mertua di Status Wa Sahabatku (6)"Ah, gue juga punya rencana biar balas dendam Lo terlihat lebih elegan dan mahal," timpal Dewi lagi sambil tersenyum licik."Rencana apa?"Dewi mendekat kemudian membisikkan sesuatu hal padaku yang membuat mataku membulat sempurna. Dewi melepaskan rangkulannya lantas menatapku dalam hendak melihat bagaimana ekspresiku mungkin. "Gimana? Lo setuju nggak?" tanya Dewi dan aku hanya membalasnya dengan manggut-manggut tidak jelas. Benar apa.xang dikatakan Dewi. Aku tidak boleh terburu-buru. Aku harus menyiapkan semua dengan benar-benar matang agar balas dendamku terasa lebih menyakitkan."Nah tiket pesawat, penerbangan akan dilakukan dalam 4 jam kal" kata wanita itu yang mampu mengejutkan aku.4 jam bukanlah waktu yang lama bagiku, ah ayolah aku belum mandi atau bersiap-siap. Aku meraih benda tersebut dari tangannya kemudian meletakkan di atas koperku langkah berikutnya aku berlari dengan terbirit-birit. Aku tidak boleh terlambat.Dewi terus saja bert
[Ah lupakan saja, oh iya, kamu sering ketemu suamiku nggak? Aku penasaran bagaimana keadaannya di sana.] Aku sengaja memancingnya. Dan aku tidak mendapatkan balasan Tasya. Hingga aku memutuskan untuk bersiap-siap karena ingin cepat cepat kembali."Tunggu aku, Tasya, Mama dan Mas Riski, aku akan kembali."Aku datang kemari sebagai TKW, jadi sebenarnya akan banyak hal yang harus dilakukan di diurus sebelum aku bisa kembali ke ke Indonesia. Mulai dari pengecekan paspor, visa dan beberapa hal lainnya.Akan tetapi aku sudah mempersiapkan hal itu jauh-jauh hari. Itu sebabnya aku bisa kembali ke Indonesia sekarang juga.Ya, satu bulan lagi adalah acara anniversary pernikahanku dan Mas Riski yang ke 5 tahun, aku sudah berniat memberikan pria itu kejutan istimewa, dengan pulang, akan tetapi terpaksa aku harus membatalkan semua itu dikarenakan aku sudah mengetahui semua kebusukan Mas Riski dan Tasya.Rencana kepulanganku untuk hal kebahagiaan sirna seketika, sekarang aku akan pulang dengan alas
"Ah sudahlah. Aku tidak melakukan kesalahanan apa pun, jadi untuk apa aku menyesal. Seharunya saat ini aku memikirkan cara membuat penghianat-penghianat itu menyesal dan merasa hancur sehancur-hancurnya."Aku berinisiatif untuk mengirimkan sebuah pesan berupa ucapan selamat untuk Tasya. Ucapan selamat atas bayinya sekaligus ucapan selamat atas keberhasilan wanita itu merebut suamiku.Terlihat bahwa ia sedang online.[Kamu udah mau lahiran aja, ya. Sedangkan aku masih asik kerja di sini he ge.]Jujur aku benar-benar penasaran dengan balasan Tasya. Akan tetapi aku harus tetap bersikap biasa saja seolah tidak tahu apa pun. Aku cukup diam dan membalasnya dengan elegan.Jujur, hatiku berdenyut sakit kala mengetahui bahwa banalu dalam rumah tanggaku adalah sahabatku sendiri. Ya, lagi pula semua itu wajar bukan? Hati siapa yang tidak sakit jika berada di posisiku.Masih jelas terngiang kala itu, saat-saat aku dan Mas Riski masih berada dalam ikatan pacaran, aku selalu datang bersama Tasya se
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku"Lihat saja. Mulai hari ini kau akan menyesali perbuatanmu itu.""Akan kubuat kau jatuh miskin semiskin-miskinnya," gumamku pelan sambil meremas ponsel di tangan dengan kuat.Lagi-lagi bunyi notifikasi masuk, aku melihat siapa yang mengirim pesan, dan lagi-lagi tidak perlu menembakkannya karena orang yang mengirim pesan tidak lain adalah Mas Riski.[Sayang boleh tidak? Ini juga permintaan Ibumu, katanya beliau ingin liburan ke sana." Aku tersenyum sinis membaca pesan itu. Selalu saja begitu. Mereka selalu melibatkan keluargaku di kampung demi kesenangan mereka. Benar-benar kurang *jar.[Nggak boleh. Simpan saja uang itu.] Balasku singkat namun aku yakin bahwa pesan itu mampu membuat Mas Riski kesal.[Kamu bagaimana, sih? Karin? Ini juga aku lakukan demi kebahagiaan orang tua kamu, kok kamu jadi egois begini? Apa kamu sudah punya selingkuhan di sana hingga membuat kau galap mata dan keras hati?] tanya pria itu panjang lebar. Hay! Apa ini? Dia menuduh
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku"Dan Tasya! Awas kau."Aku mencoba menghubungi seseorang, dan tidak berapa lama orang itu langsung menjawab teleponku tanpa perlu aku menunggu lama."Pesan tiket pesawat untuk saya sekarang. Saya akan kembali ke Indonesia," ucapaku tanpa basa-basi dan bahkan tanpa memberikan salam terlebih dahulu."Lo gila, Rin? Kok mendadak begini?" Dewi menyahut dengan nada suara yang terdengar penasaran.Aku menghela napas pelan. Lantas kembali menarik napas dengan rakus, hal yang terjadi hari ini benar-benar membuat aku darah tinggi."Ada hal yang harus aku selesaikan di sana Dewi. Ayolah jangan banyak bertanya. Lakukan saja perintahku." Dewi adalah sahabatki. Nasib wanita itu sama sepertiku, ia merantau ke negri orang juga untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Bedanya Dewi belum menikah."Ok, gue pesan sekarang. Lo mau yang berangkatnya jam berapa?" tanya wanita itu lagi."Mungkin dua atau tiga jam kedepan," sahutku."Lo gila, Sin? Emangnya Lo mau ngapain
Ibu Mertuaku di Status Wa Sahabatku[Senangnya dapat mertua baik, sehat terus Ma sampai dede bayinya lahir.] Aku membaca status Wa Tasya berulang kali. Ini benar-benar tidak masuk akal, di dalam status itu jelas sebuah foto Tasya dan seorang wanita paru baya dengan tangan mengelus perut Tasya yang mulai membesar.Aku tau bahwa hari ini adalah acara 7 bulanan calon bayi Tasya. Akan tetapi aku merasa tidak masuk akan dengan caption di foto itu.Mertua? Jelas-jelas itu mertuaku alias Mama Mas Riski.Aku melihat pemberitahuan di bawah nama Tasya di sana menunjukkah bahwa wanita itu baru saja memposting status itu dua puluh menit yang lalu, akan tetapi di samping waktu terdapat pemberitahuan kecil bahwa Tasya sudah menghapus status itu.Lantas kenapa aku masih bisa melihatnya padahal Tasya sudah menghapus Status itu? Jawabannya karena aku menggunkan Wa GB. Jantungku mendadak berdenyut ngilu. Apakah ini alasan bahwa Tasya menghapusnya mendadak? Mungkin wanita itu menyadari bahwa ia lupa m