HUP!
Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke.
“Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal.
Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu.
"Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk.
"Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati.
“Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya.
“Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu.
“Apa?” tanya Flowie kaget.
“Kejadian kemarin sore dan sekarang jelas menunjukan kau begitu ceroboh. Semuanya adalah kesalahanmu," jelas Luke kesal yang membuat Flowie melotot.
“Hei! Maaf telah merepotkanmu. Tapi aku tidak pernah memintamu untuk menolongku!” ujar Flowie ketus dengan emosi terpancing. Kini dia berjongkok untuk merapikan sepatu-sepatu yang sudah berantakan karena terjatuh.
“Jika aku tidak menolongmu, mungkin kakimu akan patah. Kalau kau tidak bisa kerja, sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Kau hanya akan merepotkan orang lain dan merugikan perusahaan. Masih banyak di luar sana yang membutuhkan pekerjaan ini," ucap Luke tidak kalah ketus sambil membalikan badannya hendak meninggalkan Flowie.
Flowie yang mendengar kata-kata luke, merasa emosinya meledak. Kini dia kehilangan kesabaran. Dia mengambil sepatu yang jatuh tadi dan melemparkannya ke Luke. Sepatu itu tepat mengenai punggung Luke. Cukup kuat malahan sampai mengehentikan langkah Luke.
“Kau pikir kau siapa? Bahkan bosku sendiri tidak pernah berkata seperti itu padaku. Jangan pikir karena kau adalah orang kaya, kau bisa bicara sesukamu ya!” kata Flowie setengah teriak dengan bahu yang naik turun karena emosi. Bahkan sekarang dia tidak peduli jika dia harus berhadapan dengan atasannya, karena berkelahi dengan pelanggan sombong sialan ini.
Luke membalikan badannya dan berjalan dengan cepat menuju Flowie. Gerahamnya bergemelatuk dan sorot di dalam kedua pupil matanya dibanjiri emosi. Flowie merasa debaran jantungnya semakin cepat ketika melihat wajah Luke yang merah karena Emosi. Luke terus melangkah dan membuat Flowie melangkah mundur sampai tersudut menabrak dinding. Kini dia terkunci. Di sebelah kanan dan kirinya ada rak sepatu yang menjulang tinggi, di belakangnya dinding dan di hadapannya pria yang seperti kerasukan setan hendak memakannya. Dia tak bisa lari kemanapun. Luke berhenti tepat beberapa centi meter di hadapan Flowie.
“Ma-mau apa kau?” tanya Flowie berusaha menyembunyikan ketakutannya dengan menatap tajam Luke.
TESS!!
Luke menyambar dengan cepat name tag Flowie dari saku kemejanya.
“Kau dipecat,” katanya kemudian dengan geram dan membalikan badan, meninggalkan Flowie yang masih bingung dan mematung.
Apa yang barusan terjadi? Luke memecat Flowie? Bagaimana bisa? Siapa dia yang berani memecat Flowie?
“He-Hei!" seru Flowie sambil mengejar Luke ketika tersadar dari lamunannya, namun terlambat, Luke sudah melaju dengan mobilnya ketika Flowie sampai di pintu keluar.
“Ada apa Flowie? Kenapa kau berkelahi dengan pak Luke?” tanya Vina sedikit cemas.
“P-pak Luke? Kau mengenalnya?” tanya Flowie terbata.
“Tentu saja. Dia kan salah satu pemilik saham Ocean Group, induk Group perusahaan kita,” jelas Vina.
“Apa?!” teriak Flowie membelalakan mata. Seketika Flowie merasa jantungnya melorot dari tempatnya. Jawaban yang baru diterimanya sungguh mengejutkan dan merampas seluruh tenaganya. Kini dia terduduk di lantai. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya.
"Ya Tuhan. Apa yang baru saja aku lakukan?" lirih Flowie menyesali perbuatannya. Air mata mulai jatuh dari sudut matanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Vina penasaran masih dengan wajah yang cemas.
“Aku dipecat,” jawab Flowie dengan tangis yang pecah.
“Apa?” tanya Vina kaget membelalakan matanya.
===
Luke meninjak pedal gas mobilnya dengan sebal. Flowie benar-benar merusak mood-nya pagi ini. Sebenarnya mood-nya sudah rusak sejak pagi tadi, karena Alberto memintanya untuk pulang ke rumah, karena ibunya sama sekali tidak mau makan apapun kecuali menemui dia. Kekesalannya bertambah ketika mendapat perlakuan karyawan wanitanya yang menyebalkan.
Mobilnya terpakir sempurna di depan kediaman Croose. Kediaman yang sangat megah dan mewah. Luke menatap seksama rumahnya sebelum dia turun dari mobilnya. Sesekali dia menghela nafas dan kemudian akhirnya memilih turun dari mobilnya dan melangkah masuk. Luke mempercepat langkahnya menuju kamar ibunya -Elya-. Setiba di depan kamar ibunya, Luke kembali menarik nafas dalam-dalam sebelum tangannya meraih gagang pintu dan membukanya. Ternyata tidak dikunci.
Aroma alkohol begitu menyengat di penciuman Luke sesaat pintu kamar Elya terbuka. Pemandangan pertama yang dia dapat adalah Elya duduk di lantai dengan sebuah gelas berisi anggur di tangannya. Ada beberapa botol anggur di hadapannya. Tampaknya Elya sedang bermabuk-mabukan lagi.
“Astaga, ma. Apa yang mama lakukan?” tanya Luke sambil berlari kecil menuju Elya yang terhuyung-huyung mengangkat kepalanya untuk melihatnya.
Luke mengambil gelas berisi anggur dari tangan Elya dan meletakannya di atas nakas. Seharusnya Luke tidak kaget lagi dengan hal yang dilakukan Elya. Elya memiliki kebiasaan minum-minum untuk pelarian stresnya sedari luke masih kecil, tapi mengingat usia Elya yang sudah tidak muda lagi, Luke cukup cemas memikirkan hal-hal buruk yang menimpa kesehatan ibunya.
“Luke. Kau kah ini, nak?” tanya Elya sambil meraba-raba wajah Luke.
Luke menghela nafas dengan berat. “Iya, ma. Aku sudah pulang,” jawab Luke sambil tersenyum tipis dan mengangkat tubuh Elya ke tempat tidur yang berada di dekatnya.
“Apa kau suka lihat mama seperti ini? Kenapa kau baru pulang sekarang?” tanya Elya dengan nada suara seperti orang mabuk.
“Sepertinya mama tidak sakit sama sekali. Malahan mabuk-mabukan seperti ini,” kata Luke sama sekali tidak menjawab pertanyaan ibunya.
“Aku ingin mati saja. Suami dan anakku tidak perduli padaku sama sekali,” kata Elya tiba-tiba menangis.
“Hentikan ma!” ucap Luke tegas.
“Kau juga! Kakekmu tidak akan memberimu warisan kalau kau belum menikah. Kenapa kau tidak segera menikah? Oh Tuhan. Kenapa nasibku begitu menyedihkan? Suami yang tidak mencintaiku dan anakku satu-satunya yang selalu membangkang,” gumam Elya sambil memejamkan matanya. Sepertinya kantuk telah menguasainya dan membawanya ke dalam tidur yang nyeyak.
Luke hanya berdiri memperhatikan ibunya. Wajah yang cantik itu kini tertidur dengan pulas. Luke membersihkan jejak-jejak air mata yang ada di pipi ibunya, kemudian dia menarik selimut sehingga menututupi tubuh Elya.
“Aku akan menikah ma, tapi tentu saja dengan orang yang aku cintai. Aku hanya tidak ingin anakku mengalami hal yang aku alami, karena aku tidak mencintai ibunya," kata Luke setengah berbisik sambil mengelus rambut Elya.
===
Luke meninggalkan ibunya yang sudah terlelap dan menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Luke berjalan menuju dapur dan mendapati bibi Anjani, wanita separuh baya yang sedang menyiapkan makan malam. Bibi Anjani adalah kepala pembantu di rumah mereka dan dia sudah bekerja sejak Luke belum lahir kedunia ini, bahkan Luke kecil lebih banyak dirawat oleh Anjani daripada Elya. Itulah sebabnya Luke sangat dekat kepadanya.
“Nak Luke. Kapan sampainya? Kok bibi tidak tahu?” tanya Anjani dengan senyum mengembang saat melihat Luke datang ke arahnya.
“Baru saja bi,” jawab Luke dengan senyumannya. Kini ia berdiri di sebelah Anjani.
“Nak Luke mau makan malam apa? Biar bibi buatin," tanya Anjani.
“Tidak usah repot-repot, bi. Aku sudah ada janji makan malam di luar. Bibi siapkan buat mama saja," jawab Luke bohong. Dia bahkan tidak punya janji sama sekali.
“Baiklah kalau begitu nak,” kata Anjani melanjutkan mengiris-ngiris wortel di atas talenan.
“Bi,” panggil Luke sambil memperhatikan irisan wortel tersebut.
“Ya, nak?” sahut Anjani menghentikan pekerjaannya dan menatap Luke.
“Apa orangtuaku masih sering bertengkar?” tanya Luke tidak mengalihkan pandangannya.
Anjani menghela nafas dalam-dalam. “Ya. Begitulah nak," jawab Anjani yang sepertinya enggan bercerita dan melanjutkan pekerjaannya.
“Bi, Aku khawatir dengan kesehatan mama. Bisakah kalian mengunci saja gudang anggur, supaya dia berhenti minum-minum?” tanya Luke lagi.
“Tuan Alberto sudah melakukannya, nak. Tapi tetap saja nyonya menyuruh pembantu lain membelinya dari luar,” Kata Anjani yang tampaknya sudah putus asa.
Luke hanya diam mendengar perkataan Anjani.
“Akhir-akhir ini nyonya juga minumnya banyak sekali," Lanjut Anjani.
“Iya, bi. Aku tahu. Ada 4 botol anggur di kamarnya," kata Luke sambil mengusap wajahnya frustasi.
Anjani menatap iba kepada Luke. Anak kecil yang selalu ditemaninya dulu kini tekah menjadi pria dewasa. Pria dewasa yang juga tampan. Sayang sekali dia tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuanya. Bahkan di usianya masih 33 tahun, Anjani tahu dia sangat merindukan perhatian kedua orangtuanya.
“Bibi yakin nak Luke bisa bertahan menghadapi semua ini," kata Anjani sambil mengusap-ngusap pundak Luke lembut.
“Terimakasih bi,” kata Luke dengan senyum tipisnya.
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film
Seolah masalah tidak sampai di situ saja, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan sigap Alvian mengangkat tubuh Flowie kedalam dekapannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ketika di dalam mobil, Alvian melepaskan jasnya dan membungkus badan Flowie dari depan. Ia juga memegang dahi Flowie memastikan seberapa tinggi demam wanita itu. “Astaga! Badanmu panas sekali!’ batin Alvian. Ia segera menginjak pedal gas mobilnya melaju menuju apartemennya. Tangan kanannya menekan beberapa tombol yang ada di ponselnya. “dr. Kevin, bisakah kau datang ke apartemenku 10 menit dari sekarang?” tanya Alvian kepada seseorang di seberang. “.......” “Baiklah dok, terima kasih. Tidak, tidak. Bukan aku, tapi teman-” jelas Alvian sambil melihat Flowie di sebelahnya. “Teman wanitaku,” lanjutnya lagi. “…..” “Aku masih tidak yakin dok. Hanya saja dia pingsan dan badannya sangat panas,” ujar Alvian lagi. “…..” “Baiklah dok. Sampai jumpa di apartemenku,” kata Alvian kemudian memutus perca
“Flowie.” Luke terus saja mengulangi nama itu di kepalanya di sepanjang perjalanan pulangnya. Kenapa dia jadi teringat kepada wanita itu? Dia merasa marah jika mengingat bahwa Flowie pernah melemparnya dengan sepatu, tapi sekarang Alvian malah melindunginya. Memang tidak benar jika membiarkan seorang wanita pingsan di jalan, namun sampai membawa wanita itu ke apartemennya? Oh, Come on. Luke sangat mengenal sifat Alvian. Dia tidak pernah membawa sembarang wanita ke apartemennya, bahkan teman one night stand-nya. Selain Alice, Flowie adalah wanita pertama yang di bawa Alvian ke apartemennya. Luke curiga ada sesuatu di antara mereka dan ia yakin akan itu. Luke ingin mengetahuinya. === Flowie memakan roti lapis yang disediakan oleh Alvian dengan lahap. Ia memakannya dengan sangat cepat seolah-olah seseorang akan merebutnya, membuat Alvian yang sedang menuangkan susu hangat ke dalam gelas, melirik Flowie dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau begitu lapar?” tanya
“Dari mana saja kau? Kenapa kau membuat mama khawatir?” tanya Anna ketika Flowie baru saja tiba di rumah. “Maafkan aku, ma. Semalam hujan sangat lebat. Jadi aku tidak bisa pulang, dan menginap di rumah Erica.” jelas Flowie berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa dia jatuh sakit, karena ibunya pasti akan langsung khawatir. Apalagi menceritakan dia menginap di sebuah apartemen mewah bersam bosnya, sudah bisa diyakini ibunya akan terkena serangan jantung setelahnya atau paling tidak dia akan diusir dari rumah. Oh tidak. Membayangkannya membuat Flowie bergidik ngeri. Ia ingin ibunya tenang-tenang saja tanpa beban pikiran apapun. Itulah sebabnya dia selalu marah terhadap adik-adiknya, jika mereka berulah dan menjadi beban pikiran ibu mereka. Anna menghela nafas mendengar jawaban Flowie. “Maafkan aku ma,” ucap Flowie sambil memelukan Anna. “Yasudah, mandilah! Ini hampir siang hari. Apa kau sudah makan?” tanya Anna. “Sudah,” Flowie sekali lagi berbohong. Dia juga baru ingat kalau
“Aku baru tahu kalau gadis sepertimu bisa melakukan pembelaan harga diri. Apa itu salah satu trikmu supaya tidak ketahuan?” tanya Luke santai sambil memasukan tangan ke saku celananya. “Apa maksudmu?” tanya Flowie kesal. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Luke. Luke tertawa kecil. Sama sekali tidak ada yang lucu, tapi entah mengapa ia merasa lucu melihat ekspresi wajah Flowie. Ekspresi yang menunjukan kalau dia memang sama sekali tidak mengerti maksud Luke. Luke menyadari bahwa sebenarnya Flowie memang tidak tahu apa-apa, namun egonya memaksanya tetap melanjutkan aksinya. Ia masih penasaran dengan respon selanjutnya yang akan diberikan Flowie. “Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya Luke. “Itu bukan urusanmu,” jawab Flowie kesal sambil berjalan melewati Luke. “Apa kau sudah ada janji dengan pria yang menginap di lantai dua? Menemaninya sepanjang malam, seperti yang kau lakukan dengan Alvian?” tanya Luke lagi yang sukses menghentikan langkah Flowie dan memb
“A-alvian? Tidak. Aku hanya sedang duduk-duduk saja. Kau di sini?” tanya Flowie ketika sadar dari ketegunannya. “Hm. Kebetulan aku lewat dan melihatmu duduk di sini.” Jawab Alvian seadanya sambil mengambil posisi duduk di sebelah Flowie. “Oh,” gumam Flowie singkat tampak bingung harus berkata apa. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Alvian lagi menolehkan padangannya kepada Flowie. “Sudah membaik,” jawab Flowie sambil tersenyum simpul. Alvian kembali menatap lurus ke depan dan tampak mengangguk. “Terima kasih Alv,” ujar Flowie yang membuat Alvian kembali menatap Flowie. Pandangan mereka bertemu cukup lama, sampai akhirnya Flowie membuang muka menatap lurus ke depan. “Terima kasih karena sudah menjadi penolongku berkali-kali,” lanjut Flowie lagi dengan tersenyum masih memandang lurus ke depan. Alvian kembali menatap lurus ke depan, dan dengan suara rendah ia berkata, “Tidak masalah. Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku,” Kata-kata yang membuat Flowie sedikit terkejut sekaligus
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
Sepanjang makan malam mereka membicarakan hal-hal yang Flowie tidak mengerti, namun entah mengapa Flowie merasa Luke tidak terlalu menyukai pertemuan ini. Padahal sikap keluarganya tidak seburuk yang Flowie bayangkan, mengingat betapa mengerikannya Elya.“Jadi kalian sudah memutuskan tanggalnya?” tanya Diego tiba-tiba kepada Luke dan Flowie.“Dua minggu dari sekarang,” jawab Luke mantap yang membuat Flowie menoleh kearah Luke dengan tatapan tidak mengerti.“Kenapa cepat sekali, Luke?” tanya Alberto.“Kami sudah memutuskannya, pa. Jangan dipikirkan lagi. Aku akan mengurus semuanya.” jawab Luke kemudian mengelap lembut bibirnya dengan napkin.Flowie yang tidak mengerti apapun yang mereka bicarakan hanya diam saja dan kemudian ia meraih gelas berisi wine dan meneguknya cukup banyak. Entah mengapa wine ini sungguh terasa nikmat di tenggorokan Flowie.“Baiklah. Siapkan pesta yang besar untuk mereka Alberto,” kata Diego.“Baiklah pa,” kata Alberto mengangguk setuju.“Tidak perlu, kek. Aku s
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Hal pertama yang ia dapat adalah wajah Luke yang tampak sibuk dengan sesuatu di i-padnya. “Uhmm,” Flowie berdeham pelan. Tenggorokannya terasa begitu kering. Sudah berapa lama ia tidur? Bukankah sebelumnya ia tertidur di pesawat? Lalu kenapa ia sekarang tidur di paha Luke? Dan kenapa mereka berada dalam mobil? “Kau sudah bangun, sayang?” tanya Luke ketika menyadari Flowie yang sudah terbangun. “Kita di mana? Di mana Hans?” tanya Flowie sambil mengucek matanya. “Hans tertidur di kursi belakang. Kita sedang dalam perjalanan menuju apartemen,” jawab Luke sambil mengelus rambut cokelat Flowie. Mendengar kata apartemen, membuat Flowie tiba-tiba bangkit dari rebahannya dan menatap Luke tidak setuju. “Tidak, Luke. Aku tidak mau kembali ke apartemenmu!” Flowie menggeleng kuat. Luke menarik Flowie ke dalam pelukannya. “Ssst! Tenanglah, sayang. Aku tidak akan membawamu ke situ, kita sedang di Swiss, kita akan ke apartemenku yang ada di Swiss maks
“Mari kita pulang ke rumah kita sayang,” ajak Luke kepada Flowie sambil mengusap kepala Hans yang tengah tertidur di pangkuan Flowie.Flowie menggeleng lemah.“Kenapa? Apa karena ibuku?” tanya Luke menangkup kedua pipi Flowie dengan lembut.Hening.“Aku mencintaimu, Flow. Tidakkah kau mencintaiku? Apa kau akan memisahkanku dari anakku juga?” tanya Luke dengan sendu.Flowie kembali terisak. Sungguh ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi ia begitu ingin terus di samping Luke dan terus diperlakukan begini lembut olehnya. Ia begitu merindukan Luke, namun ia juga begitu takut jika Elya melakukan sesuatu terhadap anaknya.“Aku bersumpah, ibuku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku bersumpah keluarga Croose tidak akan menyentuhmu dan anak kita sedikitpun,” ujar Luke penuh keyakinan sambil menarik Flowie ke dalam pelukannya.“Bagaimana caranya?” tanya Flowie ragu.Luke merapikan rambut Flowie.“Kita akan pergi jauh meninggalkan mereka,” jawab Luke sambil tersenyum hangat.===Luke ti
Sungguh ia membenci ini. Kenapa di saat ia ingin melupakan Luke, ia malah bisa sedekat ini dengan Luke. Aroma perfume Luke meruak di indera penciumannya. Aroma yang selalu ia rindukan, dan juga tangan kekar yang kini melingkar sempurna di perutnya, tangan yang selalu ia rindukan untuk memeluknya.Luke bisa merasakan tubuh Flowie yang menegang dan tangisan gadis itu memecah. Flowie menangis sejadi-jadinya dengan bahu yang naik turun. Luke membalikan badan Flowie dan menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam pelukannya dan ia ikut menangis bersama wanita kesayangannya itu. Ia bisa merasakan kesedihan terdalam yang Flowie rasakan, dan entah mengapa mendengar tangisan Flowie membuat hatinya tercubit. Sakit.“The fault is not in our stars, babe, but in ourselves. Let’s fix it,” ujar Luke pelan sambil mengusap air mata di pipinya.Berkali-kali Luke menciumi pucuk kepala Flowie, meresapi aroma yang sudah lama ia rindukan. Luke mengelus punggung Flowie dengan lembut, seolah ia menyampaikan pesa
Luke merasa napasnya tercekat. Ia sungguh ingin segera menghampiri Flowie dan memeluk wanita itu, namun ia belajar dari pengalamannya. Bagaimana Flowie lari melihatnya, Luke ingin melakukannya dengan pelan kali ini. Ia mengikuti Flowie dari belakang sampai wanita itu menaiki lift. Ketika pintu lift tertutup sempurna Luke berlari menuju lift di sebelahnya dan melihat lantai yang dituju Flowie. Lantai 7. Dengan segera Luke menaiki lift di sebelahnya dan menekan tombol 7, namun sialnya pada saat pintu nyaris tertutup ada orang dari luar yang menekan tombol buka sehingga pintu lift kembali terbuka. “Oh shit!” Luke kembali mengumpat membuat pasangan yang baru saja masuk ke dalam lift menatapnya kaget. Pintu lift kembali tertutup dan mengantarkan mereka ke lantai 7. TING!! Luke melesat dengan cepat saat pintu lift terbuka di lantai 7. Ia berjalan tergesa mencari sesosok Flowie. “Sial mengapa lorongnya begitu panjang?” batin Luke. Namun sepertinya kali ini semesta berpihak pada Luke, d