Rumah sakit Pelita, sebuah rumah sakit di pusat kota yang siang ini ramai pengunjung. Seorang dokter cantik tengah memeriksa pasien yang mengalami kecelakaan.
Seorang gadis yang tak lain Daiva Gayatri Maheswari. Gadis yatim piatu yang menjadi korban tabrak lari di Jalan Panjaitan siang tadi.
Mengalami luka serius pada kaki dan tangan hingga diharuskan memakai kursi roda. Sejauh itu semua baik-baik saja dan hanya mengalami shock.
"Bagaimana, Dok?" tanya Damian dengan wajah tegang. Dari tadi dia mondar-mandir nggak jelas hanya menunggu kabar dari dokter cantik itu.
"Apa Anda suaminya?" tanya dokter cantik itu.
"Oh, saya calon suaminya, Dok. Bagaimana keadaan calon istri saya?" tanya Damian lagi karena tidak dapat jawaban sedari tadi
Melisa Maharani, dokter cantik lulusan sarjana kedokteran itu mengeluh dalam hati. Kenapa setiap dia bertemu dengan laki-laki yang menurutnya sreg di hati selalu saja sudah jodoh orang lain?
"Do
Yuk kepoin Daiva dan damian juga keyko di sini Di fatamorgana
Aku tercengang melihat seseorang itu ternyata bukan Damian. Mengernyit kuat-kuat keningku. Siapakah orang ini? Apa salah kamar?Tapi, tidak! Lihatlah! Dia terus berjalan mendekatiku yang keheranan melihat kehadirannya."Daiva Gayatri Maheswari." Entah itu panggilan atau sekedar menyebut namaku. Tapi aku mengangguk pertanda aku mengiyakan."Saya Aldrich Kenry, orang yang menabrak kamu." Aku semakin mengernyitkan kening kuat. Sebuah kejujuran tapi tak diiringi dengan sebuah penyesalan.Hai! Aku mengerjab. Aneh sekali orang ini. Apakah orang ini masih sehat?"Maafkan saya, Daiva. Bukan bermaksud tidak bertanggung jawab dan meninggalkanmu tanpa pertolongan. Tapi saya benar-benar ada yang tidak bisa saya tinggalkan. Maafkan saya. Masalah administrasi sudah saya selesaikan."Aku masih bergeming mendengar dia bercicit panjang lebar. Dia pria tampan menurutku tapi agak sedikit urakan. Jadi jujur, aku agak nggak begitu merespon dengan sem
Mataku mengerjab liar mana kala bertemu dengan sorot mata menyeramkan itu. Dengan tergesa aku melepaskan pelukanku terhadap Keyko. Pria itu agak terkejut mana kalamelihatku melepaskan pelukannya tiba-tiba. "Ada apa?" tanyanya tak mengerti. Dia menatapku teduh seolah aku adalah kekasihnya. Sebelum aku menjawab apa-apa dari arah pintu terlihat dokter Melisa datang bersama dengan Damian. Duda tampan itu mengerutkan dahi saat melihat di ruanganku sudah ada nenek dan juga Keyko. "Wah sudah rame ya yang jenguk Mba Daiva. Bagaimana, keadaannya Mbak, sudah baikkan?" Aku tersenyum mendengar pertantanyaan dokter itu lalu mengangguk tanda iya. "Calon suami Mbak Daiva perhatian sekali, sampai mau menanyakan kondisi Mbak ke ruangn saya. Sungguh pria yang baik." Dokter Melisa memuji Damian dengan tulus. Keyko nampak menatap tajam ke arah Damian yang santai berdiri di belakang Dokter Melisa. Sedang Nenek Sundary seolah tak ingin melepaskan tatapan ta
Baik aku dan Keyko saling berpandangan sebelum akhirnya kami menoleh ke arah asal suara. Mataku menyipit. Dahiku mengerut melihat sosok itu. "Adricht!" Suara Keyko mendesis tapi terdengar tajam. Tapi aku malah menoleh ke arah Keyko. "Kamu kenak dengan dia?" tanyaku mendesis. "Dia adiknya Mika. Manta bos kamu di Cafe dulu," jawab Keyko sambil mengelus pipiku. Ternyata itu yang membuat Akdricht memandang aneh ke arahku. "Apa! Mau bikabg aku murahan? Gampang disentuh banya pria?" Tatapan mataku sudah memvonis ke arah pria muda itu. "Kamu ngapain ada di sini, heh?" tanya Keyko sambil mendekati pria itu. "A-aku, yang nabrak dia!" Jari telunjuknya mengarah padaku. Nggak sopan banget sich ngomongnya begitu. Setidaknya umurku lebh tua daripada dia. "Jadi kamu yang tabrak lari Daiva?" seru Keyko kencang. Membuatku sangat kaget. "Ta-pi aku sudah berusaha untuk bertanggung jawab kok, Key. Aku sudah bayarin srmya biayan
Tanpa ada yang menyadari sudah ada yang masuk ke dalam ruang intensif VVIP milik Daiva. Keyko yang sedang keluar dari kamar itu juga belum kembali. Sedang di ujung koridor masih berdiri seseorang yang memakai penutup wajah lalu meninggalkan tempat itu. Damian segera berlari ke arah kamar Daiva. "Daiva!" Suara itu hampir mengejutkan Damian yang baru saja sampai di depan pintu kamar. Dengan cepat dia membuka pintu kamar tersebut. "Damian baru saja ada yang masuk kamar Daiva dan mencoba memutus selang infusnya." Nada bicara Keyko berapi-api dengan mata nyalang kemana-mana seolah mencari sosok yang barusan keluar dari kamar itu. "Kamu mau tahu siapa yang nyuruh orang itu masuk ke kamar Iva dan memutus selang infusnya." Mata Keyko mengerjab sesaat. "Jadi kamu tahu orang yang akan mencelakakan Daiva?" tanyanya tak percaya. Damian hanya mendengus kasar mendengar pertanyaan Keyko. "Sepertinya kamu yang nggak peka sama kondisi, Key!" Keyk
Aku tersentak ketika mendengar suara teriakan itu. Itu suara keyko dan Damian yang bersamaan menyentak seseorang. Mungkinkah orang yang tadi masuk ke dalam kamar rawat inapku masih berkeliaran di sini? Mungkinkah itu suruhannya Nenek Sundary? "Daiva!" Jantungku tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Aku merasa sesak dadaku seperti koleps. Kenapa makhluk menakutkan ini ada di sini? "Ne-nek Sundary," ucapku tergagap dengan suara bergetar. Bibirku gemetar seketika. "Ada apa, Daiva? Kok sepertinya kamu takut begitu pada Nenek?" Dengan cepat aku menggeleng untuk menghilangkan rasa curiganya. Dia tidak boleh tahu kalau aku sudah mengetahui siapa dia yang sesungguhnya. "Apa kamu sudah merasa sehat?" Aku mengangguk cepat mendapatkan pertanyaan itu. "Sekarang kita keluar dari rumah sakit. Nenek sudah membereskan semua biaya adminstrasimu. Kamu ikut Nenek tinggal di rumah Nenek mulai sekarang." Duarrr! Aku tersentak mendengar kata-kata Nene
Wanita tua itu menyusut air matanya kemudian bangkit dari batu nisan yang sedang dia rengkuh. Dengan hati yang kosong Nenek Sundary melangkah meninggalkan tempat persemayanan terakhir suaminya. Ada beban yang mengganjal di hatinya. Ada sekelebatan masa silamnya berkelebatan terus di benaknya. Bayang-bayang menakutkan dan teringat akan peristiwa yang tidak akan pernah membuatnya berhenti menyesal. Bahkan setiap hari penyesalan itu yabg menggrogotinya. Sebuah peristiwa yang merenggut nyawa orang lain. Bahkan itu disengaja. Ita! Dia membunuh orang lain dengan tangannya sendiri. Entah itu di sengaja atau tidak. Tapi itu faktanya. Kini sudah puluhan tahun peristiwa silam itu berlalu. Dalam puluhan tahun itu, wanita tua itu selalu tersiksa dan tidak tenang. Sebagai hukuman yang pantas untuk semua perbuatannya. Dan kini, setelah puluhan tahun, kembali semua peristiwa masa lalu itu kembali terungkap. Gadis yang 20 tahun yang lalu jadi saksi ke
Rasa gelap dan sakit di leher membuatku tak berkutik. Rasanya memang aku seperti sudah di alam lain, saat kurasakan tubuhku menjadi ringan seperti kapas yang beterbangan. Saat yang bersamaan aku mendengar suara yang ribut dan gaduh membuat pegangan seseorang pada bantal di wajahku itu mengendur dan terlepas. Aku tersengal dan terbatuk-batuk mana kala kulihat seorang dokter sudah berusaha menangkap tubuh seseorang yang berusaha melenyapkanku itu, berlari dan mendorong tubuh Dokter Melisa sampe terjengkang ke belakang. Entah! Belum jelas, siapa yang melakukan itu. Beberapa saat yang lalu sebelum bantal itu menekan wajahku, terlihat Nenek Sundary ada di depan mataku. Namun setelah kini aku terbebas dari kematian, tubuh itu bukan lagi tubuh nenek. Dokter Melisa memeriksa keadaanku yang sangat lemas dan tidak berdaya setelah dia berhasil menghubungi pihak keamanan rumah sakit. Sepertinya untuk sesaat suasana menjadi rame dan kudengar banyak orang.
Tubuh lunglai itu sudah diseret sejauh beberapa meter dari lorong rumah sakit. "Masukkan ke bagasi. Orang seperti itu tidak pantas di taruh di jok mobil." Suara tenang tapi terkesan dengan kemarahan itu menggema di jok mobil depan. Lalu segera memerintahkan sopir pribadinya menjalankan mobil sedannya ke arah perbatasan luar kota. "Kita akan ke tempat itu. Kamu taruh dokter muda itu di sana pastikan selama penyelidikan kadus itu dia aman di sana. Jangan sampai dokter ini menamoakkan di rumah sakit." Lagi-lagi orang bertubuh yinggi tegap itu hanya mengangguk. 2 jam perjalanan membuat sopir pribadi itu menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berbentuk villa di pinggiran kota. Terlihat seperti sepi dan tak berpenghuni. Tampak bangunan itu juga bangunan lama. "Kamu di sini dengan dokter itu. Jaga dia jangan sampai kabur. Kalau berulah, habisi!" Sadis dan kejam seseorang yang punya perintah itu. Lalu mobil sedan hitam