Tok tok tok,
Seketika aku mekentingkan tubuhku mana kala kaget mendengur ketukan pintu itu sekali merasakan lidah Key menghisap kuat milikku.
Dan seketika itu juga ada sesuatu yang menyembur membasahi wajahnya. Aku tersengal dan terengah dengan napas satu-satu.
Sesuatu yang sydah lana sekali tidak kurasakan dari mantan pacarku ini. Akh! Dasar jalang! Aku memaki dan merutuki diriku sendiri.
Gampang sekali tergoda dengannya. Dasar brengsek aku ini!
"Sayang, ada yang ngetuk lagi. Aku apa kamu yang buka? Sedikit mengerjab luar aku merapikan bajuku dan dalamanku yang sudah tak tahu di campakkan oleh Keyko di mana.
Dengan tergesa aku menghampiri pintu dan membukanya.
"Maaf, Mbak Daiva. Saya cuma disuruh Nyonta besar untuk memberikan teh hangat kepada Mbak Daiva." Aku sedikit terkejut dengan kedatangan Mbok inah.
Sebegiru perhatiannya Nenek sundary sampai sudah malam begini masih mengirimiku teh.
"Terima ka
Terus ikuti karyaku ya Fatamorgana Sang kapten Takdir yang Tertunda
"Mbok Inah, bisa minta kunci serepnya kamar Mbak Iva!" Boom! Aku menciut mendengar suara Damian. Ketakutan merambatiku. Belum lagi aku bisa menguasai situasi tiba-tiba pintu sudah terbuka dan yang membuka itu itu adalah Keyko. Aku melotot melihat sikap konyol Key. Kenapa dia bertindak nggak waras begitu. "Key, kok kamu di sini? Bukannya ini__ "Ini kamarku kan? Sudah sewajarnyalah aku tidur di sini!" Jawaban ketus Keyko membuat Damian mengetatkan rahangnya. Sekilas mata abunya menangkap bayanganku ada dalam kegelapan. "Iva! Ayo kamu bangun! Kita harus segera ke kantor." "Maksud kamu apa Damian? Daiva sudah bekerja di sini untuk nenek. Dia nggak akan kerja di kantor kamu lagi!" Kali ini Damian sudah hilang kesadaran. Wajahnya tiba-tiba menggelap dengan mata tajam bak burung elang. Aku semakin menciut. Kekisruhan ini harus segera diatasi kalau nggak ingin ada keributan sepagi ini oleh dua orang ya
Rumah sakit Pelita, sebuah rumah sakit di pusat kota yang siang ini ramai pengunjung. Seorang dokter cantik tengah memeriksa pasien yang mengalami kecelakaan. Seorang gadis yang tak lain Daiva Gayatri Maheswari. Gadis yatim piatu yang menjadi korban tabrak lari di Jalan Panjaitan siang tadi. Mengalami luka serius pada kaki dan tangan hingga diharuskan memakai kursi roda. Sejauh itu semua baik-baik saja dan hanya mengalami shock. "Bagaimana, Dok?" tanya Damian dengan wajah tegang. Dari tadi dia mondar-mandir nggak jelas hanya menunggu kabar dari dokter cantik itu. "Apa Anda suaminya?" tanya dokter cantik itu. "Oh, saya calon suaminya, Dok. Bagaimana keadaan calon istri saya?" tanya Damian lagi karena tidak dapat jawaban sedari tadi Melisa Maharani, dokter cantik lulusan sarjana kedokteran itu mengeluh dalam hati. Kenapa setiap dia bertemu dengan laki-laki yang menurutnya sreg di hati selalu saja sudah jodoh orang lain? "Do
Aku tercengang melihat seseorang itu ternyata bukan Damian. Mengernyit kuat-kuat keningku. Siapakah orang ini? Apa salah kamar?Tapi, tidak! Lihatlah! Dia terus berjalan mendekatiku yang keheranan melihat kehadirannya."Daiva Gayatri Maheswari." Entah itu panggilan atau sekedar menyebut namaku. Tapi aku mengangguk pertanda aku mengiyakan."Saya Aldrich Kenry, orang yang menabrak kamu." Aku semakin mengernyitkan kening kuat. Sebuah kejujuran tapi tak diiringi dengan sebuah penyesalan.Hai! Aku mengerjab. Aneh sekali orang ini. Apakah orang ini masih sehat?"Maafkan saya, Daiva. Bukan bermaksud tidak bertanggung jawab dan meninggalkanmu tanpa pertolongan. Tapi saya benar-benar ada yang tidak bisa saya tinggalkan. Maafkan saya. Masalah administrasi sudah saya selesaikan."Aku masih bergeming mendengar dia bercicit panjang lebar. Dia pria tampan menurutku tapi agak sedikit urakan. Jadi jujur, aku agak nggak begitu merespon dengan sem
Mataku mengerjab liar mana kala bertemu dengan sorot mata menyeramkan itu. Dengan tergesa aku melepaskan pelukanku terhadap Keyko. Pria itu agak terkejut mana kalamelihatku melepaskan pelukannya tiba-tiba. "Ada apa?" tanyanya tak mengerti. Dia menatapku teduh seolah aku adalah kekasihnya. Sebelum aku menjawab apa-apa dari arah pintu terlihat dokter Melisa datang bersama dengan Damian. Duda tampan itu mengerutkan dahi saat melihat di ruanganku sudah ada nenek dan juga Keyko. "Wah sudah rame ya yang jenguk Mba Daiva. Bagaimana, keadaannya Mbak, sudah baikkan?" Aku tersenyum mendengar pertantanyaan dokter itu lalu mengangguk tanda iya. "Calon suami Mbak Daiva perhatian sekali, sampai mau menanyakan kondisi Mbak ke ruangn saya. Sungguh pria yang baik." Dokter Melisa memuji Damian dengan tulus. Keyko nampak menatap tajam ke arah Damian yang santai berdiri di belakang Dokter Melisa. Sedang Nenek Sundary seolah tak ingin melepaskan tatapan ta
Baik aku dan Keyko saling berpandangan sebelum akhirnya kami menoleh ke arah asal suara. Mataku menyipit. Dahiku mengerut melihat sosok itu. "Adricht!" Suara Keyko mendesis tapi terdengar tajam. Tapi aku malah menoleh ke arah Keyko. "Kamu kenak dengan dia?" tanyaku mendesis. "Dia adiknya Mika. Manta bos kamu di Cafe dulu," jawab Keyko sambil mengelus pipiku. Ternyata itu yang membuat Akdricht memandang aneh ke arahku. "Apa! Mau bikabg aku murahan? Gampang disentuh banya pria?" Tatapan mataku sudah memvonis ke arah pria muda itu. "Kamu ngapain ada di sini, heh?" tanya Keyko sambil mendekati pria itu. "A-aku, yang nabrak dia!" Jari telunjuknya mengarah padaku. Nggak sopan banget sich ngomongnya begitu. Setidaknya umurku lebh tua daripada dia. "Jadi kamu yang tabrak lari Daiva?" seru Keyko kencang. Membuatku sangat kaget. "Ta-pi aku sudah berusaha untuk bertanggung jawab kok, Key. Aku sudah bayarin srmya biayan
Tanpa ada yang menyadari sudah ada yang masuk ke dalam ruang intensif VVIP milik Daiva. Keyko yang sedang keluar dari kamar itu juga belum kembali. Sedang di ujung koridor masih berdiri seseorang yang memakai penutup wajah lalu meninggalkan tempat itu. Damian segera berlari ke arah kamar Daiva. "Daiva!" Suara itu hampir mengejutkan Damian yang baru saja sampai di depan pintu kamar. Dengan cepat dia membuka pintu kamar tersebut. "Damian baru saja ada yang masuk kamar Daiva dan mencoba memutus selang infusnya." Nada bicara Keyko berapi-api dengan mata nyalang kemana-mana seolah mencari sosok yang barusan keluar dari kamar itu. "Kamu mau tahu siapa yang nyuruh orang itu masuk ke kamar Iva dan memutus selang infusnya." Mata Keyko mengerjab sesaat. "Jadi kamu tahu orang yang akan mencelakakan Daiva?" tanyanya tak percaya. Damian hanya mendengus kasar mendengar pertanyaan Keyko. "Sepertinya kamu yang nggak peka sama kondisi, Key!" Keyk
Aku tersentak ketika mendengar suara teriakan itu. Itu suara keyko dan Damian yang bersamaan menyentak seseorang. Mungkinkah orang yang tadi masuk ke dalam kamar rawat inapku masih berkeliaran di sini? Mungkinkah itu suruhannya Nenek Sundary? "Daiva!" Jantungku tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Aku merasa sesak dadaku seperti koleps. Kenapa makhluk menakutkan ini ada di sini? "Ne-nek Sundary," ucapku tergagap dengan suara bergetar. Bibirku gemetar seketika. "Ada apa, Daiva? Kok sepertinya kamu takut begitu pada Nenek?" Dengan cepat aku menggeleng untuk menghilangkan rasa curiganya. Dia tidak boleh tahu kalau aku sudah mengetahui siapa dia yang sesungguhnya. "Apa kamu sudah merasa sehat?" Aku mengangguk cepat mendapatkan pertanyaan itu. "Sekarang kita keluar dari rumah sakit. Nenek sudah membereskan semua biaya adminstrasimu. Kamu ikut Nenek tinggal di rumah Nenek mulai sekarang." Duarrr! Aku tersentak mendengar kata-kata Nene
Wanita tua itu menyusut air matanya kemudian bangkit dari batu nisan yang sedang dia rengkuh. Dengan hati yang kosong Nenek Sundary melangkah meninggalkan tempat persemayanan terakhir suaminya. Ada beban yang mengganjal di hatinya. Ada sekelebatan masa silamnya berkelebatan terus di benaknya. Bayang-bayang menakutkan dan teringat akan peristiwa yang tidak akan pernah membuatnya berhenti menyesal. Bahkan setiap hari penyesalan itu yabg menggrogotinya. Sebuah peristiwa yang merenggut nyawa orang lain. Bahkan itu disengaja. Ita! Dia membunuh orang lain dengan tangannya sendiri. Entah itu di sengaja atau tidak. Tapi itu faktanya. Kini sudah puluhan tahun peristiwa silam itu berlalu. Dalam puluhan tahun itu, wanita tua itu selalu tersiksa dan tidak tenang. Sebagai hukuman yang pantas untuk semua perbuatannya. Dan kini, setelah puluhan tahun, kembali semua peristiwa masa lalu itu kembali terungkap. Gadis yang 20 tahun yang lalu jadi saksi ke