Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah.
Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus.
Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba.
Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri.
Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada kenyataannya Angkasa sudah pulang. Apa Burhan berbohong padaku?
"Ah, sudahlah ...." Aku menghela napas, tidak perlu memikirkan yang sudah berlalu. Aku mematikan televisi.
Melihat kalender di atas televisi, aku bergeming pada lingkaran spidol merah di tanggal. Pikiranku dijajah dengan pertanyaan. Seharusnya seminggu yang lalu aku sudah mendapatkan tamu bulanan. Mungkin aku hanya kecapekan dan berusaha menepis asumsi lain.
Gegas aku menyambar tas, dengan tudung jaket aku menutup kepala, berjalan ke arah pinggiran kampung. Melintasi kebun cengkeh, mendung membuat jalanan terbingkai sedikit gelap.
Suasana terasa sendu saat kaki memasuki area pemakaman. Aku duduk bersimpuh di depan dua makam. Meletakkan segenggam bunga melati--yang kupetik di pekarangan rumah.
"Pak, Bu ...." Aku memejamkan mata. "Kara pamit. Kara harus pergi untuk sementara. Suatu hari nanti Kara akan kembali. Membersihkan nama ...." Aku tergugu.
"Dan, membungkam keluarga Andreas, mereka akan membayar tiap luka, tiap air mata ... tiap tetes darah ...."
Sesak sekali dada ini. Air mata tak terbendung lagi. Sungguh sakit, menangis menjadi pelepas nyeri yang tak berkesudahan.
"Kara pasti kembali," lirihku seraya bangkit dari duduk. Memandangi dua makam untuk kali terakhir.
Aku akan kembali.
***
Dari agen bus, aku mampir ke ATM. Jumlah tabungan tidak mencapai dua juta, setidaknya bisa untuk bertahan hidup sampai mendapatkan pekerjaan baru. Keluar dari bilik ATM, aku melihat apotek di seberang jalan.
Jemari tanganku menggenggam erat tali tas, ingin sekali mengenyahkan kecurigaan yang melingkar di kepala. Akhirnya aku menyeberangi jalan, masuk apotek. Dengan ragu dan malu, aku membeli dua alat tes kehamilan.
Sambil melangkah keluar apotek aku menyimpan testpack di dalam tas. Menarik napas gelisah. Semoga tidak terjadi sesuatu.
Di dalam angkutan umum, justru perasaanku semakin tidak menentu. Tepat di depanku, duduk seorang ibu yang sedang hamil tua, bersandar manja pada suaminya. Dari obrolan yang kudengar, mereka membicarakan nama dan semua printilan perlengkapan bayi.
Aku memandang ke luar jendela, pada sawah yang terhampar hijau. Menekan kepanikan yang timbul.
"Wah, baru pulang kerja, ya, Kara?" tanya Bu Jumi saat kami berpapasan di jalan kampung. "Siang-siang gini, kok, ya main ...."
"Nggak tahu malu," timpal Bu Tuti.
"Main siang penuh sensasi, lho, ibu-ibu. Coba dipraktekkan dengan suami di rumah." Aku tersenyum kecil, mendapati wajah dua perempuan separuh baya di depanku berubah kecut.
"Woo, kamu itu memang gadis m*r*han!" geram Bu Tuti.
Aku melanjutkan langkah, tidak henti-henti para tetangga menghujatku. Tidak bisa menyalahkan mereka yang termakan berita tidak benar mengenai diriku. Aku memang murahan dan menjijikkan, tapi bukan atas keinginan sendiri.
Sampai di rumah tepat pukul dua siang. Aku mengenyakkan tubuh ke atas tempat tidur. Tidak sabar menunggu hari esok. Tidak sabar menunggu siang berubah malam lalu pagi. Dan, selamat tinggal rumahku.
Aku hampir terlelap ketika suara ketukan pintu terdengar. Melihat Pak Lurah, Pak RT, dan empat orang warga di luar rumah, membuatku tergagap kaget.
"Ada apa ini, Pak?" tanyaku.
"Boleh kami masuk?" Pak Lurah balik bertanya.
"Silakan." Sebenarnya ada perasaan takut menjalar.
"Begini, Kara. Warga sudah resah dengan kendaraanmu," ucap Pak Lurah. "Warga ingin kamu pergi dari kampung ini, karena pekerjaanmu bisa mempengaruhi para gadis desa."
Aku mengambil tiket bus di kamar, kemudian menunjukkan tiket bus pada mereka--yang duduk di ruang tamu.
"Besok pagi saya akan meninggalkan kampung ini, saya sudah memesan tiket," ucapku. "Jadi, jangan khawatir. Sampah yang bau ini akan pergi."
"Jangan-jangan itu tiket palsu,"tuduh seorang warga.
"Untuk apa memalsukan tiket bus? Konyol sekali." Suaraku meninggi. "Lihat tas di sudut sana, semua sudah siap."
"Baiklah, Kara. Kami pegang omonganmu. Kami permisi." Pak Lurah keluar diikuti warga.
Sementara Pak RT berhenti di ambang pintu, dia berbalik. "Kara, apa benar yang kamu ucapkan?"
"Benar, besok pagi saya pergi," sahutku.
"Bukan itu ... maksudku yang kamu sampaikan pada istriku, tentang Andreas dan Bu Zunaira." Pak RT meralat.
"Iya, seperti yang Pak RT dengar dari Bu Retno. Saya dijual Andreas dan sekarang difitnah."
Pak RT mengangguk-angguk. "Keputusan pergi dari kampung sudah tepat, Kara. Aku sedikit tahu sepak terjang Bu Zunaira, dia tidak akan berhenti sebelum musuhnya tumbang."
"Jadi, Pak RT tahu?"
"Aku kenal kedua orang tuamu, aku kenal kamu sedari kecil, aku percaya padamu, Kara. Berhati-hatilah." Pak RT tidak menjawab pertanyaanku. "Aku permisi dulu."
Pak RT yang sudah berjalan tiga langkah, berbalik. "Semoga di tempat baru, kamu bahagia, Kara. Maaf aku tidak bisa membantumu."
Lelaki tua itu berjalan cepat melewati pekarangan rumah.
Aku menutup pintu. Seandainya aku bertahan di sini, sama saja aku menggali kubur sendiri.
Saat menyimpan kembali tiket ke tas, mata ini melihat bungkusan kecil berisi alat tes kehamilan.
"Baiklah, mari kita lihat." Aku berbicara sendiri sembari melangkah ke kamar mandi.
Biar tidak berasumsi terus, aku harus melakukannya. Aku mengeluarkan alat tes kehamilan dari kotaknya. Dengan perasaan campur aduk aku membaca petunjuknya.
"Oh, ya, Tuhan ...." lirihku.
Semoga firasatku salah. Semoga hasilnya negatif. Semoga, semoga, semoga.
Setelah menunggu tiga puluh detik. Aku juga belum berani melihat hasilnya, mata ini terpejam rapat. Lihat sekarang atau tidak samasekali. Detak jantungku nyaris berhenti saat garis kedua muncul berlahan-lahan.
Positif.
Aku keluar kamar mandi dengan pikiran yang menyesaki otak. Apa yang akan terjadi denganku? Apa yang akan kulakukan? Aku tidak pernah membayangkan bahwa diriku akan hamil.
Dan, Angkasa, bagaimana reaksinya jika aku memberitahunya?
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
"Maaf, ya, Dora, Hesti. Kalian pulang terlambat," ucapku. Dua hari lagi aku ikut event fashion show terbesar. Untuk meningkatkan omset penjualan dan merupakan media yang efektif bagi labelku. Jadi, memerlukan persiapan yang matang."Saya permisi. Aku duluan, ya, Dora." Hesti keluar butik sementara Dora masih membereskan berkas-berkas.Aku kemudian mengecek Langit lewat panggilan video--yang dalam pengasuhan Bu Hayu. Perempuan itu menjaga Langit ketika aku bekerja pada siang hari. Kadang aku membawa Langit ke butik. Bayi berusia dua bulan itu membuat hatiku berbunga tiap hari."Langit sedang tidur." Bu Hayu memberitahu. Dia mengarahkan ponsel pada boks bayi. Terlihat Langit terlelap."Baiklah." Aku menutup panggilan video."Pak Pram datang, Mbak Kara," ujar Dora.Aku mendongak, dari kaca jendela butik aku melihat Pram turun dari taksi. Dia menyandang tas gitar pada bahu. Me
Aku memandangi korek lalu pada Pram. "Ba-bagaimana kalau ada orang di dalam rumah Andreas? Aku tidak ingin membunuh orang, Pram."Walaupun aku ingin sekali Andreas mati, namun tangan ini tidak ingin berlumuran darah. Ada Langit yang telah menjadi muara hidup.Akan tetapi aku akan membuat mereka menderita. Sangat menderita."Tidak ada orang di dalam rumah," sahut Pram sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Semua cctv sudah dirusak."Seorang lelaki berseragam satpam, muncul dari balik pagar rumah. "Pak Pram, sudah aman. Dua orang pembantu sudah saya suruh keluar tadi sore," ucapnya."Datanglah kalian ke alamat yang aku kirim lewat pesan. Kalian bisa mendapatkan pekerjaan di sana," kata Pram. "Dan kamu, jika tidak bisa tutup mulut. Kamu tahu akibatnya, kan?""Saya tahu, Pak Pram. Saya tidak mungkin mengkhianati Anda." Lelaki itu kemudian berlalu pergi dengan motor."Semenjak menikah Andreas tinggal di rumah istrinya. Ay
"Kami pulang duluan, deh. Kuenya kami bawa sekalian," seloroh Gisella, "tak kuat lihat adegan mesra.""Skuy, kita pergi. Kita bikin pesta sendiri." Miranda berjalan turun dari panggung diikuti Dora dan Gisella.Bu Julia memelukku, mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau juga meninggalkan panggung."Kenapa jauh-jauh harus di sini, kan, bisa di rumah dengan lilin-lilin yang menyala, buket bunga?" tanyaku pada Angkasa, mengalungkan kedua tangan di lehernya.Angkasa mencolek hidungku. Dia bercerita akan mengadakan konser mini untuk menggalang dana. Untuk sebuah yayasan yang berfokus pada perempuan dan bayi-bayi yang terlantar. Dia mengajak beberapa teman yang suka bermain musik dan dua penyanyi terkenal."Sepuluh hari lagi aku akan mengeluarkan bakatku." Angkasa terkekeh, dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telingaku. "Sepertinya ... kamu menginginkan sesuatu dariku," lanjut Angkasa men
Hamparan pasir putih. Turis-turis yang ganteng dan cantik. Bikini mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh yang aduhai. Hari menuju sore. Aku duduk di kursi malas, di bawah payung lebar. Tuan Angkasa tidak mengizinkan aku memakai baju renang. (siapa pula yang mau berenang)."Hai."Mataku menyipit, lelaki bermata biru itu tersenyum. Dia duduk di kursi malas lain. Tubuhnya berotot. Lumayan ganteng."Sendirian?" tanyanya."Dengan suamiku.""Sayang sekali ...." gumamnya. "Kau tahu tempat pariwisata yang paling favorit di Bali?""Aku tidak tahu. Kamu bisa tanya ke front office," sahutku, malas."Di mana suamimu?""Sebentar lagi dia datang." Aku menyeruput es kiwi.Si Bule terus bicara, mengenai cuaca Bali, mengenai penerbangan dia yang membutuhkan waktu 18 jam, dan orang-orang Indonesia yang ramah."Aku suka
"Seandainya tadi kamu tidak pergi, mungkin kita sudah selesai bertempur," sungutku, mengedipkan mata.Angkasa terlentang. "Aku juga mau tidur aja.""Langit sendirian, dong," protesku."Kalau kita tidur, Langit juga akan tidur," sahut Angkasa, dia memiringkan tubuhnya. Mendekap Langit. Kedua kelopak matanya perlahan menutup.Sebenarnya aku juga menahan gelegak yang parah. Gisella menyarankan bulan madu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Langit. Kami berdua tidak pernah terpisah sebelumnya.Aku pun larut dalam nyenyak. Lambat laun suara denting jam dinding dan napas mulai pudar.Akan tetapi sentuhan hangat pada pipi dan leher menarikku dari lembah tidur. Mendapati wajah Angkasa yang begitu dekat. Dia kemudian membopong tubuhku ke kamar sebelah. Merebahkan dengan perlahan di atas pembaringan."Langit sudah tidur dan aman di dalam boks," bisik Angkasa. "Jadi, s
Angkasa membelai rambutku lembut, lalu memeluk erat. Berkali-kali mencium ujung kepalaku. Sementara aku membenamkan kepala di dadanya, menghidu aroma yang menggelitik jiwa. Hanya ada kami berdua, diantara angin dan atap yang sepi. Aku bisa merasakan detak-detak jantungnya yang cepat."Aku akan mempersiapkan semua dengan cepat," ujarnya. "Kamu hanya perlu mempersiapkan gaun.""Aku tidak ingin pesta, aku ingin pernikahan kita hanya dihadiri orang terdekat," sahutku."Baiklah, aku akan melakukan sesuai harapanmu. Oh, ya, hari ini kamu pasti mencariku, ya?""Tahu dari mana kalau aku mencarimu?" Aku mengurai pelukan, mendongak melihat wajah Angkasa."Aku baca status Nyonya Aurora di Instagram. Aku tahu kamu pasti resah, Kara." Kembali Angkasa membelai rambutku. "Aku tidak akan membiarkan dia merusak labelmu.""Aku menyayangi Nyonya Aurora, dia sebenarnya orang baik. Dia emosi k
"Kayaknya kamu benar-benar ngantuk, aku balik dulu ke apartemen. Selamat malam, calon istriku." Angkasa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemenku.Aku menggigit kursi bantal. Setelah bicara sampai ngos-ngosan, meluapkan semua keinginan terpendam--reaksi Angkasa hanya begitu? Setidaknya dia berakting perhatian kek. Waktu jadi Pram di perhatian sekali. Manis kayak kucing, sekarang kembali menjadi beruang kutub.Aku tersaruk-saruk menuju kamar, mata sudah berat sekali. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Baru melayang ke alam indah penuh bunga, Langit menangis.Sambil terkantuk-kantuk, aku menyusui Langit. Setelah itu, Langit terlelap di sampingku, tidak punya daya memindahkan Langit di boks. Aku mencium ubun-ubunnya, lantas melanjutkan mimpi.Bunyi getar pada ponsel mengganggu telinga. Siapa yang menelepon pada dini hari? Demi Tuhan, aku butuh tidur."Hmmm ...."
Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."
"Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."
"Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara
POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar