Bu Zunaira memegang daguku. Wajah dengan riasan tebal itu tersenyum tipis. "Aku mendapatkan keuntungan sangat besar dengan menjualmu," bisiknya.
"Kamu g*la," umpatku.
"Sudah sejak lama aku gila, Kara. Sampai bertemu satu bulan lagi." Bu Zunaira masuk mobil, dia tega sekali.
"Bawa Kara ke kamarku," perintah Angkasa.
Kali ini aku tidak melawan, menurut seperti bayi yang tidak punya tenaga. Toh percuma melawan dua lelaki kekar dan besar.
Dengan kasar mereka mendorong tubuhku masuk kamar. Aku tersungkur di atas karpet, lantas pintu tertutup rapat. Langkah-langkah suara kaki mereka terdengar semakin menjauh.
Aku memukul-mukul dada sendiri, kepedihan yang luar biasa hebat. Terisak dalam, tamat sudah riwayatku--menjadi budak nafsu Angkasa. Impian pernikahan yang indah, suami yang setia, tinggal impian. Tidak ada yang tersisa. Dan, rasanya ingin mati saja.
"Apa yang kamu tangisi?" Angkasa berjongkok di depanku.
Aku melengos. Muak melihat wajah Angkasa.
"Mandilah, ganti bajumu yang kotor." Angkasa meletakkan kaus dan celana training di pangkuanku. "Pakai kausku dulu, karena kamu tidak punya baju. Oh, ya, ini tasmu ...."
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Menyeka air mata yang terus menggenang.
"Andreas dan ibunya, mereka semacam germo. Yang menawarkan gadis-gadis per*w*n pada pengusaha dan penjabat. Tentu hanya kalangan kami yang tahu sepak terjangnya di bisnis dunia hitam," kata Angkasa, dia berdiri menjauh.
Ujung mataku sempat melihatnya tengah memakai jas, kemudian merapikan rambutnya.
"Bahkan mereka menawarkan gadis di bawah umur ...."
"Dan, kamu termasuk yang menikmati gadis-gadis di bawah umur itu," potongku sengit.
"Aku masih waras, aku tidak tertarik berhubungan dengan gadis kecil. Makanya, ketika Andreas menawarkan dirimu tiga hari yang lalu, aku langsung menerimanya," terang Angkasa.
Ternyata aku memang sudah diincar Andreas. Aku pun terjebak oleh pesonanya, masuk perangkap yang telah dia buat.
"Nikmatilah kamarku, Kara. Penjagaan di rumahku ketat. Tidak ada celah bagimu untuk kabur." Angkasa berlalu dari kamar.
Tubuh ini rebah di atas karpet. Aku benci dengan air mata yang terus merembes. Aku benci dengan tubuh yang kotor dan menjijikkan. Aku sekarang hanya seorang p3l4c*r.
Derit pintu terdengar terbuka, mungkin Angkasa yang masuk kamar. Ternyata bukan, seorang lelaki bertubuh tambun dan bermata sipit membawa baki makanan.
"Tuan Angkasa menyuruhmu makan," katanya.
"Aku tidak lapar," tolakku.
"Baiklah. Aku letakkan saja di sini." Baki berisi nasi goreng dan segelas teh ditaruh tepat di depan wajahku.
"Bisakah kamu menolongku?" pintaku penuh harap. "Bantu aku kabur dari rumah tuanmu."
"Sayang sekali aku tidak bisa."
"Aku mohon." Aku menarik tubuhku menjadi posisi duduk.
"Aku tidak bisa mengkhianati majikanku sendiri," sahutnya.
"Tapi, dia lelaki kejam, tidak bermoral." Aku menatap tajam lelaki yang kira-kira berusia 40 tahun.
"Ya, Tuan Angkasa memang suka bermain dengan perempuan, keluar masuk club, kadang mabuk-mabukan. Tetapi, aku berutang budi padanya. Dia punya sisi lain di balik sikapnya yang menurutmu kejam," jelasnya. "Panggil aku Burhan, sepertinya kita akan sering bertemu."
Burhan pun meninggalkan kamar dan tidak lupa mengunci pintu dari luar. Aku beranjak dari duduk, tertatih menuju jendela besar yang terhubung dengan balkon.
Aku menempelkan kening pada kaca jendela. "Aku harus keluar dari sini ...." gumamku. Meloncat dari balkon mungkin ide konyol, tetapi aku harus mencoba.
Sampai pada tepian balkon, aku melihat ke bawah. Ada dua penjaga duduk, lelaki berkepala plontos mendongak. "Ada yang bisa dibantu?"
Ucapan Angkasa benar adanya, banyak penjaga di rumah ini. Aku malah tertawa getir, hanya untuk menjaga supaya aku tidak kabur, Angkasa mungkin mengerahkan satu batalyon penjaga. Aku juga melihat anjing di pos satpam. Pagar tinggi mengelilingi rumah.
Penjaga, anjing, dan pagar tinggi. Ah, bagaimana aku bisa kabur?
***
Aku berada di bawah pancuran air hangat cukup lama. Berharap air bisa meluruhkan kotor di badanku dan sabun bisa membuat wangi.Andreas ... aku masih menangisi lelaki itu, yang membuatku patah hati dan tersakiti. Masih sulit memercayai bahwa aku telah terpedaya oleh cinta.
Perlahan aku meraih handuk, memakai kaus dan celana training yang kebesaran sehingga aku harus menggulung bagian bawah. Mematut diri di depan kaca, melihat wajahku yang ... mengerikan. Mata cekung dengan lingkaran hitam karena kebanyakan menangis.
Setelah mandi aku kembali meringkuk di atas karpet. Kamar hanya diterangi lampu di atas meja. Suara gemuruh hujan berdentang di telinga. Seharian aku hanya tergolek tanpa tenaga. Makanan yang diantar Burhan masih utuh. Satu jam yang lalu dia mengantar roti dan susu. Aku hanya mencuil sedikit, rasanya tenggorokanku tidak mampu menelan. Untuk apa aku makan?
Sang monster belum pulang. Aku berharap dia tertelan bumi selamanya. Keinginan terburukku, dia kecelakaan, dirampok, atau ditusuk penjahat. Termasuk Andreas dan Bu Zunaira, aku ingin mereka berdua terbakar api neraka.
Sayang sekali, tidak berselang lama, aku mendengar pintu terbuka. Langkah kaki, kemudian suara gemericik air di kamar mandi.
"Apa seharian kamu hanya berbaring di situ?" tanya sang monster yang baru keluar dari kamar mandi.
"Apalagi yang bisa dilakukan seorang tawanan ...."
"Kamu juga tidak makan. Apa tidak enak masakan si Burhan?" tanyanya lagi.
"Apa pedulimu kalau aku tidak mau makan?"
"Tidurlah di ranjang," perintah Angkasa.
"Aku tidur di sini saja."
Sang monster tidak menerima penolakan, dia menggendong tubuhku dan merebahkan pelan di ranjang. Apakah aku akan melalui malam laknat lagi? Aku harus menerima seandainya terjadi. Bukankah sekarang aku perempuan penjaja cinta?
Angkasa menyelimuti tubuhku sambil berujar, "Setiap malam kamu harus tidur di sampingku."
Monster itu tidak menjamahku, dia duduk di balik meja. Kacamata bertengger di hidungnya. Serius dengan tumpukan berkas dan laptop. Mendadak dia mendongakkan kepalanya dan tersenyum.
Buru-buru aku membalikkan badan. Aku ingin terlelap dan tidak terbangun lagi. Betapa putus asanya diri ini.
Aku terbangun pada dini hari, terkejut mendapati tangan Angkasa yang melingkar di atas perut. Dengan sangat perlahan, aku mendorong tangannya. Kerongkongan terasa kering hingga kuputuskan turun dari ranjang. Mengambil segelas air putih di meja dan meminumnya sampai habis.
Kemudian aku mengambil ponsel Angkasa, sayangnya terkunci. Oh, aku bisa menggunakan laptopnya. Entah mengapa aku ingin mencari tahu tentang Angkasa, Andreas, dan keluarganya.
Aku mencari di kolom pencarian. Mengetik nama Angkasa. Banyak sekali nama Angkasa, aku tidak tahu nama belakangnya. Aku berpindah mencari nama Andreas Danuarta. Dia aktif di F******k dan I*******m, namun di privat. Lalu, ada ulasan berita tentang istrinya yang meninggal akibat kecelakaan. Rem mobil tidak berfungsi hingga menabrak pembatas jalan. Pada profil, tampak wajah perempuan manis bernama Meina Yahya, tumbuh di panti asuhan dan mendedikasikan dirinya menjadi guru SD.
Aku tercenung sebentar, lalu men-scroll berita demi berita tentang Andreas. Rupanya dia pernah bertunangan dengan perempuan bernama Rista sebelum menikahi Meina. Rista menghilang, sampai sekarang belum diketemukan.
Kenapa perempuan yang punya hubungan dengan Andreas meninggal dan yang satunya menghilang? Aku membaca lagi, Rista menghilang setelah pulang dari pesta ulang tahun. Tidak ada jejak, mobilnya pun ikut raib.
Apa mereka sebenarnya disingkirkan Andreas? Setelah keinginan Andreas tercapai dia kemudian membungkam perempuan-perempuan malang itu?
Aku menutup bibir sendiri, rasa takut menyergap. Apakah setelah ini giliranku? Mati di tangan Andreas?
***Angkasa mengajakku ke mal untuk membeli pakaian. Dua anak buahnya berjalan di belakang kami. Rasanya mustahil aku kabur. Kami memasuki toko pakaian, kemudian pintu toko ditutup oleh salah satu pegawai toko.
"Pilih sesukamu. Sebanyak yang kau mau, toko ini hanya melayani kita untuk dua jam ke depan," ujar Angkasa, dia duduk di bangku.
Aku menjelajahi toko, mengambil kaus, kemeja, celana panjang dari bahan kain maupun jeans. Aku ambil begitu saja tanpa mencoba. Lalu, berjalan ke kasir.
Angkasa beranjak dari duduknya, dia berkomentar, "Cepat sekali." Tubuhnya tepat di belakangku.
Aku bergeming, bisa kurasakan embusan napasnya di tengkukku.
"Pakaian dalam? Sepertinya kamu tidak punya," bisiknya, "pilihlah yang seksi."
Pipiku mungkin memerah karena malu, akhirnya aku melangkah menuju bagian pakaian dalam wanita. Aku pun mengambil secukupnya.
"Sudah cukup?" tanya Angkasa.
Aku mengangguk kecil sembari menaruh beberapa pakaian dalam di meja kasir.
Setelah membayar, Angkasa mengajakku nonton di bioskop. Sementara kantong belanjaan dibawa oleh anak buah Angkasa.
Angkasa memilih film action, dia juga membeli popcorn dan minuman ringan. Kami duduk di bagian paling belakang. Aku sama sekali tidak menikmati film. Pikiran entah ke mana. Beberapa kali aku menarik napas.
"Tidak suka filmnya?" Tubuh Angkasa condong ke arahku.
"Aku tidak suka. Membosankan. Memuakkan. Menjijikkan. Memalukan ...."
Ucapanku terhenti, Angkasa meraih tengkukku dan mencium bibirku dengan lembut, aku bisa merasakan rasa manis popcorn. Aku mendorong tubuh Angkasa.
"Ini tempat umum," hardikku.
"Baik, nanti kita lanjutkan di rumah." Dia tersenyum.
Aku menegakkan tubuh. Mulai merasa gelisah. Aku harus melayani Angkasa, mau tidak mau. Aku semakin tidak bisa menikmati film.
***Sampai di rumah, Angkasa sibuk dengan tamu yang berkunjung. Aku pun terkunci di dalam kamar lagi. Berdiri memandangi kalender di meja. Ini hari ketiga aku berada di rumah mewah ini.Kaki ini bergerak ke kamar mandi, mencuci wajah di wastafel. Kemudian berendam air hangat di bathtub. Hanya sepuluh menitan, aku lekas keluar dari bathtub. Meraih handuk. Sial. Aku lupa tidak membawa baju ganti.
Aku membuka pintu kamar mandi, kepala melongok keluar, Angkasa belum berada di kamar. Kaki ini berjingkat ke lemari, mengambil kaus dan celana.
"Aku suka wangi mawar di rambutmu," ucap Angkasa, memeluk dari belakang, menjelajahi bahuku yang terbuka.
Seketika aku membeku. Mempererat handuk yang melilit di tubuh. Tetapi percuma, Angkasa menarik handuk yang kukenakan.
"Seperti yang kubilang tadi, kita akan melanjutkan di rumah," bisiknya di telingaku.
"To-tolong jangan." Aku memohon.
Angkasa tidak peduli, dia butuh pelepasan. Dia tidak sekasar waktu kali pertama menyentuhku. Dia mulai menandai tubuhku yang tidak berkutik. Detik jam berputar, terasa sangat lama. Akhirnya dia selesai bergerilya, menuntaskan hasrat dan menyisakan napas yang tidak beraturan.
"Thanks." Angkasa mengecup pipiku, lalu bibirku. Dia kemudian mendekapku.
Aku tersenyum masam, untuk apa dia mengucapkan terima kasih pada barang dagangan seperti diriku. Aku menarik selimut, menutupi tubuh telanjang kami.
Sudah tujuh belas hari, aku terpenjara di rumah Angkasa. Melayaninya di atas tempat tidur, mendengarkan keluh kesahnya mengenai perusahaan atau kolega yang menjengkelkan, dan menemaninya sarapan seperti pagi ini. Dia tampak segar dengan kemeja biru muda. "Setelah selesai masa sewa, tolong jangan kembalikan aku pada Andreas." Sudah empat kali aku mengatakannya pada Angkasa, berharap dia menyimpan sedikit belas kasihan. "Aku menyewamu layaknya barang, jadi aku harus mengembalikanmu pada empunya," sahut Angkasa. "Jangan bahas ini lagi, Kara." "Mungkin aku akan berakhir di kuburan ...." Aku mengesah. "Tidak ada bukti istrinya yang terdahulu dibunuh, itu hanya pradugamu saja." Angkasa membanting serbet, dia beranjak dari kursi. Cepat-cepat aku mengikutinya yang melangkah menaiki anak tangga. Aku akan terus membujuknya. "Aku mohon." "Tidak bisa," tandas Angkasa, mulai terlihat jengkel. "Arghh, lihat ini, kancing kemejaku lepas."
Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali."Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah."Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?"Cepat, Kara!" bentaknya.Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh.Andreas meraih lenga
Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah. Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus. Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba. Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri. Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Kami pulang duluan, deh. Kuenya kami bawa sekalian," seloroh Gisella, "tak kuat lihat adegan mesra.""Skuy, kita pergi. Kita bikin pesta sendiri." Miranda berjalan turun dari panggung diikuti Dora dan Gisella.Bu Julia memelukku, mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau juga meninggalkan panggung."Kenapa jauh-jauh harus di sini, kan, bisa di rumah dengan lilin-lilin yang menyala, buket bunga?" tanyaku pada Angkasa, mengalungkan kedua tangan di lehernya.Angkasa mencolek hidungku. Dia bercerita akan mengadakan konser mini untuk menggalang dana. Untuk sebuah yayasan yang berfokus pada perempuan dan bayi-bayi yang terlantar. Dia mengajak beberapa teman yang suka bermain musik dan dua penyanyi terkenal."Sepuluh hari lagi aku akan mengeluarkan bakatku." Angkasa terkekeh, dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telingaku. "Sepertinya ... kamu menginginkan sesuatu dariku," lanjut Angkasa men
Hamparan pasir putih. Turis-turis yang ganteng dan cantik. Bikini mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh yang aduhai. Hari menuju sore. Aku duduk di kursi malas, di bawah payung lebar. Tuan Angkasa tidak mengizinkan aku memakai baju renang. (siapa pula yang mau berenang)."Hai."Mataku menyipit, lelaki bermata biru itu tersenyum. Dia duduk di kursi malas lain. Tubuhnya berotot. Lumayan ganteng."Sendirian?" tanyanya."Dengan suamiku.""Sayang sekali ...." gumamnya. "Kau tahu tempat pariwisata yang paling favorit di Bali?""Aku tidak tahu. Kamu bisa tanya ke front office," sahutku, malas."Di mana suamimu?""Sebentar lagi dia datang." Aku menyeruput es kiwi.Si Bule terus bicara, mengenai cuaca Bali, mengenai penerbangan dia yang membutuhkan waktu 18 jam, dan orang-orang Indonesia yang ramah."Aku suka
"Seandainya tadi kamu tidak pergi, mungkin kita sudah selesai bertempur," sungutku, mengedipkan mata.Angkasa terlentang. "Aku juga mau tidur aja.""Langit sendirian, dong," protesku."Kalau kita tidur, Langit juga akan tidur," sahut Angkasa, dia memiringkan tubuhnya. Mendekap Langit. Kedua kelopak matanya perlahan menutup.Sebenarnya aku juga menahan gelegak yang parah. Gisella menyarankan bulan madu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Langit. Kami berdua tidak pernah terpisah sebelumnya.Aku pun larut dalam nyenyak. Lambat laun suara denting jam dinding dan napas mulai pudar.Akan tetapi sentuhan hangat pada pipi dan leher menarikku dari lembah tidur. Mendapati wajah Angkasa yang begitu dekat. Dia kemudian membopong tubuhku ke kamar sebelah. Merebahkan dengan perlahan di atas pembaringan."Langit sudah tidur dan aman di dalam boks," bisik Angkasa. "Jadi, s
Angkasa membelai rambutku lembut, lalu memeluk erat. Berkali-kali mencium ujung kepalaku. Sementara aku membenamkan kepala di dadanya, menghidu aroma yang menggelitik jiwa. Hanya ada kami berdua, diantara angin dan atap yang sepi. Aku bisa merasakan detak-detak jantungnya yang cepat."Aku akan mempersiapkan semua dengan cepat," ujarnya. "Kamu hanya perlu mempersiapkan gaun.""Aku tidak ingin pesta, aku ingin pernikahan kita hanya dihadiri orang terdekat," sahutku."Baiklah, aku akan melakukan sesuai harapanmu. Oh, ya, hari ini kamu pasti mencariku, ya?""Tahu dari mana kalau aku mencarimu?" Aku mengurai pelukan, mendongak melihat wajah Angkasa."Aku baca status Nyonya Aurora di Instagram. Aku tahu kamu pasti resah, Kara." Kembali Angkasa membelai rambutku. "Aku tidak akan membiarkan dia merusak labelmu.""Aku menyayangi Nyonya Aurora, dia sebenarnya orang baik. Dia emosi k
"Kayaknya kamu benar-benar ngantuk, aku balik dulu ke apartemen. Selamat malam, calon istriku." Angkasa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemenku.Aku menggigit kursi bantal. Setelah bicara sampai ngos-ngosan, meluapkan semua keinginan terpendam--reaksi Angkasa hanya begitu? Setidaknya dia berakting perhatian kek. Waktu jadi Pram di perhatian sekali. Manis kayak kucing, sekarang kembali menjadi beruang kutub.Aku tersaruk-saruk menuju kamar, mata sudah berat sekali. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Baru melayang ke alam indah penuh bunga, Langit menangis.Sambil terkantuk-kantuk, aku menyusui Langit. Setelah itu, Langit terlelap di sampingku, tidak punya daya memindahkan Langit di boks. Aku mencium ubun-ubunnya, lantas melanjutkan mimpi.Bunyi getar pada ponsel mengganggu telinga. Siapa yang menelepon pada dini hari? Demi Tuhan, aku butuh tidur."Hmmm ...."
Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."
"Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."
"Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara
POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar