SRUTTTTT!!
Tyo menyedot habis minuman dingin di gelasnya. Kini yang tersisah hanya beberapa es batu dalam gelasnya. Flowie hanya menatapnya sambil melipat kedua tangannya di dada, dan menyandarkan badannya di kursi. Sebenarnya Flowie sudah makan. Tapi dia tahu kalau Tyo pasti sangat lapar.
“Dari mana saja kau selama 2 hari ini? Mengapa HP-mu tidak pernah aktif?” tanya Flowie sedikit marah yang membuat Tyo berhenti menyerumput minumannya dan mengalihkan pandangan ke arahnya.
“A-aku menginap di apartemen Edward. HP-ku-” jawab Tyo tidak menuntaskan perkataannya Dia bahkan belum menyiapkan jawaban yang pas mengapa ponselnyanya tidak aktif, karena sudah pasti memang sengaja dinonaktifkan olehnya.
Flowie yang sepertinya tau apa yang dipikirkan adiknya hanya berdecak sebal. Dia melemparkan pandangan ke arah lain.
“Maaf kak. Aku hanya tidak ingin di rumah,” kata Tyo dengan lirih sambil menundukan kepala.
“Apa yang kau lakukan di sana? Mabuk-mabukan?” tanya Flowie kini menatap tajam Tyo.
“Tidak. Aku sudah lama tidak melakukannya,” jawab Tyo cepat.
“Lalu kenapa kau pergi?” tanya Flowie dengan kesal. Tyo hanya menunduk.
“Gara-gara aku memarahimu?” tanya Flowie lagi.
Beberapa hari yang lalu memang Flowie sempat memarahi Tyo yang meminta dibelikan sepatu basket pada ibu mereka di saat keuangan sangat krisis. Tyo memang sangat menyukai olahraga tersebut, bahkan sewaktu dia duduk dikelas XI dia terpilih menjadi kapten tim basket sekolahnya. Sekarang dia tidak menyandang kapten lagi, karena memang peraturan sekolah tidak menizinkan siswa kelas XII untuk terlibat program-program apapun jenisnya mengingat mereka harus fokus kepada ujian akhir.
“Bukan itu kak," sergah Tyo buru-buru.
"Yah itu salah satunya. Tapi aku hanya tidak suka melihat kau dan mama bekerja keras. Sedangkan aku tidak bisa melaukan apa-apa. Pada saat aku melakukan kesalahan, kalian langsung memarahiku. Aku tahu kalian sangat lelah harus bekerja mati-matian untuk kehidupan kita. Aku hanya-” lanjutnya lagi dengan suara serak.
“Aku hanya merasa tak berguna," sambungnya lagi dengan lirih.
Flowie menatap dalam-dalam mata Tyo. Dia seperti melihat matanya sendiri. Tersorot kesedihan dalam mata Tyo. Tyo, adik bungsu kesayangannya, yang telah ditinggalkan ayahnya sebelum Tyo sempat mengingat wajah ayahnya. Tentu saja, saat itu Tyo baru berusia 2 tahun. Kini dia tumbuh dengan perasaan yang sangat senstif dan ini selalu membuat Flowie ingin memeluk adik tampannya ini.
“Setidaknya aku tidak ingin menyusahkan kalian. Aku akan pergi sementara mencari kerja. Kalau sudah dapat, aku akan kembali,” jawab Tyo dengan sungguh-sungguh.
Flowie menghela nafas panjang. Ternyata Tyo belum dewasa.
“Kau ini bodoh atau apa?” tanyanya sambil menjitak kepala Tyo yang disambut rintih kesakitan Tyo.
“Aku saja yang sudah tamat SMA susah mencari kerja, apalagi kau yang masih sekolah. Bahkan aku lebih baik dari padamu. Aku selalu dapat peringkat 1. Sedangkan kau? 10 besar saja tidak masuk. Cih,” sambung Flowie lagi yang membuat Tyo memanyunkan bibirnya.
“Enak saja. Semester ini aku mendapatkan peringkat 6!” seru Tyo tidak mau kalah.
Flowie menggelengkan kepala. “Tetap saja itu tidak masuk hitungan. Dunia kerja mencari yang terbaik,” timpal Flowie yang mematahkan semangat Tyo.
Tyo semakin cemberut mendengar sang kakak. Kemudian dia bersandar pada kursinya.
“Sudahlah. Ayo kita pergi. Tidak ada yang memintamu untuk bekerja. Kami hanya ingin kau fokus pada sekolahmu. Apalagi sebentar lagi kau akan ujian akhir. Kalau kau tidak lulus, aku benar-benar akan menendangmu,” sambung Flowie lagi diakhiri dengan ancaman.
“Tentu saja aku akan lulus,” kata Tyo mendengus sebal.
“Baguslah. Ayo kita pergi jalan-jalan sebentar. Lalu pulang ke rumah,” kata Flowie seraya berdiri dari kurisnya.
“Kita mau kemana?” tanya Tyo bingung yang tiba-tiba melihat kakaknya bersemangat.
“Aku akan membelikanmu sepatu,” jawab Flowie sambil menarik Tyo dari kursinya, dan berjalan keluar.
“Aku tidak sungguh-sungguh memintanya,” kata Tyo membuang muka.
Flowie tersenyum melihat wajah Tyo yang tampak dibuat-buat serius.“Sejak kapan Tyo kami yang tampan ini bersikap jual mahal?” tanya Flowie sambil menarik sebelah pipi Tyo dengan gemas.
“Kakak, jangan begitu! Aku kan malu. Nanti gadis-gadis lain mengira kau pacarku. Aku kan tidak mau dibilang pacaran sama tante-tante,” kata Tyo megusap pipinya yang memerah karena dicubit Flowie.
Seketika mata Flowie melotot kesal. “Apa? Tante-tante? Enak saja! Walaupun begini, aku masih jauh lebih cantik dari pada teman-teman perempuanmu di sekolah. Sangat banyak yang mengejarku dulu,” kata Flowie kesal sambil berkacak pinggang.
“Hahahah. Tapi sampai sekarang kau tidak mempunyai pacar kak,” ejek Tyo sambil tertawa lepas mendengarkan celoteh Flowie.
Seketika Flowie melotot mendengar tawa Tyo, namun setelah beberapa saat kemudian dia ikut tertawa.
Mereka menaiki bus kota untuk pergi ke mal terdekat.
“Tapi kak, apa kau memang tidak pernah menyukai seorang pria manapun?” tanya Tyo penasaran kepada Flowie ketika mereka sudah duduk di dalam bus kota.
“Tentu saja pernah. Kau pikir aku tidak normal?” tanya Fowie kesal.
Pacar? Memang benar Flowie tidak memilikinya. Tapi bukan berarti dia tidak pernah menyukai pria. Tentu saja dia pernah menyukai seorang pria. Sudah lama sekali, sewaktu dia masih duduk di bangku SMA.
FLASH BACK
Sewaktu duduk di bangku SMA, dia pernah menyukai kakak kelasnya. Pria bernama Dave. Dave sungguh manis. Tidak terlalu tampan, namun sungguh keren. Dia adalah kapten tim basket SMA dan dia juga adalah seorang ketua OSIS. Satu kata. Sempurna. Namun, sayang hingga kelulusannya, Dave tidak pernah melirik Flowie sekalipun. Sekalipun? Ralat. Dia pernah berbicara pada Flowie sekali.
Pada saat itu Flowie hendak ke kamar kecil dan dia berpapasan dengan Dave. Flowie yang sudah salah tingkah sendiri mempercepat langkahnya dan tiba-tiba saja suara berat Dave menghentikan langkahnya.
“Maaf,“ panggil Dave yang menghentikan langkah Flowie.
"Kak dave memanggilku? Benarkah ini Tuhan?" batin Flowie senang.Flowie membalikkan badan dan mengangkat wajahnya untuk melihat Dave yang cukup tinggi itu. Astaga! Wajah Dave jauh lebih tampan jika dilihat dari dekat. Pria berdarah Chinese-Indo ini benar-benar membuat Flowie melted.
“Ya kak?” tanya Flowie dengan senyuman termanisnya setelah puas mengamati ciptaan Tuhan yang luar biasa di hadapannya ini.
“Ah. Maaf. Ini punya kamu tadi terjatuh,” kata Dave sambil memberikan ‘sesuatu’ kepada Flowie.
Seketika mata Flowie serasa ingin meloncat keluar dari tempatnya saat melihat pembalut yang diberikan Dave kepadanya.
“Ah. Maaf kak,” lirih Flowie dengan wajah merah bak kepiting rebus, lalu merampas pembalut itu dan lari meninggalkan Dave yang tersenyum jahil kepadanya.
Itulah pertama dan terakhir kalinya Dave berbicara padanya, dan itu semua berkat pembalutnya yang terjatuh.
“Hahahahahahahahahah,” tawa Tyo begitu lepas mendengarkan cerita Flowie. Seisi bus kini menatap mereka aneh.
“Hentikan tawamu, bodoh. Kau membuatku malu,” kata Flowie gemas dengan sedikit mencubit perut Tyo.
Tyo langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya, namun wajahnya yang kemerahan menunjukan dengan jelas dia susah payah menahan tawanya.
===
Luke berjalan dengan gagahnya melewati pintu kedatangan airport sambil menyeret kopernya. Kacamata rayban yang digunakannya menambah ketampanannya saat itu. Tidak sedikit wanita mencuri-curi pandang padanya.
“Luke!” teriak Alvian memanggil namanya, membuat Luke menoleh mencari sumber suaranya. Tampak olehnya Alvian berjalan menujunya dengan senyuman yang lebar. Sangat jarang Alvian bisa tersenyum seperti ini.
“Hai, brother. Apa kabar?” sapa Luke sambil memeluk Alvian erat.
Alvian membalas pelukan itu sambil menepuk-nepuk punggung Luke.
“Aku sangat baik. Kau bagaimana? Apa yang membuatmu pulang? Ini bahkan bukan akhir tahun,” tanya Alvian balik seraya melepaskan pelukan.
Ia tahu benar Luke biasanya hanya pulang akhir tahun. Namun sudah 3 tahun ini dia bahkan tidak pernah pulang.
Luke melepas kacamatanya. “Aku merindukanmu," Jawabnya dengan senyuman menggoda.
“Aku serius Luke,” kata Alvian tertawa geli sambil meninju ringan perut Luke.
Luke tertawa dan merangkul pundak sahabatnya itu. “Sudahlah. Nanti aku cerita. Ayo kita makan. Aku sangat lapar,” ujar Luke sambil menyeret kopernya.
“Kau mau makan di mana? Rosseta?” tanya Alvian.
“Aku bosan dengan masakan Spanyol. Ayo makan mie rebus yang sangat pedas. Aku ingin makan yang pedas-pedas. Setelah itu temani aku jalan-jalan sebentar. Aku benar-benar merindukan negara ini,” jelas Luke.
Alvian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Luke. Dua pria ini, Luke dan Alvian memiliki beberapa kemiripan. Tenang dan misterius. Tidak suka keterbukaan dan keras kepala. Hanya saja Luke sedikit lebih talkactive dari pada Alvian, sedangkan Alvian terlalu pendiam. Dua pria tampan ini berjalan sambil bersenda gurau di sepanjang koridor airport menuju mobil Alvian, melewati orang-orang yang melihat mereka penuh kekaguman. Baik wanita ataupun pria, mengagumi ketampanan mereka.
Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya. “Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka. “Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang. “Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie m
HUP! Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke. “Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal. Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu. "Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk. "Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati. “Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu. “Apa?” tanya Flowie kaget. “Kejadian kemarin sore dan se
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film
Seolah masalah tidak sampai di situ saja, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan sigap Alvian mengangkat tubuh Flowie kedalam dekapannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ketika di dalam mobil, Alvian melepaskan jasnya dan membungkus badan Flowie dari depan. Ia juga memegang dahi Flowie memastikan seberapa tinggi demam wanita itu. “Astaga! Badanmu panas sekali!’ batin Alvian. Ia segera menginjak pedal gas mobilnya melaju menuju apartemennya. Tangan kanannya menekan beberapa tombol yang ada di ponselnya. “dr. Kevin, bisakah kau datang ke apartemenku 10 menit dari sekarang?” tanya Alvian kepada seseorang di seberang. “.......” “Baiklah dok, terima kasih. Tidak, tidak. Bukan aku, tapi teman-” jelas Alvian sambil melihat Flowie di sebelahnya. “Teman wanitaku,” lanjutnya lagi. “…..” “Aku masih tidak yakin dok. Hanya saja dia pingsan dan badannya sangat panas,” ujar Alvian lagi. “…..” “Baiklah dok. Sampai jumpa di apartemenku,” kata Alvian kemudian memutus perca
“Flowie.” Luke terus saja mengulangi nama itu di kepalanya di sepanjang perjalanan pulangnya. Kenapa dia jadi teringat kepada wanita itu? Dia merasa marah jika mengingat bahwa Flowie pernah melemparnya dengan sepatu, tapi sekarang Alvian malah melindunginya. Memang tidak benar jika membiarkan seorang wanita pingsan di jalan, namun sampai membawa wanita itu ke apartemennya? Oh, Come on. Luke sangat mengenal sifat Alvian. Dia tidak pernah membawa sembarang wanita ke apartemennya, bahkan teman one night stand-nya. Selain Alice, Flowie adalah wanita pertama yang di bawa Alvian ke apartemennya. Luke curiga ada sesuatu di antara mereka dan ia yakin akan itu. Luke ingin mengetahuinya. === Flowie memakan roti lapis yang disediakan oleh Alvian dengan lahap. Ia memakannya dengan sangat cepat seolah-olah seseorang akan merebutnya, membuat Alvian yang sedang menuangkan susu hangat ke dalam gelas, melirik Flowie dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau begitu lapar?” tanya
“Dari mana saja kau? Kenapa kau membuat mama khawatir?” tanya Anna ketika Flowie baru saja tiba di rumah. “Maafkan aku, ma. Semalam hujan sangat lebat. Jadi aku tidak bisa pulang, dan menginap di rumah Erica.” jelas Flowie berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa dia jatuh sakit, karena ibunya pasti akan langsung khawatir. Apalagi menceritakan dia menginap di sebuah apartemen mewah bersam bosnya, sudah bisa diyakini ibunya akan terkena serangan jantung setelahnya atau paling tidak dia akan diusir dari rumah. Oh tidak. Membayangkannya membuat Flowie bergidik ngeri. Ia ingin ibunya tenang-tenang saja tanpa beban pikiran apapun. Itulah sebabnya dia selalu marah terhadap adik-adiknya, jika mereka berulah dan menjadi beban pikiran ibu mereka. Anna menghela nafas mendengar jawaban Flowie. “Maafkan aku ma,” ucap Flowie sambil memelukan Anna. “Yasudah, mandilah! Ini hampir siang hari. Apa kau sudah makan?” tanya Anna. “Sudah,” Flowie sekali lagi berbohong. Dia juga baru ingat kalau
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
Sepanjang makan malam mereka membicarakan hal-hal yang Flowie tidak mengerti, namun entah mengapa Flowie merasa Luke tidak terlalu menyukai pertemuan ini. Padahal sikap keluarganya tidak seburuk yang Flowie bayangkan, mengingat betapa mengerikannya Elya.“Jadi kalian sudah memutuskan tanggalnya?” tanya Diego tiba-tiba kepada Luke dan Flowie.“Dua minggu dari sekarang,” jawab Luke mantap yang membuat Flowie menoleh kearah Luke dengan tatapan tidak mengerti.“Kenapa cepat sekali, Luke?” tanya Alberto.“Kami sudah memutuskannya, pa. Jangan dipikirkan lagi. Aku akan mengurus semuanya.” jawab Luke kemudian mengelap lembut bibirnya dengan napkin.Flowie yang tidak mengerti apapun yang mereka bicarakan hanya diam saja dan kemudian ia meraih gelas berisi wine dan meneguknya cukup banyak. Entah mengapa wine ini sungguh terasa nikmat di tenggorokan Flowie.“Baiklah. Siapkan pesta yang besar untuk mereka Alberto,” kata Diego.“Baiklah pa,” kata Alberto mengangguk setuju.“Tidak perlu, kek. Aku s
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Hal pertama yang ia dapat adalah wajah Luke yang tampak sibuk dengan sesuatu di i-padnya. “Uhmm,” Flowie berdeham pelan. Tenggorokannya terasa begitu kering. Sudah berapa lama ia tidur? Bukankah sebelumnya ia tertidur di pesawat? Lalu kenapa ia sekarang tidur di paha Luke? Dan kenapa mereka berada dalam mobil? “Kau sudah bangun, sayang?” tanya Luke ketika menyadari Flowie yang sudah terbangun. “Kita di mana? Di mana Hans?” tanya Flowie sambil mengucek matanya. “Hans tertidur di kursi belakang. Kita sedang dalam perjalanan menuju apartemen,” jawab Luke sambil mengelus rambut cokelat Flowie. Mendengar kata apartemen, membuat Flowie tiba-tiba bangkit dari rebahannya dan menatap Luke tidak setuju. “Tidak, Luke. Aku tidak mau kembali ke apartemenmu!” Flowie menggeleng kuat. Luke menarik Flowie ke dalam pelukannya. “Ssst! Tenanglah, sayang. Aku tidak akan membawamu ke situ, kita sedang di Swiss, kita akan ke apartemenku yang ada di Swiss maks
“Mari kita pulang ke rumah kita sayang,” ajak Luke kepada Flowie sambil mengusap kepala Hans yang tengah tertidur di pangkuan Flowie.Flowie menggeleng lemah.“Kenapa? Apa karena ibuku?” tanya Luke menangkup kedua pipi Flowie dengan lembut.Hening.“Aku mencintaimu, Flow. Tidakkah kau mencintaiku? Apa kau akan memisahkanku dari anakku juga?” tanya Luke dengan sendu.Flowie kembali terisak. Sungguh ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi ia begitu ingin terus di samping Luke dan terus diperlakukan begini lembut olehnya. Ia begitu merindukan Luke, namun ia juga begitu takut jika Elya melakukan sesuatu terhadap anaknya.“Aku bersumpah, ibuku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku bersumpah keluarga Croose tidak akan menyentuhmu dan anak kita sedikitpun,” ujar Luke penuh keyakinan sambil menarik Flowie ke dalam pelukannya.“Bagaimana caranya?” tanya Flowie ragu.Luke merapikan rambut Flowie.“Kita akan pergi jauh meninggalkan mereka,” jawab Luke sambil tersenyum hangat.===Luke ti
Sungguh ia membenci ini. Kenapa di saat ia ingin melupakan Luke, ia malah bisa sedekat ini dengan Luke. Aroma perfume Luke meruak di indera penciumannya. Aroma yang selalu ia rindukan, dan juga tangan kekar yang kini melingkar sempurna di perutnya, tangan yang selalu ia rindukan untuk memeluknya.Luke bisa merasakan tubuh Flowie yang menegang dan tangisan gadis itu memecah. Flowie menangis sejadi-jadinya dengan bahu yang naik turun. Luke membalikan badan Flowie dan menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya dan ia ikut menangis bersama wanita kesayangannya itu. Ia bisa merasakan kesedihan terdalam yang Flowie rasakan, dan entah mengapa mendengar tangisan Flowie membuat hatinya tercubit. Sakit.“The fault is not in our stars, babe, but in ourselves. Let’s fix it,” ujar Luke pelan sambil mengusap air mata di pipinya.Berkali-kali Luke menciumi pucuk kepala Flowie, meresapi aroma yang sudah lama ia rindukan. Luke mengelus punggung Flowie dengan lembut, seolah ia menyampaikan pesa
Luke merasa napasnya tercekat. Ia sungguh ingin segera menghampiri Flowie dan memeluk wanita itu, namun ia belajar dari pengalamannya. Bagaimana Flowie lari melihatnya, Luke ingin melakukannya dengan pelan kali ini. Ia mengikuti Flowie dari belakang sampai wanita itu menaiki lift. Ketika pintu lift tertutup sempurna Luke berlari menuju lift di sebelahnya dan melihat lantai yang dituju Flowie. Lantai 7. Dengan segera Luke menaiki lift di sebelahnya dan menekan tombol 7, namun sialnya pada saat pintu nyaris tertutup ada orang dari luar yang menekan tombol buka sehingga pintu lift kembali terbuka. “Oh shit!” Luke kembali mengumpat membuat pasangan yang baru saja masuk ke dalam lift menatapnya kaget. Pintu lift kembali tertutup dan mengantarkan mereka ke lantai 7. TING!! Luke melesat dengan cepat saat pintu lift terbuka di lantai 7. Ia berjalan tergesa mencari sesosok Flowie. “Sial mengapa lorongnya begitu panjang?” batin Luke. Namun sepertinya kali ini semesta berpihak pada Luke, d