Home / Romansa / FIRST NIGHT WITH THE DEMON / Bab 1 Petaka Malam Pertama

Share

FIRST NIGHT WITH THE DEMON
FIRST NIGHT WITH THE DEMON
Author: Stefani Wijanto

Bab 1 Petaka Malam Pertama

last update Last Updated: 2021-10-06 21:20:40

"Pakai ini." Andreas mengulurkan lingerie merah. "Biar tambah panas," ucapnya kemudian sembari mengedipkan matanya.

Aku menerima lingerie, lalu tertunduk malu. Rautku pasti semerah warna lingerie. 

"Aku tunggu di sini," ujar Andreas, menepuk-nepuk tempat tidur.

Dengan perasaan yang tak keruan, aku masuk kamar mandi. Memakai lingerie. Pantulan diri pada cermin membuatku semakin tersipu malu. Lekuk tubuh ini samar terlihat. 

Aku menarik napas dalam. Andreas adalah suamiku, jadi tidak perlu malu. Membayangkan malam pertama yang bakalan kami lewati, membuat degup jantung melesat cepat. Mendadak hasrat meledak sempurna.

Perlahan aku menguak pintu kamar mandi. Lagi, aku tertunduk dalam seraya melangkah ke tempat tidur. Namun, suamiku tidak ada. 

"Andreas," panggilku, memindai setiap sudut kamar. "Andreas ...."

Ke mana dia? Apa mungkin dia keluar kamar? Aku meraih jubah kimono yang tersampir di kursi.

Tiba-tiba lampu kamar mati ketika kaki hendak berjalan ke arah pintu. Embusan hangat pada tengkuk dan tangan yang melingkar di pinggang membuatku terkejut setengah mati. 

"Andreas, dari mana saja?" tanyaku.

Andreas tidak menjawab, dia malah membopong tubuhku ke peraduan. Sentuhan demi sentuhan dari Andreas membuatku terseret dalam letupan indah yang tidak berkesudahan. Napas kami berkejaran pada malam yang sunyi. Debaran di dada nyaris terbakar.

Akan tetapi, aku tersadar dengan aroma citrus. Seingatku parfum Andreas beraroma bunga lili. Dan, ketika tanganku menyentuh rambut---rambutnya tebal, sepertinya sedikit bergelombang. Rambut Andreas pendek ala anggota militer. 

"Siapa kamu?" Aku mendorong tubuh lelaki yang tidak kukenal, menyambar selimut untuk menutupi tubuh, dan menyalakan lampu meja di samping tempat tidur. 

Seorang lelaki yang tidak kukenal tersenyum lebar. "Aku?" 

Aku turun dari tempat tidur, memegang erat selimut. 

"Aku lelaki yang akan menghabiskan malam bersamamu," ucapnya dingin.

"Andreas!" teriakku.

"Suamimu sudah pergi."

"Tidak mungkin." Aku mengambil tas di atas meja rias. Ponselku tidak ada di dalam tas, sehingga aku menumpahkan semua isi tas di lantai. Tetapi, ponselku tidak ketemu. Aku mencari ke setiap sudut kamar dengan kebingungan.

"Kara, Andreas menjual dirimu seharga mobil dan menyewakan selama satu bulan untuk melayaniku," kata lelaki bermata cokelat itu. 

"Dari mana kamu tahu namaku?" Aku merapat ke pintu, mencoba membuka pintu. Aku sangat ketakutan. "Andreas, tolong!" 

Berkali-kali aku menggerakkan pegangan pintu, berharap ada keajaiban pintu bisa terbuka.

"Andreas tidak akan datang, Kara Sayang. Dia sudah meninggalkan vila."

Aku menoleh, lelaki yang tubuhnya tidak tertutup sehelai benang pun itu berjalan mendekat.

"Andreas, tolong! Andreas!" Aku menggedor-gedor pintu.

"Jika kamu menurut, aku tidak akan kasar dan kamu tidak akan kesakitan." Wajah itu menyeringai mengerikan. Kedua tangannya mencengkeram kuat pundakku. 

"Lepaskan! Andreas! Tolong!"

Teriakanku percuma. Tidak bisa menembus dinding kamar. Perlawananku pun tidak bisa menyelamatkan kehormatanku.

***

Lelaki itu tidur nyenyak setelah menjamah paksa tubuh ini. Sementara aku meringkuk di atas sofa, meratapi nasib. Aku masih tidak percaya Andreas menjualku demi uang. Aku mengenal Andreas dua bulan yang lalu, dia dari keluarga terpandang, ayahnya seorang pejabat. Status Andreas duda tanpa anak, istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan empat bulan yang lalu.

Andreas sangat sopan dan ramah, itu yang membuatku jatuh hati dan menerima lamarannya. Aku yang hanya buruh pabrik dan yatim piatu tentu saja bahagia. Lelaki tampan serta pujaan para perempuan memilihku sebagai istrinya. Aku tidak berpikir dua kali, karena usiaku dua puluh sembilan tahun. Dan, yang pasti karena rasa cinta.

Aku mengusap butir air mata yang luruh di pelipis dan membasahi bantal. Masih saja mengingkari kenyataan--tidak mungkin Andreas berbuat kejam dan biadab--mungkin saja lelaki itu berbohong. Atau mungkin saja Andreas disekap di suatu tempat. 

"Tidak mungkin, tidak mungkin ...." desisku. 

Ingin kabur tidak bisa, jendela kaca dengan teralis besi dan pintu kayu itu cukup tebal. Tubuhku lelah dan perih, yang bisa kulakukan hanya tetap bisa terjaga sepanjang malam. 

"Kara ...."

Sentuhan hangat terasa di pipi lalu di hidung. Refleks, aku terbangun. Denyut-denyut nadiku berantakan karena terkejut. Ya, Tuhan, aku terlelap. Mataku mengerjap, wajah lelaki bejat itu sangat dekat.

"Apa yang ingin kau lakukan?!" Aku langsung berdiri dan menjauh.

"Rupanya kamu kelelahan." Lelaki itu mengambil jas yang tergeletak di lantai. "Ayo, keluar, kita akan ke rumahku. Di sana kita akan memadu kasih setiap malam."

Aku menggeleng. "Tinggalkan aku."

"Oh, tidak bisa, Nona cantik. Aku sudah membeli dan menyewamu," katanya, "ngomong-ngomong mungkin kamu ingin menyimpan seprai? Usiamu sudah tidak muda lagi, tapi kamu masih perawan. Ternyata Andreas tidak berbohong."

Mataku melihat ke arah seprai, noda merah membuat dadaku sesak. Rasa pedih merayapi hati. Kedua tanganku mengepal kuat, hingga kuku-kuku menghujam.

Lelaki itu menyeretku keluar kamar, aku tersuruk-suruk mengikuti langkahnya. Cengkeramannya kuat sekali.  

"Tolong, lepaskan aku." Aku mengiba. Aku tidak ingin berakhir dalam dekapan lelaki bejat itu.

"Selamat pagi, Pak Angkasa," sapa seorang lelaki yang berdiri di sisi mobil, dia kemudian membuka pintu mobil. 

Aku menggigit tangan lelaki yang bernama Angkasa itu. Dia berteriak dan mengumpat. Namun, tidak membuatnya melepaskan cengkeraman. Tubuhku didorong masuk ke mobil, hampir tersungkur di jok belakang.

Mobil sedan meluncur. Pada garis batas, langit mulai terang dengan warna kemerahan. Aku telah melalui malam laknat. Aku tidak ingin melaluinya lagi. Tidak.

Aku harus bisa kabur, lari dari lelaki yang duduk di sebelahku. Mobil berhenti karena lampu merah. Aku beruntung, karena sistem autolock pada mobil sepertinya rusak, sehingga aku bisa membuka pintu mobil. Andreas sempat meraih ujung kemejaku, tetapi tidak bisa mencegahku keluar mobil.

"Kara, kembali!"

Lampu yang berubah hijau menyelamatkan diriku. Terus berlari menyusuri trotoar jalan dengan bertelanjang kaki. Aku baru berhenti setelah sepuluh menit lari. Tidak ada Angkasa di belakangku.

Aku duduk pada bangku trotoar, telapak kaki berdarah sedikit karena tergores batu. Menyelaraskan napas yang hampir habis. Ke mana tujuanku sekarang? Menghubungi Andreas? Aku bimbang. Kalaupun dia tidak menjualku, dia pasti tidak menerima istri yang telah ternoda. 

Setelah merasa cukup istirahat, aku melangkah perlahan. Aku akan pulang ke rumahku sendiri.

"Kara!"

Aku menoleh, Bu Zunaira--mertuaku--turun dari mobil. Dia memelukku.

"Kara, telah terjadi pada Andreas tadi malam. Kami mencoba meneleponmu, tetapi ponselmu tidak aktif. Kenapa kondisimu memprihatinkan begini?" Bu Zunaira melepas pelukan dan melihat diriku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Apa yang terjadi dengan Andreas, Bu?"

"Dia diculik."

"Diculik? Tapi--"

"Kita pulang dulu, ya, Nak." Bu Zunaira membimbingku masuk mobil. "Tenangkan dirimu, pasti Andreas baik-baik saja."

Aku antara percaya dan tidak. Tapi, mungkin saja bisa terjadi. Apa Angkasa yang menculik Andreas tadi malam? Bu Zunaira tampak tegang, dia memegang jemari tanganku. Sementara mobil membelah jalan raya yang mulai hidup.

"Rumah siapa, Bu?" tanyaku saat mobil merapat di rumah besar berpagar tinggi.

"Rumah petinggi polisi, dia yang membantu keluarga kita melacak Andreas. Seharusnya kalian berbulan madu, malah kemalangan yang menimpa," jawab Bu Zunaira sebelum turun dari mobil.

Aku pun ikut turun. Dua lelaki tinggi besar mendekati kami. Lalu, dengan cepat mereka mengunci tubuhku.

"Apa-apaan kalian? Lepas!" Aku memberontak, namun sia-sia. "Bu Zunaira, tolong aku."

"Tempatmu di sini, Kara," sahut Bu Zunaira sinis.

"Apa maksudmu?" Aku tidak mengerti.

"Hei, Kara, kita berjumpa lagi." Lelaki yang memakai kemeja putih muncul dari dalam rumah.

"Bu Zunaira ...." Aku memandangi mertuaku tidak percaya. Perempuan tua itu menyerahkan aku pada Angkasa.

"Terima kasih, Bu Zunaira," ujar Angkasa.

"Tentu saya dan Andreas tidak akan mengecewakan Anda, Pak Angkasa. Uang Anda tidak akan sia-sia," sahut Bu Zunaira. "Ikat saja kaki Kara, supaya tidak lari lagi. Saya permisi dulu."

Aku serasa ditusuk-tusuk ribuan pisau, Ibu mertua dan suamiku melakukan hal biadab. Mereka berdua bak malaikat, namun pada kenyataannya, mereka iblis ....

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
dari pijo ke sini
goodnovel comment avatar
Yuni Iswoyo
nikmati SH, toh km jg g BS mlarikan diri. smg km bhgia nntinya
goodnovel comment avatar
Yuni Iswoyo
ketemu di sini kak stef .... ceritamu sll mnarik utk dicari.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 2 Angkasa

    Bu Zunaira memegang daguku. Wajah dengan riasan tebal itu tersenyum tipis. "Aku mendapatkan keuntungan sangat besar dengan menjualmu," bisiknya."Kamu g*la," umpatku."Sudah sejak lama aku gila, Kara. Sampai bertemu satu bulan lagi." Bu Zunaira masuk mobil, dia tega sekali."Bawa Kara ke kamarku," perintah Angkasa.Kali ini aku tidak melawan, menurut seperti bayi yang tidak punya tenaga. Toh percuma melawan dua lelaki kekar dan besar.Dengan kasar mereka mendorong tubuhku masuk kamar. Aku tersungkur di atas karpet, lantas pintu tertutup rapat. Langkah-langkah suara kaki mereka terdengar semakin menjauh.Aku memukul-mukul dada sendiri, kepedihan yang luar biasa hebat. Terisak dalam, tamat sudah riwayatku--menjadi budak nafsu Angkasa. Impian pernikahan yang indah, suami yang setia, tinggal impian. Tidak ada yang tersisa. Dan, rasanya ingin mati saja."Apa yang kamu tangisi?" Angkasa berjongkok di depanku.Aku melengos

    Last Updated : 2021-10-06
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 3 Penjara

    Sudah tujuh belas hari, aku terpenjara di rumah Angkasa. Melayaninya di atas tempat tidur, mendengarkan keluh kesahnya mengenai perusahaan atau kolega yang menjengkelkan, dan menemaninya sarapan seperti pagi ini. Dia tampak segar dengan kemeja biru muda. "Setelah selesai masa sewa, tolong jangan kembalikan aku pada Andreas." Sudah empat kali aku mengatakannya pada Angkasa, berharap dia menyimpan sedikit belas kasihan. "Aku menyewamu layaknya barang, jadi aku harus mengembalikanmu pada empunya," sahut Angkasa. "Jangan bahas ini lagi, Kara." "Mungkin aku akan berakhir di kuburan ...." Aku mengesah. "Tidak ada bukti istrinya yang terdahulu dibunuh, itu hanya pradugamu saja." Angkasa membanting serbet, dia beranjak dari kursi. Cepat-cepat aku mengikutinya yang melangkah menaiki anak tangga. Aku akan terus membujuknya. "Aku mohon." "Tidak bisa," tandas Angkasa, mulai terlihat jengkel. "Arghh, lihat ini, kancing kemejaku lepas."

    Last Updated : 2021-10-06
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 4 Pulang

    Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali."Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah."Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?"Cepat, Kara!" bentaknya.Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh.Andreas meraih lenga

    Last Updated : 2021-10-06
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 5 A Little Thing Called ....

    Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah. Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus. Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba. Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri. Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada

    Last Updated : 2021-10-06
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 6 Apartemen

    Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"

    Last Updated : 2021-10-07
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 7 Pertemuan Kembali

    "Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men

    Last Updated : 2021-10-07
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 8 Grey and Old

    Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus

    Last Updated : 2021-10-09
  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 9 Tangga

    Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me

    Last Updated : 2021-10-11

Latest chapter

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 26 Antariksa dan Galaksi

    "Kami pulang duluan, deh. Kuenya kami bawa sekalian," seloroh Gisella, "tak kuat lihat adegan mesra.""Skuy, kita pergi. Kita bikin pesta sendiri." Miranda berjalan turun dari panggung diikuti Dora dan Gisella.Bu Julia memelukku, mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau juga meninggalkan panggung."Kenapa jauh-jauh harus di sini, kan, bisa di rumah dengan lilin-lilin yang menyala, buket bunga?" tanyaku pada Angkasa, mengalungkan kedua tangan di lehernya.Angkasa mencolek hidungku. Dia bercerita akan mengadakan konser mini untuk menggalang dana. Untuk sebuah yayasan yang berfokus pada perempuan dan bayi-bayi yang terlantar. Dia mengajak beberapa teman yang suka bermain musik dan dua penyanyi terkenal."Sepuluh hari lagi aku akan mengeluarkan bakatku." Angkasa terkekeh, dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telingaku. "Sepertinya ... kamu menginginkan sesuatu dariku," lanjut Angkasa men

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 25 Sempurna

    Hamparan pasir putih. Turis-turis yang ganteng dan cantik. Bikini mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh yang aduhai. Hari menuju sore. Aku duduk di kursi malas, di bawah payung lebar. Tuan Angkasa tidak mengizinkan aku memakai baju renang. (siapa pula yang mau berenang)."Hai."Mataku menyipit, lelaki bermata biru itu tersenyum. Dia duduk di kursi malas lain. Tubuhnya berotot. Lumayan ganteng."Sendirian?" tanyanya."Dengan suamiku.""Sayang sekali ...." gumamnya. "Kau tahu tempat pariwisata yang paling favorit di Bali?""Aku tidak tahu. Kamu bisa tanya ke front office," sahutku, malas."Di mana suamimu?""Sebentar lagi dia datang." Aku menyeruput es kiwi.Si Bule terus bicara, mengenai cuaca Bali, mengenai penerbangan dia yang membutuhkan waktu 18 jam, dan orang-orang Indonesia yang ramah."Aku suka

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 24 Hei, Beruang Kutub

    "Seandainya tadi kamu tidak pergi, mungkin kita sudah selesai bertempur," sungutku, mengedipkan mata.Angkasa terlentang. "Aku juga mau tidur aja.""Langit sendirian, dong," protesku."Kalau kita tidur, Langit juga akan tidur," sahut Angkasa, dia memiringkan tubuhnya. Mendekap Langit. Kedua kelopak matanya perlahan menutup.Sebenarnya aku juga menahan gelegak yang parah. Gisella menyarankan bulan madu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Langit. Kami berdua tidak pernah terpisah sebelumnya.Aku pun larut dalam nyenyak. Lambat laun suara denting jam dinding dan napas mulai pudar.Akan tetapi sentuhan hangat pada pipi dan leher menarikku dari lembah tidur. Mendapati wajah Angkasa yang begitu dekat. Dia kemudian membopong tubuhku ke kamar sebelah. Merebahkan dengan perlahan di atas pembaringan."Langit sudah tidur dan aman di dalam boks," bisik Angkasa. "Jadi, s

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 23 First Night

    Angkasa membelai rambutku lembut, lalu memeluk erat. Berkali-kali mencium ujung kepalaku. Sementara aku membenamkan kepala di dadanya, menghidu aroma yang menggelitik jiwa. Hanya ada kami berdua, diantara angin dan atap yang sepi. Aku bisa merasakan detak-detak jantungnya yang cepat."Aku akan mempersiapkan semua dengan cepat," ujarnya. "Kamu hanya perlu mempersiapkan gaun.""Aku tidak ingin pesta, aku ingin pernikahan kita hanya dihadiri orang terdekat," sahutku."Baiklah, aku akan melakukan sesuai harapanmu. Oh, ya, hari ini kamu pasti mencariku, ya?""Tahu dari mana kalau aku mencarimu?" Aku mengurai pelukan, mendongak melihat wajah Angkasa."Aku baca status Nyonya Aurora di Instagram. Aku tahu kamu pasti resah, Kara." Kembali Angkasa membelai rambutku. "Aku tidak akan membiarkan dia merusak labelmu.""Aku menyayangi Nyonya Aurora, dia sebenarnya orang baik. Dia emosi k

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 22 Kupu-kupu

    "Kayaknya kamu benar-benar ngantuk, aku balik dulu ke apartemen. Selamat malam, calon istriku." Angkasa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemenku.Aku menggigit kursi bantal. Setelah bicara sampai ngos-ngosan, meluapkan semua keinginan terpendam--reaksi Angkasa hanya begitu? Setidaknya dia berakting perhatian kek. Waktu jadi Pram di perhatian sekali. Manis kayak kucing, sekarang kembali menjadi beruang kutub.Aku tersaruk-saruk menuju kamar, mata sudah berat sekali. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Baru melayang ke alam indah penuh bunga, Langit menangis.Sambil terkantuk-kantuk, aku menyusui Langit. Setelah itu, Langit terlelap di sampingku, tidak punya daya memindahkan Langit di boks. Aku mencium ubun-ubunnya, lantas melanjutkan mimpi.Bunyi getar pada ponsel mengganggu telinga. Siapa yang menelepon pada dini hari? Demi Tuhan, aku butuh tidur."Hmmm ...."

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 21 Bukan Kode Morse

    Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 20 Crux

    "Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 19 Benci dan Cinta

    "Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara

  • FIRST NIGHT WITH THE DEMON   Bab 18 Angkasa

    POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status