Sudah tujuh belas hari, aku terpenjara di rumah Angkasa. Melayaninya di atas tempat tidur, mendengarkan keluh kesahnya mengenai perusahaan atau kolega yang menjengkelkan, dan menemaninya sarapan seperti pagi ini. Dia tampak segar dengan kemeja biru muda.
"Setelah selesai masa sewa, tolong jangan kembalikan aku pada Andreas." Sudah empat kali aku mengatakannya pada Angkasa, berharap dia menyimpan sedikit belas kasihan.
"Aku menyewamu layaknya barang, jadi aku harus mengembalikanmu pada empunya," sahut Angkasa. "Jangan bahas ini lagi, Kara."
"Mungkin aku akan berakhir di kuburan ...." Aku mengesah.
"Tidak ada bukti istrinya yang terdahulu dibunuh, itu hanya pradugamu saja." Angkasa membanting serbet, dia beranjak dari kursi.
Cepat-cepat aku mengikutinya yang melangkah menaiki anak tangga. Aku akan terus membujuknya.
"Aku mohon."
"Tidak bisa," tandas Angkasa, mulai terlihat jengkel. "Arghh, lihat ini, kancing kemejaku lepas."
"Tolong, pikirkan kembali." Aku mengulas senyum seraya menarik laci meja, tempat Angkasa menyimpan kotak kecil berisi benang dan jarum. Saking tidak punya kerjaan, aku pernah menggeledah satu per satu laci. Jadi tahu barang-barang yang disimpan Angkasa. "Mana kancing bajunya?"
Angkasa meletakkan kancing di atas telapak tanganku.
"Tidak perlu dilepas kemejanya, tidak akan memakan waktu lama," ujarku.
Kancing yang terlepas tepat di depan bagian dada Angkasa. Setelah memilih warna benang yang sama dengan kemeja, aku berdiri begitu dekat dengannya.
"Seharusnya kamu menikah. Carilah perempuan, jatuh cinta, dan habiskan waktu bersama. Apa selamanya kamu akan terus seperti ini?" kataku mulai menjahit perlahan kancing pada kemeja.
"Apa pedulimu?"
"Aku memang tidak peduli. Hanya menyarankan, dari pada kamu berbuat dosa terus." Aku mengembuskan napas.
"Kita berdua berbuat dosa, karena akhir-akhir ini kamu menurut dan sepertinya menikmati setiap kali kita bercinta," ucap Angkasa.
Aku mendongak sebentar untuk melihat wajahnya, kemudian tertawa kecil. "Aku terpaksa menikmati, bukankah aku tidak punya pilihan? Bukankah aku hanya perempuan sewaan yang harus melayanimu? Kalaupun aku menolak, pasti kamu memaksa dengan kasar. Apa yang bisa kuperbuat selain pasrah pada keadaan?" Air mata menitik dari ujung mata. Aku sama sekali tidak menikmatinya, tidak sedikit pun.
Kepalaku mendekat untuk menggigit benang, lalu berucap, "Sudah selesai."
"Terima kasih."
"Hanya hal kecil tidak perlu mengucapkan terima kasih." Jemariku menyusut air mata.
Tangan Angkasa menangkup wajahku, dia merunduk. Menatap lekat. Aku hendak mundur, tapi satu tangannya meraih pinggangku. Sepersekian detik kemudian, dia membungkam dengan lembut dan dalam. Berubah tergesa, hingga tidak memberiku kesempatan untuk bernapas.
"Tuan Angkasa ... oh, maaf."
Angkasa melepaskan tubuhku, segera aku menarik diri--menaruh kembali wadah benang dan jarum di laci.
"Ada apa, Burhan?" tanya Angkasa sambil meraih tas laptop.
"Di bawah ada Kakak Anda," jawab Burhan.
"Ah, dia pasti membawa foto-foto perempuan dan memaksaku memilihnya ...." keluh Angkasa berlalu dari kamar.
"Maaf, Kara, aku harus mengunci pintunya. Nanti setelah Nona Gissela pulang, kamu boleh keluyuran lagi," kata Burhan.
Ternyata Angkasa punya saudara perempuan. "Tidak apa-apa, Burhan. Aku sudah terbiasa di kamar ini."
***
Aku berjalan sepanjang pagar, mungkin sudah puluhan kali aku memutari pagar--mencari celah untuk kabur. Tinggi pagar kira-kira tiga meter. Aku berhenti, menghela napas kecewa.Angkasa tidak lagi mengunci kamar, membiarkan aku menjelajahi tiap jengkal rumah kecuali dapur.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Mencoba kabur?"
Aku memutar badan, tampak Burhan berdiri dekat pintu kecil pagar. "Ya, begitulah ...."
"Sebentar lagi kamu akan ke luar dari rumah ini, Kara." Lelaki itu mengeluarkan rokok dari saku bajunya, menyalakan dengan korek api elektrik.
"Aku tidak ingin kembali ke tangan suamiku." Aku bersandar pada tembok pagar, melihat langit biru yang mulai disusupi warna hitam. Angin berembus kencang.
"Karena akan berakhir dengan kematian," tebak Burhan. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Tuan Angkasa."
"Bukan hanya tentang itu saja, seandainya aku tidak mati aku akan terjebak dalam dunia hitam selamanya. Melayani para lelaki hidung belang seperti tuanmu," paparku.
"Mungkin kamu harus belajar menerimanya dari sekarang," sahut Burhan, sinis.
"Hahaha, kamu benar sekali, Burhan."
Menerima sesuatu yang pahit dan menyakitkan. Menghabiskan hidup di dalam kubangan dosa. Apa aku sanggup bertahan?
"Apa kamu membutuhkan sesuatu? Baju mungkin atau apa?" tanya Burhan.
Aku menggeleng. "Bajuku sudah cukup banyak. Bahkan ada yang belum aku pakai."
"Masuklah, sebentar lagi badai." Burhan berjalan masuk rumah, meninggalkan asap rokok yang pupus di udara.
Sementara aku, membiarkan air hujan luruh di kepala. Menangis bersama hujan, sehingga tidak ada yang melihat air mata yang menetes.
***
Angkasa memutar video rekaman dari masa kecilnya sampai dia remaja. Mau tidak mau aku menemaninya di ruang perpustakaan yang temaram. Aku duduk di sofa, bersedekap."Aku merindukan masa-masa itu ...." Setelah lama diam, akhirnya Angkasa bicara.
Sebagai pendengar yang baik aku tidak menyahut. Mata ini melihat rekaman seorang anak lelaki sedang dipeluk ibunya dalam pangkuan. Tertawa sangat bahagia.
"Kedua orang tuaku bercerai dengan penuh drama." Terdengar helaan napas Angkasa yang cukup panjang. "Saling tuding selingkuh."
Aku beralih memandang wajah Angkasa, seolah ada awan hitam menaunginya. Anak korban perceraian biasanya menyimpan duka tersendiri.
"Di mana orang tuamu, Kara. Apa mereka tidak mencarimu?"
"Kedua orang tuaku meninggal sepuluh tahun yang lalu, korban tanah longsor." Kali ini aku yang menghela napas. Ingatanku kembali pada malam yang gelap, suara gemuruh, hujan badai. Aku selamat karena menginap di rumah teman. Aku mengais-ngais tanah mencari kedua orang tuaku. Meraung kencang.
"Maaf, aku tidak tahu."
Aku tersenyum masam, Angkasa meminta maaf atas ketidaktahuannya. Namun, dia tidak minta maaf atas sikapnya yang jahat. Rekaman berputar terus, sekarang terlihat Angkasa remaja bermain gitar. Lebih tepatnya dia sedang belajar gitar. Dia berada di ruangan bercat abu-abu, berdua dengan pengajarnya. Dia melambai ke arah kamera.
Angkasa mematikan rekaman. "Aku punya orang tua, tapi kesepian. Setelah berpisah, mereka menikah lagi. Mamaku tinggal di lain kota bersama keluarga barunya, aku merasa tercampakkan."
"Menyedihkan kisah hidupmu ...."
"Tidak perlu mengasihi aku."
"Aku tidak perlu merasa iba pada lelaki monster sepertimu," timpalku.
"Aku monster?"
"Ya."
Angkasa tergelak.
"Aku bisa membuatmu tertawa," ujarku. Selama tinggal bersamanya, aku jarang melihatnya tertawa. Beku seperti es.
"Kau teman yang menyenangkan," tutur Angkasa.
"Kau orang yang paling kubenci setelah Andreas dan ibunya," ungkapku, berani melawan tatapan Angkasa yang tajam.
"Oh, begitu." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Aku akan membuatmu semakin benci padaku."
Suara ketukan pintu menyelamatkan aku dari Angkasa. "Tuan." Suara Burhan. "Ada berita penting."
Angkasa segera berdiri. Dia bergerak membuka pintu. "Ada apa?"
"Papa Anda terkena serangan jantung. Sekarang dirawat di RS Edelweis." Jawaban dari Burhan membuat Angkasa berlari ke kamar.
Aku yang berdiri di tengah pintu perpustakaan bisa melihat kekhawatiran berkelebat di wajah Angkasa. Tidak lama, Angkasa keluar kamar. Dia memakai jaket untuk menutupi kaus oblongnya yang lusuh.
"Kembalilah ke kamar Tuan, Kara," perintah Burhan sebelum melangkah pergi.
***
Sinar mentari merambat pada dinding kamar. Pagi ini cuaca cerah dan aku masih di dalam selimut. Tanpa Angkasa. Aku tidak melihatnya selama lima hari karena dari yang kudengar dari Burhan, dia ke luar negeri--mengantar papanya berobat.
"Kara!" Burhan mengetuk pintu.
Dengan langkah terseret aku membuka pintu. "Ya ...?"
"Andreas menjemputmu."
"Apa!?" Refleks aku mundur satu langkah.
"Sepertinya Tuan Angkasa akan berada di luar negeri cukup lama. Jadi, dia memutuskan ...."
"Aku mohon, Burhan. Bantu aku." Aku mengiba.
"Kamu ingin diseret paksa?"ancam Burhan.
Jantungku menderu tidak keruan. Aku sangat ketakutan. Burhan mengambilkan tas, lantas mencekal lenganku dengan kuat.
"Biarkan aku bicara dengan Angkasa lewat telepon."
"Kamu hanya perempuan rendahan, jangan berharap lebih," sahut Burhan.
"Tapi, masa sewa belum habis ...."
Burhan tidak mendengarkan, dia menyeretku sampai pintu luar. Andreas sudah menunggu. Dulu aku begitu mencintainya, sekarang aku ingin sekali menusuk paru-parunya.
"Hei, Sayang," sapanya tersenyum lebar.
Cuh.
Aku meludahinya.
"Kara!" geram Andreas, dia menarik rambutku dengan kasar. "Kamu akan menerima akibatnya."
"Aku tidak takut," desisku, menahan rasa sakit.
"Burhan, kami pergi dulu," pamit Andreas.
Di dalam mobil, aku diapit dua pengawal. Mobil meluncur meninggalkan penjara mewah menuju penjara satunya lagi. Ke luar dari mulut monster masuk ke mulut serigala. Mati-matian aku meredam rasa takut.
Sampai di rumah Andreas, dia menggelandang diriku ke kamar. Dia meluapkan kemarahannya, dua tamparan mendarat di pipi. Mendorong kuat tubuhku, hingga aku tersungkur, kepala mengenai ujung meja rias. Darah mengalir melewati alis. Aku tidak berdaya, seolah hendak masuk lubang hitam yang mengerikan.
"Andreas, cukup!" cegah Bu Zunaira.
Aku memejamkan mata, pura-pura pingsan. Berharap tidak ada lagi siksaan.
"Lebih baik kita singkirkan Kara sekarang." Satu tendangan dari Andreas mendarat di kaki.
"Kita pikirkan cara lain. Akan mencurigakan jika kedua istrimu meninggal. Apalagi kita juga melenyapkan si Rista yang ingin lapor ke pihak berwajib," kata Bu Zunaira.
"Cara apa, Ma?"
"Entahlah. Biar Mama pikirkan dulu. Pindahkan Kara di ruang bawah tanah," perintah Bu Zunaira. "Apa dia pingsan?"
"Iya," sahut Andreas.
"Semoga Kara tidak mendengar percakapan kita."
"Bungkam saja, Ma. Kita kubur di samping Rista."
"Mama bilang tidak!" seru Bu Zunaira.
Aku mendengar. Aku juga merasakan saat tubuh ini digendong Andreas, kemudian dilempar ke lantai ruang bawah tanah yang dingin--penjara baru untukku. Apakah esok hari aku masih bernapas?
Dengan bersusah payah, aku merangkak ke atas kasur kecil. Tidur telentang seraya mengelap sisa darah di pipi. Ruang ini gelap, hanya ada ventilasi kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa perih yang muncul.Ketakutan kembali menjalar saat pintu terbuka. Hanya selang satu jam Andreas sudah kembali."Aku akan melepasmu. Kita akan bercerai. Oh, salah, tidak ada pernikahan. Penghulu yang menikahkan kita palsu, surat yang kamu tanda tangani juga palsu. Yang tidak palsu hanya tamu-tamu dan hidangan yang tersaji di pesta kecil kita," ungkap Andreas, membuatku terperangah."Ini ponselmu, bawa juga tas murahanmu. Cepat berdiri, aku akan mengantar pulang ke rumah reyotmu." Andreas melempar ponsel dan tas.Ada apa di balik keputusan Andreas yang melepaskan diriku? Dia punya rencana apa?"Cepat, Kara!" bentaknya.Aku beranjak dari kasur kecil, saat berdiri penglihatan ini berputar, aku hampir terjatuh.Andreas meraih lenga
Aku memasukkan pakaian ke tas, juga sertifikat rumah. Sudah kuputuskan meninggalkan kampung dan rumah yang penuh kenangan. Bukan menyerah, hanya menjaga kewarasan. Semua tetangga rutin menggunjing, tidak ada warung yang mengizinkan aku masuk. Selama dua hari tinggal di rumah telur busuk juga rutin dikirim. Bahkan tadi pagi kotoran manusia dioleskan pada tiang rumah. Esok hari aku baru pergi. Hari ini aku akan ke makam Bapak dan Ibu, lantas membeli tiket bus. Selesai mengepak pakaian, aku keluar kamar. Memandangi tiap sudut rumah yang bertahun-tahun aku tinggali. Mataku terpaku pada layar televisi yang menyala. Ada acara yang meliput Angkasa tengah meresmikan toserba. Hati ini bergelenyar aneh melihatnya tersenyum. Wartawan yang meliput menanyakan kondisi papanya yang dirawat di rumah sakit luar negeri. Aku pun teringat ucapan Burhan, bahwa Angkasa akan tinggal lama untuk menemani papanya. Tetapi, pada
Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat."Hei, minggir!"Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa."Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin."Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang."Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa."Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja.""Baiklah. Kita bicara di dalam,"
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
"Kami pulang duluan, deh. Kuenya kami bawa sekalian," seloroh Gisella, "tak kuat lihat adegan mesra.""Skuy, kita pergi. Kita bikin pesta sendiri." Miranda berjalan turun dari panggung diikuti Dora dan Gisella.Bu Julia memelukku, mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau juga meninggalkan panggung."Kenapa jauh-jauh harus di sini, kan, bisa di rumah dengan lilin-lilin yang menyala, buket bunga?" tanyaku pada Angkasa, mengalungkan kedua tangan di lehernya.Angkasa mencolek hidungku. Dia bercerita akan mengadakan konser mini untuk menggalang dana. Untuk sebuah yayasan yang berfokus pada perempuan dan bayi-bayi yang terlantar. Dia mengajak beberapa teman yang suka bermain musik dan dua penyanyi terkenal."Sepuluh hari lagi aku akan mengeluarkan bakatku." Angkasa terkekeh, dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telingaku. "Sepertinya ... kamu menginginkan sesuatu dariku," lanjut Angkasa men
Hamparan pasir putih. Turis-turis yang ganteng dan cantik. Bikini mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh yang aduhai. Hari menuju sore. Aku duduk di kursi malas, di bawah payung lebar. Tuan Angkasa tidak mengizinkan aku memakai baju renang. (siapa pula yang mau berenang)."Hai."Mataku menyipit, lelaki bermata biru itu tersenyum. Dia duduk di kursi malas lain. Tubuhnya berotot. Lumayan ganteng."Sendirian?" tanyanya."Dengan suamiku.""Sayang sekali ...." gumamnya. "Kau tahu tempat pariwisata yang paling favorit di Bali?""Aku tidak tahu. Kamu bisa tanya ke front office," sahutku, malas."Di mana suamimu?""Sebentar lagi dia datang." Aku menyeruput es kiwi.Si Bule terus bicara, mengenai cuaca Bali, mengenai penerbangan dia yang membutuhkan waktu 18 jam, dan orang-orang Indonesia yang ramah."Aku suka
"Seandainya tadi kamu tidak pergi, mungkin kita sudah selesai bertempur," sungutku, mengedipkan mata.Angkasa terlentang. "Aku juga mau tidur aja.""Langit sendirian, dong," protesku."Kalau kita tidur, Langit juga akan tidur," sahut Angkasa, dia memiringkan tubuhnya. Mendekap Langit. Kedua kelopak matanya perlahan menutup.Sebenarnya aku juga menahan gelegak yang parah. Gisella menyarankan bulan madu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Langit. Kami berdua tidak pernah terpisah sebelumnya.Aku pun larut dalam nyenyak. Lambat laun suara denting jam dinding dan napas mulai pudar.Akan tetapi sentuhan hangat pada pipi dan leher menarikku dari lembah tidur. Mendapati wajah Angkasa yang begitu dekat. Dia kemudian membopong tubuhku ke kamar sebelah. Merebahkan dengan perlahan di atas pembaringan."Langit sudah tidur dan aman di dalam boks," bisik Angkasa. "Jadi, s
Angkasa membelai rambutku lembut, lalu memeluk erat. Berkali-kali mencium ujung kepalaku. Sementara aku membenamkan kepala di dadanya, menghidu aroma yang menggelitik jiwa. Hanya ada kami berdua, diantara angin dan atap yang sepi. Aku bisa merasakan detak-detak jantungnya yang cepat."Aku akan mempersiapkan semua dengan cepat," ujarnya. "Kamu hanya perlu mempersiapkan gaun.""Aku tidak ingin pesta, aku ingin pernikahan kita hanya dihadiri orang terdekat," sahutku."Baiklah, aku akan melakukan sesuai harapanmu. Oh, ya, hari ini kamu pasti mencariku, ya?""Tahu dari mana kalau aku mencarimu?" Aku mengurai pelukan, mendongak melihat wajah Angkasa."Aku baca status Nyonya Aurora di Instagram. Aku tahu kamu pasti resah, Kara." Kembali Angkasa membelai rambutku. "Aku tidak akan membiarkan dia merusak labelmu.""Aku menyayangi Nyonya Aurora, dia sebenarnya orang baik. Dia emosi k
"Kayaknya kamu benar-benar ngantuk, aku balik dulu ke apartemen. Selamat malam, calon istriku." Angkasa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemenku.Aku menggigit kursi bantal. Setelah bicara sampai ngos-ngosan, meluapkan semua keinginan terpendam--reaksi Angkasa hanya begitu? Setidaknya dia berakting perhatian kek. Waktu jadi Pram di perhatian sekali. Manis kayak kucing, sekarang kembali menjadi beruang kutub.Aku tersaruk-saruk menuju kamar, mata sudah berat sekali. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Baru melayang ke alam indah penuh bunga, Langit menangis.Sambil terkantuk-kantuk, aku menyusui Langit. Setelah itu, Langit terlelap di sampingku, tidak punya daya memindahkan Langit di boks. Aku mencium ubun-ubunnya, lantas melanjutkan mimpi.Bunyi getar pada ponsel mengganggu telinga. Siapa yang menelepon pada dini hari? Demi Tuhan, aku butuh tidur."Hmmm ...."
Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."
"Bukan benar-benar cinta, tapi benar-benar benci." Aku meralat ucapan Angkasa."Jarak antara cinta dan benci itu tipis, Kara." Angkasa mendekatkan wajahnya. "Seperti jarak kita sekarang."Aku mendorong tubuh Angkasa, lalu keluar mobil. Memegang dada yang terasa panas dan berdebar. Sikapnya mirip Pram. Ah, mereka memang satu tubuh dan pikiran.Angkasa pun turun dari mobil. "Ayo, masuk. Kasihan perutmu, minta diisi."Kami memilih duduk di bagian teras belakang restoran. Cuaca lumayan cerah, karena langit tidak menggila hitam. Ada bintang yang terlukis.Angkasa memesan espresso dingin dan stik saus blackpepper. Aku memilih es lemon tea, kwetiau goreng, pancake dengan topping coklat stroberi."Habis?" tanya Angkasa."Pasti habis." Aku kembali melihat langit. Menghindari tatapan Angkasa, seolah menyerang tanpa henti."Rasi bintang crux ...."
"Kara?"Mendengar suaranya, ada lega yang menyeruak. Dia sudah sadar.Tubuhku melorot, bersandar pada langkan balkon. Menahan air mata yang tidak bisa dibendung, terisak pelan. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan, tetapi tidak bisa keluar. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu mematikan ponsel.Aku tidak bisa mendengar suaranya lagi. Ada penolakan, ada gelisah, dan rasa khawatir. Juga rindu yang teramat besar. Rindu pada siapa? Pram atau Angkasa?Kerlipan bintang dan lampu kota yang semarak tidak membuat hati kunjung membaik. Bagaimana kondisinya? Apa dia terluka parah? Lumpuh? Cacat?Aku bangkit, mengusap air mata dengan ujung lengan. Melangkah masuk, mengambil tas dan jaket. Aku ingin melihat kondisinya di rumah sakit."Bu Retno, tolong jaga Langit. Aku ada perlu," ujarku seraya memakai sepatu flat."Bagaimana kalau Andreas masih di sekitar sini, Kara
POV Angkasa.________________Aku membuka pintu bercat hitam, seorang pria yang berbaring di kasur usang langsung bangun. Rambut dan brewoknya tumbuh tidak beraturan. Tubuh yang dulu kekar, berubah kurus. Dia berdiri dengan kedua tangan bertautan, wajah tertunduk."Aku akan membebaskanmu jika aku sudah menikah dengan Kara," ucapku. "Seandainya aku tidak bisa mendapatkan Kara, maka kau akan membusuk di sini selamanya.""Saya hanya ingin Tuan mendapatkan perempuan yang setara dengan Tuan. Maafkan, saya.""Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Burhan. Aku mempercayaimu bukan berarti kamu bisa seenaknya." Aku menepuk bahu Burhan. Tidak yakin dengan alasannya. Tidak bisa dipercaya. Ada orang dibalik Burhan. Bahkan setelah aku siksa, dia masih mengutarakan alasan yang sama."Bagaimana dengan istri anak saya? Mereka pasti mencari saya. Tolong, bebaskan saya. Saya janji tidak akan menggangu Kar