Suara Keyko membuat Nenek Sundary dan pengacaranya seketika menghentikan pembicaraan mereka dan memandang ke arah suara.
"Keyko, sejak kapan kamu ada disitu? Kenapa nggak mengetuk pintu?" Nenek Sundary terlihat marah. Matanya menatap tajam ke arah Keyko.
Sedangkan Keyko hanya menatap sekilas ke arah mereka berdua.
"Ada polisi yang ingin bicara sama Nenek." Nenek Sundary tersentak sesaat namun dengan cepat dia bisa menguasai keadaan.
"Selesaikan ini, jangan sampai berkelanjutan!"
"Baik, Nyonya."
Keyko hanya melihat bergantian antara neneknya dan juga pengacara pribadi keluarga Gumelar yaitu Kuncoro Nadi. Pengacara yang sudah berumur namun masih menebar prestasi di mana-mana dan selalu saja memenangkan kasus.
Di ruang utama sudah ada beberapa petugas Polisi yang menunggu wanita tua itu di sana.
"Selamat Siang, Nyonya. Saya ditugaskan menjemput Nyonya Sundary terkait adanya laporan dan bukti bahwa Anda tetlibat dalam kasus
"Ka-kamu siapa?" tanya Dokter Melisa sedikit bergetar karena merasakan ketakutan. Agam hanya tersenyum lantas mengambil buah apel dan dikupasnya. Menyuapkan ke mulut Dokter Melisa yang sangat terkejut melihat sikap Agam yang berbeda dengan perangai wajahnya bengis. "Makanlah, besok aku akan membawamu kembali ke Jakarta." Dokter Melisa semakin terperangah mendengar ucapan Agam. "Aku tidak akan membunuhmu. Tapi kamu harus bisa menjaga sikapmu di depan pembunuh sadis itu. Kamu sudah dilibatkan terlalu jauh. Jadi hati-hatilah. Mungkin setelah ini aku tidak bisa menjagamu lagi." Dokter cantik itu semakin mengerutkan dahinya, merasa heran dengan sikap Agam. Tidak salah lagi. Dokter Melisa sudah paham kalau pria di depannya ini adakah orang suruhan yang ditugaskan oleh seseorang untuk membunuh dirinya. "Apa kamu orang suruhan wanita tua itu?" tanya kemudian sambil memasukkan potongan buah apel ke mulutnya. Agam hanya mendengus lalu tanpa menh
Melisa Maharani tersedak ketika sedang mengunyah sarapanya pagi ini. Telinganya seperti mendengar teriakan yang memanggil namanya. "Ada apa? Kok sampai tersedak begitu? Apa kamu memikirkan sesuatu?" tanya Agam sambil melihat wanita yang bergelar Dokter ahli bedah jantung dan saraf itu. "Apa kamu tidak mendengar sesuatu?" tanyanya pada Agam. Pria itu mengerutkan dahi kuat-kuat tak mengerti dengan pertanyaan Melisa. "Ada yang memanggil aku, Agam," ucap Melisa sambil matanya nanar seolah mencari-cari seseorang. "Kamu ini bermimpi, Dokter. Di sini itu di dasar jurang. Dan nggak akan ada yang bisa datang ke sini kecuali orang yang sudah tahu medannya tempat ini." Dokter Melisa tersenyum kecut mendengar kata-kata Agam, si pembunuh bayaran. "Cepatlah, Dokter. Hari ini aku akan mengantarmu pulang." Dokter Melisa hanya mengangguk lalu dengan cepat menyelesaikan sarapannya. Setelah rapi mereka pun meninggalkan hutan yang ada dasar jurang. Bertep
"Ja-jangan lakukan itu, Nek. Aku mohon!" teriakku ketakutan. Namun nenek itu terus melakukannya. Mencekikku dalam keadaan yang sangat menyakiti aku. Membuat napasku tersengal dengan jari-jarinya yang kokoh mencengkramku. "Nek," desisku mengucapkan nama itu. Namun semua sudah berubah. Rasanya gelap dan sakit. Aku meronta dalam cengkraman itu yang semakin membuatku berteriak dahsyat. "Jangann! Aku mohon, jangan lakukan ini, please ...," "Iva! Iva, bangun! Kamu mimpi buruk." Tepukan di pipi Daiva membuat gadis itu menarik napas panjang yang tersengal dan akhirnya aku terbatuk-batuk. Aku membuka mataku dengan napas tak karuan. Kucoba mengatur napasku yang tersengal tadi. Kulihat sosok Damian sudah ada di depanku. Setelan jas tuxedo melangkahkan kakinya di teras rumah yang sagat besar dan luas itu. Bahkan tanpa megetuk pintu pun pria tampan itu langsung menuju ke kamar Damian. "Daiva! Kamu kenapa?" tanyanya padak
Damian mengerutkan dahinya mendengar laporan si Bibi. "Polisi? Apa mereka berhasil menemukan bukti itu?" tanya Damian dalam hati. Dengan bergegas duda tampan itu berjalan keluar dan menemui dua orang polisi yang sudah berdiri di haman rumahnya. "Selamat Siang, Pak Damian. Maaf mengganggu waktunya. Kami ingin bertemu dengan korban pembunuhan Daiva Gayatri Maheswari." Damian mengangguk hormat lalu mempersilakan masuk untuk menemui Iva. "Selamat Siang, Mbak Daiva. Semoga kedatangan kami tidak menggangu Mbak Daiva." Aku hanya tersenyum lantas menggeleng pelan. Setelah 15 menit betlalu, sezi tanya jawab itu akhirnya selesai. Aku menarik napas penuh kebahagiaan ketika polisi akan mengejar pelaku yang telah merencanakan pembunuhan buatku. Hari ini juga ada saksi kunci yang sudah datang memberikan bukti akurat. Wajahku menegang sesaat karena aku tahu siapa saksi kunci tersebut. "Dokter Melisa?" "Iya, Mbak Daiv
Aku tersentak menyadari itu hanya mimpi. Sempat kurasakan basah di milokku. Akh, sial! Apa saking aku merindukannya hingga aku bisa mimpi bersamanya seperti itu? Dengan malas aku bangkit pembaringanku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat jam di atas nakas sudah pukul sebelas malam. Rasanya baru tidur srbentar tadi. Beberapa jam yang lalu baru pulang mengantarkan pesanan bunga. Tak terasa aku di tempat ini sudah hampir satu bulam Tidak ada satu pun orang yang mengenalku. Kubeli rumah yang cukup seerhana ini dengan harga murah. Rumah pinggiran jauh dari perkotaan apalagi Jakarta. Tapi aku nyaman dan bahagia. Usahaku juga sudah mulai berkembang. Menjual tanaman hias seperti bunga hidup. Aku berharap Ariana akan senang kslsu sudah kembali nanti. Sengaja aku mengasingkan diri ke tempat terpencil karena aku sudah capek hidup dengan orang-orang yang selalu berpura-pura baik padaku. Bahkan semua akses kominikasi yang dulu tak lagi ada.
Tubuhku membeku seketika melihat sosok yang ada di seberang tempatku berdiri Tak menyangka akan berada lagi dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku ingin berlari dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku memang sudah berniat untuk pergi lalu nggak keluar lagi. "Daiva!" Aku menghentikan langkahku seketika tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin sama sekali kembali melihatnya "Maaf, hari ini saya libur nggak jual bunga," ucapku datar dan tanpa menoleh lagi aku berjalan ke arah rumah berniat untuk masuk dan menutup yang pasti mengunci rumah. "Daiva, tunggu! Jangan menghindar dariku, please! Aku mohon!" Aku tiba-tiba bergeming melihat pria yang tak lain Keyko itu. Pria itu mendekatiku lalu tiba-tiba menubrukku dan mendekapku erat. Kaget dan tak dapat mengelak lagi, ketika dengan spontan pria tampan itu memberikan ciuman bertubi-tubi. "Key-Key! Tolong jangan seperti ini, please," ucapku tersengal karena nggak bisa napas dan jug
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damian saat jabat tangan terakhir dengannya. Bahkan ekspresi wajahku datar dan dingin. Apalagi melihat wanita yang ada di sampingnya. Cih! Baru juga sebulan aku pergi dari kota ini, nyatanya dia sudah kembali pada mantannya. Pantes Key sibuk nyari aku. Ternyata hanya ingin saling manas-manasi. Rasanya aku ingin buru-buru pergi dari sini dan menuntaskan tugasku hari ini. Setelah itu aku pergi kembali ke pinggiran kota yang tenang dan damai. Dengan senyum sinis aku membalas tatapan mata Damian. Dan menarik jabat tangan itu. Berharap setelah itu Keyko mengajakku pergi. Namun nyatanya aku malah terjebak dengan dua pria tak bermoral itu menurutku. "Maaf, Kalau sudah selesai, saya undur diri." Dengan cepat aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Baguslah, nggak ada yang mengejarku. Baru sadar aku, ternnyata aku cuma dimanfaatkan. "Taksi!" seruku ketika melihat taksi lewat di depanku. "Kantor pol
Aku benar-benar kembali ke pinggiran kota yang jauh dari Jakarta. Sudah fix bahwa Key mencariku waktu itu hanya untuk memanfaatkanku.Sekarang ini aku ingin benar-benar meluoakan srmua yang sudah terjadi di Jakarta. Dan tak perlu lagi aku kembali ke sana. Melulakan sosok Key dan Damian juga seabrek masalah yang melibatkanku di masa lalu."Mbak Daiva, kok cuma sebentar du sana. Saya kira bakalan berbulan-bukan, Mbak. Secara yang ngajak Mbak itu ganteng. Bisa jadikan mau merekrut Mbak Daiva jadi karyawan, cicit Yayi polos. Sala satu temanku di kota terpencil ini."Nggak kok, aku cuma menolongnta aja. Perusahaannya butuh aku untuk presentasi buat memenangkan tender. Dan kemarin semya sudah clear.""Kenapa Mbak Daiva nggak minta kerjaan saja sama cowok itu?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan Yayi.Agak terkejut sedikit ketika kami mendengar suara mobil dengan halusnya parkir di depan warung."Permisi," sapa seorang cowok yang aku rasa usianya s