Tanpa ada yang menyadari sudah ada yang masuk ke dalam ruang intensif VVIP milik Daiva. Keyko yang sedang keluar dari kamar itu juga belum kembali.
Sedang di ujung koridor masih berdiri seseorang yang memakai penutup wajah lalu meninggalkan tempat itu. Damian segera berlari ke arah kamar Daiva.
"Daiva!" Suara itu hampir mengejutkan Damian yang baru saja sampai di depan pintu kamar. Dengan cepat dia membuka pintu kamar tersebut.
"Damian baru saja ada yang masuk kamar Daiva dan mencoba memutus selang infusnya." Nada bicara Keyko berapi-api dengan mata nyalang kemana-mana seolah mencari sosok yang barusan keluar dari kamar itu.
"Kamu mau tahu siapa yang nyuruh orang itu masuk ke kamar Iva dan memutus selang infusnya." Mata Keyko mengerjab sesaat.
"Jadi kamu tahu orang yang akan mencelakakan Daiva?" tanyanya tak percaya. Damian hanya mendengus kasar mendengar pertanyaan Keyko.
"Sepertinya kamu yang nggak peka sama kondisi, Key!" Keyk
Mampir yuk di sini Fatamorgana Sang kapten Takdir Yang Tertunda
Aku tersentak ketika mendengar suara teriakan itu. Itu suara keyko dan Damian yang bersamaan menyentak seseorang. Mungkinkah orang yang tadi masuk ke dalam kamar rawat inapku masih berkeliaran di sini? Mungkinkah itu suruhannya Nenek Sundary? "Daiva!" Jantungku tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Aku merasa sesak dadaku seperti koleps. Kenapa makhluk menakutkan ini ada di sini? "Ne-nek Sundary," ucapku tergagap dengan suara bergetar. Bibirku gemetar seketika. "Ada apa, Daiva? Kok sepertinya kamu takut begitu pada Nenek?" Dengan cepat aku menggeleng untuk menghilangkan rasa curiganya. Dia tidak boleh tahu kalau aku sudah mengetahui siapa dia yang sesungguhnya. "Apa kamu sudah merasa sehat?" Aku mengangguk cepat mendapatkan pertanyaan itu. "Sekarang kita keluar dari rumah sakit. Nenek sudah membereskan semua biaya adminstrasimu. Kamu ikut Nenek tinggal di rumah Nenek mulai sekarang." Duarrr! Aku tersentak mendengar kata-kata Nene
Wanita tua itu menyusut air matanya kemudian bangkit dari batu nisan yang sedang dia rengkuh. Dengan hati yang kosong Nenek Sundary melangkah meninggalkan tempat persemayanan terakhir suaminya. Ada beban yang mengganjal di hatinya. Ada sekelebatan masa silamnya berkelebatan terus di benaknya. Bayang-bayang menakutkan dan teringat akan peristiwa yang tidak akan pernah membuatnya berhenti menyesal. Bahkan setiap hari penyesalan itu yabg menggrogotinya. Sebuah peristiwa yang merenggut nyawa orang lain. Bahkan itu disengaja. Ita! Dia membunuh orang lain dengan tangannya sendiri. Entah itu di sengaja atau tidak. Tapi itu faktanya. Kini sudah puluhan tahun peristiwa silam itu berlalu. Dalam puluhan tahun itu, wanita tua itu selalu tersiksa dan tidak tenang. Sebagai hukuman yang pantas untuk semua perbuatannya. Dan kini, setelah puluhan tahun, kembali semua peristiwa masa lalu itu kembali terungkap. Gadis yang 20 tahun yang lalu jadi saksi ke
Rasa gelap dan sakit di leher membuatku tak berkutik. Rasanya memang aku seperti sudah di alam lain, saat kurasakan tubuhku menjadi ringan seperti kapas yang beterbangan. Saat yang bersamaan aku mendengar suara yang ribut dan gaduh membuat pegangan seseorang pada bantal di wajahku itu mengendur dan terlepas. Aku tersengal dan terbatuk-batuk mana kala kulihat seorang dokter sudah berusaha menangkap tubuh seseorang yang berusaha melenyapkanku itu, berlari dan mendorong tubuh Dokter Melisa sampe terjengkang ke belakang. Entah! Belum jelas, siapa yang melakukan itu. Beberapa saat yang lalu sebelum bantal itu menekan wajahku, terlihat Nenek Sundary ada di depan mataku. Namun setelah kini aku terbebas dari kematian, tubuh itu bukan lagi tubuh nenek. Dokter Melisa memeriksa keadaanku yang sangat lemas dan tidak berdaya setelah dia berhasil menghubungi pihak keamanan rumah sakit. Sepertinya untuk sesaat suasana menjadi rame dan kudengar banyak orang.
Tubuh lunglai itu sudah diseret sejauh beberapa meter dari lorong rumah sakit. "Masukkan ke bagasi. Orang seperti itu tidak pantas di taruh di jok mobil." Suara tenang tapi terkesan dengan kemarahan itu menggema di jok mobil depan. Lalu segera memerintahkan sopir pribadinya menjalankan mobil sedannya ke arah perbatasan luar kota. "Kita akan ke tempat itu. Kamu taruh dokter muda itu di sana pastikan selama penyelidikan kadus itu dia aman di sana. Jangan sampai dokter ini menamoakkan di rumah sakit." Lagi-lagi orang bertubuh yinggi tegap itu hanya mengangguk. 2 jam perjalanan membuat sopir pribadi itu menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berbentuk villa di pinggiran kota. Terlihat seperti sepi dan tak berpenghuni. Tampak bangunan itu juga bangunan lama. "Kamu di sini dengan dokter itu. Jaga dia jangan sampai kabur. Kalau berulah, habisi!" Sadis dan kejam seseorang yang punya perintah itu. Lalu mobil sedan hitam
Aldritch tertegun mendengar suara dari pknsel itu bukan suara milik Dokter Melisa. Dia baru saja akan bertanya oada pria yang sepertinya menyabotase ponsel dokter muda itu. Namun sayang, panggilan line telpon itu sudah keburu di putus. Ada kekesalan yang tiba-tiba memuncak di dadanya. Karena rasa cemas dan juga khawatir itu kini memenuhi hatinya. Seolah sudah peka, Aldritch merasa ada yang dengan sengaja menhilangkan Dokter Melisa hari ini. "Aldritch!" Panggilan jecil itu membuat pria itu mendongakkan kepalanya. Mencari-cari asal suara. Mata abunya terbentur sesosok pria tamopan yang sudah dewasa. "Key! Sedang apa?" tanyanya seperti orang linglung. "Harusnya aku yang bertanya. Krnapa kamu ada di depan ruangan Dokter Melisa?" tanya Keyko sambil mendekati Aldritch. "Aku mencari Dokter itu," jawab Aldritch dengan nada kesal tapi cemas. "Sama kalau begitu. Ini untuk urusan besok di kantor polisi. Diakan saksi kuncinya." "Ta
Suara Keyko membuat Nenek Sundary dan pengacaranya seketika menghentikan pembicaraan mereka dan memandang ke arah suara. "Keyko, sejak kapan kamu ada disitu? Kenapa nggak mengetuk pintu?" Nenek Sundary terlihat marah. Matanya menatap tajam ke arah Keyko. Sedangkan Keyko hanya menatap sekilas ke arah mereka berdua. "Ada polisi yang ingin bicara sama Nenek." Nenek Sundary tersentak sesaat namun dengan cepat dia bisa menguasai keadaan. "Selesaikan ini, jangan sampai berkelanjutan!" "Baik, Nyonya." Keyko hanya melihat bergantian antara neneknya dan juga pengacara pribadi keluarga Gumelar yaitu Kuncoro Nadi. Pengacara yang sudah berumur namun masih menebar prestasi di mana-mana dan selalu saja memenangkan kasus. Di ruang utama sudah ada beberapa petugas Polisi yang menunggu wanita tua itu di sana. "Selamat Siang, Nyonya. Saya ditugaskan menjemput Nyonya Sundary terkait adanya laporan dan bukti bahwa Anda tetlibat dalam kasus
"Ka-kamu siapa?" tanya Dokter Melisa sedikit bergetar karena merasakan ketakutan. Agam hanya tersenyum lantas mengambil buah apel dan dikupasnya. Menyuapkan ke mulut Dokter Melisa yang sangat terkejut melihat sikap Agam yang berbeda dengan perangai wajahnya bengis. "Makanlah, besok aku akan membawamu kembali ke Jakarta." Dokter Melisa semakin terperangah mendengar ucapan Agam. "Aku tidak akan membunuhmu. Tapi kamu harus bisa menjaga sikapmu di depan pembunuh sadis itu. Kamu sudah dilibatkan terlalu jauh. Jadi hati-hatilah. Mungkin setelah ini aku tidak bisa menjagamu lagi." Dokter cantik itu semakin mengerutkan dahinya, merasa heran dengan sikap Agam. Tidak salah lagi. Dokter Melisa sudah paham kalau pria di depannya ini adakah orang suruhan yang ditugaskan oleh seseorang untuk membunuh dirinya. "Apa kamu orang suruhan wanita tua itu?" tanya kemudian sambil memasukkan potongan buah apel ke mulutnya. Agam hanya mendengus lalu tanpa menh
Melisa Maharani tersedak ketika sedang mengunyah sarapanya pagi ini. Telinganya seperti mendengar teriakan yang memanggil namanya. "Ada apa? Kok sampai tersedak begitu? Apa kamu memikirkan sesuatu?" tanya Agam sambil melihat wanita yang bergelar Dokter ahli bedah jantung dan saraf itu. "Apa kamu tidak mendengar sesuatu?" tanyanya pada Agam. Pria itu mengerutkan dahi kuat-kuat tak mengerti dengan pertanyaan Melisa. "Ada yang memanggil aku, Agam," ucap Melisa sambil matanya nanar seolah mencari-cari seseorang. "Kamu ini bermimpi, Dokter. Di sini itu di dasar jurang. Dan nggak akan ada yang bisa datang ke sini kecuali orang yang sudah tahu medannya tempat ini." Dokter Melisa tersenyum kecut mendengar kata-kata Agam, si pembunuh bayaran. "Cepatlah, Dokter. Hari ini aku akan mengantarmu pulang." Dokter Melisa hanya mengangguk lalu dengan cepat menyelesaikan sarapannya. Setelah rapi mereka pun meninggalkan hutan yang ada dasar jurang. Bertep