“Kalian bekerja sangat baik hari ini. Omset kita naik hingga 40% dari biasanya. Kalian boleh pulang dan beristirahat," kata Bobby mengakhiri briefing malam itu.
Jam menunujukan pukul 11.30 malam. Flowie dan karyawan lain tampak kelelahan. Bagaimana tidak, di akhir pekan seperti ini, jumlah konsumen meningkat dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, Rosetta adalah restoran yang diminati. Ya. Rosetta, satu-satunya Restoran ala Spanyol yang ada di kota ini.
“Apa kau besok jadi off Flow?” tanya Erica saat mereka mengambil tas dan barang-barang lainnya di loker.
“Ya. Aku akan pergi dengan Tyo," jawab Flowie dengan senyuman sumringahnya.
“Enak sekali kau dapat jatah off saat gajian,” lanjut Erica sambil memanyunkan bibirnya yang membuat Flowie tertawa.
===
Flowie memasuki rumahnya, sebuah rumah yang kecil dan sempit yang hanya ditempati oleh Flowie, Ibu, adik perempuan laki-lakinya. Dulunya, keluarga ini memiliki kehidupan yang lumayan. Ayahnya, Nichollas Hillebrand, seorang Insinyur Pertambangan yang bekerja sebagai Chief Operational di perusahaan asing yang bergerak di pertambangan. Namun 14 tahun yang lalu, bagaikan mimpi buruk, ayahnya terkena kanker lever stadium akhir.
Keuangan mereka semakin lama semakin terkuras, karena pengobatan ayahnya. Sampai suatu hari mereka harus pindah ke rumah sempit dan kecil ini, karena rumah mereka juga harus dijual. Walaupun pada akhirnya, ayahnya tetap harus pergi meninggalkan mereka tepat 12 tahun yang lalu saat Flowie berumur 11 tahun.
“Apakah Tyo belum pulang juga?” tanya Flowie pada Natalie, adik perempuannya yang hanya berjarak 2 tahun darinya, segera setelah dia meletakkan tas selempangnya di kursi.
“Belum. ponselnya juga tidak aktif. Apa sebaiknya kita cari saja?” tanya Natalie yang dari tadi tidak memalingkan wajahnya dari sulamannya.
“Ha. Bocah itu. Ck!” decak Flowie sebal sambil berkacak pinggang.
Nandityo atau biasa dipanggil Tyo adalah adik lelaki bungsu Flowie. Adik laki-laki yang suka kabur dari rumah. Semenjak kepergian ayah mereka, ibu mereka sibuk mencari uang untuk membesarkan mereka. Karena itu, Tyo yang merasa kurang perhatian, semenjak SMP memiliki sifat yang sedikit sensitif. Kalau saja ibu atau Flowie memarahinya karena suatu hal, dia langsung pergi dari rumah entah ke mana.
“Aku mau ke kebun,” ujar Flowie sambil bergegas menuju menuju pintu keluar.
“Kau tidak makan dulu?” tanya Natalie kini menolehkan wajahnya kepada Flowie.
“Aku masih kenyang,” jawab Flowie singkat.
Natalie memandang iba kepada sang kakak. Setelah tamat SMA, Flowie langsung terjun ke dunia kerja untuk membantu kehidupan mereka dan juga menyekolahkan Tyo. Bahkan dia menjalani dua pekerjaan sekaligus. Dia tidak melanjutkan kuliah walaupun beasiswa bisa dia dapatkan, karena dia merasa kasihan pada ibunya yang menjadi tulang punggung mereka. Dia memutuskan untuk membantu ibu dan adik-adiknya. Sedangkan Natalie, Flowie memaksanya kuliah. Dengan beasiswa, Natalie bisa melanjutkan kuliahnya sekarang.
Untungnya sang ibu, Annabelline, memiliki hobi dan keahlian mengurus bunga, sekarang ibunya memiliki usaha menjual bunga dan bibit-bibit tanaman. Dia memiliki kebun bunga di pinggir jalan. Jangan bayangkan sebuah kebun bunga yang megah, itu hanya kebun sederhana yang dipenuhi dengan bunga-bunga hidup. Di tengah-tengah kebun ada sebuah toko kecil, sederhana namun cantik dan rapi. Annabellin sungguh ahli dalam mendekorasi kebunnya. Bahkan dia bisa membuat buket bunga untuk pengantin, sesuai selera konsumen.
Flowie menghentikan langkahnya, tepat di seberang kebun bunga ibunya. Dia menatap plat di depan kebun itu. "Flowie Flower" bacanya dalam hati. Tiba-tiba raut wajahnya berubah menjadi sedih. Ini adalah satu-satunya tanah peninggalan ayahnya untuk mereka yang masih tersisah. Dari sinilah Annabelline mencari uang untuk membesarkan anak-anaknya. Kebun itu terletak di simpang jalan yang hanya berjarak 200 meter dari rumah mereka. Flowie bergegas melangkahkan kakinya menyebrangi jalan menuju kebun kecilnya.
“Kau sudah pulang?” tanya Anna ketika melihat Flowie yang menarik pintu pagar yang cukup tinggi untuk menutup kebunnya. Ya. Sudah saatnya kebun ini tutup. Jam sudah menunjukan pukul 10 malam.
“Sudah,” jawab Flowie datar.
“Tyo sudah pulang?” tanya Anna lagi masih sambil merapikan bunga.
Flowie Mendengus kesal. Tiba-tiba dia teringat akan Tyo.
“Aku akan mencarinya besok. Akan kuhajar dia,” katanya sambil menarik pintu pagar sebelahnya lagi. Kini pintu pagar itu hampir tertutup dan hanya menyisakan cela sebesar badannya untuk keluar masuk.
“Aku akan mencari sekarang. Kau pulanglah deluan temani Natalie,” kata Annabelline kini melepaskan celemek yang melekat pada tubuhnya.
“Sudahlah, ma. Ini sudah jam 10 malam. Aku saja yang cari. Besok siang setelah pulang dari Sport Corner aku akan mencarinya,” kata Flowie kini melilitkan rantai di pagar.
“Tapi sudah 2 hari dia tidak pulang Flow!” seru Annabellin.
“Apa mama lupa, dia pernah pergi 1 minggu waktu dia masih kelas 1 SMA. Dan kita menemukannya sedang mabuk berat di club bersama teman-temannya yang orang kaya itu,” kata Flowie tak kalah berseru kepada ibunya.
Ya. Waktu itu pagi-pagi buta Flowie dapat telpon dari Risca, tetangga sebelahnya yang bekerja di Axel Club, dan mengatakan bahwa dia menemukan Tyo yang sudah sangat mabuk.
“Baiklah. Ayo kita pulang,” kata Anna akhirnya menyetujui dan kemudian Flowie menggembok pagar itu.
===
Suasana Sport Corner tidak terlalu ramai, padahal jam masih menunjukan pukul 2 siang dan ini memberi keuntungan kepada Flowie untuk berpikir keras kemana dia akan mencari Tyo setelah ini. Sport Corner adalah toko peralatan olahraga yang paling besar di kota ini. Mulai dari pakaian, sepatu bahkan alat-alat olahraga semuanya ada dijual di Sport Corner. Flowie telah bekerja di toko ini kurang lebih 1 tahun terakhir.
Seperti janjinya, siang ini Flowie akan mencari adiknya, Tyo. Sebenarnya Flowie sama sekali tidak tau harus mencari Tyo kemana. Dia bahkan tidak mengenal teman-teman Tyo. Setelah mendatangi beberapa club dan tempat-tempat billiard, Flowie berhenti untuk istirahat sebentar. Dia duduk di sebuah bangku panjang, di pinggir jalan. Beberapa bus kota melewatinya, dan tampak anak-anak sekolah berlari. Ya. Sekolah. Seharusnya Flowie mencari ke sekolahnya.
Bell sekolah SMA Glofiny berbunyi tepat jam 4 sore, menandakan waktunya pulang. Flowie yang sedari tadi berdiri di bawah pohon dekat gerbang sekolah itu, mulai siap-siap. Sekolah Glofiny termasuk salah satu sekolah terbaik di kota mereka. Tambahan pelajaran atau ekstrakulikuler membuat murid-murid di sekolah ini bisa seharian penuh berada di sekolah.
Flowie dan Natalie juga tamatan dari Glofiny. Bedanya, Flowie dan Natalie mendapatkan beasiswa sehingga bisa sekolah di situ, sedangkan Tyo, Flowie yang menyekolahkannya di Glofiny, karena Tyo tidak terlalu pintar untuk mendapatkan beasiswa seperti Flowie dan Natalie.
Tyo keluar dari gerbang sekolah dengan temannya yang mengendarai motor Ninja. Tiba-tiba saja motor itu berdecit mengerem ketika Flowie berlari kedepan motor tersebut dan memegang kepala motornya.
“Turun Tyo!” perintah Flowie tegas menatap Tyo yang duduk di boncengan terkejut bukan main melihat aksi sang kakak.
“Sekarang!” sambung Flowie lagi dengan nada naik satu oktaf.
Spontan Tyo turun dari motor Ninja dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Edward, teman Tyo yang yang membawa motor tersebut hanya melongok bingung dan kemudian dia pamit setelah mendapat kode dari Tyo.
Flowie masih memandang adiknya yang dari tadi salah tingkah dalam diam.
“Kenapa kakak bisa sampai disini?” tanya Tyo akhirnya bersuara setelah keheningan yang cukup lama.
Flowie hanya memandangi adiknya yang masih menunduk.
“Apa kau Lapar?” tanya Flowie yang spontan membuat Tyo mengangkat kepalanya dan menatap Flowie bingung.
“Ha?” tanya Tyo memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
“Ayo kita makan. Ini sudah sore. Aku bahkan tidak bisa memarahimu sankin laparnya,” ucap Flowie kini menarik tangan Tyo yang masih bengong kebingungan.
Oh tidak! Apakah ini tanda-tanda bahwa Tyo akan segera dibantai oleh Flowie?
SRUTTTTT!!Tyo menyedot habis minuman dingin di gelasnya. Kini yang tersisah hanya beberapa es batu dalam gelasnya. Flowie hanya menatapnya sambil melipat kedua tangannya di dada, dan menyandarkan badannya di kursi. Sebenarnya Flowie sudah makan. Tapi dia tahu kalau Tyo pasti sangat lapar.“Dari mana saja kau selama 2 hari ini? Mengapa HP-mu tidak pernah aktif?” tanya Flowie sedikit marah yang membuat Tyo berhenti menyerumput minumannya dan mengalihkan pandangan ke arahnya.“A-aku menginap di apartemen Edward. HP-ku-” jawab Tyo tidak menuntaskan perkataannya Dia bahkan belum menyiapkan jawaban yang pas mengapa ponselnyanya tidak aktif, karena sudah pasti memang sengaja dinonaktifkan olehnya.Flowie yang sepertinya tau apa yang dipikirkan adiknya hanya berdecak sebal. Dia melemparkan pandangan ke arah lain.“Maaf kak. Aku hanya tidak ingin di rumah,” kata Tyo dengan liri
Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya. “Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka. “Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang. “Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie m
HUP! Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke. “Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal. Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu. "Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk. "Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati. “Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu. “Apa?” tanya Flowie kaget. “Kejadian kemarin sore dan se
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film
Seolah masalah tidak sampai di situ saja, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan sigap Alvian mengangkat tubuh Flowie kedalam dekapannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ketika di dalam mobil, Alvian melepaskan jasnya dan membungkus badan Flowie dari depan. Ia juga memegang dahi Flowie memastikan seberapa tinggi demam wanita itu. “Astaga! Badanmu panas sekali!’ batin Alvian. Ia segera menginjak pedal gas mobilnya melaju menuju apartemennya. Tangan kanannya menekan beberapa tombol yang ada di ponselnya. “dr. Kevin, bisakah kau datang ke apartemenku 10 menit dari sekarang?” tanya Alvian kepada seseorang di seberang. “.......” “Baiklah dok, terima kasih. Tidak, tidak. Bukan aku, tapi teman-” jelas Alvian sambil melihat Flowie di sebelahnya. “Teman wanitaku,” lanjutnya lagi. “…..” “Aku masih tidak yakin dok. Hanya saja dia pingsan dan badannya sangat panas,” ujar Alvian lagi. “…..” “Baiklah dok. Sampai jumpa di apartemenku,” kata Alvian kemudian memutus perca
“Flowie.” Luke terus saja mengulangi nama itu di kepalanya di sepanjang perjalanan pulangnya. Kenapa dia jadi teringat kepada wanita itu? Dia merasa marah jika mengingat bahwa Flowie pernah melemparnya dengan sepatu, tapi sekarang Alvian malah melindunginya. Memang tidak benar jika membiarkan seorang wanita pingsan di jalan, namun sampai membawa wanita itu ke apartemennya? Oh, Come on. Luke sangat mengenal sifat Alvian. Dia tidak pernah membawa sembarang wanita ke apartemennya, bahkan teman one night stand-nya. Selain Alice, Flowie adalah wanita pertama yang di bawa Alvian ke apartemennya. Luke curiga ada sesuatu di antara mereka dan ia yakin akan itu. Luke ingin mengetahuinya. === Flowie memakan roti lapis yang disediakan oleh Alvian dengan lahap. Ia memakannya dengan sangat cepat seolah-olah seseorang akan merebutnya, membuat Alvian yang sedang menuangkan susu hangat ke dalam gelas, melirik Flowie dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau begitu lapar?” tanya
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
Sepanjang makan malam mereka membicarakan hal-hal yang Flowie tidak mengerti, namun entah mengapa Flowie merasa Luke tidak terlalu menyukai pertemuan ini. Padahal sikap keluarganya tidak seburuk yang Flowie bayangkan, mengingat betapa mengerikannya Elya.“Jadi kalian sudah memutuskan tanggalnya?” tanya Diego tiba-tiba kepada Luke dan Flowie.“Dua minggu dari sekarang,” jawab Luke mantap yang membuat Flowie menoleh kearah Luke dengan tatapan tidak mengerti.“Kenapa cepat sekali, Luke?” tanya Alberto.“Kami sudah memutuskannya, pa. Jangan dipikirkan lagi. Aku akan mengurus semuanya.” jawab Luke kemudian mengelap lembut bibirnya dengan napkin.Flowie yang tidak mengerti apapun yang mereka bicarakan hanya diam saja dan kemudian ia meraih gelas berisi wine dan meneguknya cukup banyak. Entah mengapa wine ini sungguh terasa nikmat di tenggorokan Flowie.“Baiklah. Siapkan pesta yang besar untuk mereka Alberto,” kata Diego.“Baiklah pa,” kata Alberto mengangguk setuju.“Tidak perlu, kek. Aku s
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Hal pertama yang ia dapat adalah wajah Luke yang tampak sibuk dengan sesuatu di i-padnya. “Uhmm,” Flowie berdeham pelan. Tenggorokannya terasa begitu kering. Sudah berapa lama ia tidur? Bukankah sebelumnya ia tertidur di pesawat? Lalu kenapa ia sekarang tidur di paha Luke? Dan kenapa mereka berada dalam mobil? “Kau sudah bangun, sayang?” tanya Luke ketika menyadari Flowie yang sudah terbangun. “Kita di mana? Di mana Hans?” tanya Flowie sambil mengucek matanya. “Hans tertidur di kursi belakang. Kita sedang dalam perjalanan menuju apartemen,” jawab Luke sambil mengelus rambut cokelat Flowie. Mendengar kata apartemen, membuat Flowie tiba-tiba bangkit dari rebahannya dan menatap Luke tidak setuju. “Tidak, Luke. Aku tidak mau kembali ke apartemenmu!” Flowie menggeleng kuat. Luke menarik Flowie ke dalam pelukannya. “Ssst! Tenanglah, sayang. Aku tidak akan membawamu ke situ, kita sedang di Swiss, kita akan ke apartemenku yang ada di Swiss maks
“Mari kita pulang ke rumah kita sayang,” ajak Luke kepada Flowie sambil mengusap kepala Hans yang tengah tertidur di pangkuan Flowie.Flowie menggeleng lemah.“Kenapa? Apa karena ibuku?” tanya Luke menangkup kedua pipi Flowie dengan lembut.Hening.“Aku mencintaimu, Flow. Tidakkah kau mencintaiku? Apa kau akan memisahkanku dari anakku juga?” tanya Luke dengan sendu.Flowie kembali terisak. Sungguh ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi ia begitu ingin terus di samping Luke dan terus diperlakukan begini lembut olehnya. Ia begitu merindukan Luke, namun ia juga begitu takut jika Elya melakukan sesuatu terhadap anaknya.“Aku bersumpah, ibuku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku bersumpah keluarga Croose tidak akan menyentuhmu dan anak kita sedikitpun,” ujar Luke penuh keyakinan sambil menarik Flowie ke dalam pelukannya.“Bagaimana caranya?” tanya Flowie ragu.Luke merapikan rambut Flowie.“Kita akan pergi jauh meninggalkan mereka,” jawab Luke sambil tersenyum hangat.===Luke ti
Sungguh ia membenci ini. Kenapa di saat ia ingin melupakan Luke, ia malah bisa sedekat ini dengan Luke. Aroma perfume Luke meruak di indera penciumannya. Aroma yang selalu ia rindukan, dan juga tangan kekar yang kini melingkar sempurna di perutnya, tangan yang selalu ia rindukan untuk memeluknya.Luke bisa merasakan tubuh Flowie yang menegang dan tangisan gadis itu memecah. Flowie menangis sejadi-jadinya dengan bahu yang naik turun. Luke membalikan badan Flowie dan menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya dan ia ikut menangis bersama wanita kesayangannya itu. Ia bisa merasakan kesedihan terdalam yang Flowie rasakan, dan entah mengapa mendengar tangisan Flowie membuat hatinya tercubit. Sakit.“The fault is not in our stars, babe, but in ourselves. Let’s fix it,” ujar Luke pelan sambil mengusap air mata di pipinya.Berkali-kali Luke menciumi pucuk kepala Flowie, meresapi aroma yang sudah lama ia rindukan. Luke mengelus punggung Flowie dengan lembut, seolah ia menyampaikan pesa
Luke merasa napasnya tercekat. Ia sungguh ingin segera menghampiri Flowie dan memeluk wanita itu, namun ia belajar dari pengalamannya. Bagaimana Flowie lari melihatnya, Luke ingin melakukannya dengan pelan kali ini. Ia mengikuti Flowie dari belakang sampai wanita itu menaiki lift. Ketika pintu lift tertutup sempurna Luke berlari menuju lift di sebelahnya dan melihat lantai yang dituju Flowie. Lantai 7. Dengan segera Luke menaiki lift di sebelahnya dan menekan tombol 7, namun sialnya pada saat pintu nyaris tertutup ada orang dari luar yang menekan tombol buka sehingga pintu lift kembali terbuka. “Oh shit!” Luke kembali mengumpat membuat pasangan yang baru saja masuk ke dalam lift menatapnya kaget. Pintu lift kembali tertutup dan mengantarkan mereka ke lantai 7. TING!! Luke melesat dengan cepat saat pintu lift terbuka di lantai 7. Ia berjalan tergesa mencari sesosok Flowie. “Sial mengapa lorongnya begitu panjang?” batin Luke. Namun sepertinya kali ini semesta berpihak pada Luke, d